Kamis, 03 Juli 2008

Di Ambang Negara Gagal

Oleh: Imam Cahyono



SEHARUSNYA busung lapar tidak terjadi di sini," kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah menanggapi gizi buruk yang menjangkiti warga miskin di Nusa Tenggara Barat (Tempo, edisi 12/6/2005). Ironis, karena gizi buruk yang serius justru melanda wilayah lumbung padi.

Ia menduga penyakit itu muncul karena rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan serta lantaran terhambatnya sistem pemantauan kasus. Sementara Menko Kesra Alwi Shihab mengatakan penyakit busung lapar hanya kecelakaan.

"State neglect"

Lagi-lagi, rakyat miskin kembali menjadi korban keganasan berbagai penyakit. Benarkah ini terjadi karena kesalahan rakyat? Atau sebaliknya, mereka adalah korban ulah pengabaian oleh negara (state neglect) yang salah urus sehingga rakyat kian tidak terurus?

Dalam hal ini, sulit dimungkiri kinerja pemerintah-pusat maupun daerah- yang amburadul. Pemerintah terbukti lemah dan tak mampu mendeteksi sejak dini kehadiran berbagai penyakit itu. Bangsa ini tidak hanya kecolongan teror bom, tetapi juga kecolongan lumpuh layuh. Penyakit yang semula diduga hanya terjadi di Sukabumi ini ternyata juga melanda berbagai daerah sehingga dicanangkan sebagai ancaman nasional.

Busung lapar pun senada, yang pasti tidak datang mendadak. Setiap tahun ada sekitar 1.500 kasus busung lapar di NTB. Tetapi, pemerintah daerah justru berusaha menutupinya. Saat wabah itu menyedot perhatian publik, pemerintah- pusat dan daerah-terkesan saling menyalahkan satu sama lain.

Tak kalah ironisnya, reaksi pemerintah dalam merespons berbagai penyakit itu. Selain lamban, pemerintah menganggap penyakit-penyakit itu sebagai kecelakaan sehingga pemerintah cenderung menghadapi penyakit akut itu dengan sikap reaktif jangka pendek. Demam berdarah, polio, dan busung lapar sekadar dianggap kecelakaan sehingga penanggulangannya pun hanya semacam pertolongan pertama ala kadarnya. Seperti demam berdarah, penanggulangan terhadap polio dan busung lapar hanya bersifat reaktif setelah wabahnya menjangkiti berbagai daerah.

Pemerintah telah melakukan vaksinasi polio secara serentak di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Tetapi sebenarnya, vaksinasi polio itu hanya kebetulan (by accident), bukan program yang direncanakan (by program) dalam program kerja pemerintah secara jelas dan matang. Vaksinasi polio merupakan tindakan darurat. Tak kalah daruratnya adalah porsi anggaran yang disediakan pemerintah untuk menanggulangi masalah nasional ini. Tiba-tiba, muncul gerakan nasional dengan anggaran yang mendadak. Dari total Rp 38 miliar, hanya Rp 2,7 miliar berasal dari anggaran negara (APBN). Sisanya dari APBD, serta kemurahan hati donatur seperti WHO dan Unicef.

Ironis, bersamaan dengan serangan penyakit itu, pemerintah sibuk menggelar pesta pilkada dengan anggaran tidak sedikit. Aparat pemerintah sibuk menggunakan segala cara demi suksesnya pilkada. Seakan-akan pilkada lebih penting ketimbang kesehatan rakyat.

Merebaknya sejumlah penyakit yang melanda negeri ini seharusnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Serangan penyakit itu tidak saja menghambat tumbuh kembang jutaan nyawa anak negeri, tetapi juga merenggut masa depan bangsa. Penyakit itu jika tidak segera diatasi akan menimbulkan preseden buruk karena masa depan bangsa akan bertumpu pada generasi yang rapuh.

Tentu saja sebuah negara ada dan berdiri karena rakyatnya. Maka, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk mengurus, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan mendasar warganya, termasuk kesehatan. Jika negara mengabaikan atau menyepelekan hak asasi warganya, berarti ia telah melakukan pelanggaran. Dan rakyat berhak menggugat negara yang lalai dan tak mampu melakukan tugasnya.

"Failed state"

Setidaknya ada empat kategori negara bangsa (nation state): negara bangsa yang kuat, lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state). Negara lemah merupakan calon potensial kegagalan negara. Sementara negara gagal atau hancur merupakan tahapan akhir kegagalan negara.

Sebuah negara bangsa dianggap gagal jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. A failed state results when the leadership and institutions of the state are wakened and discredited to the point where the state can no longer fulfill its responsibilities or exercise sovereignty power over the territory within its borders (Stoddard, A: Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge: A Graduate Journal of International Affairs, Volume-4, Carleton University, Kanada, 2000).

Sindrom ini dapat dilihat pada beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom dari negara gagal antara lain keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri (Robert I Rotberg, The Nature of Nation-State Failure, 2002).

Sindrom ini meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, dan status ekonomi. Di masyarakat, korupsi dan praktik-praktik gelap meluas, sementara pemerintah tidak mampu memberi gaji layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjatanya. Kondisi ekonomi terus memburuk akibat sistem ekonomi tersembunyi seperti penyelundupan dan pelarian modal.

Elite yang berkuasa melakukan korupsi besar-besaran. Mereka menolak transparansi, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sementara pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan transportasi umum merosot. Jasa pelayanan hanya melayani elite yang berkuasa. Pembusukan terjadi di pusat kekuasaan, termasuk pemerintahan yang tidak becus, kebobrokan institusional, dan kepemimpinan yang merusak sehingga menyulut konflik dan perpecahan.

Sebuah negara bangsa lahir untuk memberikan barang-barang politik (political goods), seperti keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, hukum dan keadilan, serta infrastruktur yang diperlukan rakyatnya. Negara gagal tak bisa memberikan semua kewajiban itu kepada rakyatnya. Negara dalam gagal tidak lagi mampu atau tidak mau melaksanakan tugas sebagaimana negara bangsa di dunia modern sekarang ini. Negara gagal tidak mampu menjamin, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan mendasar bagi rakyatnya.

Namun, tidak semua orang sepakat jika Indonesia masuk kategori negara gagal. Menurut Jusuf Wanandi (Indonesia: A Failed State?, The Washington Quarterly, Summer, 2002), kendati lima tahun lebih dihantam aneka krisis, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya, Indonesia tidak bisa disebut negara gagal. Indonesia adalah negara lemah (weak state), bukan negara gagal (failed state).

Saat ini Indonesia dalam zona bahaya atau merah dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal!

Imam Cahyono Peneliti Lembaga Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan (LPBTN) PP Muhammadiyah; Pegiat al-Maun Foundation for Social Transformation; Lulusan Sosiologi Fisipol Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/09/opini/1801328.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...