Kamis, 03 Juli 2008

Energi Biru, Kebijakan Biru, Politik Biru

Oleh: Wahyudin Munawir



Jika Presiden Yudhoyono memberi nama temuan Djoko Suprapto (baca: membuat bahan bakar dari air) dengan blue energy, seorang peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pakar energi dari Tokyo University, Jepang, menjuluki temuan "wong Nganjuk" itu juga dengan blue energy. Bedanya, blue versi SBY berkonotasi "laut biru yang bisa menjadi sumber bahan baku tak terbatas” dari BBA (bahan bakar air)-nya Djoko, sedangkan blue versi peneliti BPPT berkonotasi sesuatu yang jorok, tidak rasional, dan menjijikkan tapi nikmat dibayangkan seperti orang melihat blue film.

Apakah Presiden SBY akan terus mendukung temuan Djoko yang sudah dipromosikan di Konferensi Iklim Bumi di Bali beberapa waktu lalu sebagai "sumbangan Indonesia" untuk dunia yang mengalami krisis BBM itu? Mungkinkah gara-gara temuan Djoko, antusiasme SBY terhadap program pengembangan jarak pagar untuk biofuel langsung lunglai? Padahal, sejak dua tahun lalu, bayangan masyarakat terhadap program pengembangan biofuel dari jarak pagar ini sudah membuncah. Saya diundang berkali-kali menghadiri seminar nasional tentang prospek aduhai biofuel dari jarak pagar dan pertunjukan mesin yang berjalan baik dengan BBJ (bahan bakar jarak) tersebut. Promosi plus roadmap jarak pagar pun digelar di mana-mana. Hasilnya?

Mesin ekstraksi minyak jarak pagar di NTT kini sudah karatan. Mesin-mesin pengolah minyak jarak pagar di Pangandaran, Jawa Barat, juga sudah nyaris menjadi besi tua. Puluhan investor yang sudah mulai tertarik dan siap menanamkan uangnya untuk mengembangkan jarak pagar juga kecewa. Ribuan hektare pohon jarak pagar kini telantar dan petani mulai membabatnya. Sejumlah pompa bensin di Jakarta yang tadinya gencar menjual solar bercampur biofuel kini tak terdengar lagi beritanya. Rupanya era promosi biofuel telah redup, kalah dengan blue energy-nya Djoko yang didukung SBY.

Padahal, proyek biofuel dari jarak pagar secara ilmiah sudah banyak dibuktikan kelayakannya. Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Belanda sudah mencoba biofuel jarak pagar, dan kini mereka mengembangkannya secara besar-besaran. Israel, misalnya, sangat antusias mengembangkan minyak jarak pagar untuk mengurangi ketergantungan BBM pada negara-negara Teluk. Prof Manurung, pakar minyak jarak dari ITB, kini menjadi konsultan sejumlah perusahaan otomotif di Jepang untuk mengembangkan BBJ. Pendek kata, eksistensi BBJ secara ilmiah, teknologi, ekonomi, dan lingkungan sudah terbukti kebenarannya di dunia. Berbagai penelitian ilmiah tentang minyak jarak pagar di laboratorium berkelas internasional di Jerman, Inggris, Belanda, dan Prancis, yang hasilnya bisa dibaca siapa pun dan bisa diverifikasi oleh ilmuwan mana pun, telah membuktikan bahwa BBJ layak untuk menggantikan BBM yang mahal dan mencemari lingkungan itu.

Jika Jepang dan Jerman, dua negara yang teknologinya amat maju saja, sudah menerima minyak jarak dan tengah mengembangkannya secara besar-besaran, kenapa Indonesia justru surut? Apakah Istana lebih tertarik pada energi birunya seorang Djoko yang tak pernah mau datang jika diundang oleh panel para pakar energi Indonesia?

Sekadar informasi saja, perusahaan otomotif Mitsubishi, misalnya, pada 2015, tak akan lagi membuat mobil bermesin diesel dengan bahan bakar solar. Mitsubishi hanya membuat mobil diesel berbahan bakar biofuel. Mitsubishi tampaknya ingin kembali ke khittah, bahwa mesin diesel pertama yang dibuat Christian Karl Diesel, 1893, di Jerman, memakai biofuel (baca: saat itu yang dipakai Diesel adalah minyak kedelai, kacang, dan jarak). Andaikan Indonesia fokus pada pengembangan minyak jarak, seperti fokusnya Soeharto pada pembangunan pertanian di awal-awal rezim Orde Baru, niscaya program diversifikasi energi sudah mulai kelihatan hasilnya. Sayang, rezim SBY sering tidak fokus dalam membuat kebijakannya. Kebijakan rezim SBY sering berubah-ubah di tengah jalan seperti kebijakan diversifikasi energi.

Dalam kebijakan konversi minyak tanah, misalnya, mula-mula batu bara akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah. Ketika orang-orang sudah mulai melirik batu bara dan para perajin sudah berkreasi membuat kompor batu bara yang aman dan murah, tiba-tiba kebijakannya berubah. Batu bara, katanya tidak aman, dan konversinya diganti dengan gas. Masyarakat kaget dan perajin kompor batu bara menangis, modalnya ludes dan harapannya buntu. Kini, masyarakat dipaksa memakai gas. Namun, ketika masyarakat mulai tertarik memakai gas, tiba-tiba tabung-tabung gas mulai menghilang di agen-agen. Sejumlah orang dengan sinis menyatakan, hilangnya tabung gas di agen-agen ini pertanda akan muncul kebijakan baru, yaitu kebijakan untuk memakai blue energy.

Barangkali, inilah "blue policy" pemerintahan SBY yang amat menjijikkan tapi indah dibayangkan! Bayangkan, seandainya temuan Djoko benar, Indonesia akan benar-benar swasembada energi. Langkanya minyak tanah, gas, dan kotornya batu bara hanya kisah usang di masa lalu. Dengan berhasilnya proyek blue energy, maka dunia masa depan benar-benar bagai impian. Krisis BBM adalah sejarah masa lalu. Kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan menjadi besi tua. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, dan Petronas akan bangkrut. Masyarakat dunia akan benar-benar berpesta dengan energi murah temuan Djoko.

Sayang, mimpi SBY tersebut kandas. Sama kandasnya dengan bayangan pemerintah yang akan menghemat subsidi BBM Rp 34,5 triliun dengan menaikkan harga minyak 28,7 persen. Menurut kajian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akibat kebijakan kenaikan harga BBM, pemerintah tidak hanya gagal menghemat anggaran Rp 34,5 triliun, tapi malah rugi Rp 45 triliun. Kerugian, menurut LIPI, berasal dari opportunity lost dari inflasi (Rp 10,5 triliun) karena membubungnya harga barang. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi juga turun karena pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sehingga potential lost-nya mencapai Rp 15,8 triliun. Selain itu, pemerintah harus menyediakan BLT Rp 14,1 triliun, beras untuk orang miskin Rp 4,2 triliun, dan kredit usaha kecil Rp 1 trliun. Dengan demikian, alih-alih pemerintah dapat menghemat subsidi BBM dengan menaikkan harga minyak, yang diperoleh justru sebaliknya: "subsidinya" menjadi Rp 45 triliun.

Tentu saja, pemerintah menolak hasil kajian LIPI tersebut. Pasalnya, LIPI mengkajinya berdasarkan metodologi ilmiah yang komprehensif, sedangkan metodologi kajian proyek BLT? Itulah kajian ekonomi model "blue politic". Meminjam kata-kata Amien Rais, proyek BLT basis ilmiahnya memang abu-abu. Unsur politiknya lebih kental ketimbang unsur ekonominya. Dengan kata lain, "blue politic" ini berkonotasi jorok secara ilmiah, tapi indah secara "seandainya". Maklumlah, blue politic ini penting karena mendekati pemilihan presiden! Siapa tahu orang miskin yang dikasih BLT akan memilihnya kembali untuk periode 2009-2014?

URL Source: Oleh: Wahyudin Munawir



Jika Presiden Yudhoyono memberi nama temuan Djoko Suprapto (baca: membuat bahan bakar dari air) dengan blue energy, seorang peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pakar energi dari Tokyo University, Jepang, menjuluki temuan "wong Nganjuk" itu juga dengan blue energy. Bedanya, blue versi SBY berkonotasi "laut biru yang bisa menjadi sumber bahan baku tak terbatas” dari BBA (bahan bakar air)-nya Djoko, sedangkan blue versi peneliti BPPT berkonotasi sesuatu yang jorok, tidak rasional, dan menjijikkan tapi nikmat dibayangkan seperti orang melihat blue film.

Apakah Presiden SBY akan terus mendukung temuan Djoko yang sudah dipromosikan di Konferensi Iklim Bumi di Bali beberapa waktu lalu sebagai "sumbangan Indonesia" untuk dunia yang mengalami krisis BBM itu? Mungkinkah gara-gara temuan Djoko, antusiasme SBY terhadap program pengembangan jarak pagar untuk biofuel langsung lunglai? Padahal, sejak dua tahun lalu, bayangan masyarakat terhadap program pengembangan biofuel dari jarak pagar ini sudah membuncah. Saya diundang berkali-kali menghadiri seminar nasional tentang prospek aduhai biofuel dari jarak pagar dan pertunjukan mesin yang berjalan baik dengan BBJ (bahan bakar jarak) tersebut. Promosi plus roadmap jarak pagar pun digelar di mana-mana. Hasilnya?

Mesin ekstraksi minyak jarak pagar di NTT kini sudah karatan. Mesin-mesin pengolah minyak jarak pagar di Pangandaran, Jawa Barat, juga sudah nyaris menjadi besi tua. Puluhan investor yang sudah mulai tertarik dan siap menanamkan uangnya untuk mengembangkan jarak pagar juga kecewa. Ribuan hektare pohon jarak pagar kini telantar dan petani mulai membabatnya. Sejumlah pompa bensin di Jakarta yang tadinya gencar menjual solar bercampur biofuel kini tak terdengar lagi beritanya. Rupanya era promosi biofuel telah redup, kalah dengan blue energy-nya Djoko yang didukung SBY.

Padahal, proyek biofuel dari jarak pagar secara ilmiah sudah banyak dibuktikan kelayakannya. Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Belanda sudah mencoba biofuel jarak pagar, dan kini mereka mengembangkannya secara besar-besaran. Israel, misalnya, sangat antusias mengembangkan minyak jarak pagar untuk mengurangi ketergantungan BBM pada negara-negara Teluk. Prof Manurung, pakar minyak jarak dari ITB, kini menjadi konsultan sejumlah perusahaan otomotif di Jepang untuk mengembangkan BBJ. Pendek kata, eksistensi BBJ secara ilmiah, teknologi, ekonomi, dan lingkungan sudah terbukti kebenarannya di dunia. Berbagai penelitian ilmiah tentang minyak jarak pagar di laboratorium berkelas internasional di Jerman, Inggris, Belanda, dan Prancis, yang hasilnya bisa dibaca siapa pun dan bisa diverifikasi oleh ilmuwan mana pun, telah membuktikan bahwa BBJ layak untuk menggantikan BBM yang mahal dan mencemari lingkungan itu.

Jika Jepang dan Jerman, dua negara yang teknologinya amat maju saja, sudah menerima minyak jarak dan tengah mengembangkannya secara besar-besaran, kenapa Indonesia justru surut? Apakah Istana lebih tertarik pada energi birunya seorang Djoko yang tak pernah mau datang jika diundang oleh panel para pakar energi Indonesia?

Sekadar informasi saja, perusahaan otomotif Mitsubishi, misalnya, pada 2015, tak akan lagi membuat mobil bermesin diesel dengan bahan bakar solar. Mitsubishi hanya membuat mobil diesel berbahan bakar biofuel. Mitsubishi tampaknya ingin kembali ke khittah, bahwa mesin diesel pertama yang dibuat Christian Karl Diesel, 1893, di Jerman, memakai biofuel (baca: saat itu yang dipakai Diesel adalah minyak kedelai, kacang, dan jarak). Andaikan Indonesia fokus pada pengembangan minyak jarak, seperti fokusnya Soeharto pada pembangunan pertanian di awal-awal rezim Orde Baru, niscaya program diversifikasi energi sudah mulai kelihatan hasilnya. Sayang, rezim SBY sering tidak fokus dalam membuat kebijakannya. Kebijakan rezim SBY sering berubah-ubah di tengah jalan seperti kebijakan diversifikasi energi.

Dalam kebijakan konversi minyak tanah, misalnya, mula-mula batu bara akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah. Ketika orang-orang sudah mulai melirik batu bara dan para perajin sudah berkreasi membuat kompor batu bara yang aman dan murah, tiba-tiba kebijakannya berubah. Batu bara, katanya tidak aman, dan konversinya diganti dengan gas. Masyarakat kaget dan perajin kompor batu bara menangis, modalnya ludes dan harapannya buntu. Kini, masyarakat dipaksa memakai gas. Namun, ketika masyarakat mulai tertarik memakai gas, tiba-tiba tabung-tabung gas mulai menghilang di agen-agen. Sejumlah orang dengan sinis menyatakan, hilangnya tabung gas di agen-agen ini pertanda akan muncul kebijakan baru, yaitu kebijakan untuk memakai blue energy.

Barangkali, inilah "blue policy" pemerintahan SBY yang amat menjijikkan tapi indah dibayangkan! Bayangkan, seandainya temuan Djoko benar, Indonesia akan benar-benar swasembada energi. Langkanya minyak tanah, gas, dan kotornya batu bara hanya kisah usang di masa lalu. Dengan berhasilnya proyek blue energy, maka dunia masa depan benar-benar bagai impian. Krisis BBM adalah sejarah masa lalu. Kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan menjadi besi tua. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, dan Petronas akan bangkrut. Masyarakat dunia akan benar-benar berpesta dengan energi murah temuan Djoko.

Sayang, mimpi SBY tersebut kandas. Sama kandasnya dengan bayangan pemerintah yang akan menghemat subsidi BBM Rp 34,5 triliun dengan menaikkan harga minyak 28,7 persen. Menurut kajian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akibat kebijakan kenaikan harga BBM, pemerintah tidak hanya gagal menghemat anggaran Rp 34,5 triliun, tapi malah rugi Rp 45 triliun. Kerugian, menurut LIPI, berasal dari opportunity lost dari inflasi (Rp 10,5 triliun) karena membubungnya harga barang. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi juga turun karena pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sehingga potential lost-nya mencapai Rp 15,8 triliun. Selain itu, pemerintah harus menyediakan BLT Rp 14,1 triliun, beras untuk orang miskin Rp 4,2 triliun, dan kredit usaha kecil Rp 1 trliun. Dengan demikian, alih-alih pemerintah dapat menghemat subsidi BBM dengan menaikkan harga minyak, yang diperoleh justru sebaliknya: "subsidinya" menjadi Rp 45 triliun.

Tentu saja, pemerintah menolak hasil kajian LIPI tersebut. Pasalnya, LIPI mengkajinya berdasarkan metodologi ilmiah yang komprehensif, sedangkan metodologi kajian proyek BLT? Itulah kajian ekonomi model "blue politic". Meminjam kata-kata Amien Rais, proyek BLT basis ilmiahnya memang abu-abu. Unsur politiknya lebih kental ketimbang unsur ekonominya. Dengan kata lain, "blue politic" ini berkonotasi jorok secara ilmiah, tapi indah secara "seandainya". Maklumlah, blue politic ini penting karena mendekati pemilihan presiden! Siapa tahu orang miskin yang dikasih BLT akan memilihnya kembali untuk periode 2009-2014?


Source: http://www.korantempo.com/korantempo/2008/07/01/Opini/krn,20080701,66.id.ht

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...