Oleh: Girish Nanda
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) baru-baru ini menyebut, sepertiga pangan yang dihasilkan untuk konsumsi manusia (1,3 miliar ton per tahun) hilang atau sia-sia di seluruh penjuru bumi.
Di dunia, dengan kelangkaan pangan, bersamaan meningkatnya populasi, naiknya harga minyak, dan efek perubahan iklim, semuanya melambungkan harga pangan. Ini menjadi perhatian negara-negara maju maupun berkembang.
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, permasalahan kehilangan pangan khususnya terjadi di tahap pascapanen dan pengolahan. Kurangnya infrastruktur, gudang, dan fasilitas pendingin, serta keuangan, keahlian tata kelola, dan teknis dalam teknik panen semuanya menjadi faktor yang mendasari permasalahan kehilangan pangan ini.
Laporan FAO menunjukkan lebih dari 40 persen kehilangan pangan di negara-negara berkembang terjadi di tingkat pascapanen dan pengolahan.
Supermarket di Indonesia yang meroket, terutama setelah terbukanya pintu FDI (Foreign Direct Investment) di akhir 1990-an, merupakan penggerak utama rantai pasokan makanan.
Pengalaman perusahaaan-perusahaan asing, terutama dalam mengembangkan rantai pasokan yang maju di negara-negara Barat, telah terbukti berguna dan bermanfaat dalam kondisi Indonesia, jika diadaptasi dengan benar.
Sifat model bisnis supermarket bergantung pada tata kelola rantai pasokan yang efisien untuk menghantarkan pangan dengan harga terjangkau kepada konsumen.
Langkah maju terpenting dalam pengembangan FDI di sektor ini adalah perlunya penguatan infrastruktur di luar Pulau Jawa. Suatu kajian USAID di tahun 2007 menunjukkan biaya angkut dari Thailand ke Jakarta lebih murah daripada dari Sumatera Barat ke Jakarta.
Kualitas dan frekuensi angkutan dan biaya yang lebih tinggi adalah faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya pangan yang cocok bagi konsumsi manusia.
Penerapan efektif Rencana Induk MP3EI pemerintah yang diumumkan tahun ini penting untuk mendukung pertumbuhan sektor ini di daerah-daerah. Pembentukan keterhubungan infrastruktur di keenam koridor ekonomi di Indonesia adalah salah satu tujuan utama rencana induk yang baru ini.
Seiring dengan infrastruktur yang lebih baik, kebijakan juga harus didorong untuk meningkatkan investasi dalam teknologi dan jejaring rantai pasokan, yang pada gilirannya menjadikan investasi di daerah-daerah lebih menarik.
Selain tantangan ini, beberapa hambatan lainnya telah disebutkan sebagai penghalang bagi investasi asing lebih lanjut di sektor supermarket. Laporan PwC di tahun 2011 menyorot permasalahan tantangan regulasi dan juga kemampuan pemerintah setempat untuk menahan pembangunan outlet eceran modern, apabila outlet-outlet ini dianggap mengancam pasar tradisional.
Hal terakhir ini dianggap sebagai ancaman yang menyebabkan lingkungan operasi kurang transparan dan rentan terhadap manipulasi. Permasalahan-permasalahan ini tidaklah khas untuk sektor ini saja dan perlu disasar lebih lanjut oleh regulasi, serta kebijakan pemerintah, guna selanjutnya mendorong FDI.
Namun tantangan ini tidak hanya untuk meminimalkan kehilangan pangan yang dapat memiliki peranan besar untuk mengurangi dampak dari meningkatnya permintaan pangan. Pemerintah juga wajib memastikan pertumbuhan bersifat menyeluruh dan produsen setempat di sepanjang rantai pasokan tidak merugi, akibat meningkatnya ekspansi yang digerakkan FDI di sektor supermarket.
Supermarket kerap hanya mengambil barang dari pemasok terbesar guna memaksimalkan efisiensi, yang sering kali mampu memberikan kualitas yang lebih tinggi dan standar keamanan.
Selain munculnya globalisasi, supermarket tidak lagi dibatasi untuk membangun rantaian ke belakang (backward linkage) dalam rantai pasokan pangan, disebabkan kemudahan dan kemampuan untuk mengambil barang dari negara lain.
Kebijakan India
India, negara dengan permasalahan yang sama, sedang berada dalam proses pengenalan kebijakan yang khas, yang pada prinsipnya bertujuan menyasar kedua permasalahan ini.
Kebijakan ini, apabila diterapkan sepenuhnya, memungkinkan investasi langsung asing sampai 51 persen di eceran multimerek, yang akibatnya memungkinkan pengecer besar seperti Wal Mart memasuki jajaran terdepan bisnis supermarket.
Salah satu syarat penting kebijakan ini adalah investasi minimal US$ 100 juta, yang dibutuhkan untuk memasuki pasar India, sedikitnya separuhnya harus ditujukan untuk pengembangan rangkaian ke belakang.
Kebijakan ini juga menyatakan pengecer multimerek harus mengambil barang sedikitnya 30 persen dari industri kecil guna mendorong pertambahan nilai dan manufaktur setempat. Dampak potensial kebijakan serupa bagi Indonesia perlu diteliti lebih lanjut.
Cara lain untuk memberikan dampak positif kepada pemain setempat sambil menggerakkan pertumbuhan supermarket di Indonesia dan untuk menggalakkan investasi adalah mendesak perusahaan-perusahaan pangan terkemuka untuk mendukung sistem pasar dan infrastruktur pasar grosir.
Misalnya, di China, Kementerian Perdagangan meluncurkan “Program Pemutakhiran Pasar” yang menargetkan 100 pasar grosir terkemuka dan memasangkannya dengan 100 perusahaan pangan terkemuka.
Perusahaan-perusahaan ini akan berperan sebagai jangkar di pasar grosir dengan meningkatkan bangunan fisik dan logistik pasar grosir, sehingga menjadikannya lebih efisien untuk sektor eceran dan lebih dapat diakses petani.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa meminimalkan kehilangan pangan harus merupakan prioritas utama bagi pemerintah Indonesia, dan hal ini tidak dapat dicapai tanpa dukungan lebih lanjut dari sektor swasta.
Investasi asing adalah satu wahana yang dapat memberikan keahlian dan modal yang berharga demi tercapainya tujuan mengurangi kehilangan pangan, dan karena lebih banyak perusahaan yang berniat menggeser prioritas dan rencana-rencananya bagi pertumbuhan di wilayah Asia. Ini dapat memberikan sumbangan kepada ekonomi Asia dan juga Indonesia.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/supermarket-dan-ketahanan-pangan
Girish Nanda
*Penulis adalah Associate Consultant di Strategic Asia, perusahaan konsultan yang mempromosikan kerja sama di antara negara-negara Asia. Kontak Strategic Asia melalui www.strategic-asia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya