Oleh: Makmur Keliat
Salah satu tantangan besar yang akan menghadang Indonesia pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang terkait dengan persoalan penyerapan tenaga kerja. Angka statistik yang dikemukakan BPS memang menunjukkan terdapat kecenderungan dalam penurunan tingkat pengangguran terbuka.
Diperkirakan, hingga Agustus 2011 terdapat sekitar 7,8 juta yang tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan, setahun sebelumnya (Agustus 2010) berada di angka sebesar 8,3 juta dan dua tahun sebelumnya (Agustus 2009) sebesar 9 juta.Kecenderungan initentusajaharusdipandangpositif. Namun harus pula dicatat, tingkat pengangguran yang rendah ini tidak memasukkan angka orang-orang yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu yang disebut dengan pengangguran setengah terbuka.
Jika kategori pengangguran setengah terbuka ini dimasukkan maka jumlah orang yang tidak memiliki pekerjaan akan bertambah setidaknya hampir empat kali lipat. Secara kuantitatif, peran sektor negara memang sejak awal tidak pernah dapat diharapkan untuk mengatasi secara substansial masalah puluhan juta orang yang tidak bekerja ini.Lihat misalnya angka-angka yang dikeluarkan oleh Badan KepegawaianNegara.
Totaljumlah seluruh pegawai negeri di Indonesia diperkirakan berada di kisaran angka 4,6 juta jiwa. Namun masalah penyerapan tenaga kerja ini menjadi semakin serius ketika pemerintah bahkan menerapkan kebijakan zero growth di sektor negara. Dengan kebijakan seperti ini, hampir dapat dipastikan peran pihak swasta akan menjadi sangat vital dalam penyerapan tenaga kerja.
Tidak hanya tingkat kompetisi di antara para pencari kerja (job seekers) akan semakin meningkat, tetapi kebijakan seperti ini juga akan mengakibatkan sektor negara sebagai salah satu saluran untuk ikut membantu mengatasi persoalan tenaga kerja sementara waktu berhenti atau tidak akan dapat diandalkan.
Dilema Pekerja
Disebut sebagai ujung tombak karena kebijakan zero growth itu memaksa para pencari kerja untuk masuk ke pasar tenaga kerja di sektor swasta. Situasi ini tampaknya bukan berita yang menyenangkan bagi pencari kerja khususnya lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun diperkirakan membanjiri pasar tenaga kerja sekitar 300.000 jiwa.
Tingkat frustrasi sosial dari kelompok ini mungkin akan semakin tinggi.Berbeda dengan pencari kerja tidak terdidik dengan latar belakang pendidikan yang sangat minim, kelompok ini tidak mungkin diharapkan mengikuti karakter utama dari mayoritas pekerja migran yang berangkat ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan kawasanTimurTengah.
Namun sebaliknya, situasi ini tentu saja akan sangat menyenangkan bagi para investor domestik maupun asing. Kebijakan zero growth akan memberikan daya tawar yang lebih besar bagi sektor swasta vis-avis para pencari kerja. Sistem kontrak dan outsourcing akan menjadi jauh lebih mudah dilakukan ketika para pencari kerjatidakmemilikipilihanlain dan ketika sektor negara telah menutup pintu dan tidak peduli terhadap nasib dari para pencari kerja.
Terlebih lagi Indonesia belum memiliki tradisi yang kuat untuk melembagakan konsep negara kesejahteraan yang melindungi dan memberikan tunjangan bagi warga negara yang tidak bekerja. UU BPJS sendiri, yang tahun lalu disetujui oleh DPR, belum dapat diberlakukan tahun ini.
Dampak
Apakah dampak politiknya bagi Indonesia? Salah satu dampak dari kebijakan zero growth adalah semakin jauhnya negeri ini dari amanat konstitusi. Bunyi Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” terdengar semakin sayup.
Bunyi pasal ini masih tampak hanya sebagai dokumen tanpa makna.Dalam situasi seperti ini sukar untuk berharap bahwa para penganggur akan memiliki dan memberikan loyalitas yang tinggi bagi kelangsungan hidup negara. Dampak lain adalah pada tingkat psikologis massa.Besarnya angka pengangguran dan susahnya mencari pekerjaan tetap yang melindungi martabat pekerja mengingatkan penulis akan ucapan Soekarno di masa lalu tentang bahaya “menjadi bangsa kuli”dan menjadi “kuli di antara bangsa-bangsa”.
Situasinya bahkan menjadi jauh lebih serius. Kompetisi yang semakin meningkat di pasar tenaga kerja dan tidak adanya mekanisme dari negara yang dapat memaksa sektor swasta untuk menghormati amanat konstitusional Pasal 28 D ayat 2 setidaknya menyampaikan pesan bahwa untuk menjadi bangsa kulipun idaklahmudah. Tentu saja ada yang masih berharap pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan berada di angka sekitar 6% dapat mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja ini.
Namun, tanpa adanya daya paksa dari negara terhadap kalangan bisnis besar, tidak ada seorang yang dapat menjamin bahwa tingkat pertumbuhan itu akan mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja tersebut. Dampak lain adalah pada tataran budaya politik. Tidak adanya pekerjaan (baik dalam pengertian pengangguran terbuka maupun setengah terbuka) akan menjadi lahan yang subur untuk mewujudkan praktik- praktik komunalisme politik (politicalcommunalism).
Ciri-ciri darikomunalismepolitikiniadalah kuatnya jaringan patronase di antara elite politik dengan massa melalui ikatan kultural, agama,dan kedaerahan. Lemahnya peran negara dalam memberikan jaminan lapangan kerja sedikit banyak telah mengakibatkan menguatnya peran jaringan patronase elite politik sebagai welfare providerbagi warga negara yang pengangguran maupun yang setengah menganggur.
Orangorang yang tidak bekerja ini akan sangat mudah digerakkan oleh elite politik untuk melakukan tekanan-tekanan ekstra parlementer, baik berupa demonstrasi maupun konflik kekerasan lain dengan insentif yang terbatas. Ringkasnya, tidak akan ada keajaiban pada 2012 ini.Hampir bisa dipastikan bahwa sepanjang tahun 2012 bangsa Indonesia masih akan terus semakin bergulat dengan persoalan meloloskan diri dari jebakan“bangsa kuli”dan“kuli di antara bangsa-bangsa”!
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/456998/44/
MAKMUR KELIAT
Pengajar di FISIP
Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya