Bahaya tersembunyi krisis pangan mendorong DPR mempercepat revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Revisi juga didorong oleh isi UU Pangan yang dinilai out of date: hanya mengatur soalsoal ”teknis pangan”,sanksi ringan, dan tidak sesuai otonomi daerah.
Dibandingkan dengan UU No 7/1996, RUU Pangan inisiatif DPR lebih kental nuansa politik.Tiga paradigma politik pangan yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan masuk dalam RUU Pangan.Kedaulatan pangan bahkan ditempatkan paling depan. Sayangnya, paradigma ini hanya aksesori.Jiwa RUU Pangan justru kental aroma liberalisasi.
Liberalisasi
“Jiwa” liberalisasi setidaknya bisa ditemukan dalam dua hal: liberalisasi dan desentralisasi. Berbeda dengan UU No 7/1996, RUU Pangan tergolong liberal. Di UU lama cadangan pangan terdiri atas cadangan pangan nasional dan cadangan pangan masyarakat. Pengelolaan sepenuhnya ada di pemerintah pusat. Peran swasta bahkan sama sekali tidak dibuka. Di RUU Pangan peran swasta dalam pengelolaan cadangan pangan pemerintah dibuka lebar.
Dalam Pasal 33 RUU Pangan disebutkan: “Pemerintah dan/atau pemda dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan pangan tertentu yang bersifat pokok”. Tanpa aturan ketat membuka peran swasta berpotensi menciptakan spekulan dan mematikan petani kecil.
Membuka peran swasta dalam pengelolaan stok pangan nasional bertentangan dengan kewajiban negara (baca: pemerintah) untuk menjaga stabilitas harga pangan agar tetap terjangkau rakyat.Sejarah mengajarkan, instabilitas harga pangan selalu berulang tiap tahun. Kegagalan menstabilkan harga pangan membuat negara menjadi terdakwa.
Membuka peran swasta dalam pengelolaan cadangan pangan bisa dianggap muslihat negara berkelit dari tanggung jawab.Karena itu,peran swasta seharusnya tidak berdiri bebas seperti dalam pasar bersaing sempurna. Akan tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan yang terjangkau dan kesejahteraan petani. Sayangnya, pengaturan itu tidak ada.
“Jiwa” liberal semakin terasa ketika sumber penyediaan pangan menyetarakan antara produksi dalam negeri dan pangan dari impor (Pasal 15). Meskipun ada klausul yang harus mengutamakan produksi dan cadangan dalam negeri, penyetaraan itu membuat posisi produksi dalam negeri jadi sekunder.Apalagi, dari 146 pasal RUU Pangan tidak satu pun yang mengharuskan pembelian pangan produksi dalam negeri saat panen raya untuk memperkuat cadangan pangan.
Kealpaan ini akan menciptakan instabilitas harga. Seharusnya sistem produksi dan cadangan diatur dalam pasal berbeda.Terkait impor, semestinya itu langkah terakhir seperti fungsi bank sentral sebagai benteng pertahanan terakhir (the lender of the last resort) sistem perbankan. Impor pun hanya bisa dilakukan dengan syarat yang superketat.
Desentralisasi Salah Arah
Dari keseluruhan pasal-pasal RUU Pangan,“jiwa”desentralisasi atau penyerahan kewenangan ke daerah (provinsi/ kabupaten/kota) amat terasa. Seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam perencanaan produksi,konsumsi,ekspor-impor, distribusi hingga cadangan, dan riset.Jiwa RUU Pangan yang ingin menyelaraskan dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah patut diapresiasi.
Semangat desentralisasi itu dilandasi oleh alasan mulia. Pertanyaannya, tepatkah menyerahkan kewenangan pangan itu sepenuhnya kepada daerah? Apakah kebijakan pangan nasional merupakan penjumlahan kebijakan masingmasing daerah otonom? Atau sebaliknya, kebijakan pangan dirancang secara agregat dan pelaksanaannya diserasikan dengan kepentingan daerah? Bagaimana nasib orang miskin yang kini masih dominan, baik di desa maupun di kota?
Apakah nanti tidak akan muncul egoisme wilayah yang surplus pangan terhadap daerah minus pangan? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mendesak untuk dijawab jika insiden rawan pangan di daerah tak ingin terjadi. Kebijakan pangan seharusnya merupakan prioritas kebijakan nasional seperti yang dilakukan di semua negara, termasuk negara-negara maju.Di saat negara-negara di dunia memperkuat peran negara (baca: pemerintah pusat) dalam kebijakan pangan,
RUU Pangan justru menceraiberaikannya dengan dalih desentralisasi dan otonomi. Ada tiga alasan mengapa kebijakan ketahanan pangan harus menjadi otoritas pemerintah pusat. Pertama, pemerintah daerah merasa bagian dana yang diterima dari pusat masih kurang untuk belanja pemda dan membiayai pembangunan.Tidak heran jika pemda kini lebih banyak memberi perhatian kepada upaya meningkatkan PAD dan memberi prioritas rendah untuk memberdayakan masyarakat miskin,
mengentaskan kemiskinan, dan memperkokoh ketahanan pangan daerah. Kedua, untuk melaksanakan otonomi daerah,hampir semua daerah di luar Jawa menghadapi problem lemahnya SDM dan ketersediaan infrastruktur dasar. Ketiga, sungai, sistem pengairan, dan fasilitas irigasi selalu bersifat lintas wilayah.Keberhasilan penelitian pertanian juga bersifat lintas geografis, lintas peneliti dan penyuluh pertanian. Jika karena otonomi harus dipilah-pilah per kabupaten/ kota, bisa dipastikan biayanya tinggi.
Terakhir, RUU Pangan ini sepertinya terjangkiti kecenderungan bahwa UU baru harus melahirkan badan/lembaga/ komisi baru.Ada banyak badan/ lembaga/komisi yang dibentuk dari mandat sebuah UU. Sejauh mana efektivitas dan kinerja badan/lembaga/ komisi baru itu masih menjadi tanda tanya besar? Pertanyaan serupa bisa diajukan pada rencana pembentukan Badan Otoritas Pangan berikut kewenangannya (Pasal 113-117).
Badan Otoritas Pangan berada di bawah presiden dan diskenariokan menggantikan fungsi-fungsi yang melekat di pemerintahan seperti di sejumlah kementerian dan Bulog. Pertanyaannya, setelah badan ini dibentuk, apa tugas lembaga yang digantikan? Bagaimana SDM badan ini? Akankah badan ini efektif? Saya pesimistis.
Jika bentuknya badan, jangankan mengoordinasikan menteri, menggerakkan eselon I saja amat sulit.Akhirnya, badan ini pun lumpuh.Karena itu, akan lebih baik mengoptimalkan lembaga-lembaga yang sudah ada. Mudah-mudahan catatan kecil ini bisa memberi inspirasi untuk memformulasikan kembali RUU Pangan yang lebih baik.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/457470/
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya