Oleh: Radhar Panca Dahana
Beberapa hari lalu Kementerian Kesehatan memberi peringatan: terjadinya kesalahan dalam sebagian besar pemberian resep oleh dokter telah meningkatkan risiko penyakit di kalangan pasien karena meningkatnya imunitas bakteri atau virus.
Ternyata, baik sebagai konsekuensi logis maupun dalam pengertian alegoris, kenyataan medis di atas juga berlaku pada kondisi mental dan kultural bangsa ini. Sebagian besar dari kita, terutama kalangan elite pengambil keputusan, belakangan ini kian imun alias kebal-bebal—nurani dan akalnya—atas apa yang terjadi di sekeliling hidup dan profesinya.
Resep cara menata negara dan bangsa itu kadang begitu aktif dan agresif kita beli sendiri, tanpa perlu resep yang sudah keliru itu, ke apotek yang bertebaran di banyak negara maju dan lembaga keuangan/politik internasional. Akibatnya, imunitas pada realitas mutakhir pada kenyataan sesungguhnya dari tubuh bangsa ini tak terbaca. Intuisi, perasaan, dan akal kita tak lagi mampu ”membaca” tubuh, dan sebaliknya. Di situ penyakit jadi kronis dan sulit disembuhkan.
Itulah yang terjadi pada sejumlah kejadian dan isu mutakhir yang belakangan menguasai ruang utama media massa kita. Imbauan, kritik, dan sarkasme—juga dakwaan—tak didengar. Jeritan, tangisan, kematian, penderitaan, frustrasi, serta apatisme masyarakat tak melahirkan simpati dan empati. Akal sehat mungkin tidak hilang, tetapi imunitas kuman peradaban dan kebudayaan menutupi itu semua. Kebudayaan kumanlah yang kini menguasai dan jadi sumber identitas jati diri kita.
Karena itu, saya mencoba menggunakan bahasa hamba sahaya, bahasa kawula atau wong cilik, bahasa Gareng atau Petruk, yang semoga dengan kekuatan vos dei-nya mampu mengguncang akal dan nurani mereka: para penentu kebijakan negeri ini. Saya tidak punya diksi lain, dalam daya literer apa pun, kecuali ”Saya mohon ampun, bapak yang di atas.”
Berbagai ampun
Saya mohon ampun kepada Gubernur DKI Jakarta dan para produsen sepeda motor karena jumlah sepeda motor yang sudah melebihi jumlah penduduknya adalah kenyataan yang sudah ”sangat-terlalu-keterlaluan”. Saya melihat kendaraan roda dua itu sudah seperti monster, bencana yang menggiriskan. Alirannya yang tak henti seperti air bah tsunami di semua ruas jalan Jakarta. Ia seperti (maaf) kecoa yang berlalu lalang dengan arah, gaya, dan cara semau sendiri, seperti (maaf lagi) ulat bulu yang kini menyerang Pulau Jawa.
Tentu saya tidak sedang menyalahkan pemilik sepeda motor walau perilaku sebagian dari mereka nyaris tanpa kesantunan di jalan raya. Pemilik sepeda motor dan kita semua hanya korban nafsu profit produsennya, dari kikuk dan pengecutnya gubernur, dan dari nafsu menteri-menteri terkait yang lebih memerhatikan indikator pertumbuhan ekonomi dan bebal terhadap hajat hidup rakyatnya sendiri.
Saya mohon ampun kepada para peternak usaha ritel, Menteri Perdagangan, atau pejabat lokal yang mengizinkannya. Peternak dan pengusaha berkapital raksasa itu telah menyerang hingga sudut-sudut terpencil dari tubuh kita, membunuh warung-warung, toko kelontong, dan pengecer yang selama ini jadi basis pertahanan kesehatan tubuh (ekonomi) kita.
Kepada para pengelola televisi publik, saya mohon ampun untuk program-program yang mengeksploitasi nafsu rendah, apresiasi yang memiskinkan, serta berita-berita sensasional dan penuh kekerasan yang mengganggu akal sehat dan kemampuan kita dalam menghayati dan memahami hidup ini. Mohon ampun untuk acara-acara hiburan yang menampilkan pembawa acara pria dengan tingkah laku kewanitaan yang cukup ekstrem, tidak hanya dalam bahasa tubuh, mimik muka, suara, logat bicara, tetapi juga tata rias dan busananya. Ampun karena (bukan hanya) anak-anak kita mengalami kerancuan dan kekacauan pada cara memahami realitas alamiah kemanusiaannya, meniru, serta kehilangan orientasi sosialitasnya hingga pengembangan karakter dan jati dirinya.
Saya mohon ampun dengan sangat atas kian meruyak dan mendalamnya penyimpangan hukum oleh aparat hukum sendiri. Kepada kepala kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, mohon ampuni saya yang lemah menghadapi hukum yang Anda atau aparat Anda permainkan, selewengkan, bahkan hinakan, jadi komoditas yang bebas transaksi, keadilan yang berpihak, serta ketidakpastian yang mencemaskan dan mengancam kebebasan.
Kata apa lagi yang bermakna pada Anda kecuali ampunan, wahai para wakil rakyat yang terus-menerus menafikan, meninggalkan, bahkan mengkhianati rakyat?
Apa tiada kata lagi yang menyentuh hati terdalam Anda kecuali ampun ketika Anda terus meminta rakyat memeras keringat—bahkan darah—untuk kemewahan yang Anda inginkan? Dan Anda persetankan pendapat rakyat untuk itu? Wahai para pemutus kebijakan, jangan biarkan diri Anda beku, mati, dan jadi zombi dalam peradaban ini.
Jangan biarkan tangan-tangan lain mengatur Anda, juga negeri dan rakyat Anda ini. Ampuni saya untuk meminta Anda ikut mengusir dan menghukum seberat-beratnya mereka yang telah merampok kekayaan alam, kebudayaan, dan hati nurani bangsa ini.
Ampun, saya mohon ampun, hentikan semua itu. Tentu saja jika kata—yang sudah begini rendahnya—ini masih bisa menyentuh kesadaran terdalam Anda bahwa Anda adalah orang Indonesia.
Tiada ampun bagimu
Adab yang berkembang dewasa ini adalah adab yang bermuka dua, hipokrit, palsu, dan menipu. Keterbukaan informasi yang didukung teknologi mutakhir mungkin membuka mata, telinga, dan pikiran kita pada data dalam jumlah tak tepermanai. Namun, pada saat bersamaan, ketika perangkat rasional kita yang tradisional itu gugup dan gagap dengan tsunami data itu, mereka yang berkuasa (atas modal dan data) justru menyembunyikan data terpenting: realitas (dari kepentingan) mereka.
Maka, bukan persoalan keserakahan kekuasaan yang jadi sebab pergolakan di Timur Tengah saat ini, juga di Uni Soviet, Balkan, atau bagian dunia lain sebelumnya. Namun, lebih pada nafsu keserakahan kekuasaan (modal dan politik) sebagian negara maju yang jadi penyebab (tersembunyi) utamanya.
Karena itu, sebenarnya juga bukan nafsu kekuasaan yang mencemaskan kita dari perilaku para elite negeri ini. Yang lebih menggiriskan adalah mereka yang—tidak sadar dan sangat sadar—justru jadi agen, kaki tangan, atau komprador dari keserakahan modal-politik negara maju di atas. Sebab, dengan itu, para elite negeri ini jadi imun atau mengimunkan diri, bahkan menyebarluaskan virus itu kepada publik. Mereka menciptakan korban, bukan hanya rakyat, melainkan juga sejarah dan peradaban negeri mereka sendiri.
Pada titik seperti itu, ketika kekuatan dan kekuasaan mereka secara formal-sistemis sudah tak tersentuh, imbauan moral dari diksi yang paling rendah, bahkan hina, kita coba ungkapkan: ”Maaf Tuan, saya mohon ampun!”
Jika itu pun tak melumerkan kekebalan dan kebebalan itu, saya kira bukan lagi mereka—para elite pengambil kebijakan—tetapi rakyat pemilik negeri dan bangsa inilah yang dapat lantang mengucapkan kata-kata pamungkas ini: ”No mercy!”
Radhar Panca Dahana Budayawan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/04/20/03391130/Saya.Mohon.Ampun