Kamis, 05 Maret 2009

Terjebak dalam "Kawasan Stagnasi dan Regresi"

Oleh: Limas Sutanto



BANGSA Indonesia ingin bertumbuh kembang. Hamparan warga bangsa itu ingin negeri mereka tidak kian hancur oleh korupsi dan setiap varian kekerasan lain. Maka 16 organisasi nonpemerintah meminta Kejaksaan Agung menetapkan Ketua DPR Akbar Tandjung sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana nonbudgeter Bulog; dan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, akan memanggil para pejabat militer atau mantan pejabat militer yang memiliki tanggung jawab komando dalam kaitan dengan kasus-kasus itu. (Kompas, 27/11)
Sesungguhnya warta dan peristiwa semacam itu sudah banyak terpampang di masa lampau, kendati kemudian efeknya seperti tiada. Namun, semua peristiwa perlawanan hamparan warga bangsa Indonesia terhadap korupsi dan setiap varian kekerasan lainnya, boleh diapresiasi sebagai bukti-bukti keinginan bangsa Indonesia untuk bertumbuh kembang dan menghentikan penghancuran negeri ini.

***

SECARA mendasar boleh dilihat hakikat setiap kekerasan sebagai proses penghambatan atau penghentian tumbuh-kembang kemanusiaan biopsikososiospiritual, secara paksa dan tidak alamiah. Pembunuhan dengan bedil atau parang adalah suatu wujud kekerasan, karena peristiwa itu menghentikan tumbuh kembang kemanusiaan biopsikososiospiritual secara paksa dan tidak alamiah.

Kekerasan seperti itu boleh dipandang sebagai wujud "kekerasan kasar dan terbuka" (overt and crude violence), yang bisa dengan gampang dipersepsi pancaindera insani. Korupsi pun boleh dipandang secara mendasar sebagai suatu wujud kekerasan. Namun, ia bukanlah suatu wujud kekerasan kasar dan terbuka, melainkan suatu wujud "kekerasan halus dan tertutup" (covert and insidious violence).

Kendati kekerasan halus dan tertutup seperti korupsi itu sulit dipersepsi panca indera insani, namun setiap praktik kekerasan halus dan tertutup sungguh berefek menghambat, bahkan bisa menghentikan, proses tumbuh kembang kemanusiaan biopsikososiospiritual secara paksa dan tidak alamiah. Kerugian-kerugian material yang direbakkan oleh praktik korupsi niscaya ditanggung oleh hamparan warga bangsa yang tidak bersalah.

Warga yang tidak bersalah mengalami pemiskinan. Dan pemiskinan sungguh ikut menghambat, bahkan bisa ikut menghentikan, proses tumbuh kembang kemanusiaan biopsikososiospiritual. Pada titik ini dapat disadari, betapa korupsi sungguh-sungguh suatu wujud kekerasan. Ia adalah suatu wujud kekerasan halus dan tertutup, yang tidak kalah merusak ketimbang kekerasan kasar dan terbuka.

Pada bentang psikodinamika terlihat betapa bangsa Indonesia selalu memiliki keinginan untuk bertumbuh kembang dengan melawan korupsi dan setiap varian kekerasan. Tidak jarang terlihat, keinginan itu sedemikian menggebu, menguat, bahkan ditandai episode-episode sorak-sorai demonstrasi gempita yang ditimpali pendapat dan analisis "pakar" serta pengamat.

Semua itu sempat menjadikan sebagian rakyat Indonesia dilanda alunan pengharapan terhadap perbaikan proses tumbuh kembang bangsa mereka. Namun, perjalanan keinginan untuk bertumbuh kembang itu selalu pula ditandai pemuncakan kecemasan toksik (toxic anxiety), yaitu kecemasan tidak alamiah, nonrealistik, berlebih, yang sungguh berefek melumpuhkan.

Kecemasan toksik direbakkan dan dieskalasikan oleh setiap upaya mengubur kesalahan masa lampau, dosa masa lampau, dan tiap upaya mengubur kecemasan alamiah (natural anxiety) yang terhampar sepanjang perjalanan traumatik sejarah bangsa Indonesia. Akumulasi kecemasan toksik membentuk kekuatan digdaya penghambat tumbuh kembang, yang oleh psikoterapis Robert Gerzon (1997) disebut wall of toxic anxiety ("tembok kecemasan toksik"), dalam khazanah jiwa kolektif bangsa Indonesia.

Ketika perjalanan pengejawantahan keinginan untuk bertumbuh kembang membentur tembok kecemasan toksik, sirnalah mayoritas keinginan itu, dan perjalanan pun mengalami perbalikan arah, tidak lagi tertuju ke perlawanan terhadap korupsi dan setiap varian kekerasan. Justru perbalikan arah perjalanan itu membawa bangsa Indonesia ke ajang kehidupan yang bersifat merusak diri sendiri (self-destructive) dan memurukkan diri sendiri (self-defeating).

***

DI tengah ajang kehidupan itu, di sana-sini hamparan warga bangsa Indonesia melakukan tindak kekerasan kasar dan terbuka maupun tindak kekerasan halus dan tertutup yang berbuncah dalam pelbagai pengacauan, perusakan harta benda, pembunuhan, character assassination, pengeboman, dan teror terhadap bangsa mereka sendiri. Bahkan di sana mereka melanjutkan praktik korupsi dan berbagai varian kekerasan lainnya, baik yang bersifat kasar dan terbuka maupun yang bersifat halus dan tertutup.

Perjalanan yang bersifat merusak diri-sendiri dan memurukkan diri-sendiri itu tentu di sana-sini secara alamiah ditebari rasa bersalah, rasa berdosa, rasa jijik, rasa takut, rasa tidak patut, rasa muak, rasa canggung, rasa putus asa, yang akan berakumulasi terus sepanjang perjalanan tersebut.

Tak pelak, pada suatu saat akumulasi itu memuncak dalam suatu penghayatan nuansa (corak-corak) depresi (keterpurukan jiwani) yang meniscayakan munculnya kembali keinginan untuk mengakhiri semua praktik yang bersifat self-destructive dan self-defeating, sekaligus meniscayakan munculnya kembali keinginan untuk bertumbuh kembang, melawan korupsi, dan melawan setiap varian kekerasan.

Akumulasi semua perasaan bernuansa depresif itu menjelmakan kekuatan digdaya penghambat pembaruan yang oleh Robert Gerzon disebut wall of depression ("dinding depresi"), dalam khazanah jiwa kolektif bangsa Indonesia. Ketika perjalanan yang bersifat self-destructive dan self-defeating membentur tembok depresi, perjalanan kembali mengalami perbalikan arah.

Pada saat itu, hamparan warga bangsa Indonesia kembali meraih keinginan untuk bertumbuh kembang, melawan korupsi, dan melawan setiap varian kekerasan. Mereka pun mengejawantahkan semua keinginan dalam berbagai aksi, pernyataan sikap, bahkan demonstrasi yang lantang. Namun nanti, perjalanan tumbuh kembang itu pun akan membentur tembok kecemasan toksik, karena tembok kecemasan toksik masih bersarang kukuh dalam khazanah jiwa kolektif bangsa Indonesia.

Begitulah, perjalanan hidup bangsa Indonesia sungguh cuma berputar-putar di antara dua tembok penghambat, tembok kecemasan toksik dan tembok depresi. Saya menyebut ruang yang terangkum di antara kedua tembok patologis itu "kawasan stagnasi-dan-regresi", untuk menegaskan betapa di dalam kawasan (zona) itu bangsa Indonesia sungguh mengalami kemandekan (stagnasi) sekaligus kemunduruan (regresi), dan di tengah kemandekan bangsa Indonesia terus-menerus merusak diri sendiri serta memurukkan diri sendiri.

***

KINI bangsa Indonesia terjebak dalam "kawasan stagnasi-dan-regresi". Niscaya mereka keluar dari kawasan itu, untuk sungguh meraih pembaruan (rejuvenation), dan untuk sungguh mengalami tumbuh kembang (growth and development).

Namun, itu berarti bangsa Indonesia niscaya menjebol (breakthrough) tembok kecemasan toksik dan tembok depresi. Menjebol tembok kecemasan toksik berarti membongkar akumulasi kesalahan masa lampau, dosa masa lampau, dan kecemasan alamiah yang berakumulasi sepanjang sejarah traumatik bangsa Indonesia. Sedangkan menjebol tembok depresi berarti menghentikan semua praktik dan perilaku yang bersifat merusak diri sendiri dan memurukkan diri sendiri, semisal praktek pengeboman, teror, pembunuhan, pengacauan, character assassination, perusakan harta benda, dan sebagainya.

Pada titik ini dapat disadari, betapa bangsa Indonesia sungguh amat membutuhkan korps penegak hukum dan keadilan yang benar-benar jujur, andal, dapat dipercaya, piawai, berani, adil, dan benar. Korps itu niscaya menjebol tembok kecemasan toksik dan tembok depresi yang memerangkap bangsa Indonesia dalam "kawasan stagnasi-dan-regresi", dengan sungguh-sungguh menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran atas hamparan kesalahan masa lampau, dosa masa lampau, dan kecemasan yang terjadi sepanjang sejarah traumatik bangsa Indonesia. Korps itu niscaya pula menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran atas semua praktek self-destructive dan self-defeating yang kian merusak bangsa Indonesia.

Bisakah bangsa Indonesia menjebol tembok kecemasan toksik dan tembok depresi? Pertanyaan ini niscaya (tidak bisa tidak) dijawab dengan kata, "Bisa!" Sebab, jika bangsa Indonesia tidak bisa menjebol kedua tembok patologis itu, mereka akan sungguh ada dalam stagnasi-dan-regresi, dan hakikat stagnasi-dan-regresi adalah penghancuran yang amat mengerikan.

Pemerintah dan rakyat niscaya bertindak mewujudnyatakan korps penegak hukum dan keadilan yang benar-benar jujur, andal, dapat dipercaya, piawai, berani, adil, dan benar. Itulah prioritas tertinggi bangsa Indonesia kini!

* Limas Sutanto, psikiater, tinggal di Malang.
Artikel ini pernah dimuat di harian kompas,Sabtu 12 Januari 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...