Oleh: Eramuslim.net
Krisis finansial yang terjadi saat ini bukanlah hal yang mengagetkan dan datang secara tiba-tiba. Tim Indonesia Bangkit (TIB) telah mengingatkannya berulangkali akan bahayanya financial bubbles. ECONIT pada awal Januari 2008 ini dalam paparan ECONIT “Economics Outlook 2008” menyebutkan bahwa tahun 2008 sebagai The Year of The Bubbles (tahun gelembung) yang dapat pecah sewaktu-waktu bila pemerintah tidak mengantisipasi peningkatan gelembung finansial yang semakin meng-khawatirkan tersebut.
Sebagai contoh pada awal Januari 2008, jumlah emiten yang mencatat PER di atas 50 kali mencapai 51 emiten, 26 emiten di antara-nya memiliki PER di atas 100 kali dan bahkan 11 emiten diantaranya memiliki PER lebih dari 300 kali. Peningkatan harga saham yang jauh melebihi kinerja fundamental tersebut merupakan gejala balon finansial.
Dalam paparan ECONIT “Economics Outlook 2008” tersebut disebutkan bahwa pada tahun 2008 kemungkinan resesi di Amerika semakin tinggi, dipicu oleh kelemahan struktural ekonomi Amerika dalam bentuk defisit neraca perdagangan (US$ 850 miliar), defisit transaksi berjalan (6 persen GDP), dan ancaman inflasi energi. Koreksi, bahkan kemungkinan resesi, ekonomi Amerika akan punya dampak luas terhadap ekonomi Indonesia yang tengah mengalami peningkatan gelembung di sektor finansial termasuk bursa dan kredit konsumsi.
Sayangnya, menurut TIB, peringatan tersebut tidak diantisipasi oleh pemerintah. Menko Perekonomian Boediono malah membantah kemungkinan pecahnya gelembung finansial tersebut. Demikian juga Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Rizal Ramli mengada-ada dan sekedar mencari popularitas. “Akibat kesombongan dan percaya diri yang berlebihan dari menteri-menteri ekonomi SBY tersebut, pemerintah merasa terlalu percaya diri dan tidak melakukan langkah-langkah antisipatif untuk memperkuat ekonomi nasional,” tulis TIB.
Namun demikian, ketika prediksi pecahnya gelembung finansial tersebut benar-benar terjadi, pemerintah langsung panik dengan melakukan tutup-buka-tutup-buka di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kebijakan tutup-buka-tutup-buka (TB-TB) tersebut, semakin menimbulkan kepanikan di kalangan bisnis. Kebijakan TBTB tersebut mempunyai dampak psikologis yang dapat lebih berbahaya.
Financial Bubble & Statements Bubble
Tim Indonesia Bangkit melihat, peningkatan kinerja makroekonomi Indonesia selama 4 tahun pemerintahan SBY seperti pertumbuhan ekonomi, nera-ca pembayaran dan cadangan devisa, lebih banyak ditopang oleh peningkatan ekspor yang dipicu oleh kenaikan harga komoditas di pasar dunia dan peningkatan aliran masuk modal spekulatif (hot money).
Dijelaskan selama 2006-2008, cadangan devisa Indonesia meningkat dramatis dari sekitar US$ 35 miliar pada akhir 2005 menjadi sekitar US$ 57 milyar pada akhir 2007 dan US$ 60,5 milyar pada akhir Juli 2008. Namun demikian, kata TIB, peningkatan cadangan devisa tersebut ternyata tidak didukung oleh peningkatan produktivitas dan daya saing ekspor (export competitiveness) maupun peningkatan aliran investasi langsung. “Peningkatan cadangan devisa lebih banyak disebabkan oleh kenaikan ekspor akibat melonjaknya harga internasional komoditas pertambangan dan perke-bunan (price driven export growth). Dari komposisi produk penyumbang ekspor, jelas terlihat bahwa kenaikan ekspor lebih banyak disumbang oleh kenaikan harga ekspor komoditi primer seperti nikel, tembaga, batu bara, CPO, dll,” jelas TIB.
Menurut TIB, kinerja ekonomi yang lebih banyak ditopang oleh peningkatan ekspor dari kenaikan harga komoditas di pasar dunia dan peningkatan aliran masuk modal spekulatif (hot money) telah mendorong kenaikan harga saham sangat tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sektor properti komersial. Indeks Harga Saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meningkat dramatis. Pada tahun 2007, kenaikannya mencapai 52 persen. Peningkatan indeks harga saham seba-gian disebabkan oleh tingginya harga komoditas internasional (25-30 persen nilai bursa) yang mendorong peningkatan keuntungan pada emiten perkebunan dan pertambangan. Investor bahkan tidak lagi mengindahkan kondisi fundamental dari emiten-emiten yang ada di BEI.
Secara cepat dan pasti, sejak tahun 2007 mulai terbentuk balon finansial (financial bubble) yang semakin mengge-lembung pada tahun 2008 seperti di pasar modal, kredit konsumsi, seperti kredit sepeda motor, kartu kredit, properti komersial, mulai terbentuk gejala sejenis subprime lending. Aliran modal speku-latif telah menggelembungkan nilai aset finansial dan memperkuat nilai tukar rupiah. Namun demikian, ketika terjadi arus balik seperti yang terjadi pada bulan Oktober 2008 ini, nilai aset finansial dan nilai tukar rupiah terperosok cukup signifikan.
Di sisi lain, kenaikan nilai aset finan-sial yang sangat tinggi justru memper-lambat perkembangan sektor riil. Sebab, jika tingkat return di sektor finansial jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat return di sektor riil, pemilik modal akan cenderung melakukan investasi di sektor finansial dibandingkan sektor riil. Akibatnya, kesenjangan antara sektor finansial dengan sektor riil semakin melebar. Sektor finansial terus meng-gelembung, sementara sektor riil semakin terpuruk, sehingga terjadi missing link antara perkembangan sektor finansial dan sektor riil.
Statements Bubble
Kinerja ekonomi makro yang seolah “kuat” karena ditopang oleh faktor eksternal, yaitu hanya komoditas, finan-cial bubbles malah diklaim sebagai keberhasilan pemerintah. Padahal menurut TIB, selama ini pemerintah berulangkali mengeluarkan publikasi, pernyataan dan klaim bahwa ekonomi sudah on the track, fundamental ekonomi kokoh dan lain sebagainya. Namun ketika gejolak ekonomi terjadi ternyata bahwa “kekuatan” tersebut sangat rapuh dan dengan cepat pemerintah menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebabnya.
Pada ECONIT Economic Outlook 2008 hal 5 dituliskan bahwa “Pemerintah SBY akan semakin aktif mengeluarkan pernyataan balon (bubble statements) pada tahun 2008, dalam bentuk per-nyataan PR yang super-optimis dan tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di sektor riil dan masyarakat. Jika sibuk membuat pernyataan balon, sulit meng-harapkan pemerintah fokus pada penye-lesaian masalah yang riil”.
TIB pun telah mencatat beberapa statements bubbles, di antaranya seperti klaim kokohnya fundamental ekonomi. Padahal fundamental ekonomi tidak dapat dikatakan kokoh tanpa dukungan kuatnya sektor riil. Selama pemerintahan SBY justru telah terjadi kemerosotan di sektor riil dan telah terjadi percepatan de-industrialisasi.
Statements bubble yang cukup feno-mena,l menurut TIB, adalah klaim bahwa telah terjadi pengurangan kemiskinan dan klaim bahwa kenaikan BBM akan mengurangi kemiskinan. Klaim ter-jadinya pengurangan pengangguran saat itu direkayasa dengan melakukan peru-bahan waktu survei dari bulan Februari ke bulan Juni 2008 pada puncak masa panen raya. Demikian juga perubahan angka kemiskinan belakangan ini terjadi dengan cara mengubah methodologi. “Berbagai rekayasa prestasi kinerja ekonomi ala pemerintah SBY dengan akrobat statistik semakin mengurangi kredibilitas pernyataan pemerintah sehingga dikenal apa yang disebut sebagai 'SBY-GA'” yaitu perbedaan antara klaim kinerja dan realita di lapangan yang dihadapi rakyat dan sektor riil,” papar TIB.
Tidak adanya Keberpihakan dan Rendahnya Kredibilitas Respon Kebijakan
Mencermati respon kebijakan Peme-rintah SBY selama beberapa minggu terakhir yang sangat tidak memadai untuk menghadapi dampak global, Tim Indonesia Bangkit (TIB) kembali men-desak pemerintah SBY untuk segera megubah haluan kebijakan ekonomi dengan meninggalkan jalur (track) kebi-jakan ekonomi neoliberal yang hanya berpihak kepada sekelompok elit pemilik modal dengan kebijakan ekonomi yang lebih proaktif, di sisi moneter, fiskal, industri keuangan, perdagangan dan sektor riil, serta lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Langkah ini harus dilakukan untuk menghin-darkan Indonesia dari kemerosotan ekonomi yang lebih cepat (hard landing).
Sangat disayangkan, kata TIB, Tim Ekonomi SBY asal membantah berbagai peringatan dini atas krisis sehingga praktis tidak ada langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah SBY. Saat ekonomi Indonesia mulai bergejolak, Pemerintah SBY panik seolah dampak resesi AS dan bubble keuangan tersebut muncul tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelum-nya.
Bahkan respon yang dipilih oleh Pe-merintah SBY pun lebih berpihak kepada kepentingan asing dan sarat conflict of interest. Kenyataan ini sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan bila kita flashback dan membuka kembali paper TIB 19 April 2005: “Tim Ekonomi: Tidak Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat”, yang memprediksi bahwa arah kebijakan ekonomi Pemerintah SBY-JK dipastikan akan sangat dipengaruhi oleh komposisi tim ekonomi yang dipenuhi oleh mereka yang akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing dan tunduk pada garis IMF/Bank Dunia serta para pengusaha pemburu rente. [pendi/diolah dari Paper Tim Indonesia Bangkit/www.suara-islam.com]
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya