Jumat, 27 Maret 2009

Penanganan Krisis Tepat Guna

Oleh: Erwin Aksa

Banyak kalangan berusaha memformulasikan solusi yang komprehensif untuk mengatasi dampak krisis keuangan global–– yang sekarang sudah menjadi resesi ekonomi.


Seolah-olah krisis ini sudah benar-benar mendunia dan menyentuh setiap aspek kehidupan sehingga dibutuhkan solusi perekonomian, lengkap dengan konsideran sosial dan politik yang akhirnya terlalu lama untuk diputuskan, apalagi diimplementasikan.

Padahal,walaupun besarannya sebanding atau lebih besar dari Depresi Ekonomi tahun 1930-an atau krisis keuangan Asia tahun 1998,penyebab krisis saat ini sebenarnya cukup terisolasi di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa Barat.Walaupun dampaknya mulai mendunia,krisis saat ini tidak serta-merta menciptakan episentrum (pusaran) krisis baru di setiap negara yang terkena dampaknya.

Berbeda dengan tahun 1998 atau tahun 1930-an. Pada 1998, beberapa negara,terutama Indonesia,Korea Selatan (Korsel), Rusia,dan Meksiko, tidak sekadar menerima ”kiriman”krisis mata uang Thailand.Krisis keuangan Thailand yang merambat ke Indonesia justru menciptakan pusaran krisis baru, yaitu krisis politik,ekonomi, dan akhirnya multidimensi.

Demikian juga di Rusia, Korsel, dan Meksiko. Struktur sosial dan politik di setiap negara tersebut rapuh karena dominasi segelintir kelompok usaha konglomerat yang mendapatkan fasilitas istimewa dari pemerintah masing-masing sehingga mengakumulasi kecemburuan dan kedengkian masyarakat.

Akibatnya,ketika krisis keuangan melanda negaranegara tersebut dan menjatuhkan kekuatan yang berkuasa, baik secara ekonomi maupun politik, masyarakatnya memanfaatkan peluang tersebut untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan dan kesenjangan ekonomi yang berlebihan yang telah berlangsung sekian lama.

*** Pada 1998, kekayaan dari banyak negara yang terkena krisis tergerus sampai ke titik nadir, sedangkan utang melambung setinggi langit.Pemasukan utang negara saat itu didapat dari sumber eksternal, yaitu utang luar negeri, ekspor migas, dan ekspor barang jadi.

Sayangnya kemajuan Indonesia sebagai negara eksportir terkemuka tidak ditopang oleh peningkatan daya beli masyarakat domestik. Kekuatan kelas menengah dengan pendapatan yang kuat untuk konsumsi, untuk menabung, bahkan untuk berinvestasi (seperti saat ini) sangat terbatas, sedangkan saat ini hanya keuangan perusahaan yang terganggu sehingga penyelesaiannya bisa lebih sederhana kalau dilakukan dengan cepat. Sekarang semuanya sudah berubah.

Utang luar negeri Indonesia relatif kecil dibandingkan negara lain. Bahkan Indonesia dianugerahi berbagai penghargaan karena kemampuan mengelola keuangan yang sangat baik.Ekonomi saat ini dimotori oleh sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Walaupun proporsi ekspor terhadap PDB di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan tahun 1998, hal ini juga diikuti oleh pembangunan ekonomi domestik yang dimotori sektor swasta, baik skala besar maupun menengah dan kecil. Belum lagi semakin terciptanya ”kekuatan modal” yang ditandai oleh peningkatan pendapatan masyarakat, tabungan masyarakat, dan investasi masyarakat.

Ekspor Indonesia pasti akan menurun karena resesi dunia,tapi di saat yang sama semakin banyak pula kebutuhan dalam negeri yang harusnya bisa dipenuhi perusahaan nasional yang selama ini menjual barang dan jasanya ke luar negeri.

Sayangnya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat yang didukung dengan daya beli yang juga semakin meningkat itu dimanfaatkan dengan baik oleh impor barang-barang konsumen, bahkan tidak sedikit yang merupakan impor ilegal dari negara-negara seperti China dan Vietnam.

*** Pendapat (income) masyarakat yang mendasari daya jangan sampai malah tergerus oleh inflasi atau karena pengangguran.Kedua hal itu––inflasi dan pengangguran––dapat meningkat kalau ketersediaan barang menurun karena produksi terganggu, karena distribusi terhambat, atau karena kebangkrutan perusahaan yang disebabkan terhentinya pembiayaan dan perbankan.

Secara sederhana,pemerintah perlu untuk mengubah pola pikir dari yang sebelumnya melihat pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi produksi (diukur dengan nilai barang dan jasa yang terjual) menjadi pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi pendapatan (income). Lalu korporasi maupun individu (diukur dari keseimbangan antara provitabilitas perusahaan dengan peningkatan gaji karyawan).

Dengan melihat ekonomi sebagai fungsi income, pertanyaan utama bagi pemerintah dalam menangani dampak resesi ekonomi global ini haruslah, ”Bagaimana menyelamatkan kemampuan ekonomi Indonesia memberikan income yang cukup bagi korporasi dan bagi masyarakat Indonesia?”

Kelihatannya seperti pertanyaan yang klise, tapi sebenarnya tidak.Perekonomian AS dan negara-negara maju tidak dapat memenuhi tujuan tersebut karena kondisi keuangan negara dalam posisi defisit luar biasa, demikian juga kondisi keuangan masyarakatnya. Tidak demikian dengan Indonesia dan negara-negara Asia lain.

Walaupun saat ini masih defisit,keuangan negara masih cukup sehat dibandingkan dengan kemampuan berproduksi maupun dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional.Selain itu,kondisi keuangan masyarakat Indonesia tidak dalam kondisi defisit.

Walaupun pertumbuhan industri kartu kredit cukup tinggi, itu masih sangat kecil dibandingkan jumlah populasi. Tingkat konsumsi rata-rata rumah tangga juga belum melebihi tingkat pendapatan rumah tangga, kecuali bagi yang menganggur.

*** Inilah kesempatan emas bagi pemerintah. Pemerintah perlu memikirkan kebijakan terobosan yang mampu mengurangi pengangguran, menjamin ketersediaan dana bagi korporasi dan individu untuk tetap tumbuh tanpa menciptakan beban utang yang terlalu besar dan terlalu berisiko bagi keuangan negara.

Jawabannya adalah dengan memanfaatkan dan mengembangkan dana publik yang saat ini tersedia cukup besar untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar yang selama ini tertunda. Mekanismenya dengan mengubah dana tabungan dan investasi masyarakat menjadi dana pembangunan.

Lalu bukankah hal ini akan mengulang pengalaman buruk AS di mana setiap rumah tangga memiliki investasi yang sekarang hangus dibakarolehresesiekonomidankejatuhan pasar modal? Tidak juga asalkan kita bisa terus-menerus mengukur kesehatan perekonomian berdasarkan fungsi income.

Ekonomi AS hancur lebur karena pasar keuangan tumbuh lebih besar dan lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan riil masyarakat sehingga konsumsi masyarakat AS tidak dibiayai oleh tabungan, melainkan oleh utang rumah tangga. Mudah-mudahkan pemerintah tidak terus-menerus khawatir menjaga nilai rupiah di pasar internasional asalkan permintaan rupiah di dalam negeri untuk pembangunan dan konsumsi tetap digenjot.

Selain itu, mungkin sebaiknya suku bunga terus diturunkan walaupun ada risiko penurunan nilai rupiah asalkan penyerapan kredit perbankan oleh industri dan masyarakat bisa ditingkatkan untuk melakukan kegiatan produksi dan konsumsi.

Boleh saja menyelamatkan bank yang kurang sehat karena terkena dampak krisis asalkan bank-bank yang sehat justru dimanfaatkan kekuatannya dan dikawal aktivitasnya agar tetap bisa menghidupkan perekonomian. Dalam hal ini industri dana pensiun, asuransi, dan manajemen investasi sebenarnya bisa dimanfaatkan.

Bukan semata-mata untuk mengundang modal asing, melainkan untuk menyalurkan modal dan dana masyarakat ke sektor-sektor yang paling dibutuhkan dan prospeknya paling menjanjikan. Dana asing akan mengalir dengan sendirinya bila keadaan sudah kembali normal.

Mungkin konsep inilah dulu yang dimaksud oleh Bung Hatta sebagai ekonomi kerakyatan, yaitu pembangunan ekonomi yang ditopang dan dimotori oleh dana masyarakat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210287/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...