Kamis, 05 Maret 2009

Resensi Buku : Menimbang Corporate Social Responsibility secara Rasional

Oleh: Jalal

Apa jadinya kalau seorang yang ahli dalam masalah etika bisnis dan politik tertarik untuk menimbang perkembangan mutakhir tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility? Yang terjadi, lahirlah sebuah karya yang relatif berimbang mengenai segala potensi dan keterbatasan CSR.

Keseimbangan inilah yang sangat penting dalam memahami gejala CSR yang semakin marak di Indonesia. Jelas terlihat bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sangat optimistis terhadap CSR, tetapi ada pula yang memandangnya dengan sangat pesimistis. Buku ini berpotensi menjadi sumbangan besar untuk mendamaikan kedua kubu itu.

David Vogel, penyandang Solomon Lee Professor of Business Ethics pada Haas School of Business sekaligus Professor of Political Science pada University of California Berkeley, kiranya adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas tersebut. Dua bukunya terdahulu, Trading Up yang membahas mengenai regulasi lingkungan serta Kindred Strangers tentang hubungan antara bisnis dan politik, telah mendapat sambutan begitu meriah dari kalangan akademisi maupun bisnis. Lima tahun belakangan, ia gelisah melihat perkembangan literatur CSR yang menurutnya mengandung kelemahan yang seragam: mereka tidak menimbang dengan hati-hati apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR.

Ia pun mulai menulis tinjauan atas tumpukan literatur CSR yang semakin menggunung. Christopher Kalaher dari Brookings Institution Press kemudian memintanya untuk membuat sebuah buku lengkap untuk mengakomodasi analisis Vogel yang tajam dan berimbang. Vogel secara konsisten menguji setiap klaim pro dan kontra dengan menempatkan dirinya di antara para pendukung CSR semacam Jeffrey Hollender yang terkenal dengan pernyataan "Corporate Social Responsibility is …the future of business" dan penentangnya seperti Martin Wolf yang menulis "…not merely undesirable, but potentially quite dangerous" (hal 2).

Bab pertama bukunya ia pergunakan untuk menegaskan bahwa CSR memang kini sedang meroket. Namun, ia menggunakan istilah "revival" untuk menggambarkan hal ini, dengan menyatakan bahwa kelahiran CSR bisa dirujuk pada apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Inggris di abad ke-19. Perbedaan pentingnya adalah bahwa CSR sekarang telah lebih melembaga, lebih fokus dan melingkupi cakupan geografis yang lebih luas. Ketiga hal itu dibahas Vogel dengan sangat memadai. Yang mungkin bisa menjadi perdebatan adalah tempat dan waktu kelahiran CSR. Blowfield dan Frynas, dalam artikel mereka di International Affairs Vol. 81/3 2005, tampaknya lebih dapat meyakinkan pembaca dengan klaim bahwa CSR secara genealogis berhubungan dengan etika bisnis Kristen dan Islam, yang tentu saja tidak berasal dari Inggris dan berusia lebih tua daripada abad ke-19.

Pertanyaan penting "does virtue pay?" dijawab Vogel dalam bab kedua. Menurutnya keyakinan bahwa apabila perusahaan itu melaksanakan CSR dengan baik, maka keuntungannya akan meningkat hanya didukung oleh sedikit saja data empiris. Investasi dalam CSR dilihatnya mirip dengan belanja iklan, yang tidak menjamin apabila ditingkatkan, maka keuntungan perusahaan juga akan melejit (hal 33). Namun, bukan tidak ada sama sekali keuntungan melakukan CSR. Bukti-bukti empiris yang tersedia juga menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu CSR memegang peran penting dalam keuntungan perusahaan. Karenanya, ia kemudian menyimpulkan bahwa CSR bukanlah suatu strategi generik, melainkan hanya cocok untuk ceruk tertentu. Lebih lanjut, dengan sifat yang demikian, maka sudah seharusnya klaim mengenai hubungan positif kinerja sosial perusahaan dengan kinerja finansialnya harus lebih kontekstual.

Pendirian moderat Vogel ini sesungguhnya agak aneh, mengingat ia sebetulnya mengutip karya penting Orlitzky, et al. Corporate Social and Financial Performance: A Meta Analysis. Pada artikel yang terbit di Organization Studies Vol. 24/3 2003 itu, terdapat kesimpulan yang sangat kuat dan meyakinkan bahwa kinerja sosial dan finansial perusahaan itu memang berhubungan erat. Kesimpulan itu didasarkan pada telaah atas 52 karya ilmiah penting yang melingkupi 33.878 kasus bisnis sejak 1972 hingga 1997.

Kesimpulan-kesimpulan Orlitzky, et al. yang sulit dibantah itu adalah (1) korelasi antara kinerja sosial dan finansial perusahaan itu lebih kuat apabila dilihat dari ukuran akuntansi, dibandingkan dengan ukuran pasar seperti harga saham, (2) kinerja berbagai aspek sosial, dibandingkan dengan aspek lingkungan, lebih kuat berhubungan dengan kinerja finansial, dan (3) adanya "lingkaran malaikat" antara kinerja sosial dan kinerja finansial: peningkatan kinerja sosial akan meningkatkan kinerja finansial, yang kemudian akan meningkatkan kemampuan perusahaan dalam berinvestasi sosial, dan seterusnya.

Pengabaian kesimpulan penting tersebut membuat Robert Stavins dari Universitas Harvard terheran-heran. Dorongan untuk tetap moderat kiranya membuat Vogel harus terus menerus mereduksi nilai penting karya ilmiah yang diganjar Moskowitz Price tahun 2004 dari Social Investment Forum itu.

Selanjutnya buku ini membahas bagaimana peran dari tiga pihak utama yang mendorong penguatan CSR melalui mekanisme pasar: konsumen, pemodal, dan pekerja. Menurutnya, CSR itu akan sangat bermanfaat bagi perusahaan apabila konsumen, pemodal, dan pekerja memang bersedia mendorong CSR.

Konsumen harus rela memberikan harga yang lebih mahal pada produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang memiliki kinerja sosial (dan lingkungan) yang baik, pemodal harus rela sebagian porsi keuntungannya dikorbankan untuk investasi sosial, dan pekerja harus merelakan pula sebagian pendapatannya menguap untuk kepentingan mulia tersebut.

Menguntungkan

Selain itu, CSR juga menguntungkan untuk dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional besar yang kerap menjadi sasaran kampanye negatif para aktivis. Sayangnya, menurut Vogel, sebagian besar perusahaan kini tidaklah berada dalam situasi itu, sehingga insentif maupun disinsentif untuk CSR memang belum cukup tersedia. Kesimpulan Vogel ini tidaklah bisa dibantah.

Dalam bab kesimpulannya, selanjutnya Vogel menyatakan bahwa karena mekanisme insentif dan disinsentif melalui pasar tidaklah memadai, maka perusahaan haruslah berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil dengan civil regulation-nya dan pemerintah yang berwenang membuat peraturan hukum. Kerja sama itu terutama ditujukan untuk menambah prinsip CSR yang selama ini dinyatakan sebagai beyond compliance, dengan upaya-upaya meningkatkan standar-standar kepatuhan itu sendiri. Konsekuensinya, CSR harus juga akan dinilai dari dampak positifnya terhadap kebijakan publik.

Pada titik kesimpulan tersebut, Vogel telah menunjukkan preferensinya sebagai ilmuwan politik. Masalahnya, hingga kini pengaruh perusahaan atas kebijakan publik tampaknya tidak dikehendaki. Baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil masih berkeyakinan apabila kepentingan ekonomi berkelindan dengan kepentingan politik, maka hasilnya adalah keburukan. Karya Joel Bakan The Corporation maupun Lee Drutman dan Charlie Cray The People’s Business telah mendokumentasi dampak mengerikan dari campur tangan bisnis dalam kebijakan publik.

Namun jelas pula, bukan dampak negatif seperti ini yang dikehendaki Vogel. Ia akan memberikan rapor berangka merah untuk perusahaan yang dampaknya negatif atas kebijakan publik yang menyangkut kepentingan dunia usaha. Dalam proposalnya, Vogel juga sebenarnya hendak menyatakan bahwa perusahaan yang tidak turut serta dalam formulasi kebijakan publik dan tidak pula menyokong keterlibatan organisasi masyarakat sipil di dalamnya berarti perusahaan itu telah mendukung status quo. Pada kondisi di mana kebijakan publik itu buruk, sebagaimana yang kerap dihadapi perusahaan yang beroperasi di negara-negara berkembang, perusahaan yang hanya berdiam diri juga bersalah melestarikannya.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0609/16/pustaka/2955728.htm


Jalal Peminat Masalah Kinerja Sosial dan Lingkungan Perusahaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...