Jumat, 16 Mei 2008

REFORMASI AGRARIA: MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN

Meskipun ilmu ekonomi pertanian telah memberikan “andil” pada pemahaman masalah-masalah produktifitas dan efisiensi produksi pertanian, namun masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keadilan sosial (Mubyarto, 1987:620)

Pendahuluan

Dalam rangka renungan “5 tahun krismon”, pakar-pakar ekonomi pertanian kita kini nampak gusar karena dampak awal krismon yang positif terhadap pertanian rupanya telah berubah menjadi kondisi yang sangat berat menekan kegiatan pertanian. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Tema diskusi panel adalah “Pembangunan Agraria dan Pembaruan Pengelolaan Sumberdaya Alam bagi Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis”. Mengapa harus ada pembaruan (reformasi), dan mengapa agribisnis? Jika kesejahteraan petani tetap menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata per­tanian kini tidak lagi disebut-sebut. Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Memang Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat Ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang sudah bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR adalah ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”.
Ideologi Agribisnis
Ideology provides a lens through which one sees the world; a set of beliefs that are held so firmly that one hardly needs empirical confirmation. Evidence that contradicts those beliefs is summarily dismissed (Stiglitz, 2002:222).
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak ada program S2 Pertanian, tetapi program Magister atau MM Agribisnis yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan produksi, termasuk pengunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.
Jika kita jujur mengamati praktek pertanian sebagian besar petani kita, maka teori dan praktek agribisnis yang kita baca dalam buku-buku teks terbitan Amerika barulah merupakan gambaran “abstrak-ideal”. Memang di Amerika praktek-praktek agribisnis ini sudah ada dan sangat berkembang, tetapi luas pemilikan tanah pertanian per petani adalah rata-rata 100 ha, sedangkan di Indonesia kurang dari 0,5 ha. Usaha tani (farm) di Indonesia sebagian besar bersifat subsisten, tidak komersial, sehingga pengertian dan konsep agribisnis tidak cocok diterapkan.
Krismon Dosa Siapa?
Di Koran-koran kini tidak ada lagi orang menyebut krismon, krisis keuangan, atau krisis perbankan, karena lebih mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Mengapa disebut krisis ekonomi padahal banyak orang termasuk Amartya Sen penerima hadiah Nobel Ekonomi tidak setuju menyebutnya sebagai krisis ekonomi laksana “kiamat”.
Take for example, the crisis in Indonesia, Thailand, earlier on, even in South Korea. It may be wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or 10 percent fall in gross national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed at the aggregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen, 2000: 187)
Jika masyarakat umum kini berbicara tentang krisis ekonomi sebenarnya mereka sekedar ikut meneriakkan suara orang-orang atau pengusaha-pengusaha kaya yang tidak lagi seperti masa Orde Baru mampu memperoleh keuntungan mudah melalui cara-cara berburu rente (rent seeking) yaitu sejumlah kecil pengusaha yang memperoleh keuntungan luar biasa besar (hampir tanpa kerja), meskipun mereka tahu sejumlah besar pengusaha atau masyarakat dirugikan. Keuntungan sangat besar yang dulu mereka peroleh melalui persekongkolan dengan pemerintah (KKN) kini tidak dapat lagi mereka peroleh karena pemerintah sendiri sudah jatuh miskin, dan berutang banyak. Maka segala peluang mengejar rente ini sudah tertutup. Mereka (terutama eks konglomerat) memang bermimpi “memulihkan kembali” (recovery) perekonomian pra krismon dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, bila perlu dengan utang-utang baru dalam rangka “pengobatan ala IMF”, dan dengan menarik investor-investor asing dengan segala cara.
Sebenarnya MPR hasil Pemilu 1999 telah tegas-tegas menunjuk konglomerat sebagai penyebab krismon yang menyengsarakan seluruh rakyat dan yang terutama memiskinkan pemerintah. Tetapi hebatnya, kini mereka berhasil menciptakan kesan bukan mereka yang salah tetapi yang salah adalah pemerintah, IMF, atau spekulan dari luar negeri.
Reformasi Agraria yang bagaimana?
Kini tidak lagi mudah menyepakati apa yang harus direformasi dalam bidang agraria, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu telah kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah tidak dipatuhi, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama dari kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak akan lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial setelah Repelita I baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta menjadi leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri berorientasi promosi ekspor, yang kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Perlu dicatat bahwa dalam kata agriculture ada pengertian budaya pertanian, way of life, atau livelihood petani, yang tidak semuanya dapat dibisniskan. Maka jika kita ingin mengadakan pembaruan (reformasi) justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan dan budaya kita.
Penutup
Kami khawatir tinjauan aspek sosial-ekonomi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berse­berangan dengan kerangka pikir panitia penyelenggara, yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Reformasi Agraria harus berarti pembaruan penataan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
Assuming the framework of institutions required by equal liberty and fair equality of opportunity, the higher expectations of those better situated are just if and only if they work as part of a scheme which improves the expectations of the least advantaged members of society (Rawls, 1971:74)

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
Makalah diskusi panel "Pembaruan Agraria", Departemen Pertanian, Hotel Salak, Bogor, 11 September 2002.

Bacaan
1. Burk, Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London – New York.
2. Elliot, Jenniver A. 1994. An Introduction to Sustainable Development: The Developing World, Routledge London, New York.
3. Mubyarto, 1987. “Masyarakat Pedesaan di Indonesia Dewasa ini dan Tantangan Profesional Ilmu Ekonomi Pertanian” dalam Hendra Esmara (ed). Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
4. Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2000. A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada UP, Yogyakarta.
5. Shepherd, Andrew. 1998. Sustainable Rural Development, Macmillan, London – St. Martin’s, London New York.
6. Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and its Discontents. Norton. New York. 7. Trainer, Ted. 1996. Towards A Sustainable Economy: The Need for Fundamental Change, Envirobook, Sydney.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...