Senin, 05 Mei 2008

KESWADAYAAN DALAM PERSPEKTIF



Membangun, pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia menghadapi imperatif perubahan. Karena, suka atau tidak suka, dirancang atau tidak dirancang, perubahan akan dihadapi oleh manusia. Perubahan itu terjadi pada diri manusia sendiri, pada lingkungan masyarakat di mana ia berada dan pada tuntutan‑tuntutan agar ia bisa mempertahankan, menjaga dan meningkatkan survivalnya. Proses dan akibat perubahan itu akan dihadapi oleh semua manusia dan seluruh anggota masyarakat. Ada dua pihhan bagi manusia dalam menghadapi imperatif perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan perubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan manusia menerima saja keharusan dan akibat perubahan itu, dan menyerahkan semuanya pada kehendak 'nasib'. Atau, berikhtiar menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.
Kita, bangsa Indonesia, berketetapan untuk menghadapi imperatif perubahan itu dengan ikhtiar, melalui upaya pembangunan. Kita ingin agar arah, dinamika dan gejolak yang inherent dalam setiap proses perubahan dapat sejauh mungkin dikuasai dan dikendalikan. Tergantung dinamika internal dan dinamika external yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat, perubahan bisa berjalan cepat atau lambat, lebih bergejolak atau kurang bergejolak, arahnya menuju ke sasaran yang lebih maju dan moderen, atau bahkan mundur atau makin terbelakang. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola perubahan itu, kita sebagai individu, masyarakat atau negara sebagai pengemban amanat rakyat ?
Ada sementara orang termasuk ahli ilmu sosial dan budayawan yang beranggapan bahwa imperatif perubahan itu demikian kompleks dan normatif sifat penilaian­nya. Sehingga mereka tidak percaya bahwa imperatif perubahan manusia dan masyarakat itu dapat dikendalikan apalagi dikelola oleh lembaga atau orang-orang tujuan di luar individu manusia yang menghadapi perubahan itu sendiri. Arah perubahan yang dihadapi manusia disamping kompleks, berdimensi banyak, juga sangat mungkin bercorak individu. Karenanya tidak layak untuk dicampuri lembaga manapun, termasuk negara, apalagi pemerintah. Karena cara pengelolaan yang demikian akan melahirkan sistem kemasyarakatan yang totaliter dan menindas prakarsa dan kemerdekaan perorangan untuk memilih responsnya sendiri dalam menghadapi perubahan.
Saya bukan tergolong di antara mereka yang melihat bahwa ikhtiar untuk mengelola imperatif perubahan ikhtiar secara bersama, dalam konteks masyarakat atau negara, merupakan sesuatu yang berlebihan. Kebudayaan, ilmu pengetahuan dan agama melembagakan cita-cita serta isyarat tujuan hidup manusia dan masyarakat sebagai acuan tatkala menghadapi perubahan. Bahkan pembakuan bersama nilai-nilai normatif, atau norma-norma praktis dalam ajaran tentang etika, ibadah dan tata hidup bermasyarakat, menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya dilengkapi dengan fitrah dan kesadaran akan keberdayaannya. Karena itu ada ajaran tentang ikhtiar, ada cita-cita mewujudkan rahmat bagi sekalian alam, ada petunjuk etis untuk berbuat kebajikan dan menjauhi serta memerangi kemungkaran.
Sesungguhnyalah hakekat pembangunan nasional kita adalah untuk membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pada gilirannya yang akan menjadi subyek pembangunan, dalam arti menghadapi dan mengelola imperatif perubahan, adalah manusia dan masyarakat Indonesia. Karena itu yang pertama dan utama harus diletakkan landasannya adalah rasa keberdayaan untuk menjaga ditegakkannya tujuan hidup, keberdayaan untuk merumuskan arah ke mana perubahan itu hendak diikhtiarkan (untuk arahkan) dan keberdayaan untuk mengelola dampak, bahkan mungkin juga gejolak yang diakibatkan oleh proses perubahan itu. Tatkala keragaman individu dan pluralitas masyarakat Indonesia itu harus bersama-sama menghadapi perubahan yang akan tetap menjamin terpeliharanya sendi-sendi kehidupan bersama sebagai bangsa, sendi-sendi integritas nasional sebagai negara dan sendisendi yang menjaga keutuhan sebagai satu satuan budaya, maka dibutuhkan institusi yang akan merujukkan kesamaan persepsi tentang berbagai dimensi dari ikhtiar bersama untuk mengelola perubahan, seraya mewadahi keragaman atau pluralitas dari kekhasan individu dan masyarakat setempat tatkala menangkap isyarat perubahan itu.
Saya mengidentifikasikan ada lima faktor penyebut bersama (common denominator) yang bisa dijadikan sebagai acuan persamaan persepsi tentang tujuan hidup bersama kita sebagai bangsa. Karenanya, menurut pendapat saya kelima faktor itu dapat dijadikan kerangka yang selalu dirujuk tatkala kita menjelajahi medan pengelolaan imperatif perubahan itu, termasuk menetapkan arah, dinamika dan mengendalikan gejolak yang ditimbulkan oleh perubahan.
Kelima faktor itu adalah:
Pertama, betapapun dahsyat imperatif perubahan itu menerpa kita sebagai individu atau anggota masyarakat, kiranya kita sepakat bahwa kita tidak hendak kehilangan jatidiri kita sebagai manusia dan masyarakat Indonesia. Betapapun maju kita secara duniawi dan modern dalam simbol dan ekspresi budaya kita, namun kita tetap tidak ingin menjadi Amerika atau Jepang, bahkan juga tidak Eropa. Persepsi kita tentang jati diri Indonesia demikian kuatnya sehingga segala imperatif perubahan yang akan mengurangi atau menawar kadar keindonesiaan, selalu akan dikoreksi oleh naluri respons kita, sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Kita ingin konfigurasi keindonesiaan kita tetap terjaga dalam proses perubahan itu.
Kedua, kita juga menginginkan bahwa perubahan apapun yang akan terjadi, pencapaian material apapun yang berhasil kita wujudkan dan kemajuan sampai sejauh apapun yang berhasil kita raih, tetap juga ingin kita lestarikan nilai-nilai eternal kita tentang Ketuhanan, tentang Kemanusiaan, tentang Persatuan, tentang Kerakyatan dan tentang Keadilan. Dengan perkataan lain, saya berkeyakinan bahwa cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maju dan modern serta setara dengan manusia dan masyarakat maju di mana pun, namun kita tetap inginkan sebuah masyarakat Pancasila. Nilai-nilai eternal itu bukan hanya digunakan sebagai karakter bangsa, tetapi juga secara individu dan dalam kehidupan bermasyarakat hendak terus kita hayati dan kita amalkan : Bahkan lebih dari itu, tatkala kita menarik implikasi dari cita-cita ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keutuhan tumpah darah Indonesia ini ingin kita jaga dengan mengacu pada tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945.
Ketiga, sebaliknya bagaimanapun kukuh pilar-pilar yang menjaga kepribadian Pancasila dan jatidiri Indonesia tadi, kita menghendaki agar perjalanan perubahan ini membawa kita, baik sebagai individu, masyarakat maupun kesatuan bangsa dan negara yang makin maju, makin modern dan makin mampu untuk secara swadaya mengelola tujuan hidup kita. Walaupun makna maju dan modern ini bisa sangat normatif dan karenanya bisa berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, namun premis dasar tentang kemajuan dan modernitas, ini dapat diletakkan bersama dan disepakati. Kita ingin maju dalam arti misalnya kemiskinan absolut bisa kita hilangkan secepatnya. Kita merasa modern kalau anak cucu kita mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dan. pengajaran yang jauh lebih kaya dan bermutu daripada orang tua atau generasi sebelumnya. Kita merasa lebih maju kalau harapan hidup dan derajad kesehatan kita meningkat. Bahkan kita lebih maju kalau penghayatan dan pengamalan agama bisa kita tingkatkan dari tataran amalan syareat semata, ketataran yang lebih berimbang antara syareat, hakekat dan makrifat dari kandungan ajaran akhlak dan moral agama itu.
Keempat, tatkala kita maju dan modern, tatkala kita tetap berjatidiri dan berkepribadian Indonesia, dalam perjalanan kemajuan dan modernitas itu, kita ingin menjaga harmoni dalam perjalanan kita menjelajahi perubahan itu. Adakalanya kita tidak sabar menempuh imperatif perubahan yang bercorak revolusioner dan bertahap serta ingin perombakan dan penjebolan akar-akar masalah yang menjadi sumber keterbelakangan, ketergantungan, dan anomi atau hilangnya orientasi nilai. Tetapi perubahan-perubahan itu tidak ingin kita hadapi sebagai sesuatu proses yang dampak dan gejolak yang diakibatkan tidak terkendali dan berada di luar kapasitas kita sebagai individu maupun masyarakat untuk mengelolanya. Sehingga arah dan tujuan perubahan bisa justru menjadi berada di luar kontrol kita. Kita juga ingin harmoni dalam pengertian keimbangan antara perubahan yang dikelola di bidang ekonomi yang seimbang, dengan perhatian yang diberikan pada bidang selain ekonomi. Kita ingin selaras capaian kemajuan di bidang material dan spiritual, di bidang jasmani dan rohani, di bidang lahiriah dan bidang batiniah. Kita ingin keselarasan antara kemajuan di bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan secara bersama-sama.
Kelima, cara pandang kita terhadap imperatif perubahan itu adalah sebagai proses yang utuh, terpadu dan saling berkaitan aspek-aspeknya. Karena itu respons yang dituntut untuk mengelola perubahan juga harus terpadu dan utuh saling kaitannya. Kita juga memandang manusia dan masyarakat sebagai satuan organik yang utuh konfigurasinya. Karena itu mementingkan satu aspek dengan mengorbankan aspek yang lain bukan merupakan pendekatan yang tepat dalam mendekati kaneah perubahan itu. Tatkala sumber-sumber untuk mengelola imperatif perubahan itu terbatas maka pendekatan pengelolaannya tidak lagi cukup dengan menyederhanakannya dengan menetapkan prioritas, tetapi sudah perlu menengok tatakaitan keutuhan itu dalam sebuah jaringan sistem, systemic dan holistic approach. Dengan pendekatan sistem dan menyeluruh.
Dalam kerangka kelima faktor yang menjadi common denominator bagi acuan pengelolaan perubahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia itulah kita ingin mengembangkan lebih lanjut wawasan, kelembagaan dan sistem pembangunan nasional kita. Salah satu upaya untuk pengembangan itu adalah ikhtiar kita untuk membongkar kembali akar-akar wawasan keswadayaan dalam pembangunan, penyusunan kelembagaan agar dalam pelaksanaan pembangunan itu terjamin ditegakkannya wawasan keswadayaan itu dan membangun sistem pembangunan yang mendorong, memperkukuh dan melestarikan kemampuan untuk membangun atas prakarsa, daya dan ikhtiar sendiri, memperkukuh tegaknya dan pendayagunaan potensi keswadayaan, yang merupakan wahana bagi lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan badan internasional untuk mengembangkan wawasan keswadayaan dalam pembangunan itu. Keswadayaan sebagai suatu konsep, baru berkembang belakangan ini saja di Indonesia. Lebih baru lagi adalah konsep keswadayaan yang diusahakan atas kerjasama berbagai pihak yang selama ini seolah berjalan sendiri-sendiri yaitu pemerintah, swasta, lembaga profesional nirlaba, LSM dan masyarakat sendiri. Selama ini peran LSM-lah yang tampak menonjol sebagai pihak yang memikirkan bagaimana masyarakat bawah menjadi lebih aktif dan mandiri.
Tentu dalam hal ini tidak berlebihan jika gejala tersebut diletakkan pada hampir semua common denominator yang telah disebutkan di atas, yaitu faktor-faktor 2, 3, 4, dan 5. Dalam pembicaraan kita tentang keswadayaan harus diakui bahwa posisi para pengelola pembangunan - yang bersepakat untuk menangani masalah keswadayaan masyarakat akar rumput - lebih menonjol dari masyarakat akar rumput sendiri. Dengan demikian, bisa dinilai seberapa jauhkah kesadaran tentang keswadayaan didasari pada keinginan akan gambaran kemajuan yang jelas pada masyarakat akarrumput, nilai keadilan, dan nilai kebersamaan.
Di pihak lain, yaitu masyarakat akar rumput sendiri, terdapat persoalan jati diri macam apakah yang sebenarnya ada dan diinginkan ada. Sebab, pembangunan mungkin akan menuntut suatu perubahan diri. Sudahkah para pengelola pembangunan memperhitungkan masalah jati diri masyarakat akar rumput? Bahkan, sudahkah kita mempunyai gambaran tentang "jati diri Indonesia" di tengah keragaman sosial yang ada? Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukkan bahwa persoalan jatidiri tidak hanya persoalan dengan bangsa lain, tetapi juga dalam. masyarakat Indonesia sendiri.
Bagaimana kalau keswadayasn dicoba ditempatkan pada kelima denominator di atas sehingga memberi gambaran yang jelas tentang kadar keswadayaan yang diinginkan?
Pertama, jati diri: keswadayaan yang menjaga identitas dan norma-norma bangsa; Kedua, ke arah kemajuan yang jelas: peningkatan pendapatan golongan ekonomi lemah, membesarnya akses permodalan, akses pendidikan bagi anak‑anak mereka, dan sebagainya; Ketiga, nilai-nilai Pancasila: terkandung nilai-nilai Pancasila dalam proses pembentukanya maupun dalam mekanismenya sendiri; Keempat, keseimbangan/perubahan terkendali: sedapat mungkin program-program pengembangan keswadayaan tidak tambal sulam, diperhitungkan. dan melalui proses diskursus yang demokratis; Kelima, keterkaitan: keikutsertaan semua pihak, masing-masing siap berubah posisi ekonominya.
Demikianlah, dengan menggunakan kelima denominator dalam pembicaraan tentang keswadayaan, terlihat posisi nilai, gagasan tentang perabahan, dan gagasan tentang peranserta dari masing-masing pihak.***

Soetjipto Wirosardjono, MSc – Mantan Wakil Kepala BPS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...