- Walaupun telah melewati ratusan seminar dan diskusi, hingga saat ini selisih pendapat mengenai definisi “ekonomi rakyat” masih terus berlangsung. Kondisi tersebut dapat mengisyaratkan bahwa perdebatan mengenai definisi tampaknya tidak akan terlalu produktif lagi untuk dilanjutkan, karena pada dasarnya hampir semua pihak telah sepaham mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” tanpa harus mendefinisikan. Hal tersebut menyangkut pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak”. Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar, MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.
- Dengan pemahaman diatas, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil.
- Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji, selama tahun 2000 dan 2001. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, dan sebagainya.
- Sama sulitnya dengan mendefinisikannya, evaluasi terhadap kebijakan pembangunan yang diarahkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat sering sampai pada kondisi tanpa kesimpulan. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang dimaksud cenderung untuk dibatasi pada program yang dilakukan ‘khusus’ (bagi usaha kecil), seperti program kemitraan, Keppres 16/1996 (?) tentang pengadaan barang pemerintah yang dapat dipenuhi oleh usaha kecil, kredit program bersubsidi, berbagai subsidi input, dan sebagainya. Padahal dengan fakta pangsa ekonomi rakyat dalam ekonomi nasional, seharusnya seluruh kebijakan ekonomi – terutama kebijakan ekonomi makro – adalah bagian dari kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Hal lain adalah karena kebijakan yang dimaksud hampir selalu berarti program yang dilakukan oleh pemerintah saja. Padahal aspek-aspek legislasi (perundang-undangan dan peraturan), kebijakan umum, serta implementasinya sering kali jauh lebih menentukan. Hal ini ditunjukkan, misalnya, oleh UU Perbankan, yang membatasi kemampuan bank umum melayani ekonomi rakyat yang kondisi objektifnya memang tidak memungkinkan membangun akses pada pelayanan bank; atau UU Bank Indonesia yang membatasi bank sentral itu mengembangkan kegiatan-kegiatan yang memiliki misi pembangunan; atau mandat yang diterima BPPN yang hanya menekankan pada perolehan target penjualan aset dan sangat kurang mempertimbangkan kepentingan kemanfaatan aset tersebut bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Demikian pula dengan berbagai peraturan dan kebijakan ‘mikro’ tingkat lokal, seperti ijin usaha, ijin lokasi, pengaturan distribusi barang, ketentuan dan ijin mengenai mutu produk, dan sebagainya.
- Memperhatikan berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi rakyat, dan bercermin pada praktek kebijakan tersebut hingga saat ini, dapat dikemukakan berbagai permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kebijakan bagi ekonomi rakyat, antara lain:
a. Pertimbangan dalam penetapan kebijakan tersebut seringkali memang tidak atas dasar kepentingan kegiatan ekonomi rakyat. Misalnya, pembentukan tingkat bunga melalui berbagai instrumen moneter lebih didasarkan pada kepentingan ‘balance of payment’ dan penyehatan perbankan; atau dilihat dari pemanfaatan cadangan pemerintah yang sangat besar bagi rekapitalisasi bank, padahal bank tidak (dapat) melayani kegiatan ekonomi rakyat; atau penetapan kebijakan perbankan sendiri yang penuh persyarakatan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif ekonomi rakyat, padahal mereka adalah pemilik-suara (voter) terbanyak yang memilih pada pembuat keputusan. Dalam hal ini, mengingat lamanya pengaruh lembaga internasional (WB, IMF, dll) patut pula diduga bahwa perancangan pola kebijakan tersebut juga membawa kepentingan internasional tersebut. Demikian juga, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah juga telah mengindikasikan pertimbangan yang tidak berorientasi ekonomi rakyat. Otonomi seharusnya juga berarti perubahan
b. Kebijakan pengembangan yang dilakukan lebih banyak bersifat regulatif dan merupakan bentuk intervensi terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh ekonomi rakyat. Inovasi dan kreativitas ekonomi rakyat, terutama dalam mengatasi berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dihadapi, sangat tinggi. Namun banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan lebih banyak membawa norma dan pemahaman dari “luar” dari pada mengakomodasi apa yang sudah teruji berkembang dalam masyarakat. Posisi lembaga keuangan mikro dalam sistem keuangan nasional merupakan salah satu contoh terdepan dalam permasalahan ini.
c. Kebijakan pengembangan yang dilakukan cenderung bersifat ‘ad-hoc’ dan parsial. Banyaknya kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak sering kali bersifat kontra produktif. Seorang Camat atau kepala desa atau kelompok masyarakat misalnya, sering kali harus menerima limpahan pelaksanaan ‘tugas’ hingga 10 atau 15 program dalam waktu yang bersamaan, dari berbagai instansi yang berbeda dan dengan metode dan ketentuan yang berbeda. Tumpang tindih tidak dapat dihindari, pengulangan sering terjadi tetapi pada saat yang bersamaan banyak aspek yang dibutuhkan justru tidak dilayani.
d. Mekanisme penghantaran kebijakan (delevery mechanism) yang tidak apresiatif juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan. Kemelut Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan contoh kongkrit dari masalah mekanisme penghantaran tersebut. Demikian pula sikap birokrasi yang ‘memerintah’, merasa lebih tahu, dan ‘minta dilayani’ merupakan permasalahan lain dalam implementasi kebijakan. Sikap tersebut sering kali jauh lebih menentukan efektivitas kebijakan.
e. Seperti yang telah dikemukakan diatas, banyak kebijakan yang bersifat ‘mikro’, padahal yang lebih dibutuhkan oleh ekonomi rakyat adalah kebijakan makro yang kondusif. Dalam hal ini, tingkat bunga yang kompetitif, alokasi kebijakan fiskal yang lebih seimbang sesuai dengan porsi pelaku ekonomi, dan kebijakan nilai tukar, disertai berbagai kebijakan pengaturan (regulative policy) tampaknya masih jauh dari harapan pemberdayaan ekonomi rakyat. - Menyusun kebijakan yang optimal dalam pemberdayaan ekonomi rakyat memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Permasalahan seperti mencari keseimbangan antara intervensi dan partisipasi, mengatasi konflik kepentingan, mencari instrumen kebijakan yang paling efektif, membenahi mekanisme penghantaran merupakan tantangan yang tidak kecil. Yang dapat dilakukan adalah mengusahakan mencoba mengusahakan agar kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut dapat mewujudkan suatu ekonomi rakyat yang berkembang – meminjam jargon yang sangat terkenal – dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam semangat demokratisasi yang berkedaulatan rakyat, hal tersebut berarti kebijakan yang dilakukan perlu dapat menjamin agar kegiatan ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip :
§ Dari rakyat; rakyat banyak memiliki kepastian penguasaan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumberdaya produktif, dan rakyat banyak menguasai dan memiliki hak atas pengambilan keputusan produktif serta konsumtif yang menyangkut sumberdaya tersebut. Pemerintah berperan untuk memastikan kedaulatan tersebut dilindungi dan dihormati sekaligus mengembangkan pengetahuan dan kearifan rakyat dalam pengambilan keputusan.
§ Oleh rakyat; proses produksi, distribusi dan konsumsi diputuskan dan dilakukan oleh rakyat. Dalam hal ini sistem produksi, pemanfaatan teknologi, penerapan azas konservasi, dan sebagainya perlu dapat melibatkan sebagian besar rakyat. Pemberian ‘hak khusus’ kepada segelintir orang untuk mengembangkan ‘kue ekonomi’ dan kemudian baru ‘dibagi-bagi’ kepada yang banyak tidak sesuai dengan prinsip ini. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan rakyat harus mendapat apresiasi sepenuhnya.
§ Untuk rakyat; rakyat merupakan ‘beneficiaries’ utama dalam setiap kegiatan ekonomi sekaligus setiap kebijakan yang ditetapkan. Jelas bahwa korupsi, dominasi, dan eksploitasi ekonomi tidak dapat diterima. - Implementasi prinsip diatas membutuhkan pemerintah yang memiliki visi dan strategi pembangunan yang jelas. Memang sistem ekonomi yang demokratis, yang menjadi prasyarat bagi perkembangan ekonomi rakyat, sangat membutuhkan peran pemerintah yang lahir dari sistem politik yang demokratis atas dasar kedaulatan rakyat yang kuat. Mudah-mudahan hal ini tidak menyebabkan kita terjebak dalam ‘debat-kusir’: mana yang lebih dahulu (harus) ada, ‘ayam atau telur’. Atau mungkin justru ketidak-jelasan masa depan percaturan elit saat ini – yang kemudian sering diinterpretasikan sebagai kurang jelasnya arah dan strategi pembangunan – justru dapat menjadi lahan yang subur bagi berkembang ekonomi rakyat.-
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, Staf Pengajar/ Peneliti Institut Pertanian Bogor, (IPB)
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Strategi Revitalisasi Perekonomian Indonesia. CSIS- Bina Swadaya, Jakarta 21 Februari 2001.
Pustaka :
Seldadyo-Gunardi, et al. 1998. Usaha Kecil Indonesia, Tantangan Krisis dan Globalisasi. The Asia Foundation, ISEI dan Perhepi. Jakarta
Snodgrass, Donald and Tyler Biggs. 1995. Industrialization and The Small Firm. World Bank Working Paper, Washington D.C
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Senin, 12 Mei 2008
PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: MENCARI FORMAT KEBIJAKAN OPTIMAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya