I. LATAR BELAKANG Jalan panjang yang telah ditempuh bangsa Indonesia untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan mensejahterakan seluruh rakyat, dapat dikatakan berawal dengan mencari alternatif terhadap ekonomi liberal zaman kolonial (1830 – 1870).
Sebagai diketahui sistem kapitalisme Eropah meluas ke Benua Asia dan Afrika dalam wujud kolonialisme, sesuai dengan sifat kapitalisme yang ekspansif.
Pertimbangan ekonomi – politik ekspansi tersebut ialah guna menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tenaga murah dan pasaran yang sangat potensial karena ratusan juta penduduk, serta kesediaan tanah yang luas. (E. Wallerstein, 1974, Rutgers, 1937).
Disamping terjadinya eksploitasi tenaga kerja manusia (J. C. Breman, 1987) yang sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan, meluasnya ekonomi uang ke dalam masyarakat pedesaan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut, sehingga ketergantungan dari perekonomian kita semakin kuat.
Terhadap eksploitasi petani dan buruh perkebunan tadi, sejak awal abad ke-20 mulai timbul oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga “Politik Etnik” (1900) mulai diterapkan dengan memberikan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar (1906).
Di jajaran birokrasi Hindia–Belanda yang dipimpin oleh orang-orang Belanda juga, untungnya terdapat tokoh-tokoh yang progresif juga dan ajaran-ajaran sosial demokrat memasuki masyarakat kita (Rutgers, 1937).
Perluasan kesempatan pendidikan membuka peluang bagi putera-puteri pribumi untuk mengenal dasar-dasar Demokrasi Barat yang memang tumbuh bersamaan dengan Liberalisme dan Kapitalisme.
Tetapi di Eropa pengendalian “Kapitalisme dini” (vroeg-kapitalisme) sudah mulai menjelang abad ke-19, dan kaum sosial-demokrat diseluruh Eropa Barat memegang peranan penting dalam usaha ke arah membangun suatu negara sejahtera (welfare state).
Lebih-lebih setelah perang dunia pertama (1914 – 1918) dan krisis ekonomi dunia (1930) politisi dan pakar ekonomi Barat semakin yakin bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam turut mengawasi perputaran roda ekonomi, apabila kesejahteraan rakyat ingin diciptakan secara merata.
Sistem hukum, baik yang membatasi monopoli dan oligopoli, maupun yang mengatur hak buruh dan kewajiban para pemodal dikembangkan, agar segi-segi negatif kepitalisme dapat ditiadakan, atau paling tidak dikurangi dampaknya.
II. BANGKITNYA NASIONALISME
Sebenarnya bangkitnya Nasionalisme terjadi di seluruh Asia, sejalan dengan perkembangan di Eropa tadi. Gerakan dipimpin oleh para cendekiawan di India, Tiongkok, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya, yang memahami Demokrasi, dan terlebih setelah perang Jepang–Rusia (1904 – 1905) yang untuk pertama kali dalam sejarah dimenangkan oleh satu bangsa Asia. Kesadaran inilah yang kemudian bagaikan angin taufan, mengembus di seluruh benua Asia dan menumbuhkan partai-partai nasional (Congres Party, Kuomintang, Sarekat Islam dan lain-lain).
Nasionalise yang mencari alternatif kehidupan politik, ekonomi dan sosial tersebut hampir diseluruh daerah jajahan di Asia sedikit banyak merangkul sosialisme (Tjondrongoro, 1996, Wertheim, 1959).
Lebih khusus di Indonesia (Blumbergerm, 1931, Rutgers, 1937) pendekar-pendekar nasional kita seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ir. Maruto Darusman, Syahrir dan masih lebih banyak lagi menggali nilai-nilai keadilan, kesamarataan, kesejahteraan rakyat dan sebagainya karena suatu proses yang mengakar terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Pengaruh sosialisme tersebut secara paling jelas dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidatonya mengenai Marhaenisme (1957) dan kemudian bahkan dijadikan kebijaksanaan : Sosialisme ala Indonesia.
Unsur-unsur tersebut di atas yang dimuat dalam UUD 1945 maupun berbagai UU antara lain No. 5/1960 tercermin dari kebijaksanaan sampai 1965.
Setelah perkembangan ekonomi tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diidamkan, dan masalah pertanahan juga tak berhasil dipecahkan, dicarilah jalan keluar yang lain. Sistem ekonomi yang antara 1958 – 1965 cendderung tertutup untuk modal asing dibuka kembali dan dengan ketenangan/stabilitas politik tatanan ekonomi dapat diatur kembali dengan bantuan Bank Dunia dan negara-negara di luar blok Sosisalis.
Pertumbuhan ekonomi meningkat juga karena sektor swasta diberi peluang lebih besar disamping BUMN, tetapi dalam periode Orde Baru setelah kita menghadapi pasaran dunia yang semakin terbuka ternyata BUMN semakin tidak sffisien dan kurang mampu menunjang kesejahteraan yang lebih merata.
BUMN yang dimodali pemerintah mampu menumbuhkan suatu lapisan menengah, tetapi seberapa jauh mereka juga menunjang perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan sehat masih sangat dipertanyakan.
III. KOOPERASI
Dari latar belakangnya dapat disimak bahwa gerakan kooperasi lahir dari keinginan meningkatkan kesejahteraan jutaan pengusaha semasa Sarekat Islam (1912), bahkan sebelumnya.
Dalam gerakan ini memang ada unsur politik juga, ialah lebih membantu masyarakat pribumi dan ikatan batin melalui agama Isalam.
Pecahnya Sarekat Isalam menjadi yang Merah dan Hijau, menunjukkan bertapa ideologis sosialis, yang berpihak pada rakyat kecil, mewarnai unsur politik tadi.
Setelah Indonesia merdeka kooperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia dan ideologi Pancasila pun sudah sepenuhnya menggarisbawahi anggaran dasar tersebut. (Hatta, 1962). Sejak tahun 198… bahkan didirikan suatu Departemen Koperasi secara khusus, karena sebelumnya masih digabung dengan Departemen Transmigrasi, yang sebagai diketahui, membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Ini satu jenis distribusi tanah pertanian berskala relatif kecil.
Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara.
Ada kalanya pula pemerintah terlalu memanfaatkan koperasi sebagai satuan usaha ditingkat bawah untuk melaksanakan program pemerintah. Misalnya diawal tahun 1960-an dalam program Bimas. Manajemen ditangan lurah tidak selalu baik dan pilihan komoditi padi sebagai usaha koperasi belum tentu tepat. Akhirnya koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
Sampai sekarang pun, setelah 30 tahun pembangunan, koperasi bertambah jumlahnya, tetpai bukan effisiensinya, dan akibatnya kesejahteraan rakyat belum terangkat dengan koperasi.
IV. KEMISKINAN BERKURANG
Menurut angka-angka Statistik berbagai sumber kemiskinan telah berkurang secara spektakuler sejak 1970-an dan kita bersyukur ada proyek-proyek yang dapat menarik tenaga kerja cukup banyak. Faktor lain adalah ketersediaan kredit (KUK, KIK, KMKP dll), tetapi semua itu dalam rangka industrialisasi dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi belum mampu mencapai “Full employment”. Definisi pengangguran terbuka BPS tidak realistik ataupun manusiawi, dan definisi pengangguran terselubung yang lebih realistik melahirkan presentase yang tinggi, serta akan bertahan – kalau tidak meningkat sampai tahun 2019.
Setelah kemiskinan di tekan sampai 11% (kl 22 juta orang) di Pelita VI, mencapai golongan miskin yang tersebar dan merupakan inti (care poverty) semakin sulit. Pemberian kredit saja mungkin belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan, mungkin sebagian tetap pharus disubsidi oleh pemerintah mengingat bahwa persaingandiberbagai sektor ekonomi akan bertambah tajam. Subsidi pemerintah bagi simiskin sebenarnya adalah protekdi terhadapnya.
V. EKONOMI PANCASILA DAN BERBAGAI LIBERALISASI
Yang menjadi pertanyaan; prinsip-prinsip dasar apa yang perlu melandasi Ekonomi Pancasila agar mekanisme pasar dalam Ekonomi Liberal dapat dikendalikan demi melindungi simiskin ?.
Jawabannya sebenarnya adalah Welfare State dengan ekonomi yang terkendali melalui : Sistem perpajakan yang progresif; pembagian asset yang lebih merata; menciptakan kesejahteraan kerja yang memadai, dibantu “public invesment” bila perlu; tingkat upaya/gaji yang mencukupi, dan semua itu tentu bersendi pada sistem hukum. Sistem monopoli, oligopoli dan sebagainya tak dibenarkan agar kesenjangan sosial tidak melebar.
Semua faktor yang disebut diatas rupanya belum atau baru sebagian terwujud, sehingga Ekonomi Pancasila rupanya harus mampu merealisasikan idam-idaman tersebut dalam suasana/sistem liberalisasi global. Apa yang harus dilakukan untuk merubah sistem ekonomi dewas ini, itulah sudah menjurus ke arah pembangunan Ekonomi Pancasila.
Pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan industrialisasi, dimana ada keseimbangan antara sektor industri padat modal dan industri padat karya, mengingat bahwa tingkat teknologi yang mampu kita serap maupun kualitas SDM kita dewasa ini masih perlu ditingkatkan. Sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untukmengurangi pengangguran pada umumnya. Menurut proyeksi Aris Ananta (1995) pengangguran kita masih akan bertambah sampai tahun 2020.
Kalaupun pemerataan belum sepenuhnya tercapai keadaan “Full employment” (£4% pengangguran, berdasarkan definisi yang manusiawi), akan mengurangi kesenjangan, meningkatkan produktivitas pada umumnya dan mempertebal rasa keadilan dalam masyarakat.
Konsep Welfare State tampaknya lebih mencerminkan sasaran yang diunggulkan dalam Negara Pancasila. Karena itu selama liberasisasi global yang dewasa ini berkembang sejalan dengan Welfare State, tampaknya masih dapat kita terima.
Individu dan persaingan bebas yang tajam,semata-mata mengikuti hukum pasar seperti yang dikenal dalam tahap “kapitalisme didi”, sangat berlawanan dengan dasar-dasar Ekonomi Pancasila.
VI. EKONOMI RAKYAT
Istilah Rakyat sebenarnya mencakup segenap bangsa Indonesia, tetapi sejak zaman penjajahan usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat berpijak pada golongan rakyat yang lemah. Masyarakat yang miskin itu dominan hidup dari pertanian dan menghadapi perusahaan-perusahaan raksasa Eropa misalnya dalam perkebunan besar, sehingga timbul penindasan dan penghisapan atas usaha rakyat kecil itu.
Lebih dari setengah abad setelah Indonesia merdeka rakyat kecil yang relatif merana itu masih berjumlah puluhan juta orang masih lebih dari penduduk Malaysia, hampir setengah penduduk Thailand dan sebagainya- dan merekalah yang ingin kita bantu. Dalam periode yang sama juga sudah tumbuh suatu golongan konglomerat, yang lebih gembira menyambut Era Globalisasi, dan kurang mempedulikan nasib rakyat kecil.
Keadaan ini yang ingin kita ralat, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, pemerataan, mitra kerja, sejajar dan sebagainya. Caranya, sebagian telah dikemukakan tentu melalui sistem hukum, sistem pajak, yang progresif, perluasan kesempatan kerja dan cara-cara lainnya yang sesuai dengan proses demokratisasi menuju “masyarakat modern” (civil sosiety). Dalam ekonomi klasik abad ke-18 pun sebenarnya prinsip-prinsip tersebut sudah dikemukakan oleh John Stuart Mill dan John Locke. Variant ekonomi kapitalisme gaya A. Smith atau R. Malthus, yang dapat ditarik ke gagasan Alfred Marshall seabad kemudian, tampaknya tidak serasi dengan pengertian globalisasi abad ke-21 nanti.
Tahap pengentasan kemiskinan yang kita masuki dalam menghapus “core poverty” tampaknya tetap tidak bisa mengesampingkan peranan pemerintah, bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai pemberi kredit, bahkan subsidi untuk jangka waktu lebih dari satu-dua masa Pelita.
Jadi prinsip-rinsip ekonomi Pancasila tidak boleh memperburuk nasib golongan lemah dan miskin, justru sebaliknya peningkatan muru hidup golongan lemah dan miskin harus mengurangi dan bila mungkin meniadakan kesenjangan antara lapisan dalam masyarakat. Keadilan dan pemerataan kesejahteraan akhirnya adalah terwujudan Demokrasi Pancasila. Inilah suatu alternatif baru terhadap Demokrasi Barat, apabila kita berhasil menciptakannya.
Singkatnya bila Ekonomi Pancasila mencakup prinsip-prinsip dasar, Ekonomi Rakyat adalah pengejawantahan dan operasionalisasinya sehingga ketimpangan dan kesenjangan antara lapisan sosial ditiadakan.
Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro: Guru Besar Sosiologi Institut Pertanian Bogor