Oleh: Toto Subandriyo
Berakhirnya era pangan murah di pasar global tak serta- merta jadi kabar baik bagi petani negeri ini. Saat harga beberapa komoditas pertanian seperti beras dan gula naik seperti saat ini, pemerintah seperti kebakaran jenggot. Operasi pasar selalu dijadikan mantra sakti untuk ”memadamkan kebakaran”.
Pembangunan sektor pertanian/pangan negeri ini cenderung urban bias dan ditempatkan sebagai subordinasi sektor ekonomi lain. Keberadaannya tak lebih sebagai pemadam kebakaran untuk mengamankan variabel-variabel makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan dagang.
Sebaliknya, kesejahteraan petani kurang diperhatikan. Secara kasatmata petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana produksi lain, selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolistis. Giliran menjual hasil panen, mereka dihadapkan pada kokohnya tembok pasar monopsonistis.
Paradoks
Apa yang kemudian terjadi? Teori sosial-ekonomi menemui jalan buntu ketika diminta menjelaskan tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan negeri ini. Betapa tidak, ketika harga berbagai komoditas pangan di pasar dunia stabil tinggi dan tingkat produksi komoditas pangan domestik dilaporkan merupakan puncak prestasi selama beberapa dekade, semua itu ternyata tidak menjadi garansi bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Bangsa ini sering berhenti hanya pada angka-angka statistik yang cenderung semu, meninabobokan, dan kadang asimetris. Lihat saja ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produksi beras pada tahun 2008 naik 5,46 persen dibandingkan dengan tahun 2007, pada saat yang sama lembaga itu juga melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP) padi pada Juni 2008 mengalami penurunan 6,05 poin dari NTP pada Juni 2007 menjadi 93,95.
Begitu pula saat angka ramalan III (ARAM III) BPS memprediksi bahwa produksi padi nasional 2009 memecahkan rekor produksi padi selama beberapa dekade sebesar 63,84 juta ton gabah kering giling (GKG). Ternyata, NTP padi masih berkutat di kisaran 95. Artinya, petani padi masih belum sejahtera, usaha tani mereka masih tekor.
Peningkatan produktivitas yang mereka upayakan hanya menuai kondisi paradoks. Penguasaan teknologi dan produktivitas fisik yang tinggi tidak diimbangi nilai moneter memadai karena harga yang mereka terima relatif rendah. Dalam kondisi paradoks tersebut, para petani menerima bagian kecil dari nilai tambah kenaikan produktivitas.
Nilai tambah terbesar, yaitu nilai tambah perubahan bentuk (form utility), tempat (place utility), dan waktu (time utility) dinikmati para pelaku nonusaha tani. Mereka notabene bukan petani, seperti para pedagang sarana produksi, tengkulak, dan Bulog yang sebagai pemegang amanah public service obligation (PSO) pemerintah.
Harga bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan gula, yang naik beberapa hari terakhir ini lebih dinikmati oleh para pedagang dan tengkulak. Gula, misalnya, dana talangan yang dikeluarkan investor untuk membeli gula petani saat musim giling hanya Rp 5.300 per kilogram. Akan tetapi, saat ini gula dijual oleh investor sangat tinggi hingga Rp 11.000 per kg sehingga keuntungannya lebih dari 50 persen.
Fokus petani
Pembangunan pertanian dalam era Kabinet Indonesia Bersatu II ini saatnya fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan petani. Sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, petani harus ditempatkan sebagai subyek dalam setiap kebijakan yang ditempuh, bukan sebagai obyek yang cenderung dimarjinalkan keberadaannya.
Untuk mewujudkan itu diperlukan keberpihakan dan komitmen politik yang tinggi dari semua penentu kebijakan. Perlu pertimbangan yang matang untuk melakukan operasi pasar (OP) beras dan gula saat ini. Hal itu mengingat sebentar lagi di beberapa sentra produksi padi sudah akan mulai panen. Lebih baik OP beras digantikan dengan percepatan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Bagaimanapun, ada atau tidak ada OP beras, raskin tetap harus disalurkan.
Dalam konteks pembangunan nasional, kegiatan seperti OP dan kegiatan ekspor/impor komoditas pertanian harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi peningkatan produksi komoditas secara nasional, bukan sekadar mengatasi permasalahan dalam negeri sesaat (ad hoc). Kegiatan ekonomi itu dilakukan sebagai kegiatan berskala nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses produksi. Jadi, harus dikaitkan dengan strategi produksi secara berkelanjutan.
Selain itu, untuk memperoleh pendapatan yang memadai, Instruksi Presiden (Inpres) tentang Kebijakan Perberasan harus diumumkan jauh hari sebelum para petani menanam padi. Pengumuman Inpres Nomor 7 Tahun 2009 pada 1 Januari 2010 termasuk sudah terlambat meski lebih awal dibandingkan dengan Inpres No 1/2008 yang diumumkan pada tanggal 22 April 2008.
Berkaitan dengan mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras, mekanisme ini selama beberapa tahun terakhir telah bergeser dari roh awal memberi insentif dan melindungi usaha tani padi. Saat ini, peran instrumen tersebut lebih sebagai dokumen untuk melegitimasi anggaran perberasan Perum Bulog. Secara kasatmata, HPP tidak lagi dipakai sebagai harga dasar saat harga gabah/beras anjlok, tetapi hanya sebagai harga referensi.
Komitmen politik yang kuat dari pemerintah terhadap kesejahteraan petani dapat ditunjukkan, antara lain, dengan membuat HPP gabah/beras dalam dua standar kualitas. Selain beras medium setara IR-64 kualitas 3, perlu juga ditetapkan kualitas beras premium (kadar patahan maksimum 10 persen). Selain untuk meraih momentum harga di tingkat dunia yang cukup tinggi, kebijakan ini juga diharapkan memacu petani dan pengusaha penggilingan padi dalam menghasilkan beras kualitas premium yang harganya lebih mahal untuk diekspor ke luar negeri.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/10/02295383/buah.pemarjinalan.peta
Toto Subandriyo
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi, Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jaten
Berakhirnya era pangan murah di pasar global tak serta- merta jadi kabar baik bagi petani negeri ini. Saat harga beberapa komoditas pertanian seperti beras dan gula naik seperti saat ini, pemerintah seperti kebakaran jenggot. Operasi pasar selalu dijadikan mantra sakti untuk ”memadamkan kebakaran”.
Pembangunan sektor pertanian/pangan negeri ini cenderung urban bias dan ditempatkan sebagai subordinasi sektor ekonomi lain. Keberadaannya tak lebih sebagai pemadam kebakaran untuk mengamankan variabel-variabel makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan dagang.
Sebaliknya, kesejahteraan petani kurang diperhatikan. Secara kasatmata petani selalu dihadapkan pada dua kekuatan eksploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi, seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana produksi lain, selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolistis. Giliran menjual hasil panen, mereka dihadapkan pada kokohnya tembok pasar monopsonistis.
Paradoks
Apa yang kemudian terjadi? Teori sosial-ekonomi menemui jalan buntu ketika diminta menjelaskan tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan negeri ini. Betapa tidak, ketika harga berbagai komoditas pangan di pasar dunia stabil tinggi dan tingkat produksi komoditas pangan domestik dilaporkan merupakan puncak prestasi selama beberapa dekade, semua itu ternyata tidak menjadi garansi bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Bangsa ini sering berhenti hanya pada angka-angka statistik yang cenderung semu, meninabobokan, dan kadang asimetris. Lihat saja ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produksi beras pada tahun 2008 naik 5,46 persen dibandingkan dengan tahun 2007, pada saat yang sama lembaga itu juga melaporkan bahwa nilai tukar petani (NTP) padi pada Juni 2008 mengalami penurunan 6,05 poin dari NTP pada Juni 2007 menjadi 93,95.
Begitu pula saat angka ramalan III (ARAM III) BPS memprediksi bahwa produksi padi nasional 2009 memecahkan rekor produksi padi selama beberapa dekade sebesar 63,84 juta ton gabah kering giling (GKG). Ternyata, NTP padi masih berkutat di kisaran 95. Artinya, petani padi masih belum sejahtera, usaha tani mereka masih tekor.
Peningkatan produktivitas yang mereka upayakan hanya menuai kondisi paradoks. Penguasaan teknologi dan produktivitas fisik yang tinggi tidak diimbangi nilai moneter memadai karena harga yang mereka terima relatif rendah. Dalam kondisi paradoks tersebut, para petani menerima bagian kecil dari nilai tambah kenaikan produktivitas.
Nilai tambah terbesar, yaitu nilai tambah perubahan bentuk (form utility), tempat (place utility), dan waktu (time utility) dinikmati para pelaku nonusaha tani. Mereka notabene bukan petani, seperti para pedagang sarana produksi, tengkulak, dan Bulog yang sebagai pemegang amanah public service obligation (PSO) pemerintah.
Harga bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan gula, yang naik beberapa hari terakhir ini lebih dinikmati oleh para pedagang dan tengkulak. Gula, misalnya, dana talangan yang dikeluarkan investor untuk membeli gula petani saat musim giling hanya Rp 5.300 per kilogram. Akan tetapi, saat ini gula dijual oleh investor sangat tinggi hingga Rp 11.000 per kg sehingga keuntungannya lebih dari 50 persen.
Fokus petani
Pembangunan pertanian dalam era Kabinet Indonesia Bersatu II ini saatnya fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan petani. Sebagai pelaku utama pembangunan pertanian, petani harus ditempatkan sebagai subyek dalam setiap kebijakan yang ditempuh, bukan sebagai obyek yang cenderung dimarjinalkan keberadaannya.
Untuk mewujudkan itu diperlukan keberpihakan dan komitmen politik yang tinggi dari semua penentu kebijakan. Perlu pertimbangan yang matang untuk melakukan operasi pasar (OP) beras dan gula saat ini. Hal itu mengingat sebentar lagi di beberapa sentra produksi padi sudah akan mulai panen. Lebih baik OP beras digantikan dengan percepatan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Bagaimanapun, ada atau tidak ada OP beras, raskin tetap harus disalurkan.
Dalam konteks pembangunan nasional, kegiatan seperti OP dan kegiatan ekspor/impor komoditas pertanian harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi peningkatan produksi komoditas secara nasional, bukan sekadar mengatasi permasalahan dalam negeri sesaat (ad hoc). Kegiatan ekonomi itu dilakukan sebagai kegiatan berskala nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses produksi. Jadi, harus dikaitkan dengan strategi produksi secara berkelanjutan.
Selain itu, untuk memperoleh pendapatan yang memadai, Instruksi Presiden (Inpres) tentang Kebijakan Perberasan harus diumumkan jauh hari sebelum para petani menanam padi. Pengumuman Inpres Nomor 7 Tahun 2009 pada 1 Januari 2010 termasuk sudah terlambat meski lebih awal dibandingkan dengan Inpres No 1/2008 yang diumumkan pada tanggal 22 April 2008.
Berkaitan dengan mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras, mekanisme ini selama beberapa tahun terakhir telah bergeser dari roh awal memberi insentif dan melindungi usaha tani padi. Saat ini, peran instrumen tersebut lebih sebagai dokumen untuk melegitimasi anggaran perberasan Perum Bulog. Secara kasatmata, HPP tidak lagi dipakai sebagai harga dasar saat harga gabah/beras anjlok, tetapi hanya sebagai harga referensi.
Komitmen politik yang kuat dari pemerintah terhadap kesejahteraan petani dapat ditunjukkan, antara lain, dengan membuat HPP gabah/beras dalam dua standar kualitas. Selain beras medium setara IR-64 kualitas 3, perlu juga ditetapkan kualitas beras premium (kadar patahan maksimum 10 persen). Selain untuk meraih momentum harga di tingkat dunia yang cukup tinggi, kebijakan ini juga diharapkan memacu petani dan pengusaha penggilingan padi dalam menghasilkan beras kualitas premium yang harganya lebih mahal untuk diekspor ke luar negeri.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/10/02295383/buah.pemarjinalan.peta
Toto Subandriyo
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi, Wakil Ketua HKTI Kabupaten Tegal, Jaten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya