Inilah salah satu isu terpenting yang acap dihadapi organisasi: anggotanya tidak mampu menyatukan pikiran mereka agar berfikir dan bertindak sebagai pemimpin-pemimpin strategis (strategic leaders). Padahal menurut Hughes, karyawan yang berfikir dan bertindak sebagai pemimpin-pemimpin strategis (strategic leaders), secara individu atau sebagai kelompok, merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keberhasilan jangka panjang sebuah perusahaan.
Para eksekutif senior memang sudah selayaknya mempunyai mindset sebagai seorang strategic leader. Tetapi itu tidaklah memadai. Karyawan pun seharusnya juga mempunyai mindset strategis. Para karyawan tidak hanya dituntut untuk melaksanakan sebuah peran fungsional belaka, tetapi juga peran strategis dalam organisasi. Seorang eksekutif bertanggungjawab agar para karyawan memahami strategi organisasi dan juga bagaimana peran dan tanggungjawab mereka berkaitan dengan pelaksanaan strategi itu. Bukankah seorang karyawan harus mempraktekkan strategi yang telah ditetapkan dalam aktivitas sehari-hari mereka?
Penyusunan dan implementasi strategi dapat menuai kesuksesan jika dalam lingkungan organisasi terjadi sebuah pembicaraan strategis yang berkelanjutan antara berbagai level, dari level atas sampai ke bawah. Diskusi strategis ini diharapkan juga bergulir antar bagian secara horisontal. Tentu ini harus didukung kepemimpinan yang kuat, sehingga karyawan memiliki visi yang sama dan sepakat terhadap prioritas yang dianggap penting.
Mindset strategis akan membantu organisasi meningkatkan daya saing karena membuka peluang kuat bagi organisasi untuk memiliki human capabilities dan human organizational abilities.
Mindset yang salah juga sering menjadi sandungan bagi usaha perubahan yang bersifat transformasional. Jika para pemimpin tidak memiliki mindset yang dibutuhkan bagi proses perubahan yang sedang berlangsung, ini pertanda lampu merah bagi keberhasilan upaya perubahan keyakinan, pandangan, asumsi mereka tentang orang, organisasi, dan perubahan dapat menghalangi mereka untuk secara tepat merasakan dan memahami dinamika yang mereka hadapi. Konsekuensinya, mereka merespon dengan taktik dan strategi keliru. Mereka membuat keputusan yang salah, melewatkan tugas yang penting, dan memicu resistensi karyawan.
Ketidaksadaran bahwa asumsi-asumsi mereka ini salah merupakan masalah yang gawat. Karena pemimpin memiliki otoritas dan kekuasaan, ketidaksadaran terhadap kesalahan-kesalahan asumsi ini dapat memiliki dampak negatif yang jauh.
Mindset Dalam Organisasi
Menurut Argyris, sejatinya organisasi bisnis maupun non bisnis memiliki dua mindset yang dominan. Pertama, apa yang disebut dengan mindset produktif. Organisasi yang memiliki mindset ini selalu mendorong proses belajar untuk memperoleh pengetahuan baru yang bermanfaat. Kedua, apa yang disebut dengan mindset defensif. Organisasi yang memiliki mindset ini memandang pengetahuan hanya akan bermanfaat bila tidak bersifat mengancam atau mengecewakan individu atau departemen tertentu dalam organisasi.
Kita juga mengenal mindset perintah dan kendali (command and control mindset) masih jamak digunakan dalam organisasi. Dalam mindset ini karyawan menggunakan tangannya, dan pemimpin menggunakan fikirannya. Keduanya tetap ‘dibuat’ terpisah agar tidak mengganggu produktivitas. Pemimpin menetapkan tujuan dan membuat rencana, karyawan yang melaksanakan. Pemimpinlah yang bertanggungjawab terhadap kinerja organisasi. Mereka yang seharusnya memecahkan masalah-masalah yang besar, seperti menangani keluhan pelanggan utama, menyalurkan dan mengendalikan informasi, membuat keputusan. Pendek kata pemimpin adalah pusat organisasi.
Pemimpin dengan mindsetini mengatasi masalah motivasi dan kinerja melalui berbagai teknik perintah dan kendali: intimidasi, disiplin, dan mengandalkan otoritas, membuat model komitmen dengan jam kerja yang panjang, dan melangkah masuk untuk memperbaiki sesuatu dan memecahkan masalah.
Beda lagi dengan “pemimpin berbasis kinerja” (performance-based leaders) yang membantu orang lain dengan mindset “saya memiliki tempat ini”. Mereka melakukan ini dengan menciptakan lingkungan agar karyawan berfikir dan bertindak seperti pemilik. Seorang pemilik melakukan apapun yang diperlukan untuk memuaskan pelanggan dan menjalankan bisnis sehingga menjadi lebih baik di masa datang. Pemimpin dengan ownership sebagai mindset akan melihat setiap masalah atau inisiatif sebagai kesempatan kepemilikan (ownership opportunity).
Transformasi Mindset
Sementra itu Andrew Spanyi menyodorkan cara yang efektif untuk mentransformasikan apa yang disebutnya sebagai The Traditional Functional Mindset melalui Enterprise Business Process (EBM) dan mempraktekkan Enterprise Business Process Management (EBPM).
EBM memfasilitasi ekspresi yang singkat tapi jelas mengenai tujuan dan arah strategi. Bahasa yang relatif sederhana dari proses bisnis ini memungkinkan pemimpin untuk menghindari penggunaan jargon-jargon yang berlebihan dan membuat tujuan dan arah strategi lebih mudah dipahami oleh semua lapisan dalam organisasi.
Juga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dan saling ketergantungan antar kelompok dalam organisasi sehingga setiap kelompok dapat lebih saling memahami satu dengan yang lainnya dalam proses bisnis yang pada akhirnya dapat menciptakan nilai bagi pelanggan dan pemegang saham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya