Selasa, 17 Februari 2009

Menghadapi Ancaman Pengangguran

Oleh: Iman Sugema

Saat ini Indonesia belum sepenuhnya bangkit dari krisis moneter yang melanda 11 tahun lalu. Tingkat pengangguran saat ini masih lebih tinggi, yaitu sekitar 8,46%,dibandingkan 11 tahun lalu sekitar 6,42%.

Kemiskinan masih sekitar 15,4%, jauh di atas kondisi sebelum krisis yang hanya 9%. Dengan indikator sosial yang buram tersebut,kini kita menghadapi sebuah ancaman baru yang merupakan perpaduan antara krisis keuangan global dan ketidaksiapan Indonesia dalam melakukan mitigasi. Sampai bulan akhir Desember,data resmi menunjukkan bahwa telah terjadi PHK terhadap sekitar 90.000 pekerja. Tentu hal ini masih sangat underestimate karena belum memasukan PHK yang terjadi di sektor informal dan pertanian yang memang sulit untuk dideteksi.

Beberapa asosiasi pengusaha bahkan pernah memperkirakan krisis kali ini akan membuat angka pengangguran naik sekitar 1,2 juta sampai 2,5 juta orang. Sebuah gambaran yang terlalu mengerikan bagi sebagian besar para pencari kerja. Ada beberapa indikasi yang mengakibatkan kita menjadi jeri karena krisis kali ini mungkin memiliki implikasi sosial yang jauh lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Kalau Anda sempat jalan-jalan ke sentrasentra UKM dan industri kecil seperti Bandung Selatan, Yogyakarta, dan Jepara,Anda akan mendapatkan banyak keluhan dari para pengusaha di sana. Ternyata perusahaan garmen, kerajinan, dan mebel di sana banyak yang sudah menghentikan kegiatannya sejak Oktober yang lalu.

Karena sifatnya adalah usaha informal, perihal perumahan karyawan dan PHK permanen di dalamnya tidak tercatat di Dinas Ketenagakerjaan. Rontoknya UKM berorientasi ekspor ternyata sudah terjadi lebih dahulu dibandingkan perusahaan besar. Anda juga bisa dengan mudah melihat kesulitan yang dihadapi para petani perkebunan di sepanjang pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Karena harga berbagai komoditas mengalami penurunan,para petani ini tidak lagi mengurus lagi kebun mereka. Buruh kebun tidak lagi bisa bekerja. Buruh telah di-PHK secara tidak formal.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek lanjutannya. Beberapa produsen kendaraan bermotor seperti Kanzen dan produsen elektronik seperti Vitron telah mengalami penurunan penjualan dengan kisaran 30–50%. Penurunan daya beli di sektor yang berorientasi ekspor telah mengakibatkan penjualan barang yang tidak diekspor sekalipun menjadi turun secara tajam. Industriindustri yang berorientasi domestik juga telah terimbas krisis. Akibatnya, mereka pun harus melakukan PHK.

Penurunan daya beli sekarang ini telah merambah segmen atas maupun menengah bawah. Daya beli di segmen atas tergerus oleh menurunnya harga-harga aset, terutama karena merosotnya harga saham selama beberapa bulan terakhir. Segmen menengah bawah mengalami penurunan daya beli, terutama karena turunnya harga komoditas serta terjadinya PHK secara mendadak. Pada gilirannya hal ini lambat laun akan menurunkan permintaan agregat yang ujungnya adalah PHK.

Lantas bagaimana cara mengatasinya? Pemerintah saat ini tengah mengajukan paket stimulus baru yang angkanya terus-menerus berubah,dari Rp50 triliun turun menjadi Rp27,5 triliun. Angka finalnya harus kita tunggu melalui kesepakatan dengan DPR. Berapa pun besarnya,yang harus menjadi fokus perhatian kita sekarang adalah bagaimana menggunakan uang yang sedikit tersebut supaya bisa meringankan beban pengangguran. Intinya, stimulus harus dirancang untuk menyediakan lapangan kerja secara sementara. Yang sudah pasti stimulus tersebut akan digunakan untuk pembebasan PPN dan bea masuk.

Artinya,stimulus dirancang untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Ini disebut dengan tax saving. Ada pengalaman menarik mengenai hal ini di Amerika. Stimulus yang sama sudah diterapkan lebih dahulu di negeri tersebut. Menariknya, perusahaan yang diberi stimulus pajak ternyata tetap bangkrut atau minimal melakukanPHKsecarabesar-besaran. Tampaknya paket stimulus seperti ini tak bisa juga diandalkan di negeri kita.

Masalahnya adalah merosotnya daya beli masyarakat yang berakibat pada kemerosotan permintaan domestik. Menghadapihalsepertiini,perusahaan pasti tidak akan bisa meningkatkan produksi walaupun diberi berbagai paket stimulus. Masalahnya ada di demand side, tetapi kemudian stimulus dilakukan di supply side. Obatnya tidak sesuai dengan penyakitnya. Dengan melemahnya permintaan rumah tangga, obat Keynesian tampaknya merupakan satu-satunya alternatif.

Solusinya relatif sederhana, yakni memperbesar belanja pemerintah untuk menggantikan belanja rumah tangga yang sedang menurun. Artinya, stimulus ekonomi harus berupa direct spendingdan bukan berupa insentif pajak ataupun berbagai bentuk keringanan fiskal lain. Namun, dalam praktiknya, solusi Keynesian ini lebih sulit dari yang kita bayangkan. Barang yang dibeli pemerintah biasanya berbeda dengan belanja rumah tangga. Artinya,kalau struktur belanja pemerintah tidak disesuaikan, bisa-bisa justru stimulus ini salah alamat.

Contohnya adalah belanja pemerintah atas barang impor yang justru sangat berpotensi untuk memperparah balance of payment. Selain itu, kita juga mesti berhatihati dengan penggunaan belanja pemerintah ini. Alokasi belanja harus diutamakan untuk barang-barang yang sedang terpuruk permintaannya. Tak semua barang menghadapi masalah penurunan permintaan. Ada jenis-jenis barang yang di waktu krisis justru mengalami peningkatan permintaan.

Barang-barang tersebut terutama adalah dari jenis lower end. Dalam keadaan krisis, masyarakat biasanya melakukan penghematan dengan cara membeli barang yang kualitasnya lebih rendah. Yang biasanya membeli barang bermerek ternama kemudian membeli merek apa pun asal fungsinya sama. Sebagai penutup, dalam situasi krisis kita harus selalu ingat bahwa sumber daya keuangan pemerintah sangatlah terbatas. Karena itu,paket stimulus apa pun yang direncanakan harus betul-betul bisa efektif dalam pelaksanaannya.

Diperlukan kehatihatian dan kecerdasan tersendiri untuk merancang paket stimulus yang efektif. Pesan saya,jangan cuma copy paste dari kebijakan yang dilakukan di negara-negara maju.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/208199/

Iman Sugema
Senior Economist, InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...