Senin, 21 April 2008

Strategi Pengadaan Bahan Baku, Efisiensi Rantai Pemasaran Ubi Kayu, dan Pemberdayaan Petani Dengan Implementasi Model KemitraanCoopertive Farming Di P

Oleh : M. Soleh

1. Abstraksi

Ketersediaan ubi kayu yang berkesinambungan sebagai bahan baku pembuatan ethanol di PT. Medco Ethanol Lampung (PT.MEL) sangat penting dan vital, berbagai strategi pengadaan bahan baku telah dan akan diterapkan untuk itu, salah satunya adalah menjalin kemitraan dengan petani sebagai produsen ubi kayu. Sistem kemitraan yang diterapkan adalah model kemitraan cooperative farming dengan memberdayakan petani melalui kelompok dengan melakukan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah. Sistem kemitraan dengan model cooprative farming yang diterapkan oleh PT. MEL diintroduksikan dengan konsep bottom-up policy sehingga mencerminkan partisipasi aktif petani anggotanya.
Model kemitraan cooperative farming secara langsung telah memberdayakan lembaga tani yang ada, melalui penyuluhan tentang pentingnya kemitraan, kesepakatan, dan kebersamaan. Petani akan secara aktif terlibat disetiap kegiatan dan mempunyai sense of belonging yang tinggi akan keberhasilan usaha tani kelompoknya.
Implementasi model kemitraan ini akan sangat menguntungkan perusahaan baik dari aspek ketersediaan bahan baku maupun keberlangsungan perusahaan, diataranya; 1). Kepastian atau terjadwalnya pasokan bahan baku per hari 2). Kejelasan kualitas bahan baku yang didapat 3). Rasa memiliki yang tinggi masyarakat sekitar terhadap perusahaan 4). Merupakan social invesment yang sangat menguntungkan terhadap keberlangsungan perusahaan. Model kemitraan ini juga dapat memontong rantai distribusi pemasaran ubi kayu yang tidak efisien selama ini, yang lebih menguntungkan pada pihak pedagang perantara, karena model kemitraan ini perusahaan langsung berhubungan dengan petani sebagai produsen ubi kayu.

2. Pendahuluan

3.1 Latar Belakang

Permasalahan klasik dan internal yang dihadapi petani pada umumnya dari tahun ke tahun adalah lemah dalam pemenuhan faktor-faktor produksi, sehingga tingkat penggunaan saprodi yang rendah, inefisiensi usaha karena umumnya tingkat penguasaan lahan yang relatif sempit dengan tingginya biaya input dan minimnya aplikasi teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas, serta permasalahan pasca produksi yaitu rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian karena rendahnya posisi tawar petani. Petani ubi kayu pada umumnya dalam praktiknya masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi bisnis, sehingga ubi kayu yang dihasilkan kuantitas dan kualitasnya masih rendah. Dalam struktur ekonomi, petani produsen dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan aktor lain, seperti pedagang, agen, dan penikmat rente lainya. Posisi tawar yang rendah dari petani tersebut tidak akan memberikan peluang bagi petani untuk memperbaiki taraf hidup dan pendapatannya. Kedudukan pedagang,agen atau aktor rente lain sebagai perantara dari petani produsen sampai ke konsumen akhir tersebut menjadikan rantai pemasaran ubi kayu menjadi panjang sehingga sangat tidak efisien dan sangat merugikan petani karena margin yang cukup besar, yang seharusnya menjadi pendapatan petani. Salah satu solusi yang paling mungkin adalah dengan membangun model kemitraan petani produsen dengan pelaku industri pengolahan ubi kayu sebagai konsumen akhir. PT. MEL adalah salah satu industri berbahan baku ubi kayu di Lampung Utara, yang membutuhkan kurang lebih 1.200 ton ubi kayu per hari. Dalam menjamin kepastian pasokan dan kualitas bahan baku, salah satu setrategi pengadaan bahan bakunya adalah menjalin kemitraan dengan petani sebagai produsen ubi kayu.
Model kemitraan yang diterapkan adalah model kemitraan cooperative farming yaitu model kemitraan agribisnis berkelompok dengan kelompok tani sebagai pelaku utama kegiatan agribisnis. Kasijadi (2003) Model kemitraan ini memberdayakan petani melalui kelompok dengan melakukan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi dan nilai tambah. Rekayasa sosial dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan tani, penyuluhan, dan pengembangan sumber daya manusia. Rekayasa ekonomi dilakukan dengan akses permodalan untuk pengadaan sapodi dan akses pasar. Rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan kesepakatan anjuran dengan kebiasaan petani. Sedangkan rekayasa nilai tambah adalah dengan mengembangkan usaha off farm yang terkoordinasi.
Penerapan model kemitraan ini akan mampu menjawab berbagai permasalahan umum yang dihadapi petani saat ini seperti ketiadaan permodalan bukan lagi menjadi permasalahan dengan pinjaman modal dari PT.MEL, inefisienasi pemasaran akan dapat terselesaikan dengan kelompok tani yang langsung bermitra dengan PT. MEL , dan perusahaan juga akan mendapat kepastian bahan baku dengan kualitas yang seragam.

3.2 Metode Penulisan

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis melakukan pengkajian langsung terhadap pelaksanaan model kemitraan cooperative farming yang sudah diterpakan oleh PT.MEL dan dengan studi literatur yang berasal dari barbagi sumber.

3. Model Kemitraan Cooperative Farming di PT. Medco Ethanol Lampung

4.1 Gambaran Umum Model Kemitraan Cooperative Farming.

Nuryati (2000) Cooperative farming dalam praktiknya akan melibatkan banyak stakeholder dalam wadah kemitraan. Stakeholder yang dilibatkan dalam cooperative farming adalah petani, PT.MEL, pemerintah, dan perbankkan. Petani berperan sebagai anggota sekaligus pengelola, PT. MEL sebagai mitra petani dan penjamin pasar hasil panen petani, pemerintah sebagai katalisator dan fasilitator, dan perbankkan sebagai penyedia permodalan.

Kasijadi (2003), Model kemitraan cooperative farming menjadi pilihan karena mempunyai spesifikasi yang cocok untuk diterapkan pada area kemitraan yang mempunyai keragaman karakteristik lahan dan sosiokultur antar wilayah yang memerlukan pengelolaan secara desentralistik dan bottom-up. Model kemitraan ini tidak ada penguasaan lahan oleh perusahaan dan otorisasi manajemen usaha tani secara mutlak. Model kemitraan cooperative farming diintroduksikan dengan kosep bottom-up policy, sehingga mencerminkan partisipasi aktif petani anggotanya.
Kolaborasi antar stakeholder dalam pengembangan kemitraan model ini merupakan suatu proses integrasi aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyakat. Kolaborasi tersebut telah membangun sosial capital dalam satu lingkaran sinergi antara steakholder cooperative farming dalam mencapai tujuan kemitraan. Model kemitraan ini dalam implementasinya dapat secara efektif memberdayakan petani melalui kelompok tani. Kendala permodalan bukan lagi menjadi permasalahan, pencapaian target efisiensi usahatani dapat dilakukan dengan keterpaduan kegitan penyediaan saprodi, dan pemasaran yang terorganisir. Hak pribadi masing-masing petani atas kepemilikan lahannya tidak akan terusik karena tidak ada konsolidasi atas lahan. Nuryati (2000), Model kemitraan cooperative farming secara langsung memberdayakan lembaga tani, ialah kelompok tani, mengembangkan kualitas SDM melalui penyuluhan tentang pentingnya kemitraan, kesepakatan dan kebersamaan. Petani akan aktif terlibat dan mempunyai empati dan sense of belonging yang tinggi akan keberhasilan kemitraan dengan PT.MEL karena organisasi tersebut berasal dan beranggotakan petani sendiri, dikelola oleh mereka sendiri, dan keberhasilanya akan dinikmati mereka sendiri.
Model kemitraan cooperative farming dalam implementasinya PT. MEL menerapkan tahapan-hahapan sebagai berikut: 1) sosialisasi model kemitraan yang ditapkan kapada petani/kelompok tani di wilayah kemitraan. 2) verifikasi dan identifikasi potensi wilayah berdasarkan kesesuaian lahan, dan sosiokultur masyarakat tani. 3)penanandatanganan kesepakatan kerjasama kemitraan. 4) penentuan paket teknologi dan manajemen kelompok tani spesifik lokasi. 5) konsolidasi pengadaan saprodi 6) kosnsolidasi/koordinasi pelaksanaan usaha on farm. 7) konsolidasi kegiatan panen dan pascapanen. Setiap tahapan adalah faktor kritis dan menentukan keberhasilan kegiatan model kemitraan cooperative farming.
Angka pencapaian implementasi model kemitraan coopertive farming di PT. MEL per tanggal 29 Desember 2007 tergambar pada kurva berikut:

Gambar 2. Kurva pencapaian luasan implementasi model kemitraan cooperative farming
Sumber : Laporan mingguan Departemen Feedstock PT.MEL tanggal 29 Desember 2008

4.2 Cooperative Farming Dalam Mendukung Pencapaian Visi Medco Energi.

Harga bahan baker minyak (BBM) di pasar dunia terus naik dan akhir-akhir ini kenaikannya cukup signifikan, hal tersebut berimplikasi pada pengurangan lebih banyak devisa karena sebagian besar kebutuhan BBM nasional dipenuhi dari impor. Sehingga Indonesia kini digolongkan sebagai negara “net importer” untuk BBM. Untuk menekan laju import BBM, pemerintah mencanangkan program pemanfaatan sumber energi alternative. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan di atas antara lain tertuang dalam Peraturan Presiden No.5 tehun 2006 tentang konsumsi energi biofuel lebih dari 5% pada tahun 2025, dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 kepada Menteri Pertanian tentang percepatan penyediaan bahan baku biofuel.
Menindaklajuti program permerinatah melelui kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, diperlukan kesiapan teknologi dan penguasaan sistem produksi dalam pola industri, terutama untuk menjamin kontinuitas ketersediaan bahan baku dan keseragaman kualitas. PT.MEL sebagai bagian dari Medco Energi yang mempunyai visi ”Perusahaan Energi Pilihan” hadir untuk merealisasikan kebijakan pemerintah dengan visi perusahaan. Penyediaan bahan baku yang berkesinambungan dan dengan kualitas yang seragam menjadi sangat penting dan vital dalam mendukung visi Medco Energi.
Model kemitraan cooperative farming yang diterapakan PT. MEL merupakan wujud dari salah satu strategi dan aksi penyediaan bahan baku yang berkesinambungan dan dengan kualitas yang seragam. Hal tersebut sangat mungkin didapatkan karena penerapan paket teknologi yang direkomendasikan PT.MEL, Ketentuan umur panen pada kemitraan yang merujuk kepada kualitas ubi kayu untuk bahan baku ethanol, anjuran vareitas/klon yang spesifikasi kualitasnya baik untuk bahan baku, dan paket pinjaman saprodi yang mendukung peningkatan kualitas ubi kayu. Implementasi model kemitraan ini juga akan sangat menguntungkan perusahaan baik dari aspek ketersediaan bahan baku maupun keberlangsungan usaha PT.MEL. Adapun dampak positif penerapan model kemitraan ini adalah:

4.2.1 Penyedia bahan baku yang kontinyu dengan kualitas seragam
Pola tanam petani yang relatif menyebar sepanjang bulan akan menjadi potensi penyedia bahan baku yang kontinyu tanpa ada bulan kosong pasokan, walaupun kuantitasnya jelas akan fluktutif tergantung penyebaran luas tanam dalam setiap bulannya. Penyebaran pola tanam petani memang masih sangat tergantung musim, tetapi dalam setiap bulannya penanaman tetap ada, karena mulai timbulnya kesadaran petani tentang pentingnya posisi tawar petani, jika supplai ubi kayu menumpuk pada bulan-bulan tertantu maka tekanan harga dan potongan sangatlah tidak memihak kepada petani, kecenderungan tersebut yang terjadi disetiap tahunnya menyebabkan timbulnya kasadaran petani tentang pentingnya menyebarkan pola tanam disenjang tahun.


4.2.2 Efisiensi rantai pemasaran ubi kayu
Jalur distribusi ubi kayu akan menjadi lebih efisien. Pedagang,Agen, dan pelaku rente lainya sebagai penyebab inefisiensi ratai pemasaran tidak akan menjadi aktor pada model kemitraan ini. Ini tentu akan memberi kesempatan petani untuk meningkatkan pendapatannya karena tidak akan mendapat tekanan harga dari para pedagang,agen, atau rente lain, sehingga posisi tawar petani menjadi tinggi.

4.2.3 Pemberdayaan petani
` Nuryati (2000),Pemberdayaan adalah terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian 1 : 1) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain); dan 2) to give ability; eneble (usaha untuk memberi kemampuan), makna pemberdayaan merupakan sebuah konsep model pembangunan dan model industri yang kurang memihak pada rakyat mayoritas . Pemberdayaan dengan model kemitraan ini adalah merupakan tindakan kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tani, peningkatan keahlian amggotanya, dan memberi dukungan timbal balik yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Banyak program kemitraan yang bertujuan pemberdayaan petani tapi kurang berhasil karena hanya fokus pada kultur teknis dan paket teknologi yang sama tanpa memperhatikan spesifik wilayah.
Model kemitraan ini patani dituntut partisipatif dalam penentuan paket teknologi dan perencanaan usaha on farm dan off farm atau kegiatan komunitas itu dan mempunyai perasaan barmasyarakat . Petani pemilik lahan akan mengelola usaha tani setiap lahannya.

4.2.4 Investasi Sosial
Rekayasa sosial yang diimplementasikan pada model kemitraan ini diharapkan akan memberikan dampak yang positif pada masyarakat tani dengan indikator pencapaian yaitu terciptanya kelembagaan tani yang kuat dan tangguh, peningkatan kualitas sumber daya manusia (petani), dan empati dan sense of belonging yang tinggi terhadap usaha kelompok dan terhadap PT.MEL. Korelasi positif yuang diharapkan perusahaan berupa keberlangsungan perusahaan ,tercipatanya rasa aman, dan keamanan investasi dalam mewujudkan visi Medco Energi sebagai ”Perusahaan Energi Pilihan” akan terwujud.

4. Implementasi Cooperative Farming

5.1 Cooperative Farming Di Perusahaan Lain Medco Energi.

Medco Energi yang sesuai dengan visinya merupakan perusahaan yang konsentrasi usahanya pada sektor energi. Sepanjang pengetahuan penulis baru PT.MEL yang berbahan baku hasil pertanian, selebihnya adalah eksplorasi bahan tambang. Dari basis bahan baku yang berbeda tersebut apakah model kemitraan cooperative farming dapat ditepakan. Untuk pengembangan bisnis energi berbasis pertanian kedepannya tentu model kemitraan cooperative farming jelas aplikatif. Untuk bisnis energi yang berbasis eksplorasi perut bumi, model kemitraan ini lebih cocok ditepakan pada kegiatan perusahaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat atau comunity development yang merupakan wujud perhatian perusahaan terhadap lingkungan sekitar perusahaan, yang tertu disesuaikan dengan sumberdaya dan potensi spesifik wilayah. Kegiatan tesebut lebih bersifat corporate social resposibility yang tidak mengdepankan profit tapi lebih ke social investment
Model kemitraan cooperatif farming dapat diadaptasi dalam bentuk kerja sosial perusahaan yang tentu mengharapkan keuntungan sosial pula, karena kerja sosial tersebut akan mendukung eksistensi perusahaan dalam menjalankan usahanya di wilayah tertentu dan memberikan keuntungan sosial ekonomi kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan.

5.2 Dampak Implementasikan Di Perusahaan Lain Medco Energi.

Dari uraian kemungkinan implementasi atau adaptasi model kemitraan cooperative farming di bagian lain Medco Energi di atas tentu akan memberikan dampak, baik postif maupun negatif. Dampak negatif relatif kecil dan dapat diabaikan, biasanya hanya pada maslah teknis implementasi karena merupakan sesuatu yang baru. Dampak postitif dari implentasi atau adaptasi model kemitraan cooperatif farming adalah: 1) konsep pemberdayaan masyarakat yang merupakan ruh model kemitraan tersebut akan merupakan investasi sosial bagi perusahaan 2) manfaat keberadaan perusahaan dapat dinikmati masyarakat sekitar, baik dari sisi ekonomi, sosial, dan teknologi 3) menumbuhakan kecintaan dan sense of belonging masyarakat terhadap perusahaan 4) dapat dijadikan kompensasi dampak negatif oparasional perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

5. Cooperatif Farming Dan kesinambungan Bisnis Medco Energi.

6.1 Cooperatif Farming Dalam Mendukung Kesinambungan Bisnis Medco Energi.

PT. MEL sebagai representasi Medco Energi dalam industri energi tentu sangat menghendaki kesinambungan bisnisnya. Implementasi model kemitraan cooperative farming yang dipraktikan PT.MEL seperti diuraikan di atas mempunyai fungsi ganda, yaitu penyedia bahan baku pabrik dengan kualitas merata dari rekayasa teknologi dan ekonomi yang dilakukan dan sosial invesment dari rekayasa sosial dan rekayasa nilai tambah. Kedua fungsi utama tersebut tentu akan menjadi faktor pendukung kesinambungan bisnis tersebut, karena kepastian dan kontinuitas pasokan bahan baku merupakan daya dukung utama kesinambungan bisnis PT.MEL, disamping esensi model kemitraan ini yang sarat terhadap pemberdayaan petani/masyarakat akan memberikan social effect yang positif terhadap perusahaan diataranya; 1)keamanan inverstasi sebagai efek rekayasa soasial yang dapat menumbuhkan kecintaan dan rasa meiliki terhadap perusahaan 2)rekayasa nilai tambah dan efisiensi rantai pemasaran yang dapat meningkatkan taraf hidup petani tentu akan mempunyai dampak berupa dukungan petani/masyarkat terhadap operasional perusahaan 3) meningkatnya pengetahuan terhadap pentingnya investasi dan kemitraan dari penyuluhan rutin yang dilakukan. Dari uraian di atas jelas model kemitraan ini akan mendukung kesinambungan bisnis Medco Energi dalam industri energi.

6.2 Hambatan Dan Tantangan Implementasi Cooperatif Farming Di PT. MEL.

Dari pengalaman realita di lapangan saat sosialisasi model kemitraan dan saat implentasi model kemitraan ini, dapat diidentifikasikan beberapa faktor penghambat dan tantangan sebagai berikut: 1) masih banyaknya petani yang terikat oleh sistem keagenan atau rente 2) petani merasa lebih mudah bermitra dengan agen atau rente daripada perusahaan karena persyaratan administratif dan keengganan dengan model koletif 3)para agen yang berusaha mempertahankan sistem mereka dengan cara bermitra dengan PT.MEL tetapi masih menjalankan praktik keagenan atau rente, sehingga timbul kerancuan sistem 4)kualitas sumberdaya pengurus koptan yang masih relatif rendah dan tidak merata 5) kompetitor yang menjalankan kemitraan lebih populer walaupun memberdayai petani 6)anggapan umum petani bahwa kemitraan hanya hubungan pinjam meminjam, karena masih kentalnya model kemitraan lama yang berpraktik demikian 7)kesadaran berkelompok, parstisipasi, manfaat kebersamaan yang masih rendah dan masih lemahnya struktur organisasi.

6. Penutup.

Implentasi model kemitraan cooperative farming di PT. MEL merpakan upaya efisiensi rantai pemasaran ubi kayu, kepastian pasokan ubi kayu, dan pemberdayaan masyarakat. Model kemitraan ini akan mendukung kesinambungan bisnis Medco Energi dalam industri energi dengan rekayasa ekonomi, sosial, tenologi dan nilai tambah. Model kemitraan ini juga aplikatif, dapat diterapkan di bagian lain Medco Energi sebagai alat pemberdayaan masyarkat atau organisasi sebagai Corporate Sosial Responsibility dan invertasi sosial yang dapat bermanfat bagi perusahaan jangka panjang.

7. Daftar Pustaka

Kasijadi,F, Suryadi,A , Suwono “Pemebrdayaan Petani Lahan Sawah Melalui Pengembangan Kelompok Tani Dalam Perspektif Corporate Farming Di Jawa Timur” Jurnal Pengkajian Dan Penerapan teknologi Pertanian, BPTP Jawa Timur, Malang Juli 2003.

Nuryanti,Sri “Pemberdayaan Petani Dengan Model Kemitraan Cooperaive Farming”., Makalah Seminar Adakah Landasan Teoritis dan Bukti Empiris Konsep CF, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian IPB, 10 Agustus 2000

Sibarani, Franky M.A “Program Kemitraan Berbasis Palawija: Pengalaman Garuda Food” Makalah Seminar Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija Di Indonesia Peran Dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Dan Pengentasan Kemiskinan, Economic And Social Commision For Asia And The Pacific, Bogor 13 Juli 2006.

Sakino “Usaha Tani Ubi Kayu Dan Jagung: Pengalaman Pengalaman Petani Lampung” Makalah Seminar Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija Di Indonesia Peran Dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Dan Pengentasan Kemiskinan, Economic And Social Commision For Asia And The Pacific, Bogor 13 Juli 2006.

Simatupang “Program Coprorate Farming, Kelemahan Konseptual Dan Bahayanya”., Makalah Seminar Adakah Landasan Teoritis dan Bukti Empiris Konsep CF, Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian IPB, 10 Agustus 2000






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...