Jumat, 28 Januari 2011

Dicari, Presiden Tanpa Gaji

Oleh M Fadjroel Rachman

Kemenangan moral tertinggi seorang pemimpin adalah pengabdian tanpa pamrih. Pemimpin inspiratif dan dihormati, juga tanpa pamrih, oleh publik karena tebalnya kesetiaan kepada nilai keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan.

Pengabdian dengan pamrih material, apalagi hanya untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kelompok sendiri, menjadikan pengabdian tersebut tak bernilai apa-apa, sebuah kekuasaan tanpa keluruhan. Nah, apa yang bisa dikatakan kepada seorang presiden yang mengeluh kepada publik bahwa gajinya tidak naik-naik selama tujuh tahun di tengah lautan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang diderita rakyatnya? Di tengah jutaan rakyat yang bahkan tidak tahu apa yang harus dimakan hari ini, apalagi jika ditanya bagaimana pendidikan, kesehatan, perumahan, ataupun pekerjaannya.

Pamrih material? Perlukah diungkapkan seorang presiden, seorang pemimpin tertinggi, pengabdi tertinggi publik. Bukankah jika tahu jabatan presiden bukan jabatan yang bisa membuat seseorang kaya raya, lebih baik tidak dipilih sejak awal. Gaji presiden memang tak besar jika dibandingkan gaji Gubernur BI yang Rp 265 juta per bulan. Namun, presiden bukan saja mendapatkan gaji, melainkan juga dana taktis serta memiliki kekayaan pribadi yang dilaporkan cukup signifikan. Gaji presiden yang diungkapkan Kementerian Keuangan (2005) total Rp 62.740.000, terdiri atas gaji pokok Rp 30.240.000 dan tunjangan jabatan Rp 32.500.000. Namun, perlu dicatat, dana operasional atau taktis untuk presiden Rp 2 miliar per bulan.

Selain itu, kekayaan pribadi Presiden Yudhoyono juga sangat signifikan dan meningkat sangat signifikan. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi periode 14 Mei 2009-23 November 2009, terdapat kenaikan Rp 5 miliar dari Rp 6.848.049.611 dan 246.389 dollar AS ke Rp 7.616.270.204 dan 269.730 dollar AS atau total dalam rupiah senilai Rp 10.178.705.204.

Kemiskinan dan ketimpangan

Apabila prestasi pemimpin diukur dari kemampuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan berpihak kepada kemanusiaan, patutlah dipertimbangkan ukuran keadilan ataupun kesejahteraan berikut. Kemiskinan dan ketimpangan (sosial, kota-desa, daerah) adalah musuh utama Republik Indonesia apabila cita-cita para bapak dan ibu bangsa untuk membentuk negara kesejahteraan (welfare state), ”negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian, termasuk bertanggung jawab menjamin tersedianya pelayanan kesejahteraan dasar bagi warga negara” sebagai ukurannya. Kemiskinan, misalnya, kita ambil saja ukuran kemiskinan BPS (2010) pada perhitungan Maret 2010, garis kemiskinan (kota dan desa) adalah Rp 211.000 per bulan per orang, berdasarkan tingkat kebutuhan makanan dan nonmakanan, garis kemiskinan untuk desa Rp 192,354 dan kota Rp 232,938 per bulan per orang.

Nah, dengan angka standar kemiskinan (kota dan desa) Rp 211.000, ada 31,02 juta orang atau 13,33 persen (BPS, Maret 2010). Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi pengeluaran 2 dollar AS per hari (standar Bank Dunia untuk kategori miskin; untuk kategori sangat miskin 1 dollar AS per hari), orang miskin sekitar 52 persen dari 234,2 juta populasi (2010) atau sekitar 121,7 juta orang. Apabila gaji Presiden—pemimpin para kaum miskin dan papa itu—pada 2010 dibandingkan pengeluaran per bulan 31,02 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, hasilnya 297 kali pengeluaran penduduk miskin Indonesia. Ketimpangan sosial juga tak kunjung terjembatani. Lihat laporan BPS (Income Distribution by Classification World Bank BPS 2002-2006). Untuk 20 persen pendapatan tertinggi rata-rata meraih 42 persen kue nasional (42,07 persen pada 2004;44,78 persen pada 2005), sedangkan untuk 40 persen pendapatan terendah rata-rata meraih 20 persen kue nasional (20,80 persen 2004; 18,81 persen 2005).

Ketimpangan antardaerah juga hantu yang siap meledak dan merobohkan tatanan Republik. Laporan BPS 2010 memperlihatkan, dari 10 provinsi termiskin (1. Papua Barat; 2. Papua; 3. Maluku; 4. Sulawesi Barat; 5. NTT; 6. NTB; 7. Aceh; 8. Bangka Belitung; 9. Gorontalo; 10. Sumatera Selatan), tampak Papua Barat, Papua, dan Aceh adalah provinsi sangat kaya sumber daya alam, tetapi hasilnya tak kunjung menyejahterakan mereka. Ironisnya, di Papua Barat dan Papua terdapat perusahaan multinasional PT Freeport Mc Moran di tambang tembaga terbesar di dunia, juga emas. Tidak saja Papua Barat dan Papua yang dimiskinkan, tetapi kepemilikan saham pemerintah pun cuma 9,23 persen, selebihnya milik Freeport.

Menurut majalah The Economist (2010) yang membandingkan gaji pemimpin negara di dunia dengan PDB per kapita penduduknya, ternyata gaji SBY lebih dari 27 kali lipat PDB per kapita penduduk Indonesia. Jika dihitung dengan gaji Rp 62.740.000 atau per tahun Rp 752.880.000 terhadap PDB per kapita Rp 24.261.805 (BPS 2009), lebih dari 31 kali lipat.

Presiden tanpa gaji

Sebenarnya dengan melihat jumlah kekayaan SBY sekarang dan membandingkan dengan kemiskinan puluhan juta rakyat yang dipimpinnya, SBY bukan hanya pemimpin dari kaum kaya Indonesia sekelas Aburizal Bakrie, Chairul Tanjung, Arifin Panigoro, atau raja agrobisnis terbesar Asia Martua Sitorus (Thio Seng Hap), tetapi pemimpin dari kaum miskin Indonesia juga. SBY tak perlu minta kenaikan gaji lagi, bahkan sudah seharusnya melepaskan semua gaji yang didapatkannya hingga 2014 kepada masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif.

SBY bisa jadi presiden tanpa gaji dalam tiga tahun ke depan, nilainya sekitar Rp 2.258.640.000, tak terlalu besar jumlahnya, tetapi akan dapat mengembalikan keluhuran kepemimpinannya yang tercoreng oleh tercerabutnya legitimasi moral pemerintahan oleh tudingan para pemimpin lintas agama sebagai ”rezim kebohongan”, juga keluhan tentang gaji yang seolah menjadikan SBY duduk di kepresidenan untuk mencari keuntungan material.

Lihatlah mantan pastor Fernando Lugo yang diangkat sebagai Presiden Paraguay yang menolak menerima gaji sebagai presiden karena solidaritasnya ke rakyat miskin Paraguay yang jumlahnya hampir 35,6 persen populasi. Dengan kekayaan pribadi lebih dari Rp 10 miliar, tentu SBY bisa menginspirasikan kembali semua pejabat publik, termasuk 8.000 pejabat publik yang akan dinaikkan gajinya serta DPR yang sibuk membuat gedung baru senilai Rp 1,3 triliun, bahwa nilai tertinggi kepemimpinan adalah mengabdi tanpa pamrih kepada publik, bukan menumpuk kekayaan. Sangat ironis seorang presiden mengeluhkan gajinya di tengah lautan kemiskinan dan ketimpangan rakyatnya sendiri yang tak pernah mengeluh. Karakter yang mengabaikan penderitaan rakyat dan juga penderitaan manusia. Menurut Mahatma Gandhi, ”Mengabaikan seorang manusia berarti mengabaikan kekuasaan Yang Mahakuasa. Yang dirugikan bukan hanya makhluk itu, melainkan seluruh dunia.”

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) serta Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government.

Inflasi, Pangan, dan Kemiskinan

Oleh Khudori

Inflasi yang tinggi membuat pemerintah seperti orang kebakaran jenggot. Pemerintah dituding tak mampu mengendalikan inflasi, lantas membuat kebijakan panik.

Ini tecermin dari beleid pembebasan bea masuk impor beras, gandum, dan bahan pakan ternak (Kompas, 18/1). Pemerintah yakin, pembebasan bea masuk akan menurunkan harga komoditas pangan dan menjinakkan inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga pangan.

Untuk kesekian kali kita melihat pemerintah disibukkan agenda rutin dan menguras energi yang tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan pokok masih jadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Respons pemerintah selalu reaktif dan ad hoc, tak lebih dari pemadam kebakaran. Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok merentankan ekonomi mereka. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan anggaran dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut.

Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang SDM yang tak bisa bersaing pada masa datang.

Pangan belanja utama

Menurut Badan Pusat Statistik, mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Pada 2009, rata-rata pengeluaran pangan mencapai 50,62 persen. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka anjlok. Kemiskinan membengkak. Itu sebabnya inflasi sering disebut perampok uang rakyat.

Inflasi di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata di atas 5 persen. Memang inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen, tetapi pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain, target inflasi tahun 2011 (5,3 persen) masih tergolong tinggi. Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan di bawah 3 persen. Bahkan, Jepang sering deflasi. Ini semua karena kebijakan yang komprehensif.

Ketika di Indonesia harga kebutuhan pokok gonjang-ganjing, Malaysia tak mengalaminya. Ini karena Malaysia punya undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang—yang kebanyakan makanan—sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku 1961. UU ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan, seperti gandum. Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari dan 25 komoditas dikontrol saat hari besar.

Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan di bawah 5 persen. Bandingkan di Indonesia pada 2005 yang 17,11 persen dan 2008 mencapai 11,06 persen. Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga, apa pun yang terjadi di pasar internasional sehingga inflasi rendah (Adiningsih, 2010).

Oleh karena itu, langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tak banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok.

Stabilkan harga pangan

Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok masih terjadi. Anomali iklim membuat produksi pangan serba tidak pasti. Jauh-jauh hari Vietnam dan Thailand memperketat ekspor beras karena diperkirakan harga beras naik dua kali lipat tahun ini. Jika itu terjadi, plus kegagalan produksi beras domestik, inflasi bakal meroket.

Pada masa lalu, negeri ini pernah gemilang menjaga harga kebutuhan pokok lewat Bulog. Karena itu, wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya tanpa pendanaan dan instrumen yang komprehensif. Pertama, segera tentukan komoditas kebutuhan pokok yang berpengaruh besar pada pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4-5 komoditas sebagai opsi stabilisasi.

Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/floor price), jumlah cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin kelancaran distribusi dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi keadaan.

Khudori Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/28/04374585/inflasi.pangan.dan.kemiskinan

Kamis, 27 Januari 2011

Korupsi dan Retorika Politik

Oleh Sudjito

Menjilat ludah sendiri. Siapa mau? Namun, itulah sepenggal fakta pada tayangan televisi, Rabu, 12 Januari sore lalu, ketika Ketua Komisi III DPR menarik ucapannya tentang kasus Gayus yang, jika tuntas diselesaikan, akan berdampak sistemik sebab banyak pejabat terlibat sehingga perekonomian nasional dan stabilitas politik bisa guncang.

Fakta ini sekadar contoh konkret bahwa retorika politik masih bagian dominan dari pemberantasan korupsi. Mangkuskah retorika semacam itu? Jelas tidak. Jika perilaku semacam itu berlanjut, kecaman dan caci maki akan muncul. Pemberantasan korupsi tak fokus, bahkan gagal. Bangsa ini akan rugi.

Aneh tapi nyata. Sudah jelas bahwa hukum pada seluruh lini di negeri ini karut-marut, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap hukum masih tinggi. Lihatlah, semua kasus korupsi mesti ditangani sesuai dengan prosedur hukum, oleh aparat penegak hukum, dan melalui lembaga hukum formal (negara).

Padahal, kita tahu, penyelesaian kasus korupsi melalui jalur hukum cenderung mengecewakan daripada memuaskan. Betapa banyak koruptor yang dihukum ringan. Di penjara masih diberi fasilitas mewah. Sudah jelas jahat, malah dikasih remisi, dan diberi kesempatan pelesiran ke luar negeri.

Kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu irasional. Dari fakta ini kita harus mengakui bahwa ukuran obyektif-rasional dalam hukum masih kalah dengan kekuatan irasional-primordial. Kalau sudah begini faktanya, apakah pemberantasan korupsi masih akan tetap ditangani secara rasional, mekanis, dan linier sebagaimana diajarkan oleh paham legal-positivisme?

Sarat kepentingan

Rasanya perlu saling mengingatkan bahwa sebenarnya pemberantasan korupsi tak akan pernah sepi dari kepentingan. Yang dimaksud dengan kepentingan di sini adalah kehendak yang beraneka ragam dari berbagai pihak sehingga selama proses pemberantasan korupsi berlangsung, terjadilah kompetisi, tarik-menarik, dorong-mendorong, barter, dan perilaku menyimpang dari teks-teks hukum formal.

Perilaku menyimpang itu terutama dilatari kepentingan politik dan ekonomi. Itu berarti, ketika lembaga politik (DPR dan DPRD), partai politik, serta para pebisnis ikut campur tangan di dalam pemberantasan korupsi, maka sulit diharapkan proses hukum dapat berjalan normal. Dapat dipastikan akan terjadi pembelokan, penyimpangan, bahkan penihilan terhadap hukum.

Kegagalan pemberantasan korupsi dalam perspektif hukum dapat dimaknakan sebagai kekalahan hukum dalam perang melawan politikus dan pebisnis. Hukum beserta aparat penegak hukum di negeri ini sekarang telah jadi tawanan politikus dan pebisnis. Selanjutnya hukum dan aparat penegak hukum bisa dimainkan sesuai dengan skenario yang dirancang untuk melanggengkan status quo dan kemapanan usaha.

Rudolf von Jhering melukiskan keadaan itu dengan ”...hukum itu munafik dan mitos belaka. Hukum itu cuma bagus untuk dituliskan, tetapi praktiknya lain.” Apabila kita renung dalam-dalam, sindiran itu cukup mengena bagi kondisi hukum di Indonesia saat ini.

Para begawan tua seperti Adnan Buyung Nasution, Ahmad Syafii Maarif, dan JE Sahetapy geram dan marah berhadapan dengan pemberantasan korupsi yang tak kunjung berhasil itu. Gayus Tambunan telah tunjuk hidung para koruptor dan tokoh mafia pajak di negeri ini, tetapi Presiden dan para aparat penegak hukum lembek tak bernyali, berkilah, dan berputar-putar seolah-olah sedang berorasi politik. Retorika politik seperti itu, selain terkesan defensif, juga tak menyelesaikan masalah. Itu justru kian memicu kemarahan publik.

Tidak hitam-putih

Jangan pernah ada yang mendikotomikan persoalan korupsi sebagai kasus politik atau kasus hukum. Kasus Bank Century tak akan pernah tuntas selama ada perbedaan tajam antara DPR yang secara politis meyakini ada kasus korupsi dan KPK yang dari aspek hukum tak melihat hal tersebut sebagai kasus korupsi. Korupsi jangan dilihat hitam-putih sebagai masalah politik atau masalah hukum. Koruptor adalah musuh rakyat karena mengganggu tercapainya kesejahteraan dan keadilan sosial. Mereka perlu ditangkap dan diadili sesuai dengan aspirasi rakyat.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan sikap tegas dan nyata. Semua metode dan kekuatan hukum perlu digunakan secara bijak dan didukung dengan fasilitas, pembiayaan, dan keteladanan para pemimpin di negeri ini.

Presiden pernah berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Janji itu utang. Sampai kapan pun utang akan ditagih hingga lunas. Pelunasan janji tak cukup dibayar dengan retorika politik, baik olehnya sendiri maupun oleh politikus asuhannya. Janji juga tak akan lunas dengan pencitraan diri.

Cercaan para begawan dan akademisi tak lain tak bukan hanya memberi dukungan moral dan spirit agar pemimpin dan rakyat saling berkolaborasi dan melengkapi dalam memberantas korupsi. Berbagai kekurangan pada dimensi hukum janganlah menghalangi sukses pemberantasan korupsi.

Presiden adalah panglima perang dalam memberantas korupsi. Ia harus berada di medan perang, berdiri tegak di barisan terdepan. Betapa pun berat, beban akan jadi ringan dan perang dapat dimenangkan apabila presiden, politisi, pebisnis, dan penegak hukum tak kehilangan perspektif dan orientasi.

Sudjito Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM

Setelah Gerakan Moral

Oleh Donny Gahral Adian

Suatu hari yang mendung di awal 2011. Sekelompok agamawan berkumpul menyerukan betapa rezim SBY suka berbohong. Media menyitirnya. Rezim bereaksi keras. Tumbukan keduanya berakhir di ruang berpendingin di Istana Negara.

Rezim berargumen tuduhan para agamawan itu keliru. Rezim tidak berbohong, tetapi yang ia lakukan belum sesuai dengan target yang dikehendaki. Di sisi lain, kelompok agamawan sibuk menangkis tuduhan bahwa gerakan mereka didomplengi kepentingan politik. Mereka menegaskan ini murni gerakan moral tanpa tendensi politis. Yang mereka kehendaki: perbaikan kinerja pemerintahan, bukan pemakzulan.

Omong kosong

Saya termasuk sedikit orang yang tak percaya garis pembatas antara gerakan moral dan politik. Carl Schmitt mengatakan betapa moralitas dapat berubah politis seketika. Saat antagonisme mencapai intensitas tertentu, gerakan moral yang dingin dapat jadi panas dan sarat permusuhan.

Saya teringat pada sebuah peristiwa di ujung rezim Soeharto. Di satu hari yang terik pada 1998, sekelompok ibu kumpul di Bundaran Hotel Indonesia. Tuntutan mereka sangat domestik: turunkan harga susu! Sebagian menganggapnya gerakan moral belaka, segaris seruan terhadap pemerintahan yang limbung akibat krisis ekonomi. Namun, siapa nyana gerakan itu memicu prahara politik, meruntuhkan rezim totaliter berumur puluhan tahun.

Gerakan dapat saja berbasis moral keagamaan. Nilai-nilai keagamaan dapat menginspirasi sebuah gerakan untuk perubahan. Agama mengajarkan umat berkhidmat pada kebenaran. Kekeliruan harus diluruskan, kebohongan harus dibongkar habis. Pemerintahan yang berbohong berjalan di luar rel nilai keagamaan.

Agamawan pun memiliki hak teologis mengingatkan pemerintahan sedemikian rupa. Persoalannya, apakah status quo dapat runtuh hanya dengan rentetan khotbah dan kutipan kitab suci? Gerakan moral punya kelemahan fatal. Pertama, status quo akan sangat mudah memoderasinya. Absennya politik dari gerakan moral membuat status quo memperlakukannya sebagai mitra dan bukan lawan politik yang diperhitungkan.

Presiden dapat dengan mudah mengatakan, ”Kami menyadari kekeliruan kami dan sangat menanti sumbang saran alim ulama sekalian selaku mitra yang konstruktif.” Kritik tidak dijawab, tetapi dinetralisasi. Ia dianggap sumbang pikiran yang perlu ditimbang, tetapi belum tentu dilaksanakan. Bahasa sederhananya: masuk telinga kiri, hinggap di pikiran sebentar, lalu keluar dari telinga kanan.

Kedua, gerakan moral berhenti pada diskursus normatif. Gerakan moral hanya menyalahkan status quo dari kacamata moral: berbohong. Tuntutan normatif pun hanya minta respons normatif. Rezim tinggal berkata, ”Ya, kami berbohong. Untuk itu kami minta maaf.” ”Data itu memang tak diolah secara saksama sehingga tak akurat.” ”Pemerintah tak bermaksud berbohong, kekeliruan terletak pada implementasi yang kurang rapi.”

Ujung dari tuntutan normatif adalah permintaan maaf dan janji tak mengulanginya. Tuntutan ini sangat tinggi dari kacamata moralitas, tetapi sangat naif dari kacamata politik. Tuntutan politik bukan sekadar permintaan maaf, melainkan perubahan politik, baik moderat maupun radikal. Dalam bahasa sedikit rumit, tuntutan moral adalah tindak ujar yang tak mengubah keadaan. Tuntutan moral adalah omong tanpa aksi, retorika tanpa isi.

Semuanya gerakan politik

Saya percaya: tak ada sesuatu di luar gerakan politik. Semua gerakan politik, baik berupa tunas maupun pohon besar. Baik ibu-ibu yang menuntut harga susu turun maupun agamawan yang minta kebenaran. Semua adalah tunas politik yang siap membesar. Kaum ibu di ujung Orde Baru sengaja menyembunyikan napas politik dalam gerakannya sebab kuping Orde Baru sangat tipis. Ia siap mencopot kuping siapa saja yang berseberangan. Lalu, apa yang menahan para agamawan memproklamasikan gerakan mereka sebagai gerakan politik? Mereka tak punya bisnis yang dipertaruhkan, hanya mengabdi pada imperatif suci dari langit.

Filsuf Alain Badiou berilustrasi mengenai peristiwa 18 Maret 1871 di Paris, hari terbentuknya Paris Commune, otoritas lokal yang dibentuk kaum buruh yang dua bulan mengendalikan Paris. Yang menarik pada 18 Maret 1871 adalah sesuatu yang absen dari pentas politik Perancis (buruh) tiba-tiba menampakkan diri. Kaum buruh tak sekadar menampakkan diri. Ia sekaligus mengambil alih kekuasaan lokal di Paris.

Hari itu kaum buruh, yang tak punya mandat memerintah, memberi mandat kepada diri sendiri. Dengan itu, mereka tolak perintah Versailles menyerahkan kanon-kanon yang ditempatkan di Paris. Gerakan politik mereka kontroversial tetapi dikenang sebab tak sembunyi di balik jargon moral, melainkan jujur menampakkan wajah politiknya. Kaum agamawan di Jakarta tiba-tiba keluar dari ruang sakral dan menghardik di ruang profan. Kemunculan mendadak ini adalah sesuatu yang politis. Tanpa menunggu sebutan, gerakan agamawan—seperti ibu-ibu di Bundaran HI dan kaum buruh—adalah gerakan politik in optima forma.

Penyangkalan adalah patologi psikologis yang berakibat buruk bukan hanya bagi gerakan, melainkan juga kepada mereka yang ia bela. Saya pikir gerakan kaum agamawan harus mau berdamai dengan kodrat politik gerakannya. Daripada terus mengibas debu politik dari jubah sucinya, agamawan harus terus menyuarakan kebenaran, mengorganisasikan diri, dan menjaga militansi. Hasil akhir masih berupa misteri politik. Namun, saya sedikit di antara orang yang sangat ingin tahu akhir cerita epos politik ini.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern di UI

Sumber :http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/03430979/setelah.gerakan.moral

Kebangkitan Energi Terbarukan

Oleh: Kusmayanto Kadiman

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan upaya peningkatan rasio elektrifikasi dipandang sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ini menjadi pendorong bagi peningkatan pasokan listrik nasional dan tentunya diikuti dengan perluasan jaringan transmisi serta distribusi.

PLN mematok angka 7 persen untuk pertumbuhan pasokan listrik agar kedua tujuan di atas tercapai. Kebijakan energi nasional yang memuat pola bauran

energi juga mengakomodasi target pertumbuhan pasokan listrik 7 persen ini. Tak urung kaum ABG (academician, business-people, government) menjadikan 7 persen ini sebagai angka psikologis. Bagaimana kita mencapai angka 7 persen itu? Akankah kita terus memerangkapkan diri dalam cengkeraman trio minyak bumi, gas, dan batu bara yang notabene ”petahana” di sektor energi? Atau, beranikah kita menengok sumber kekayaan alam Nusantara yang potensial jadi sumber daya energi listrik?

Trio petahana

Ketidakberhasilan Indonesia memperkecil kesenjangan antara produksi (lifting) dan konsumsi minyak bumi senantiasa menjadi peluru politik. Akademikus gencar mengingatkan bahwa menaikkan produksi minyak bumi itu bak fatamorgana, apalagi jika upaya peningkatan itu tidak berbasis harmonisasi nalar teknoekonomi dengan perspektif sosiopolitik.

Peak Oil Theory (POT) yang digagas MK Hubert pada 1956 dengan kurva Hubert mengatakan, sesudah produksi minyak bumi dunia melewati titik kulminasi 2005, produksi minyak bumi dunia akan mengikuti jalan menurun secara berkelanjutan.

Anomali terjadi di beberapa kawasan—lokal dan regional—di mana upaya menaikkan produksi masih mungkin terjadi. Peningkatan produksi dimungkinkan oleh kemajuan teknologi, misalnya mengoptimalkan sumur-sumur yang tidak ekonomis. POT juga mulai diterapkan pada gas alam dan batu bara.

Bentuk kurva Hubert untuk trio sumber energi ini serupa, yaitu mengikuti bentuk distribusi lonceng, hanya rentang waktunya yang berbeda. Rentang waktu minyak bumi terpendek adalah 1900-2150. Batu bara yang terpanjang rentang waktunya.

Selain volume cadangan yang terus berkurang dan harganya meroket, trio sumber energi memiliki banyak eksternalitas negatif. Pencemaran lingkungan terjadi hampir di semua kegiatan eksplorasi, eksploitasi, distribusi, pengolahan, dan pemanfaatan. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global yang menjadi isu dunia menuding trio minyak bumi, gas alam, dan batu bara sebagai kambing hitam.

Dewan Energi Nasional yang dibentuk sebagai konsekuensi dari undang-undang (UU) tentang energi berteriak akan mengubah kebijakan bauran energi nasional dengan tujuan mengurangi ketergantungan Indonesia pada trio energi dengan mendorong peningkatan konversi sumber terbarukan.

Cita lain yang ingin digapai melalui kebijakan bauran energi nasional yang disempurnakan ini adalah pemenuhan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya CO, sebanyak 26 persen pada 2020.

Energi terbarukan

Sumber energi terbarukan menjadi buzz-word Indonesia dan dunia. Negara maju berlomba menjadi yang terdepan dalam menjaga kualitas lingkungan. Berbagai sumber energi terbarukan ditengok, dipelajari, dan dieksploitasi.

Banyak kemajuan dicapai dengan mengonversi berbagai sumber energi menjadi energi untuk memenuhi kebutuhan transportasi, rumah tangga, kantor, dan industri. Kebijakan yang berpihak pada eksploitasi sumber energi terbarukan digagas, digulirkan, dan dipantau efektivitasnya.

Jerman terkenal dengan inisiatif Stromeinspeisunggesetz dan Amerika Serikat dengan dua UU, yaitu National Energy Act dan Public Utility Regulatory Policies Act. Kedua negara adidaya ini menjadi acuan bagi negara-negara lain dalam upaya mendorong pertumbuhan pemanfaatan sumber energi terbarukan.

Sumber daya seperti matahari, panas bumi, angin, kandungan minyak dalam tanaman, dan potensi serta kinetika air sungai dan laut menjadi pilihan yang menarik karena ada kebijakan yang mewajibkan memberi prioritas pada pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan ini dan insentif menawan. Insentif tidak terbatas pada wujud non-fiskal seperti kemudahan perizinan, tetapi sampai insentif riil seperti keringanan pajak, bebas bea cukai, dan tarif menggiurkan jika dipasok ke dalam jaringan listrik nasional atau lazim disebut sebagai feed-in tariff.

Energi biru

Kekayaan alam Indonesia masih belum banyak termanfaatkan. Rakyat Indonesia, 240 juta jiwa, belum mencapai tahap layak disebut sebagai sumber daya insani yang mampu mengonversi dari kekayaan alam menjadi sumber daya alam. Panas terik matahari lebih banyak dipandang sebagai pengganggu ketimbang potensi. Angin lebih sering jadi olok-olok, seperti masuk angin, mati angin, dan angin-anginan. Air belum lagi kita kelola dengan baik. Berita kekeringan dan banjir lebih sering kita dengar dan baca ketimbang upaya penanganannya.

Para ahli hidraulika memperkirakan potensi dan kinetika air sungai serta danau di Nusantara ini, jika dikonversi menjadi energi listrik, setara dengan 70 gigawatt. Saat ini hanya 4,4 gigawatt (6 persen) yang kita manfaatkan menjadi sumber energi listrik. Lebih dari 65 gigawatt menanti intervensi sumber daya insani (ABG) Indonesia untuk dikonversi menjadi sumber daya energi.

Air laut yang tak pernah berhenti mengalir mengikuti pola pasang surut (tidal power) akibat berputarnya Bumi, Bulan, dan Matahari pada sumbu serta orbitnya juga siaga untuk menanti uluran tangan sumber daya insani Indonesia. Jika mengacu pada perkembangan teknologi konversi energi pasang surut dunia, kita akan melihat negara-negara maju juga giat mengembangkannya. India bangga dengan proyek energi pasang surut pertamanya di Gujarat. AS mengatakan telah mengeksploitasi energi pasang surut di Manhattan dan Queens.

Inggris memberitakan Skotlandia teratas dalam ranah energi pasang surut. Korea Selatan telah mengumumkan beroperasinya pembangkit listrik pasang surut Jindo Uldolmok. Norwegia lebih progresif: sukses lebih dari tiga tahun mengoperasikan pembangkit listrik pasang surut dengan kapasitas 300 kilowatt dan terhubung ke jaringan listrik nasional (grid connected) di Hammerfest. Lebih lanjut diberitakan, model pembangkit baru dengan kapasitas 1.000 kilowatt sedang dalam persiapan.

Jika energi listrik ramah lingkungan yang bersumber dari tenaga angin, tenaga matahari, tenaga panas bumi, serta tenaga air sungai dan danau serta berbahan bakar dari tumbuhan disebut sebagai the green energy, energi listrik yang dihasilkan dari konversi energi pasang surut, yang notabene berasal dari laut, layak dikategorikan sebagai the (real) blue energy. Indonesia sebagai deretan 14.000 pulau dan sebuah negara kepulauan (sesuai dengan Deklarasi Djuanda) adalah sumber besar blue energy.

Kusmayanto Kadiman Menristek RI 2004-2009 dan Rektor ITB 2001-2003

Lowongan Staff Agronom

SENTOSA AGRI PLANTATION, PT (SAP)


PT. Sentosa Agri Plantation (SAP) adalah perusahaan perkebunan yang baru bergerak di bidang perkebunan sawit di daerah Sumatra Selatan secara komprehensif. Bersama dengan ini kami hendak mengundang saudara sekalian untuk mengisi posisi sebagai berikut :

Staff Agronom
Kualifikasi :
  • Pria/ wanita.
  • Pendidikan minimal S1 jurusan Agronomi.
  • Minimum berpengalaman di bidang yang sama selama 3 tahun, lebih diutamakan mempunyai pengalaman dalam pembenihan, pembibitan, dan perawatan perkebunan kelapa sawit.
  • Menguasai Program (Microsoft Office, internet, Microsoft project).
  • Mampu bekerja secara team/mandiri dan mampu berkomunikasi dengan baik.
  • Memiliki kemampuan analisa masalah dan pengambilan keputusan yang baik.
  • Bersedia ditempatkan di daerah Sumatera Selatan.


Kami hanya akan mengundang dan menginterview beberapa kandidat terpilih. Oleh sebab itu akan menjadi point plus apabila saudara dapat melampirkan resume dan portfolio saudara via e-mail.

Lamaran lengkap beserta pas foto terbaru dapat dikirim ke :

Sentosa.agri@gmail.com

Terima kasih atas waktu dan perhatian saudara!

Lowongan Agronomist / Research Officer

PT Applied Agricultural Resources Indonesia



We are leading commercial research organization providing research and advisory services to plantations in Malaysia and Indonesia. We are expending our operations and scope of research to meet new challenges and demand by consumers. We seek resourceful and outstanding young Indonesia graduates (Honours and higher degrees) to join us as:


Agronomist / Research Officer
(Riau - Pekan Baru-Riau)

Requirements:
  • MSc degree (BSc with good qualification will also be considered) in Agriculture,
  • Ecology/Environment, Genetics, Mathematical, Biology
  • PhD degree/experience is advantageous
  • Keen interest in field research
  • Good written and verbal communication skills in Indonesia and English Language
  • Willing to travel extensively
  • Indonesian applicants are preferred and willing to be posted in Indonesia

    Please submit a detailed resume, with supporting documents, telephone contact, email and a recent passport size photo to:

The Director PT. AAR Indonesia
PO BOX 1289 Pekanbaru(code:JOBSTREET DEC 2010)

Lowongan Asisten Kebun (AKN)

PT Sampoerna Agro Tbk (Palembang)


Perusahaan kami merupakan kelompok usaha Sampoerna Agro bergerak di bidang agribisnis sektor perkebunan, dengan ini mengumumkan bahwa perusahaan kami membuka lowongan kerja untuk mengisi posisi:

Asisten Kebun (AKN)
(Sumatera Selatan - Palembang)

Requirements:
  • Laki-laki dan berusia maksimum 40 tahun.
  • Pendidikan terakhir Strata 1 Pertanian/Perkebunan/Kehutanan.
  • Memiliki pengalaman di posisi yang sama (Asisten Kebun) di perkebunan kelapa sawit minimal 3 tahun.
  • Menguasai atau mampu mengoperasikan komputer dan perangkat lunak (minimal MS Office).
  • Berbadan sehat dan tinggi badan minimum 160 cm.
  • Mampu berkomunikasi dengan baik, cekatan, ulet, kreatif, jujur, disiplin dan bertanggung jawab.
  • Diutamakan fasih berbahasa inggris aktif maupun pasif.

    Selanjutnya membuat surat lamaran kerja yang dilampirkan:

    1. Curriculum Vitae (CV)
    2. Transkrip/Ijazah formal dan non formal
    3. Pas foto berwarna (ukuran 4 x 6) sebanyak 3 lembar
    4. Identitas diri (Kartu Tanda Penduduk)
    5. Nomor telepon/handphone
    6. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter
    7. Dan dokumen pendukung lainnya



Mencantumkan kode AKN nomor dan tanggal pengumuman pada amplop lamaran kerja (sudut kiri atas).

Bagi calon pelamar yang memenuhi persyaratan di atas dapat mengirimkan lamaran lengkap ke :

Human Resource Services PT Sampoerna Agro Tbk
Jalan Basuki Rahmat No. 788 Palembang 30127
atau
Alamat email: recruitment.sgro@yahoo.com

Lowongan Field Assistant Trainee (FAT)

PT Sampoerna Agro Tbk (Palembang)


Perusahaan kami merupakan kelompok usaha Sampoerna Agro bergerak di bidang agribisnis sektor perkebunan, dengan ini mengumumkan bahwa perusahaan kami membuka lowongan kerja untuk mengisi posisi:
Field Assistant Trainee (FAT)
(Sumatera Selatan - Palembang)
Requirements:
  • Laki-laki belum kawin dan berusia maksimum 25 tahun.
  • Pendidikan terakhir Strata 1 Pertanian/Kehutanan (IPK min 2,75).
  • Menguasai atau mampu mengoperasikan komputer dan perangkat lunak (minimal MS Office).
  • Berbadan sehat dan tinggi badan minimum 160 cm.
  • Mampu berkomunikasi dengan baik, cekatan, ulet, kreatif, jujur, disiplin dan bertanggung jawab.
  • Diutamakan fasih berbahasa inggris aktif maupun pasif.

Selanjutnya membuat surat lamaran kerja yang dilampirkan:

1. Curriculum Vitae (CV)
2. Transkrip/Ijazah formal dan non formal
3. Pas foto berwarna (ukuran 4 x 6) sebanyak 3 lembar
4. Identitas diri (Kartu Tanda Penduduk)
5. Nomor telepon/handphone
6. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter
7. Dan dokumen pendukung lainnya



Mencantumkan kode FAT nomor dan tanggal pengumuman pada amplop lamaran kerja (sudut kiri atas).

Bagi calon pelamar yang memenuhi persyaratan di atas dapat mengirimkan lamaran lengkap ke :

Human Resource Services PT Sampoerna Agro Tbk
Jalan Basuki Rahmat No. 788 Palembang 30127
atau
Alamat email: recruitment.sgro@yahoo.com

Rabu, 26 Januari 2011

Kesempatan Terakhir SBY

Oleh: Saldi Isra

Sejumlah skandal yang mengguncang jagat penegakan hukum gagal dijadikan sebagai momentum untuk menggerakkan energi perubahan. Jangankan berubah, penuntasan skandal lama terbelenggu dan terimpit oleh munculnya skandal baru. Banyak kejadian menunjukkan, munculnya skandal baru seperti sengaja didesain untuk menutup skandal lama.

Dalam tenggat sekitar dua tahun terakhir dapat dicatat sejumlah megaskandal yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah skandal menutup skandal lain. Menjelang pertengahan 2009, misalnya, publik dikejutkan oleh skandal pembunuhan yang melibatkan Ketua KPK Antasari Azhar. Sejauh ini, meskipun secara hukum skandal itu sudah tuntas, bagi sebagian publik kejadian yang dialami Antasari masih menyisakan banyak pertanyaan.

Ketika sejumlah pertanyaan yang tersisa belum terjawab, publik harus memindahkan mata dan perhatian ke skandal baru, yaitu kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kejadian ini benar-benar membuka mata publik, sesungguhnya KPK tak dapat dukungan memadai dari sejumlah lembaga negara. Bahkan, ketika kriminalisasi ini bergerak bak gelombang besar yang hendak meluluhlantakkan KPK, Presiden SBY kelihatan tak serius melakukan penyelamatan. Karena itu, kejadian tersebut sering dipahami sebagai langkah lebih lanjut untuk membunuh KPK.

Gumpalan misteri di pusaran kriminalisasi pimpinan KPK belum terkuak, skandal Bank Century menyeruak ke permukaan. Ibarat panggung raksasa, skandal ini benar-benar membius publik. Selama panggung terbuka, jangankan menguak misteri kriminalisasi pimpinan KPK, negeri ini seperti berhenti bergerak demi penyelesaian skandal Century. Namun ujung semuanya, politik transaksional yang keluar sebagai pemenang.

Ibarat berenang dalam lautan megaskandal, belum sempat menelisik bagaimana bekerjanya politik transaksional ini, skandal Century tertutup oleh skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Patut diduga, ujung penyelesaian skandal Gayus akan mengalami nasib tak jauh beda dengan skandal-skandal lain.

Takut risiko

Salah satu penyebab terjadinya tumpukan megaskandal adalah lemahnya dukungan Presiden untuk menyelesaikannya secara tuntas. Dalam banyak kejadian, SBY seperti tak mau ambil risiko untuk menuntaskan skandal yang terjadi. Paling tidak, ketidakberanian itu dapat dilacak dalam penyelesaian skandal kriminalisasi pimpinan KPK. Jika Presiden melakukan langkah berani, KPK tak akan tersandera dalam waktu lama. Padahal, hasil investigasi Tim 8 telah menyatakan tak cukup bukti untuk melimpahkan kasus BibitChandra ke pengadilan.

Sulit dibantah, ketidakberanian ini muncul lagi dalam penuntasan skandal Gayus. Buktinya, ketika pelesiran Gayus ke Bali tersingkap ke permukaan, Presiden memerintahkan Kapolri mengungkap latar belakang kejadian ini. Dalam praktiknya, jangankan menguak, yang terlihat, kecenderungan melokalisasi pada pelesiran Gayus ke Bali saja. Padahal, telah jadi pengetahuan umum, Gayus meninggalkan rutan hampir 70 kali. Ketika sejumlah pelesiran Gayus ke luar negeri terungkap, Presiden kehilangan nyali meminta pertanggungjawaban semua institusi terkait.

Terkait reaksi Presiden itu, dalam tulisan ”Tamparan Awal Tahun” (Kompas, 7/1), dikemukakan bahwa ketika perjalanan misterius Gayus terungkap, Presiden menyampaikan reaksi amat normatif, yaitu ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar negeri. Reaksi normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam jagat penegakan hukum.

Respons itu jadi indikasi Presiden tak serius menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius Gayus. Memang benar, dalam perkembangan berikutnya, Presiden mengeluarkan instruksi kepada petinggi hukum untuk memberikan sanksi administratif dan disiplin selain sanksi hukum bagi pelaku.

Namun, setelah berjalan seminggu, inpres itu tak menunjukkan pergerakan signifikan. Buktinya, dalam rapat skandal Gayus yang dipimpin Wapres Boediono, belum ada penindakan terhadap pejabat Polri dan Kejaksaan yang diduga terkait Gayus (Kompas, 25/1). Fakta itu membuktikan, batasan waktu seminggu yang disampaikan Presiden tak bermakna apa-apa bagi kedua institusi. Selain pengabaian tenggat waktu oleh Kepolisian dan Kejaksaan, yang sulit dipahami dari inpres ini adalah memberikan wewenang pengawasan tindak lanjut inpres ke Wapres.

Penyerahan tugas itu jadi bukti tambahan, Presiden tak berani ambil risiko dalam penuntasan megaskandal yang terjadi dalam penegakan hukum. Padahal, dengan ambil tanggung jawab langsung, pesan yang ditimbulkannya pasti lebih kuat di mata para penegak hukum dan publik. Bagaimanapun, dengan kejadian ini, Presiden tak pernah mau dan mampu menunjukkan bagaimana memimpin langsung pemberantasan korupsi.

Kesempatan terakhir

Ketidakberanian Presiden ambil risiko dapat pula dilacak saat merespons serangan banyak pihak atas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Beberapa saat setelah pembacaan vonis majelis hakim PN Jakarta Selatan, secara terbuka Gayus menyatakan kekesalan kepada Satgas. Tak tanggung-tanggung, ia menuding Satgas memanfaatkan kasusnya untuk kepentingan politik. Menghadapi kejadian itu, Presiden tak memperlihatkan dukungan konkret kepada Satgas. Bahkan, sepertinya, Presiden menghakimi Satgas dengan meminta penjelasan dalam batas waktu 1 x 24 jam. Bisa jadi, bagi Presiden, langkah meminta kejelasan itu memberikan makna sebagai bentuk cepat tanggap. Namun, yang dibaca sejumlah kalangan, Presiden melakukan cuci tangan.

Seharusnya, dalam situasi yang sangat tak menguntungkan ini, Presiden memberikan dukungan terbuka kepada Satgas. Ini penting karena serangan kepada Satgas tak hanya dari Gayus, tetapi juga dari sejumlah parpol. Jika dukungan terbuka dilakukan, upaya mengobok-obok Satgas mungkin hanya terjadi dalam intensitas rendah. Padahal, selama ini, dengan kewenangan terbatas, Satgas mampu menyelamatkan dan mewakili ”wajah” Presiden dalam isu pemberantasan mafia hukum.

Sebagai kepala pemerintahan yang mendapat mandat besar dari pemilih, SBY tak boleh membiarkan negeri ini tenggelam dalam lautan megaskandal tanpa penyelesaian jelas. SBY tak perlu takut dengan ancaman bahwa pemerintah akan oleng jika jejaring Gayus dibongkar. Banyak kalangan percaya, membongkar sampai ke akar-akarnya jauh lebih baik dan beradab dibanding mendiamkannya demi kepentingan stabilitas semu.

Karena itu, penyelesaian skandal Gayus akan jadi kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan bahwa ia mau dan mampu memimpin langsung pemberantasan korupsi dan sekaligus mampu memimpin negeri ini. Apabila SBY gagal memanfaatkan kesempatan yang terakhir ini, langkah konstitusional memperpendek masa jabatan SBY pasti sulit dicegah.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/26/04245639/kesempatan.terakhir.sby

Nyanyian Gayus, Satgas, dan Istana

Oleh: Laode Ida

Seusai divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Gayus Tambunan yang didampingi pengacaranya, Adnan Buyung Nasution, memberikan keterangan pers yang sedikit mengejutkan.

Intinya, ia kecewa terhadap Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, khususnya Denny Indrayana, Mas Achmad Santosa, dan Yunus Husein, lantaran dianggap telah terlibat melakukan rekayasa dalam penanganan kasus yang melibatkan dirinya. Rekayasa itu mulai dari proses penangkapannya di Singapura, upaya mengarahkan tuduhan kepada Grup Bakrie terkait uang Rp 50 miliar yang ada di kotak penyimpanannya, intimidasi terhadap istrinya untuk mengakui ”bertemu dengan Aburizal Bakrie (Ical)” saat menonton kejuaraan tenis di Bali, hingga keterlibatan oknum intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam pembuatan paspor palsu.

Pihak Satgas agaknya sangat terpukul dengan nyanyian Gayus sehingga demikian sibuk atau kerepotan membantahnya, bahkan terkesan ”panik”. Denny pun kemudian membeberkan transkrip Blackberry Messenger (BBM) untuk meyakinkan bahwa tuduhan Gayus itu bohong adanya.

Namun, yang tak bisa dibantah, khususnya oleh Denny, menurut saya, adalah bukti cuplikan pesan singkat yang dikirimnya kepada Milana (istri Gayus), yang mengesankan adanya ”bujukan intimidatif” untuk, antara lain, mengakui kepergian Gayus di Bali adalah untuk bertemu dengan Ical (Kompas.com, 14/1/2011).

Rekayasa dan pencitraan

Pernyataan Gayus tentang sepak terjang Satgas, khususnya Denny ini, memunculkan beberapa kecurigaan khalayak. Pertama, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pencitraan. Dengan memanfaatkan kasus Gayus, Satgas boleh jadi telah bekerja dalam skenario yang sarat rekayasa, hanya untuk memunculkan kesan ”cepat bertindak dan mengungkap kasus mafia besar”.

Selain itu, karena lembaga itu merupakan bentukan Presiden SBY, dengan sendirinya akan semakin memperkuat dan mengangkat pencitraan. Presiden sendiri sudah mengumumkan keberhasilan pemerintah yang salah satunya adalah penegakan hukum (hasil kerja Satgas), kendati kemudian sejumlah tokoh agama menganggapnya sebagai bagian dari kebohongan.

Kedua, kecurigaan bahwa Satgas bekerja untuk kepentingan pembunuhan karakter lawan politik. Fenomena ini setidaknya muncul dari berbagai pernyataan dan sikap Denny (yang kemudian dibenarkan oleh Gayus) yang berupaya terus fokus pada tuduhan keterlibatan Grup Bakrie sebagai pengemplang pajak. Padahal, sebenarnya masih ada lebih dari 100 perusahaan lain yang diduga juga terlilit kasus yang sama. Sangat jarang, atau bahkan hampir tak pernah, pemilik dari perusahaan-perusahaan lain ini diungkap secara terbuka oleh Satgas.

Akibatnya, sangat terkesan ada nuansa politik, dan bukan mustahil kemudian dicurigai ”terkait dengan kepentingan pihak Istana” untuk ”mematikan peluang lawan politiknya”, baik terkait skandal Bank Century maupun terkait kepentingan pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden 2014.

Semoga ini hanya sebatas dugaan. Sebab, kalau sampai dua dugaan tersebut mengandung unsur kebenaran, bukan hanya sungguh rendah nilai keberadaan Satgas itu, melainkan secara terselubung juga telah melakukan ”pembohongan kepada masyarakat awam”. Banyak pihak berharap pembentukan Satgas adalah bagian dari wujud komitmen Presiden SBY dalam rangka penegakan hukum di negeri ini. Anggota timnya pun terkesan memiliki derajat independensi dan kredibilitas yang tinggi karena terdiri dari kalangan terdidik dan tokoh publik.

Jangan sampai mereka menjadi instrumen efektif untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Untuk mencegah kecurigaan terhadap kemungkinan keterlibatan Istana dalam upaya rekayasa kasus Gayus, setidaknya Presiden SBY perlu melakukan dua langkah pokok. Pertama, mengusut secara tuntas mafia perpajakan yang sudah diungkap melalui kasus Gayus. Presiden SBY juga harus memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang ”posisi pihaknya” bahwa pihaknya tidak terlibat dalam rekayasa seperti yang diindikasikan oleh oknum Satgas. Kalau tidak, maka pencitraan yang ada justru kian buruk, sekaligus juga akan memperkuat tuduhan sejumlah tokoh agama dan aktivis tentang adanya indikasi kebohongan.

Kedua, Presiden SBY menggunakan masukan atau informasi dari Gayus untuk melakukan evaluasi mendasar terhadap keberadaan Satgas dan orang-orang yang ada di dalamnya. Presiden tak perlu ragu untuk memberikan sanksi kepada oknum yang dalam manuvernya telah mencederai keberadaan Satgas dan mencoreng wajah Istana.

Laode Ida Wakil Ketua DPD; Artikel Ini merupakan Pandangan Pribadi

Selasa, 25 Januari 2011

Lowongan Askep

PT Ganda Sawit Utama


PT. Ganda Sawit Utama wash established on October 20th, 2003 and act as a flagship to represent Ganda Group companies which mainly focus on palm oil agribusiness as its core business. The Group is expanding rapidly; therefore we are looking for qualified professional people to join our company at the following position :

Askep
(Kalimantan Barat, Kalimantan Timur)

Responsibilities:
  • To conduct agronomy trials with the objective of improving yields and enhancing the growth of oil palms in peat and mineral soils.
  • To be proficient in scientific analysis of information and writing of reports and publications.
  • Conduct training sessions to estate personnel on good agronomic practices and water management.
  • Plan and provide fertilizer application programs and recommendations for oil palm for the
  • Group oil palm estates plantings and advise the estates on the good agronomic & water management practices for yield improvement.
  • Provide trainings/clinics in various agronomic aspects for executive and non-executive.

    Requirements:
  • Degree / Diploma from reputable university graduate from Agriculture (Pertanian).
  • Min. 5 years experience handle palm plantation.
  • Control productivity crop & labour productivity
  • Computer skill (Word, Excel, Power point)
  • English language skill actively.
  • Good communication, reporting & presentation skill.
  • Strong leadership, conceptual thinking, high quality standard of work, budgeting & cost control.

Please send application and CV (max 200 kb) to :

PT. GANDASAWIT UTAMA
Jl. Raya Pluit Selatan Blok. S No. 8, Pluit, Penjaringan Jakarta Utara 14440
or email to : hrd@gandasawit.com

"Only short-listed candidates will be invited via e-mail/phone for Test and Interview "


Lowongan Asisten Kepala

PT Herfinta Farm & Plant


Perusahaan yang bergerak di bidang Perkebunan & Pengolahan Kelapa Sawit membutuhkan tenaga kerja ahli dan professional untuk ditempatkan pada posisi :
Asisten Kepala
(Sumatera Utara - Medan)

Requirements:
  • Laki-laki usia maksimal 37 tahun
  • Pendidikan minimal S1 Perkebunan
  • Memiliki pengalaman sebagai asisten kepala minimal 5 tahun
  • Mempunyai motivasi kerja yang tinggi, jujur, kreatif, rajin, displin dan bertanggung jawab
  • Sehat jasmani dan rohani
  • Bersedia ditempatkan diseluruh wilayah kerja perusahaan

Surat lamaran lengkap dengan foto copy ijazah terakhir, CV, foto copy KTP, pasphoto terbaru 4x6 2 lembar, foto copy SIM A (7) & referensi kerja dikirim ke :

Jl. Kapt. Maulana Lubis No. 9, Medan

Lowongan Tenaga Ahli Pertanian

PT Radika Karya Utama


Perusahaan sedang berkembang yang terletak di Kec. Megamendung, Kabupaten Bogor, membutuhkan tenaga ahli peternakan dengan persyaratan:

Tenaga Ahli Pertanian
(Jakarta Raya)


Requirements:
  • Pria – usia max 35 tahun.
  • Pendidikan minimal D3 Pertanian.
  • Berpengalaman minimal 5 tahun di bidang pemeliharaan dan pengelolaan pertanian terutama untuk tanaman organik.
  • Inovatif, proaktif dan mampu bekerja mandiri.
  • Memiliki jiwa kepemimpinan yang baik dan mampu bekerjasama dalam tim serta memotivasi staf di unit kerjanya.
  • Memiliki keterampilan komunikasi, interpersonal dan kepribadian yang kuat.
  • Memiliki komitmen dan integritas yang tinggi.
  • Mampu bekerja dalam tekanan dan target serta bersedia menyelesaikan pekerjaan di luar jam kerja.

kirimkan lamaran lengkap, CV yang mencantumkan detail tugas dan tanggung jawab serta keberhasilan anda sebelumnya, gaji yang diharapkan dan photo terbaru ke alamat e-mail :

afirdaus71@yahoo.co.id

Senin, 24 Januari 2011

Indonesia Krisis Pangan?

Oleh: Siswono Yudo Husodo

Kekhawatiran akan dampak buruk perubahan iklim pada ketersediaan pangan mulai merebak di dunia.

Hal itu terutama sejak mantan Wakil Presiden AS Al Gore meluncurkan buku An Inconvenient Truth yang sangat impresif dan menyadarkan para pemimpin dunia mengenai bahaya perubahan iklim.

Saat ini badai salju dahsyat di belahan utara telah mengganggu produksi pangan. Di Queensland, Australia, banjir hebat merusak kebun tebu dan menghambat ekspor gula. Eropa, AS, dan Australia adalah produsen sekitar 65 persen pangan dunia. Di Tanah Air hujan berkepanjangan. Harga produk pangan meningkat.

Di Tanah Air hiruk pikuk wacana publik tentang potensi kelangkaan pangan cenderung dipersempit pada beras semata. Jenis pangan lain kurang diperhatikan, padahal manusia makhluk omnivor. Beragam pangannya bersumber dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, laut (ikan, rumput laut, garam), dan hutan (madu, jamur, pakis, porang).

Harga cabai mahal luar biasa. Hujan berkepanjangan bikin banyak cabai rusak di kebun. Mayoritas penggunaan cabai di Indonesia adalah cabai segar. Kita belum biasa membuat produk pertanian yang tak tahan lama menjadi tahan lama, seperti membuat stok cabai kering.

Harga pangan lima tahun terakhir dan harga energi meningkat. Era harga pangan murah sudah berlalu. Produk pertanian, terutama jagung, ubi kayu, minyak sawit, dan tetes tebu, bersaing antara penggunaan untuk pangan manusia, pakan ternak, dan kini untuk energi (etanol).

Andalan dunia

AS pada 2009 menggunakan 40 juta ton jagung untuk etanol. Produksi jagung nasional kita (2009) sekitar 17,6 juta ton. Sebagai bangsa berpenduduk nomor empat di dunia, Indonesia harus serius menetapkan langkah sistematis untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri.

Dianugerahi tanah subur di khatulistiwa dan dapat berproduksi sepanjang tahun, Indonesia harus terpanggil jadi pemasok pangan tropis bagi dunia. Masyarakat di berbagai belahan dunia tak dapat hidup nyaman tanpa produk pangan tropis, seperti kopi, cokelat, lada, pala, minyak sawit, dan gula tebu. Andalan produsen pangan tropis untuk memenuhi kebutuhan dunia terutama RI dan Brasil.

Krisis pangan di Indonesia bukan karena pasokan pangan berkurang drastis, melainkan lebih karena daya beli rakyat yang tak mampu untuk pangan yang harganya meningkat serta manajemen stok pangan yang kurang baik. Sekitar 17,4 juta keluarga (70 juta jiwa) termiskin di Indonesia tak mampu membeli pangan dengan nutrisi memadai. Ini kontras dengan kelas menengah ke atas yang leluasa mengonsumsi pangan. Restoran berkelas di kota besar penuh, juga warung pinggir jalan.

Mengatasi kondisi itu, pemerintah mengadakan program beras untuk rakyat miskin (raskin). Dalam APBN 2011, program raskin menyediakan subsidi buat 17.483.989 rumah tangga sasaran sebesar Rp 17 triliun: 15 kg beras per keluarga per bulan. Program raskin yang sudah lima tahun sejak 2005 terbukti cukup membantu. Beberapa aspek perlu diperbaiki. Misalnya, mengenai kualitas raskin.

Rumah tangga sasaran membeli raskin Rp 1.600 per kg. Dari harga itu, pemerintah menyubsidi Rp 4.685 per kg. Harga yang dibeli rakyat miskin sesungguhnya Rp 6.285 per kg. Di pasar umum, beras seharga itu berkualitas baik. Kenyataannya di berbagai tempat kualitas raskin memprihatinkan: coklat, bau apek, persentase yang pecah terlalu banyak, sebagian berulat, dan tak layak makan.

Perlu diingat, bagi kelompok warga berpendapatan rendah, beras adalah sumber pemenuhan nutrisi utama. Kemampuan mereka terbatas mengonsumsi jenis pangan lain. Pemerintah perlu jaga kualitas raskin: selain mengandung karbohidrat, juga protein (meski sedikit) dan vitamin.

Surplus

Seperti laporan Kementerian Pertanian dan BPS, produksi beras kita meningkat dan surplus dibandingkan dengan kebutuhan. Selama 12 bulan dalam setahun surplus beras di Indonesia sekitar 2 juta ton: Januari-Juli surplus 5 juta ton dan Agustus-Desember defisit 3 juta ton. Manajemen stok yang baik menjadi kunci bagi pengamanan persediaan sepanjang tahun. Sewaktu bulan surplus, Bulog paling tidak harus beli beras dalam negeri 4 juta ton dan melepas pada masa defisit. Sisanya agar tak rusak bisa diekspor. Gudang pun dapat diisi kembali.

Bulog punya 1.160 gudang dan tersebar di lebih dari 400 kabupaten/kota yang dibangun lebih dari 30 tahun lalu dan merupakan generasi pertama sistem gudang penyimpanan beras. Dengan kondisi gudang kita, beras tak bisa bertahan baik lebih dari empat bulan. Artinya, beras di gudang Bulog maksimum empat bulan harus didistribusikan ke konsumen.

Total kapasitas simpan gudang Bulog 4 juta ton. Sepuluh tahun terakhir maksimum pembelian beras dalam negeri oleh Bulog hanya 3 juta ton. Untuk 2010 bahkan kurang dari 1,5 juta ton. Itu sebab di beberapa tempat gudang Bulog dipakai untuk futsal. Pada 2011 ini, Bulog berencana mengimpor 1,25 juta ton beras. Sungguh aneh!

Krisis pangan bagi Indonesia dapat juga dilihat dari ketergantungan kita pada pangan impor yang terus meningkat. Lebih dari 11 miliar dollar AS dikeluarkan saban tahun untuk impor pangan. Dari Maret 2007 ke Maret 2008 kita mengimpor gula 37,48 persen dari kebutuhan nasional; garam rata-rata 1,5 juta ton per tahun senilai sekitar Rp 900 miliar dan merupakan 50 persen kebutuhan garam nasional; 70 persen dari kebutuhan nasional kedelai; 11,23 persen kebutuhan jagung; 15 persen kebutuhan kacang tanah; daging sapi setara lebih dari 750.000 sapi dan merupakan 23 persen kebutuhan nasional.

Krisis pangan juga bisa dilihat dari meningkatnya konsumsi gandum yang belum bisa ditanam di Tanah Air. Krisis itu akan lebih parah apabila kebijakan yang tak memberi insentif pada peningkatan produksi terus dijalankan: bebas bea masuk impor pangan, jeroan Australia dan paha ayam Amerika murah masuk karena merupakan limbah di negara asalnya.

Kunci keberhasilan ketahanan pangan nasional adalah pada keragaman pangan. Sukun, sagu, dan ubi kayu yang relatif lebih tahan pada musim basah yang berkepanjangan perlu digalakkan. Ide menjadikan Indonesia produsen pangan tropis untuk dunia tak bisa direalisasikan tanpa perbaikan aspek fundamental, seperti peningkatan skala ekonomi petani kita.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/22/04443289/indonesia.krisis.pangan

Republik Tersandera Korupsi

Oleh Eko Prasojo

Negeri ini seakan tak henti dilanda penyakit korupsi. Setelah berbagai kasus korupsi tak kunjung reda di tingkat nasional, beberapa hari lalu Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa 155 kepala daerah menjadi tersangka dalam kasus korupsi dan 17 di antaranya adalah gubernur.

Tulisan ini tak akan mengupas kasus Gayus Tambunan dan kasus korupsi yang terjadi di tingkat nasional. Selain sudah banyak yang memberi perhatian, kasus Gayus ini sangat pelik, kompleks, dan cenderung menjadi the untouchable. Yang lebih besar dan penting perkaranya adalah gejala para kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebab hal ini benar-benar dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Inovator dan koruptor

Sebagai salah seorang yang memberi perhatian kepada perkembangan otonomi daerah, sebenarnya penulis sangat miris membaca banyaknya kepala daerah yang dijadikan tersangka kasus korupsi.

Beberapa kepala daerah adalah para inovator yang telah tercatat namanya tidak saja oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta sejumlah media massa sebagai penerima kusala untuk pelayanan prima dan daerah otonom percontohan; tetapi juga oleh Bank Dunia, UNDP, dan beberapa organisasi internasional lain.

Penulis sendiri tidak berani meyakini bahwa semua kepala daerah itu koruptor meski tentu saja harus dibuktikan secara hukum. Bahkan, hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap beberapa daerah yang inovatif sangat meyakinkan: kemajuan daerah-daerah itu sangat dilandasi oleh komitmen kepala daerah.

Mereka adalah para kepala daerah yang tak saja sangat memiliki kompetensi, legitimasi besar dari masyarakat, tetapi juga kemauan politik memberi manfaat otonomi daerah yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Para kepala daerah yang inovatif memang cenderung tak bisa terpaku pada ketentuan hukum normatif yang sangat membatasi ruang gerak bagi kemajuan daerah. Batasan inovasi dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi sangat kabur.

Mungkin dalam kasus ini para kepala daerah terjebak dalam penyalahgunaan wewenang yang sering dijadikan logika dasar penegakan hukum, baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Para kepala daerah yang demikian sebenarnya sangat disayangkan: karena kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang, mereka telah berganti status dari inovator menjadi koruptor. Tentu hal ini jadi ancaman bagi kepala daerah lain untuk menggagas berbagai inovasi pemerintahan daerah.

Pengamatan penulis di beberapa daerah juga menunjukkan bentuk paradoks lain. Selain menghasilkan kepala daerah yang inovatif dan pro-kemajuan daerah, otonomi daerah juga melahirkan kepala daerah yang memang secara genetis berpotensi jadi koruptor.

Para kepala daerah ini biasanya sangat suka dengan kekuasaan dan cenderung menyalahgunakan wewenang atau mungkin juga berbuat sewenang-wenang. Bukan saja tak inovatif, kepala daerah yang haus kekuasaan ini memang tak punya komitmen untuk kemajuan daerah yang ia pimpin. Hal ini disebabkan modal menjadi kepala daerah sangat besar sehingga harus dikembalikan melalui berbagai cara dalam pemerintahan. Mereka memang pantas disebut sebagai koruptor.

Lima faktor utama

Pemilihan langsung kepala daerah bukan satu-satunya penyebab banyaknya kepala daerah yang dijadikan tersangka korupsi. Seperti disampaikan berulang kali oleh Mendagri dan juga Dirjen Otonomi Daerah, mahalnya biaya pilkada menjadi penyebab utama mengapa para kepala daerah melakukan korupsi.

Sangat tak masuk akal jika seorang calon kepala daerah menghabiskan puluhan miliar rupiah berkompetisi dalam pilkada untuk mengejar gaji plus segala macam tunjangan yang maksimal dapat diperoleh hingga Rp 100 juta per bulan.

Ada paling tidak lima penyebab banyaknya kepala daerah yang jadi tersangka korupsi, selain mahalnya biaya pilkada. Pertama, penggunaan diskresi oleh kepala daerah yang tak terkontrol. Sebagaimana diketahui bahwa setiap pejabat—baik yang dipilih maupun diangkat—memiliki kewenangan diskresioner. Mayoritas korupsi di Indonesia yang terjadi dalam arena birokrasi disebabkan oleh penggunaan kewenangan diskresioner yang tak berbatas dan tak terkontrol.

Diskresi membutuhkan rambu-rambu, antara lain asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sesuai dengan tujuan pemberian diskresi itu sendiri. Desentralisasi yang memberikan kewenangan dan legitimasi besar kepada kepala daerah tak disertai dengan kesadaran mengambil keputusan dan tindakan yang benar dan baik.

Kedua, oligarki dan dinasti kekuasaan. Seperti disampaikan oleh Manor dan Crook (2000), pemilihan langsung kepala daerah yang tak disertai dengan penguatan kontrol masyarakat dalam pemerintahan daerah cenderung menyebabkan oligarki kekuasaan. Oligarki ini membentuk blok korupsi yang sangat sulit diatasi. DPRD tidak berperan, kontrol masyarakat absen, dan kongkalikong kejahatan sistemis antara penegak hukum, politisi, dan birokrasi.

Tidak mengherankan banyak hal lucu yang terjadi di daerah. Mulai dari dinasti kekuasaan keluarga, mantan kepala daerah menjadi calon wakil kepala daerah, dua istri kepala daerah menjadi calon kepala daerah, sampai dengan istri berkompetisi dengan suami dalam pilkada. Rasanya sulit menilai dengan logika normal semua keserakahan kekuasaan dan ketidaketisan ini.

Ketiga, inkompatibilitas sistem. Persoalan dalam kasus tersangka korupsi sejumlah kepala daerah sebenarnya adalah fenomena gunung es. Pemerintahan daerah tidaklah berada dalam ruang hampa, tetapi fungsi bekerjanya berbagai macam sistem yang ada: sistem politik, sistem hukum, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem budaya.

Sistem politik yang tidak berbasis ideologi dan sistem merit kader ternyata telah melahirkan calon-calon kepala daerah yang oportunis, tidak memiliki visi kenegarawanan, dan tidak berbasis pengetahuan pemerintahan. Sistem hukum yang lemah ternyata telah menyebabkan proses penegakan hukum sebagai cara dan alat produksi sumber penerimaan.

Sistem sosial yang rapuh telah pula menyebabkan sikap permisif masyarakat atas pelanggaran korupsi dan segala bentuk ketidaketisan yang terjadi di daerah. Adapun sistem ekonomi yang sangat berpihak kepada pemilik modal telah menghasilkan rentenir politik dan pemerintahan yang rela menjual tanah dan air Ibu Pertiwi untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Berbagai inkompatibilitas sistem ini ternyata menyuburkan perilaku koruptif di daerah.

Keempat, lemahnya pengawasan pusat. Otonomi daerah seluas-luasnya, sebagaimana menjadi semangat konstitusi dan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata ikut menghancurkan tatanan sistem pemerintahan.

Pada satu sisi kepala daerah jadi sangat berkuasa, sedangkan pemerintah pusat tak memiliki cukup kemampuan mengawasi dan membina kewenangan yang diserahkan. Akibatnya adalah penggunaan kewenangan yang tak sesuai dengan tujuan pembangunan, baik karena ketidakmampuan maupun karena penyalahgunaan wewenang.

Kelima, lemahnya pengawasan masyarakat madani. Otonomi daerah belum mampu menguatkan peran masyarakat dalam pemerintahan. Yang terjadi saat ini adalah penyempitan makna otonomi daerah hanya semata-mata menjadi milik elite daerah. Bahkan, baik aktor maupun lembaga-lembaga pengawasan masyarakat menjadi mandul.

Sistem komprehensif

Berbagai faktor itu telah mengakibatkan republik ini tersandera oleh korupsi. Mengatasinya tidak cukup berpikir linier pada mahalnya biaya pilkada. Dibutuhkan satu pendekatan berpikir sistem yang komprehensif.

Penyalahgunaan diskresi oleh kepala daerah sejatinya sedang diatasi melalui pengaturan dalam RUU Administrasi Pemerintahan. Sedangkan oligarki kekuasaan hanya mungkin dihilangkan jika terjadi penguatan kontrol masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui jaminan akses hukum dan penguatan jaringan lembaga masyarakat.

Perlu pula dipikirkan penguatan hukum administrasi negara agar tidak semua pelanggaran prosedural administratif oleh kepala daerah serta-merta dimasukkan ke dalam rezim hukum pidana. Semoga.

Eko Prasojo Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Jumat, 21 Januari 2011

Jumlah Si Miskin

Kecuk Suhariyanto

Sejumlah tokoh lintas agama membuat pernyataan terbuka. Mereka menyebut pemerintah telah berbohong. Tidak tanggung-tanggung kebohongan itu. Jumlahnya delapan belas, terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru. Demikian tersua di pelbagai media.

Karena pernyataan terbuka ini merupakan seruan moral tokoh lintas agama yang tak punya kepentingan politik praktis, gaungnya ke mana-mana. Pemerintah berusaha membela diri, tetapi membikin situasi justru lebih buruk. Pemerintah dinilai kurang arif dan tak mau menerima masukan konstruktif.

Salah satu kebohongan lama yang disebutkan adalah perihal penyampaian angka kemiskinan. Pemerintah dituduh berbohong karena menyatakan jumlah penduduk miskin 2010 adalah 31,02 juta jiwa, padahal data penduduk yang layak menerima beras miskin 70 juta jiwa.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada dua angka kemiskinan yang jauh berbeda, padahal keduanya sama-sama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data kemiskinan makro

Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah. Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar? Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai.

Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.

Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari waktu ke waktu.

Salah satu data kemiskinan yang mengundang polemik panjang adalah data kemiskinan pada Maret 2006. BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin naik dari 35,1 juta jiwa (15,97 persen) pada Februari 2005 menjadi 39,30 juta jiwa (17,75 persen) pada Maret 2006 karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Data kemiskinan makro yang terakhir dikeluarkan BPS adalah posisi Maret 2010 ketika jumlah penduduk miskin 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen total penduduk Indonesia. Data ini hanya menunjukkan estimasi jumlah dan persentase penduduk miskin yang berguna untuk perencanaan serta evaluasi program kemiskinan dengan target geografis.

Akan tetapi, data itu tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana alamat penduduk miskin sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Data kemiskinan mikro

Masalah muncul saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 dan ingin memberi kompensasi kepada penduduk lapisan bawah berupa penyaluran bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Orientasi program penanggulangan kemiskinan di Indonesia mendadak berubah total.

Di zaman Orde Baru, program penanggulangan kemiskinan memakai pendekatan geografis (desa), seperti Inpres Desa Tertinggal. Sejak tahun 2005, yang digunakan pendekatan individu atau rumah tangga, seperti bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Penyaluran bantuan langsung tak bisa memakai data kemiskinan makro sebab memerlukan nama dan alamat si miskin. Pengumpulan data harus dengan sensus, bukan sampel, sehingga data yang dihasilkan disebut sebagai data kemiskinan mikro. Ini berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.

Sampai saat ini baru dua kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005 dan September 2008. Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa. Jadi, sebetulnya tak ada dua angka kemiskinan. Data 31,02 juta menunjukkan penduduk miskin, sementara data 70 juta menunjukkan penduduk miskin plus hampir miskin.

Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Sedikit gejolak ekonomi akan menyebabkan mereka mudah berubah status menjadi miskin. Maka, setiap kebijakan yang diambil harus memperhitungkan dampaknya bukan hanya pada rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin. Sehari-hari keduanya sering tak berbeda nyata.

Kecuk Suhariyanto Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, BPS

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04361281/jumlah.si.miskin

Korupsi Semantik

Emmanuel Subangun

Kalau anda melihat burung dan mengatakan itu adalah harimau, tentu anda tahu bahwa anda sedang berbohong.

Atau, kalau anda sedang menikmati keroncong dengan sebuah alat dan anda bilang yang singgah di telinga adalah musik klasik, tentu pula anda berbohong. Namun, ketika seorang perempuan Amerika, Sarah Palin, bersikukuh bahwa penembakan dan pembunuhan politik sudah terjadi dan hal itu tidak berkaitan dengan blood libel, fitnah darah, maka Palin tidak sedang berbohong mengenai naluri politiknya. Tokoh republik itu sedang melakukan korupsi semantik!

Jadi, kalau kaum agamawan mengutarakan keresahan masyarakat dan disebutkan bahwa pemerintah sedang berbohong, maka ini sedang menunjuk proses psikis ataukah sedang menunjuk korupsi proses semantik?

Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh jajarannya tentu mengacu pada proses psikis, sementara pihak lain melihatnya sebagai lebih dari sekadar korupsi semantik, tetapi menunjuk pada proses yang lebih struktural dan mencemaskan.

Sejarah

Untuk memahami mendalam dan luasnya kecemasan rakyat itu, ada baiknya kita buka sejarah. Artinya, kisah politik di Indonesia yang dimulai dengan revolusi lalu membentuk pemerintahan, termasuk membentuk Tentara Nasional Indonesia.

Dalam proses pembentukan TNI, yang dilakukan pemerintah saat memilih orang-orang Koninklijk Nederlands-Indisch Leger untuk duduk di kantor—dan laskar rakyat dibubarkan—disebut politik rasionalisasi oleh Hatta. Maka, karena KNIL bikinan Belanda, mereka memang ahli soal kantoran sedemikian rupa sehingga organisasi TNI dapat dibangun dengan harapan bahwa tentara akan profesional.

Akan tetapi, ketika rezim Soeharto tiba, bukan saja tentara itu profesional. Lebih dari itu. Tentara adalah yang paling tahu soal politik, keamanan, dan ekonomi. Pokoknya, soal negara serahkan kepada tentara sehingga pada waktu itu yang disebut tentara adalah negara dalam negara.

Masa itu disebut masa dwifungsi. Jadi, dwifungsi adalah kelanjutan dari rasionalisasi. Dan hal dari dwifungsi itu semua orang sudah tahu. Ia tak lain adalah Indonesia yang diwarisi oleh rezim sekarang.

Rezim sekarang tentu saja bukan rezim dwifungsi. Para teknokrat yang dalam masa lalu menjadi pembantu sekarang disebut sipil. Dalam masyarakat sipil diperlukan transparansi, bukan komando; diperlukan bukan saja pemerintah yang efisien, tapi juga bersih, dan seterusnya.

Maka, untuk keperluan kesipilan itu, rezim sekarang gemar akan akrobat kesarjanaan. Para profesor dan ahli duduk di semua tempat pemerintahan dan mereka adalah kaum terpelajar, profesional. Mereka hanya tahu data dan bukan kasak-kusuk atau laporan intelijen. Mereka terbuka!

Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa dalam ilmu sosial, yang disebut data akan tergantung dari kerangka teori yang ada dan kerangka teori yang ada akan diterima atau tidak tergantung pula pada struktur kekuasaan yang ada.

Dengan demikian, kaitan ilmu dan kuasa selalu disembunyikan dan kaum terpelajar selalu obyektif. Terjadi masalah tak mudah ketika obyektivitas ala kaum terpelajar digugat oleh kaum agamawan yang jadi suara hati nurani rakyat. Obyektivitas kaum agamawan tidak meliuk-liuk lewat teori dan buku-buku, tetapi dari pergaulan mereka setiap hari dengan umatnya. Ini bukan kebenaran agama yang menjadi masalah, melainkan obyektivitas pengalaman bersama.

Bohong

Jarak membentang antara obyektivitas ilmiah dan pengalaman itulah yang jadi sumber masalah. Kaum sarjana yang kantoran dan terbaratkan digugat pemimpin rakyat yang saban hari keluar masuk desa/kota. Kaum sarjana itu mendapat topangan di pemerintahan dan lembaga internasional yang sepaham dengan mereka, sedangkan pemimpin agama ditopang oleh kesakitan dan penderitaan rakyat yang dijaga nurani mereka.

Dengan sendirinya kata bohong—demikian pula kata kebohongan—harus ditepis pemerintah dan semua kaum terpelajar terbaratkan itu. Mereka tak ada niat berbohong sebab secara psikis mereka jujur 100 persen atau secara ilmiah obyektif.

Ambil contoh tentang konsep garis kemiskinan. Dikatakan garis itu paling mudah dilihat pada upah minimum regional, yang sekitar Rp 1 juta/bulan atau Rp 250.000/kapita atau Rp 8.000/ hari/kapita. Data semacam itu disebut obyektif karena atas dasar konsep itu BPS bekerja sehingga terjadi perdebatan orang miskin bertambah atau turun.

Yang sesungguhnya terjadi tentu saja bukan bohong atau jujur, tetapi sebuah pelanggaran yang sangat gawat terhadap akal sehat. Dalam hal ini istilah yang dipakai adalah the fallacy of concreteness yang dimengerti sebagai terjadinya dunia terbalik karena konsep dianggap sama dan sebangun dengan kenyataan, atau yang abstrak dianggap nyata, dan hal itu disembunyikan dalam selubung obyektivitas ilmiah ala kaum terpelajar terbaratkan.

Yang ramai sekarang ini berkenaan dengan ”semakin bagus data semakin rakyat menderita” bukanlah soal bohong dan jujur sebagai proses psikis, melainkan sepenuhnya telah terjadi pelanggaran akal sehat yang sekaligus juga mengganggu hati nurani!

Seperti dwifungsi dulu juga keropos, maka pemerintah sekarang sedang masuk dalam tahap krisisnya: lari dari kenyataan. Seperti di Amerika, di Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang terjadi korupsi semantik!

Emmanuel Subangun Sosiolog

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04353967/korupsi.semantik

Salahkah Vonis Hakim atas Gayus?

Neta S Pane

Vonis tujuh tahun yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Gayus Halomoan Tambunan membeliakkan publik. Rasa keadilan masyarakat terusik. Salahkah majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya kepada Gayus?

Memang apa yang benar dan yang salah bisa berbeda menurut kepentingan pihak yang terlibat. Dalam kasus Gayus, ada rujukan yang bisa jadi yurisprudensi. Hakim Muhtadi Asnun yang dapat suap 20.000 dollar AS dari Gayus hanya divonis dua tahun penjara. Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang korupsi Rp 13,8 miliar hanya divonis 10 tahun.

Dari yurisprudensi ini—mungkin—majelis hakim merasa pantas memvonis Gayus tujuh tahun. Soalnya, perkara yang diusut Polri dan dilimpahkan jaksa ke pengadilan sebatas keterlibatan Gayus dalam kasus pajak PT Surya Alam Tunggal yang merugikan negara Rp 570 juta.

Salahkah hakim dengan putusannya? Salahkah hakim hanya berkutat pada pelanggaran hukum yang dilakukan terdakwa berdasarkan berita acara pemeriksaan yang dibuat Polri? Salahkah apabila hakim berkutat pada batas-batas regulasi yang bisa dikenakan secara pantas dan benar.

Haruskah hakim memaksakan diri menyamakan hukuman antara korupsi Rp 13,8 miliar dan korupsi Rp 570 juta?

Pembelajaran

Vonis perkara Gayus ini hendaknya jadi pembelajaran, khususnya bagi Presiden SBY yang selalu ”bersemangat” dalam pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Vonis Gayus harus dapat membuka mata hati bangsa ini bahwa hulu pembicaraan mengenai penegakan hukum adalah kepolisian. Hulu tercemar membuat muara juga kotor. Untuk itu, Polri perlu prioritas pembenahan dengan kontrol ketat.

Sejak awal, dalam menangani kasus Gayus, Polri sudah terjebak dalam aksi permainan mafia hukum. Informasi rekening yang mencurigakan milik Gayus yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Polri justru berbuah vonis bebas di pengadilan. Rekening Gayus Rp 28 miliar yang diblokir bisa dibuka tanpa proses hukum. Gayus yang ditahan di Rutan Brimob bisa lenggang kangkung 68 kali, bahkan sempat pelesir ke luar negeri.

Ironisnya, di saat publik menyoroti kaburnya Gayus ke Bali, Polri hanya menjeratnya dengan perkara ringan, perkara yang merugikan negara Rp 570 juta. Padahal, secara terbuka publik tahu persis Gayus punya dana Rp 28 miliar ditambah Rp 75 miliar yang masih diblokir Polri. Hasilnya, hakim memvonis tujuh tahun. Salahkah majelis hakim?

Sejak awal perkara ini dilimpahkan ke pengadilan, banyak kalangan yang memprediksi bahwa hukuman yang diterima Gayus tak akan maksimal dan tak memuaskan rasa keadilan publik. Soalnya, perkara dan dakwaannya tak menyentuh substansi perkara Gayus: menyangkut mafia hukum dan mafia pajak.

Evaluasi Polri

Sejak awal, banyak kalangan yang tak percaya terhadap profesionalisme Polri dalam menangani perkara ini. Desakan agar KPK segera mengambil alih kasus Gayus pun bermunculan. Sayangnya, Presiden yang diharapkan ikut memberikan kekuatan moral kepada KPK justru mengeluarkan pernyataan agar Polri tetap melanjutkan penanganan kasus Gayus.

Dari vonis Gayus ini diharapkan Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mau introspeksi. Sudah saatnya pula Presiden segera mengevaluasi kinerja Polri secara ketat. Jikapun Polri masih harus menangani kasus Gayus, seperti dugaan pemalsuan paspor, perlu ada perombakan yang kentara terhadap Badan Reserse Kriminal Polri. Tujuannya agar lembaga itu tak terjebak konflik kepentingan yang dapat menyeret Polri jadi tak profesional.

Inti kasus Gayus sesungguhnya adalah pembukaan blokir terhadap dana Rp 28 miliar yang diduga melibatkan oknum perwira tinggi Polri. Jika kasus ini dibongkar, akan terungkap empat hal penting. Pertama, aliran dana Rp 28 miliar terungkap. Kedua, siapa yang jadi tulang punggung bagi Gayus bisa diketahui. Ketiga, dari mana asal-usul uang Gayus, terbuka. Keempat, mafia hukum dan mafia pajak di balik Gayus pun jadi terang-benderang.

Namun, untuk mengungkap inti kasus Gayus, kita tak dapat berharap lagi kepada Polri. Konflik kepentingan yang mencengkeram dan membelenggu Polri sudah sangat kuat. Yang diharapkan membongkarnya untuk kemudian membawa pihak-pihak yang terlibat ke pengadilan tindak pidana korupsi tentulah KPK.

Bagaimanapun, kita tak ingin energi bangsa ini terkuras habis hanya mengurusi kasus Gayus. Kita juga tak ingin melihat penegakan hukum serta pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak hanya bertumpu pada retorika-retorika kosong. Kita ingin melihat anak-anak bangsa ini menjalankan penegakan hukum yang berkeadilan dan membangun moral sebab hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sesungguhnya.

Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04350094/salahkah.vonis.hakim.atas.gayus

Kontroversi Vonis Gayus

Oleh: Eddy OS Hiariej

Nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur (orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa). Demikian Seneca merujuk ajaran filsuf Yunani, Plato.

Ajaran tersebut adalah landasan filsafati tujuan pidana sebagai upaya pencegah umum (general prevention). Artinya, seseorang harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Perihal berat-ringannya pidana, ada tiga faktor yang amat memengaruhi.

Pertama, faktor undang-undang. Undang-undang mengatur maksimum pidana yang boleh dijatuhkan hakim. Maka dapat saja dalam perkara pidana, hakim menjatuhkan pidana melebihi tuntutan jaksa. Ini berbeda dengan perkara perdata yang mana hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi gugatan penggugat (nonultra petita).

Kedua, motivasi seseorang melakukan kejahatan. Dari motivasi diketahui keseriusan seseorang melakukan kejahatan berikut modus operandinya. Motivasi ini pula yang menentukan apakah kejahatan dilakukan karena niat jahat (dolus malus) dari dirinya atau ada faktor lain yang sangat memengaruhinya untuk melakukan kejahatan.

Ketiga, persepsi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan. Faktor ketiga ini bersifat dilematis. Di satu sisi, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana hanya berdasarkan opini publik. Di sisi lain, persepsi masyarakat menggambarkan rasa keadilan yang wajib diperhatikan hakim saat menjatuhkan putusan. Itu sebabnya, Amerika sampai saat ini masih mempertahankan sistem juri untuk menentukan benar-salah seseorang. Selama persidangan berlangsung, para juri diisolasi agar obyektif.

Vonis terhadap Gayus

Dalam konteks vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta yang dijatuhkan terhadap Gayus, pertanyaannya adalah apakah vonis sudah memerhatikan ketiga faktor di atas?

Ada sejumlah anotasi terhadap putusan itu. Pertama, dari segi undang-undang. Jaksa penuntut umum memaksimalkan tuntutan sesuai ancaman terberat atas kejahatan yang dilakukan, yakni 20 tahun penjara.

Dalam konteks pembuktian, jaksa penuntut umum sangat percaya diri karena berdasarkan bukti yang valid, ia berhasil meyakinkan hakim atas kejahatan serius yang dilakukan Gayus.

Ketika hakim hanya menjatuhkan tujuh tahun penjara kepada Gayus, hampir dapat dipastikan jaksa penuntut umum akan melakukan banding. Jika putusan pengadilan berada di bawah dua pertiga tuntutan jaksa, umumnya ada upaya hukum terhadap putusan itu.

Kedua, motivasi Gayus melakukan kejahatan adalah untuk memperkaya diri sendiri dengan menggelapkan pajak yang seharusnya disetor ke kas negara. Gayus memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang ada padanya terhadap 149 perusahaan. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan dengan modus operandi yang hanya dapat diketahui oleh internal Direktorat Jenderal Pajak. Tingkat kejahatan Gayus kian serius karena melibatkan sejumlah oknum polisi, jaksa, dan hakim ke dalam kubangan mafia peradilan.

Ketiga, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam melakukan pidana Gayus tidak sendirian sehingga dianggap sebagai hal yang meringankan, padahal seharusnya justru sebaliknya. Dalam hukum pidana ketika twee of meer verenigde personen (dua atau lebih orang bersekutu) melakukan kejahatan berarti ada delik penyertaan. Ini jelas menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan dari adanya perencanaan dan niat jahat untuk bertindak korup. Dapat dikatakan bahwa kejahatan yang dilakukan Gayus adalah kejahatan sistematis yang terorganisasi sehingga harus dianggap memberatkan.

Keempat, masih terkait pertimbangan hakim yang meringankan bahwa Gayus belum pernah dihukum. Pertimbangan demikian terlalu sumir mengingat bebasnya Gayus di PN Tangerang adalah rekayasa jaksa penuntut umum dan hakim, yang telah divonis bersalah karena menerima suap dari Gayus.

Kelima, hal lain yang seharusnya dipertimbangkan hakim sebagai sesuatu yang memberatkan adalah bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai antikorupsi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Berdasarkan konvensi tersebut, kejahatan yang dilakukan Gayus masuk kualifikasi illicit enrichment, yaitu memperkaya diri sendiri secara ilegal dan menyuap pejabat publik, yang notabene sebagai kejahatan internasional.

Keenam, rasa keadilan yang dipersepsikan masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Gayus sama sekali tidak dipertimbangkan hakim.

Hukum porak poranda

Seorang mantan narapidana menciptakan lagu ”Andaiku Jadi Gayus Tambunan” dengan syair sinis, mencerminkan bagaimana Gayus memorakporandakan penegakan hukum di Indonesia.

Selama proses persidangan, status Gayus adalah tahanan. Salah satu syarat subyektif penahanan adalah agar tersangka tidak mengulangi tindak pidana yang disangkakan. Fakta ironis justru terjadi pada Gayus. Meskipun dalam status tahanan, dia tetap mengulangi kejahatan yang disangkakan dengan menyuap aparat sehingga bebas bertamasya ke Bali, Kuala Lumpur, dan Makau, belum lagi terlibat memalsukan paspor. Aneh bin ajaib, hal-hal ini sama sekali tidak masuk yang memberatkan Gayus.

Sebagai catatan akhir, kalau kasus mafia pajak dan mafia hukum hanya berhenti sampai di sini tanpa menyentuh para koruptor kelas kakap di atasnya, maka vonis Gayus tidak akan mampu mencegah orang lain berbuat demikian sebagaimana dimaksud pada awal tulisan.

Hukuman tujuh tahun terlalu ringan bagi Gayus, belum lagi ditambah remisi dan pembebasan bersyarat dari negara yang tidak jelas parameternya. Semua hanya akan semakin mencederai rasa keadilan masyarakat.

Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04343094/kontroversi..vonis.gayus

Kamis, 20 Januari 2011

Neofeodalisasi Demokrasi

AA GN Ari Dwipayana

Dalam lapangan politik, tahun 2011 kita awali dengan penuh cemas. Bukan hanya karena politik transaksional kian menguat, tetapi juga sebab kehadiran kembali karakter feodalisme baru dalam ranah politik nasional ataupun lokal.

Namun, sesungguhnya kecemasan akan hadirnya neofeodalisme dalam demokrasi semacam ini bukan sesuatu yang baru. Ada akar historis yang panjang dan bisa ditemukan dalam debat di kalangan Indonesianis tentang kegagalan eksperimentasi demokrasi liberal pada era 1950-an.

Adalah Harry J Benda (1964) yang datang dengan keyakinan kuat bahwa republik ini tidak akan pernah beranjak menjadi negara demokratis karena kultur politik yang dibangun para elitenya semata-mata melanjutkan tradisi politik feodal yang diwarisi dari masa lalu (kerajaan). Singkatnya, Benda mengatakan bahwa kelembagaan demokrasi adalah interupsi artifisial terhadap watak dasar politik yang tak berubah sejak dahulu kala.

Yang dicemaskan Benda menemukan relevansinya pada konteks kekinian di tengah berlangsungnya proses liberalisasi politik dalam 11 tahun terakhir ini. Liberalisasi politik tidak hanya memungkinkan pengenalan instalasi kelembagaan baru demokrasi, tetapi juga membuka ruang politik yang semakin bebas dan kompetitif.

Dalam konteks politik yang berubah semacam itu, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah tradisi politik feodalisme dengan sendirinya berakhir? Ataukah sebaliknya: feodalisme telah mewujud dalam bentuknya yang baru?

Jawaban atas pertanyaan itu tentu bisa dirangkai dengan mencermati berbagai gejala politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, mulai kehadiran politik patronase di tubuh partai politik, pemunculan dinasti politik dalam politik lokal ataupun dalam proses elektoral di daerah, gejala putra mahkota, sampai gagasan pencalonan Ani Yudhoyono-Puan Maharani menjadi kandidat presiden dan wakil presiden oleh seorang elite Partai Demokrat.

Politik patron

Kalau feodalisme sering dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, maka pertanyaan berikutnya adalah apa ciri penting politik feodalisme baru itu.

Pertama, relasi kuasa berjalan dalam logika patron-klien. Pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya. Dalam posisi sebagai patron, pemimpin tidak hanya dicitrakan tanpa tanding, tetapi juga ditempatkan sebagai poros utama dalam proses distribusi kesejahteraan antarelite. Dalam posisi semacam ini, patron ibarat matahari yang menjadi sebab keteraturan dan akan selalu didekati demi memperoleh perlindungan dan akses sumber daya yang lebih besar.

Kedua, dalam politik di mana patron adalah matahari, segala sesuatu menjadi serba personal. Tidak ada pemisahan yang tegas antara yang personal dan yang publik. Yang terjadi adalah memublikkan sesuatu yang sesungguhnya bersifat personal. Yang menjadi keinginan dan kepentingan sang patron dianggap sebagai kepentingan publik. Sebaliknya, respons publik atas keinginan patron selalu ditempatkan sebagai serangan personal atas sang patron.

Ketiga, oposisi terhadap sang patron adalah pembangkangan. Tindakan oposisional tak bisa ditoleransi dan harus disingkirkan. Oposisi dianggap bukan penyeimbang dalam bertindak, melainkan ekspresi paling nyata dari ketidakpatuhan. Rivalitas hanya bisa dilakukan di bawah kontrol sang patron. Bahkan, dalam logika politik feodalisme baru, tidak boleh ada matahari kembar.

Politik pewarisan

Dalam tradisi feodalisme, kekuasaan merupakan sesuatu yang bisa diwariskan kepada penerus di lingkaran terdekat sang patron. Dalam karakter ini, restu atau legitimasi sang patron menjadi sangat penting. Siapa yang direstui oleh patron menjadi penerusnya akan punya bobot penerimaan yang sangat kuat di lingkaran elite.

Kepada siapa kekuasaan diwariskan? Dalam tradisi kekuasaan yang bisa diwariskan ini, proses regenerasi politik biasanya tidak pernah berjalan jauh dan hanya di lingkaran kecil keluarga inti, seperti istri, anak, atau menantu. Itu sebabnya, keluarga inti selalu dipersiapkan untuk menyongsong pewarisan ini. Keluarga inti selalu dididik secara politik untuk jadi pemain atau setidaknya tahu logika dasar permainan politik.

Proses pematangan yang instan sering kali terjadi ketika sang patron mengalami ”kecelakaan politik”. Sampai di sini para pewaris akan dimatangkan secara cepat. Sampai di sini sang patron tentu saja tidak bisa begitu saja keluar dari kultur keintiman: orang yang paling dipercaya adalah orang yang paling dekat dengan dirinya.

Itu artinya, patron akan cenderung mewariskan kuasa yang ia miliki kepada keturunan biologisnya. Naluri ini juga berbalut dengan logika kepentingan rasional politik untuk tetap menjaga akses maupun kontrol atas kekuasaan. Tanpa duduk secara formal dalam pemerintahan, sang patron tetaplah figur tanpa tanding karena bisa menjadi pemain bayangan yang mengontrol semua permainan.

Mengapa politik pewarisan ini bisa sedemikian kukuh? Jawabannya bisa ditemukan pada proses ketergantungan elite politik akan kehadiran patron atau pewarisnya. Ada beberapa penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi.

Penjelasan bisa bersifat abstrak-simbolis karena para elite memiliki semacam mitos bahwa pewaris memiliki kualitas yang sama dengan figur yang diwarisinya. Namun, bisa jadi hal itu adalah strategi elite untuk mencari bentuk-bentuk koeksistensi damai: regenerasi politik jangan sampai mengganggu keseimbangan dalam rivalitas antarelite.

Akhirnya kehadiran gejala feodalisme baru dalam politik Indonesia mutakhir mengingatkan kita akan pentingnya melihat kembali proses demokratisasi: tidak semata-mata instalasi prosedur-kelembagaan demokrasi, melainkan sebagai upaya mengukuhkan kembali kultur demokratis. Itu artinya, proses demokratisasi harus memungkinkan transformasi dari kultur ”kawula” atau klien menjadi kultur warga negara.

Bukankah sejarah juga telah menunjukkan bahwa the founding fathers secara sadar memilih pemerintahan berbentuk republik, bukan kerajaan? Pilihan itu mengandung arti keinginan untuk menempatkan kepentingan publik di tempat tertinggi, bukan kehendak perseorangan atau keinginan golongan elite semata.

Oleh karena itu, demokratisasi harus dimaknai sebagai transformasi budaya untuk melawan nilai-nilai feodalisme dan berbagai manifestasinya. Tanpa semangat itu, sama saja kita sedang berada dalam Kerajaan Republik Indonesia.

AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/19/04072848/neofeodalisasi.demokrasi.

Mendengar Suara Rakyat

Oleh: Paulinus Yan Olla MSF

Bangsa ini semakin hari seakan berjalan menuju lorong gelap demokrasinya. Produk hukum banyak kali melukai rasa keadilan. Pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam gagal menyejahterakan rakyat.

Integritas diri para pengambil kebijakan publik hilang oleh godaan kekuasaan dan korupsi. Yang ditunjuk sebagai penyebab segala persoalan itu adalah lemahnya karakter sebuah bangsa (Kompas, 8/1).

Namun, keprihatinan yang kiranya lebih mendasar adalah semakin terabaikannya suara rakyat di satu pihak dan tidak dibukanya ruang bagi partisipasi politik rakyat di pihak lain.

Sekali rakyat memberi atau ”dibeli” suaranya, seakan tamatlah haknya untuk didengarkan. Pemerintah menjadi pemain tunggal dan rakyat terus dijadikan penonton yang cemas tetapi tidak berdaya mengubah kesengsaraan nasib.

Bangun masyarakat sipil

Pembangunan bangsa masih melupakan satu aspek penting yang menjadi penopang utama demokrasi, yakni pembangunan masyarakat sipil (civil society) yang kuat.

Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang bebas dari ketergantungan pada negara dan pasar, percaya diri, mandiri, sukarela, serta taat terhadap nilai dan norma-norma dalam negara hukum (Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 2010: 126).

Surat Devina di harian Kompas yang kemudian membongkar isu Gayus Tambunan, pegawai pajak berstatus tahanan yang bisa pelesir ke luar negeri, merupakan bentuk partisipasi rakyat dalam masyarakat sipil yang berfungsi secara baik. Sayangnya, kontrol rakyat atas kekuasaan seperti itu jarang dialami sebagai peristiwa harian dan kini masih menjadi khayalan karena kedaulatan hukum di negeri ini telah diganti kedaulatan uang. Rakyat atau mereka yang bersikap kritis biasanya justru terkena teror atau yang lebih ringan dicap sebagai ”barisan sakit hati”.

Jonathan Sacks benar ketika menegaskan bahwa, dalam era demokrasi liberal, masyarakat sipil sering merupakan satu-satunya yang mampu membendung ancaman kekerasan dari negara (politik) dan pasar (ekonomi). Keadaan ini terjadi ketika politik tidak memihak rakyat dan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang (Jonathan Sacks, The House We Build Together, 2007: 187).

Partai saling kunci

Kini publik menyaksikan partai-partai politik ”saling mengunci” untuk tidak membuka borok karena sama-sama terlibat dalam berbagai kasus yang merugikan rakyat. Kenyataan itu tecermin pula dalam hasil jajak pendapat yang mengungkapkan adanya ketidakpuasan publik (75,3 persen responden) terhadap kinerja partai-partai politik yang dianggap gagal memperjuangkan aspirasi masyarakat (Kompas, 10/1).

Terlukanya rasa keadilan masyarakat oleh berbagai keputusan, yang lebih didasarkan oleh hukum tanpa nurani dan berbagai salah kelola kekuasaan sehingga membuat rakyat terus menderita, telah menimbulkan kecemasan akan munculnya kekacauan jika kesabaran rakyat hilang. Dikhawatirkan muncul revolusi atau ancaman kediktatoran baru yang bisa menjawab kerinduan akan kurangnya kepemimpinan berwibawa saat ini.

Masyarakat sipil yang berfungsi baik justru menjadi penyeimbang arogansi pejabat negara dengan mengajukan pertanyaan kritis atas jalannya kebijakan publik. Masyarakat sipil mampu merajut kepercayaan dan tanggung jawab sosial yang memungkinkan masyarakat berfungsi lebih efektif. Ia menjadi modal sosial yang ikut memengaruhi pengambilan keputusan politik yang prokesejahteraan umum (Ronald Jacobs, Civil Society, 2006: 27-29).

Sistem demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat hendaknya ditegakkan jika bangsa ini ingin terselamatkan dari ancaman kekacauan sosial yang mengintai. Negeri ini tidak perlu menunggu semakin banyak rakyat kecil membunuh diri karena beban hidup yang berat atau tewas keracunan makan tiwul. Karena itu, para pemimpin, dengarkanlah suara rakyat. Jika yakin vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan), janganlah tuli terhadap teriakan mereka.

Buktikan komitmen

Para pemimpin agama telah mengangkat keprihatinan itu dengan meminta pemerintah untuk ”bersikap jujur” kepada rakyat. Mereka mendesak pemerintah membuktikan komitmen dalam beragam persoalan mendasar, seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, tenaga kerja, penghormatan hak asasi manusia, dan peningkatan kesejahteraan rakyat (Kompas, 11/1).

Amat menyedihkan jika rakyat suatu bangsa akhirnya mengambil jalan pahit menggulingkan para pemimpinnya melalui jalan kekerasan karena suaranya lama diabaikan. Pemerintah seharusnya bersyukur karena rakyat sejauh ini masih memilih ”menjadi korban” atas kelalaian salah kelola ranah publik ini oleh para pemimpinnya.

Dalam upaya membangun demokrasi yang kuat di negeri ini, kesediaan para pemimpin bangsa mendengarkan derita rakyat menjadi landasan meredam frustrasi sosial. Jika sikap mendengarkan ini dilanjutkan dengan upaya menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat, rakyat akan terlibat sebagai penanggung jawab dan pemegang kedaulatan negara.

Meminjam pemikiran Walter Benjamin (1892-1940), perjalanan demokrasi negeri ini akhirnya menjadi sebuah ”narasi yang ditulis oleh semua”. Alur narasi tidak lagi ditentukan oleh para penguasa, tetapi ditulis oleh seluruh masyarakat. Rakyat kecil, yang selama ini ”dibisukan” atau diabaikan suaranya, kembali menjadi pemilik kekuasaan yang sebenarnya.

Paulinus Yan Olla MSF Rohaniwan, Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma, Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/19/04061733/mendengar.suara.rakyat

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...