Kamis, 30 September 2010

Lowongan Asisten Afdelling (ASF)

PT Fajar Baizury & Brothers



Kesempatan Berkarir


PT. Fajar Baizury & Brothers, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, mencari professional yang ahli dan berpengalaman di bidangnya, memiliki integritas yang kuat serta mempunyai motivasi yang tinggi dalam berprestasi untuk menempati beberapa posisi:

Asisten Afdelling (ASF)
(Aceh - Nagan Raya)
Responsibilities:
  • Membantu Asisten Kepala dalam mengawasi kegiatan tanaman baik dalam
    pemakaian material hingga pencapaian target produksi.

Requirements:

  • Laki-laki;
  • Usia maksimal 32 tahun
  • Minimal D3/S1 Agronomi;
  • Pengalaman minimal 2 tahun di posisi yang sama;
  • Telah dan atau sedang melakukan pekerjaan pembukaan lahan serta penanaman kelapa sawit dengan luas kebun > 500 Ha per tahun.
  • Dapat bekerja dalam tim dan merupakan personel yang berkarakter lapangan
  • Pernah mengelola area bibitan dapat dijadikan sebagai nilai tambah.
  • Lokasi kerja: Nagan Raya, Aceh

Bagi Anda yang memenuhi persyaratan di atas silahkan mengisi form lamaran kerja yang dapat di akses di:

http: //www.fbg.co.id

Kirimkan form yang telah terisi lengkap disertai dengan pas foto terbaru ke alamat e-mail berikut ini:

recruitment@fbg.co.id cc melati@fbg.co.id

Rabu, 29 September 2010

Pembatasan BBM

Oleh: Kurtubi


Memerhatikan bagaimana pemerintah mengelola masalah energi, khususnya yang menyangkut kebijakan harga BBM, diperoleh kesan pemerintah masih ragu dan tidak yakin dengan kebijakan yang akan diambil.

Di satu sisi, subsidi BBM dilihat sebagai beban yang memberatkan APBN sehingga harus dikurangi dan cepat atau lambat harus dihilangkan. Alasan klasiknya, beban subsidi mengurangi kemampuan negara membiayai pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, dan kesehatan. Subsidi BBM dinilai juga salah sasaran, lebih banyak dinikmati orang kaya dibandingkan orang miskin. Penghapusan subsidi BBM juga dimaksudkan untuk membuka jalan bagi peritel BBM non-Pertamina yang saat ini sudah banyak tumbuh, seperti Shell, Petronas, dan Total, untuk bisa berkembang dengan bebas menjual bensin premium yang menjadi pilihan pemilik sebagian besar kendaraan di Indonesia.

Di sisi lain, mengingat jumlah masyarakat miskin relatif masih sangat banyak, sekitar 30 jutaan orang atau bahkan lebih besar bila menggunakan patokan angka kemiskinan Bank Dunia, pemerintah, siapa pun presidennya, sangat enggan menaikkan harga BBM. Menaikkan harga jadi opsi terakhir karena reaksi rakyat akan keras menolak.

Kini pemerintah bersama DPR telah bersepakat melalui APBN Perubahan (APBN-P) 2010 bahwa volume BBM bersubsidi yang boleh dijual atau disalurkan oleh Pertamina adalah 36,5 juta kiloliter, terdiri dari bensin premium 21,4 juta kiloliter, minyak solar 11,2, dan minyak tanah 3,5 juta kiloliter.

Hingga Agustus 2010, realisasi penjualan BBM bersubsidi dilaporkan sudah mencapai sekitar 60 persen dari yang dianggarkan sehingga diperkirakan pada akhir tahun akan melampaui jumlah yang ditetapkan dalam APBN-P 2010. Kalau sampai Pertamina menjual atau menyalurkan BBM bersubsidi melampaui dari yang dianggarkan tanpa persetujuan pemerintah, maka Pertamina sendiri yang harus menanggung ”kerugian” tersebut.

Padahal, Pertamina sebagai PT Persero, berdasarkan UU, tidak boleh rugi. Artinya, tanpa ada perintah dan desakan dari BPH Migas, Pertamina pasti tidak akan bersedia menyalurkan BBM bersubsidi melewati kuota tanpa persetujuan pemerintah.

Wacana pembatasan

Dalam upaya membatasi pemakaian BBM bersubsidi, Direktorat Jenderal Migas dan BP Migas berulang kali melontarkan wacana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Namun, tidak pernah ada satu cara pun yang diterapkan. Hanya sebatas wacana! Mulai dari skenario untuk melarang sepeda motor membeli premium, kemudian muncul ide untuk melarang kendaraan dengan mesin di atas jumlah cc tertentu. Terakhir ini, menguat rencana larangan membeli BBM bersubsidi bagi pemilik kendaraan di atas tahun 2005.

Mengingat harga minyak dunia belakangan ini cenderung jauh di bawah patokan harga APBN-P 2010 dan nilai rupiah menguat terhadap dollar AS, maka besaran subsidi BBM sekitar Rp 90 triliun yang dianggarkan dalam APBN-P 2010 tidak akan terlampaui meski volume BBM bersubsidi tidak dibatasi. Kondisi ini kembali akan mementahkan berbagai skenario pembatasan BBM bersubsidi yang telah dicanangkan dan bahkan telah diujicobakan oleh BPH Migas dengan biaya miliaran rupiah.

Masyarakat, khususnya pengguna bensin premium, masih tertolong, setidaknya untuk tahun 2010 ini. Tahun 2011, dengan pagu volume BBM bersubsidi direncanakan 38,6 juta kiloliter, masyarakat pasti akan kembali dihantui wacana pelarangan pembelian bensin premium. Persoalannya, realisasi pemakaian BBM bersubsidi tahun 2010 kemungkinan bisa melampaui 40 juta kiloliter. Apalagi tahun 2011, target 38,6 juta kiloliter kemungkinan juga akan terlampaui.

Pengelolaan migas

Tampaknya persoalan mendasar yang melatarbelakangi kebijakan pembatasan BBM ini sama sekali tidak disentuh. Pertama, terkait sumber daya migas nasional yang pengelolaannya didasarkan pada UU Migas No 22/2001, dan dalam 10 tahun terakhir ini telah dikelola secara salah dan menyimpang dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945.

Penerapan UU Migas telah berakibat pada anjlok atau rendahnya produksi minyak nasional karena tidak adanya penemuan cadangan baru sebagai akibat investasi eksplorasi yang anjlok karena sistem yang birokratis dan pembebanan pajak semasa eksplorasi. Belum lagi terjualnya gas dari Papua (LNG Tangguh) dengan harga murah karena BP Migas yang diserahi mengelola tidak eligible untuk melakukan kegiatan bisnis, termasuk membangun pabrik LNG dan memasarkannya. LNG Tangguh yang dikembangkan perusahaan minyak BP (bukan BP Migas) dijual dengan harga sekitar 3,5 dollar AS per mmbtu ke China, jauh di bawah harga LNG Badak yang saat ini dijual sekitar 12 dollar AS per mmbtu.

Pada tahun 2000, produksi minyak nasional masih sekitar 1,5 juta barrel per hari (bph), tapi tahun 2010 hanya sekitar 960.000 bph, padahal sumber daya migas di perut bumi Nusantara relatif sangat besar, sekitar 80 miliar barrel. Akibatnya, penerimaan dari sektor migas terus menurun dibandingkan besaran subsidi BBM. Sementara, kelemahan BP Migas dalam mengelola cost recovery yang terus membengkak (karena ketiadaan lembaga Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat) diatasi dengan solusi kontraproduktif.

Seandainya kekayaan migas nasional dikelola secara benar dan produksi minyak nasional 2010 dapat dipertahankan pada level sekitar 1,5 juta bph serta gas dari Papua dipasok untuk keperluan dalam negeri, saya yakin rakyat tidak akan dihantui ”ancaman” pelarangan pembelian bensin premium dengan berbagai skenario seperti diwacanakan beberapa tahun terakhir ini.

Kedua, sebenarnya kebijakan subsidi BBM tidak semuanya negatif. Tidak perlu terlalu dirisaukan secara berlebihan, seolah-olah kebijakan subsidi BBM ini merupakan barang ”najis” yang harus dihindari. Harga BBM yang terjangkau telah terbukti dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa China dan India yang merupakan dua negara berpenduduk besar dengan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetap memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya. Padahal, China dan India masing-masing mengimpor minyak sekitar 60 persen dan 80 persen dari kebutuhan dalam negeri.

Untuk Indonesia, dengan kekayaan migas relatif jauh lebih besar daripada kedua negara tersebut, semestinya kebijakan energinya jauh lebih mudah dan lebih mendukung pencapaian kemakmuran rakyatnya. Gas, misalnya, dapat dipakai untuk mengurangi pemakaian BBM dan mendorong pertumbuhan industri. Selain cadangan jauh lebih besar dari minyak, gas juga relatif lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

Namun, karena kekayaan migas nasional dalam 10 tahun terakhir telah dikelola secara salah, gas yang semestinya dapat dipakai sebagai BBG untuk mengganti premium pada angkutan umum ternyata malah dijual keluar negeri dengan harga supermurah. Kebijakan diversifikasi energi di sektor angkutan yang telah dicanangkan lebih dari 20 tahun yang lalu, hingga kini tidak jalan. Bahkan, stasiun pengisian BBG yang tadinya sekitar 30 buah, kini hanya tinggal sekitar lima karena gasnya tidak cukup!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03473361/pembatasan.bbm.


Kurtubi Pengamat Pertambangan dan Energi

Keberpihakan Negara untuk Derita TKI

Oleh: Benny Susetyo


Derita yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih terus terjadi. Mereka yang di Arab Saudi, Malaysia, dan lainnya masih sering menderita akibat penyiksaan. Sering kali mereka pulang bukan membawa ringgit atau dolar,melainkan depresi berat atau bahkan kematian.

Sampai kapan mereka terus merana dan sejauh mana pemerintah benar-benar melindungi warga negaranya?

Masalah Ketenagakerjaan

Problem ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri memang sangat krusial. Memang, banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri telah memperingan beban tanggung jawab pemerintah dalam memperbaiki perekonomian. Keberadaan mereka turut pula menambah devisa bagi negara yang tidak sedikit jumlahnya. Meski demikian, justru berbagai masalah muncul di pihak lain. Minimnya perlindungan hukum bagi para tenaga kerja di luar negeri, kurangnya jaminan keamanan dan kesejahteraan TKI di tempat mereka bekerja, problem hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara tempat para TKI bekerja akibat persoalan sosial, ekonomi, politik dan masalah keamanan yang ditimbulkan oleh adanya TKI tersebut,serta berbagai masalah lain.

Intinya, pemerintah tanpa disadari menjadi alasan utama mengapa warga kita ingin bekerja di negeri orang dan mengapa di antara mereka juga tak jarang memilih jalur ilegal.Begitu banyak kasus terjadi, tapi sampai kini belum dilihat solusi yang benar-benar berpihak kepada para tenaga kerja kita. Kenyataan ini akan terus berlangsung tanpa ada usaha serius dari penguasa untuk memutus tali derita yang mereka alami. Penderitaan mereka tak pernah mendapat respons yang positif dari elite penguasa bangsa ini.Mereka hanya dijadikan tumbal dari penguasa tanpa mau memahami bahwa mereka terusir dari negeri yang subur ini adalah hanya menjadi buruh migran dan berposisi sebagai alat produksi belaka.

Keberpihakan Hukum

Nilai kehidupan dan rasa aman dalam hidup mereka tak pernah ada kepastian yang jelas.Hukum tak pernah berpihak kepada mereka dan malah hukum kerap membuat mereka menderita. Kemerdekaan mereka diperas oleh para jaringan mafia yang dengan terang-terangan dan vulgar melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Para mafia pekerja itulah yang berpesta memperoleh keuntungan yang begitu besar di tengah jeritan tangis dan rintihan akibat perlakuan para majikan di luar batas kemanusiaan. Kemanusiaan belum menjadi prioritas bangsa ini untuk tidak menjadikan rakyat sebagai budak bagi bangsa sendiri.

Realitasnya kemanusiaan telah direduksi hanya demi untuk mencari keuntungan mereka dengan tega menjual anak negeri ini menjadi budak di negeri orang lain.Tanpa ada rasa bersalah,pengiriman tenaga kerja secara legal dan ilegal dijadikan sebagai prestasi suatu rezim dan terus berlangsung tanpa ada usaha untuk memperbaiki sistem pengiriman tenaga kerja secara lebih manusiawi. Sudah sangat mendesak untuk merevisi pandangan pemerintah terhadap manusia, terhadap rakyatnya sendiri. Ini adalah negeri yang mendesak untuk memanusiakan warganya di depan bangsa lain. Ini adalah negeri yang perlu dibangkitkan kembali rasa malunya sebagai bangsa,yang hilang karena arogansi dan keserakahan para elitenya.

Perlakuan yang manusiawi menjadi sangat penting agar penguasa di negeri ini memiliki kesadaran bahwa setiap warga negara yang bekerja di luar negeri adalah anak kandung negeri ini. Dia harus mendapatkan perlindungan hukum yang menjamin haknya sebagai pekerja.Pekerja seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil, yakni mendapat upah yang sesuai dengan kontrak kerja.

Kembalikan Hak Pekerja

Kasus demi kasus penyiksaan tenaga kerja Indonesia seharusnya menjadi cermin lemahnya para pekerja kita yang tidak mendapatkan hak sebagai pekerja karena kontrak mereka selama ini dilakukan oleh sepihak.Kelemahan ini seharusnya bisa diatasi bila penguasa di negeri mau dan sungguh-sungguh membenahi masalah ketenagakerjaan kita. Di negeri kita, yang sering terjadi banyak kebijakan bukan untuk melindungi pekerja tapi sebaliknya melindungi kepentingan para calo. Para calo inilah yang sebenarnya memiliki kekuasaan tak terbatas karena di tangan mereka semau bisa diatur.

Persoalan ini tak pernah diselesaikan serius karena penguasa yang ada saat ini tidak memiliki hati terhadap mereka yang lemah. Bahkan para pemimpin tampaknya belum ada yang serius melihat ini sebagai persoalan besar bangsa. Banyak di antara para tenaga kerja yang menjadi ilegal karena kebijakan pembangunan selama ini tidak memperhitungkan kaum yang paling lemah.Daya tawar mereka selama ini dibuat seolaholah tak memiliki akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan selalu berpihak kepada para pemilik modal dan para calo. Di balik persoalan tenaga kerja yang begitu ruwet ini sebenarnya mencerminkan gagalnya penguasa melindungi rakyatnya. Rakyat selama ini dijadikan tumbal pembangunan. Menjadi “tumbal” inilah yang saat ini dirasakan para pekerja imigran yang ada di luar negeri.

Mereka seperti sapi perahan, setelah susu diambil nasib mereka diabaikan. Dan,lebih ironis lagi,ketika para pemimpin belum memiliki “hati” terhadap mereka,padahal jasa mereka begitu besar bagi bangsa ini.Di tengah-tengah kegagalan penguasa menyediakan lapangan pekerja mereka menciptakan peluang tersebut. Para elite politik harus sadar tanpa mereka ini semua elite politik tidak akan memperoleh kursi kekuasaan ini.Kendati pada realitasnya mereka hanya dijadikan alat mobilitas kekuasaan belaka. Ini negeri di mana kaum pekerja nasibnya hanya dijadikan pemanis bibir, dan kekuasaan tidak pernah ramah terhadap mereka.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353489/



Benny Susetyo
Sekretaris Eksekutif Komisi Hak KWI dan Dewan Nasional Setara

DPR dan Lubang Hitam Demokrasi

Oleh: Achmad M Akung


Apabila Lord Acton masih hidup dan menyempatkan diri mengunjungi Indonesia, tentu ia akan sangat senang bukan kepalang. Bukan atas keelokan alam Indonesia,keindahan seni budaya, atau lezatnya kuliner Tanah Air.

Bangsawan ini layak bergembira karena tesisnya,the power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, mendapatkan bukti pembenar secara ilmiah di Indonesia.Kegembiraannya akan bertambah apabila ia berkenan “studi banding” ke Gedung DPR, membaca laporan kinerja dan kiprah anggotanya. Betapa kekuasaan menjalankan amanat kedaulatan rakyat,justru cenderung dikooptasi untuk memenuhi syahwat dan kepentingan pribadi dan partai politik.Alihalih mengeluarkan kebijakan yang menyejahterakan, anggota Dewan yang terhormat justru sering kali mengabaikan dan menyakiti perasaan rakyat yang telah diwakili.

Di laci memori rakyat Indonesia masih juga tersimpan cerita tentang dana aspirasi gentong babi (pork barrel) Rp15 miliar per anggota dewan yang lantas bermetamorfosis menjadi dana pembangunan desa senilai Rp1 miliar per desa. Usai itu, anggota dewan yang terhormat memiliki gawebernama rumah aspirasi. Dalam usul rumah aspirasi itu, setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp374 juta per tahun sehingga total ongkos menggantang aspirasi itu senilai Rp209 miliar untuk seluruh anggota Dewan per tahun. Berita pembangunan Gedung DPR barangkali juga akan membuat Lord Acton tambah girang dengan tesisnya.

Apalagi jika ia juga berkesempatan menikmati fasilitas mewahnya dan membandingkannya dengan kontras realitas kehidupan rakyat Indonesia. Sebelumnya, seakan kebelet dengan gedung baru, berhembuslah rumor bahwa gedung dewan telah miring 7 derajat, retak-retak dan sudah tidak laik pakai. Maka, dirancanglah gedung baru berkonstruksi seluas 156.586,26 meter persegi dengan 36 lantai,termasuk 3 basement. Di lantai atas, terdapat fasilitas rekreasi “aduhai” berupa kolam renang,spa,serta pusat kebugaran. Total anggaran pembangunan fisik, sistem keamanan, teknologi informasi serta furniturnya “hanya” Rp1,6 triliun.

Gedung supermewah ini sontak mendapatkan kritik,hujatan,bahkan mungkin amarah terpendam dari dalam ruang batin rakyat yang kian terjepit beban kehidupan. Belakangan, rencana ini ditunda, mungkin sembari menunggu publik lupa. Kegembiraan Lord Acton mungkin akan semakin menjadijadi, apabila ia diajak para anggota Dewanyangterhormatuntukmengikuti aneka rupa studi banding ke beberapa negara.Termasuk “studi ganjil” tentang kepramukaan hingga ke negerinya Nelson Mandela nun jauh di Afrika sana. Sesuatu yang layak dipertanyakan dan “ditertawakan” urgensinya di era internet seperti sekarang ini (Asvi Warman Adam,SINDO18/9).

Dewan atau Dewa?

Sungguh menarik dan unik m e n g i k u t i cerita dewan/ parlemen kita. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan dewan sebagai majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasihat,memutuskan sesuatu hal dengan jalan berunding. Dalam konteks keindonesiaan, DPR sesungguhnya memiliki kedudukan terhormat, justru karena berat dan agungnya amanat yang harus diemban.Sayangnya,Dewan kita acap kali telah kehilangan satu huruf terakhirnya. Tanpa huruf “n”, yang bermakna nurani, para wakil rakyat cenderung memosisikan dirinya nyaris seperti “dewa”.

Dalam mitologi Yunani, dewa adalah makhluk yang lahir seperti manusia, namun memiliki kemahakuasaan mengatur kehidupan manusia. Begitu tingginya kekuasaannya dalam struktur tata negara kita,DPR memang laiknya “dewa” yang nyaris tanpa kontrol. Dengan mengatasnamakan rakyat, semua yang mereka titahkan harus terlaksana. Ibarat perumpamaan ”anjing menggonggong, kafilah berlalu”, dengan berlindung di bawah payung undang-undang yang dibuat sendiri, mereka sering kali bergeming dengan segenap kontroversinya, tanpa memperhatikan jerit suara rakyat. Selama ini publik kerap kali “membodohi diri”bahwa tugas kedewanan memang tidak sederhana.

Kesibukan menyerap aspirasi, menyusun undang-undang memang kelewat berat sehingga ketika anggota Dewan terkantuk-kantuk sambil BlackBerry-an atau bahkan tidur sekalipun ketika sidang tetap dimaklumi karena tugas negara yang kelewat melelahkan. Demikian pula kegemaran membolos,mungkin karena saking sibuknya melakukan kunker (kunjungan kerja) dan turba (turun ke bawah) menyerap aspirasi. Saking sibuknya menyerap aspirasi, sampai-sampai banyak undangundang yang masuk prolegnas tidak terselesaikan.Perilaku buruk yang tidak populis ini masih saja berlanjut.

Lubang Hitam

Namun, atas nama demokrasi, segenap keganjilan yang ditunjukkan wakil rakyat kita yang terhormat, sesungguhnya sah-sah saja terjadi. Demokrasi, dalam buku klasik Dasar-Dasar Ilmu Politik (1977) karangan Prof Miriam Budiardjo, diyakini berakar dari kata Yunani, demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti kekuasaan/berkuasa. Demokrasi konon menjadi sistem terbaik yang diaplikasikan di banyak negara sehingga juga dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik bagi republik ini. Sayangnya,sekian lama terkekang dalam “demokrasi semu”Orde Baru, nafsu “berdemokrasi” meluap tak terkendali begitu keran demokratisasi dibuka. Ia menerjang dan menggenang di setiap ceruk kehidupan.

Celakanya, kanal-kanal demokrasi yang seyogianya menjadi penyalur aspirasi itu belum sempurna terbentuk. Akibatnya, demokrasi kita menjadi kehilangan arah. Makna demokrasi pun perlahan namun pasti terdekonstruksi oleh euforia kebebasan. Demokrasi justru memerangkap kita dalam sebuah lubang hitam (black hole). Dalam telaah ilmu alam, lubang hitam adalah sebuah pemusatan massa yang sangat besar sehingga menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar. Besarnya gaya ini mencegah apapun lolos darinya.Cahaya sekalipun hanya dapat memasuki tanpa bisa melewatinya, sehingga muncullah istilah “hitam”.

Di negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera serta––meminjam teori kebutuhan Abraham Maslow “berada dalam tingkatan aktualisasi diri”–– demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan.Namun, apa yang terjadi ketika demokrasi dihelat di sebuah “republik lapar”, yang kebutuhan fisiologis rakyatnya belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan, kecerdasannya, dan etikanya memprihatinkan? Demokrasi bukan lagi sebuah tata pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan rakyat, tapi justru terhenti sebatas pada pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan pribadi dan partai politik. Demokrasi direduksi menjadi sekedar transaksi.

Suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan, tak lebih dari sekedar sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan harga kelewat murah, sekadar untuk menyambung makan sehari.Kesejahteraan sekadar sebuah eikasia yang dijanjikan berbusa-busa saat kampanye dan dilupakan begitu kursi empuk Dewan telah didapatkan. Sungguh, anggota Dewan yang terpilih karena “meng-ijon” suara rakyat akan gemar mengkhianati amanat dan menyakiti hati rakyat. Mereka rakus fasilitas, tapi rajin membolos,malas membuat undangundang, lalai dan abai menyejahterakan konstituennya. Alih-alih mengemban amanat demokrasi, mereka justru tengah mengabarkan eksistensi lubang hitam demokrasi yang dihelat di negeri ini.

Selagi masih ada waktu berbenah, begitu besar harap rakyat yang diamanatkan di pundak yang terhormat anggota Dewan untuk benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, berlaku seperti “dewa” yang mengedepankan kemahakuasaan, adigang-adigung-adiguna,menangguk keuntungan pribadi dan partai atas nama demokrasi. Sungguh, ratusan juta rakyat yang kesrakat itu masih bisa berdoa pada Tuhannya,“Gusti ora Sare (Tuhan tidak tidur).”(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353498/



Achmad M Akung
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Bersatu Melawan Intervensi Asing

Oleh: Ikrar Nusa Bhakti


DALAMdua pekan ini ada dua berita dari Amerika Serikat (AS) yang membuat pikiran kita sebagai bangsa terganggu. Pertama, adanya dengar pendapat di Kongres AS yang berbuntut desakan pejabat senior negara itu dan anggota Kongres asal Samoa,AS,Eni Faleomavaega agar Pemerintah Indonesia meningkatkan status otonomi di Papua.


Kedua, adanya surat terbuka dari gabungan organisasi East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan West Papua Advocacy Team (WPAT) yang diberitakan pers pada 15 September 2010 yang meminta Presiden AS Barack Obama untuk menolak penetapan Pemerintah Indonesia yang menunjuk Dino Patti Djalal sebagai calon Duta Besar Indonesia untuk AS.Kedua organisasi ini menyebut Dino sebagai orang yang terlibat dalam persoalan pelanggaran HAM di Timor Timur karena sebagai diplomat muda ia banyak membela kepentingan Pemerintah Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu tersentak membaca kedua berita tersebut. Ini menunjukkan betapa beberapa kalangan di AS masih terus berusaha untuk melakukan internasionalisasi masalah Papua dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).

Kita tahu, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua.z Kita juga tahu ada sebagian masyarakat di Papua,termasuk organisasi masyarakat adat, yang ingin mengembalikan otonomi khusus Papua yang telah diberlakukan sejak 2001 sesuai dengan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua.Kita juga tahu betapa kita di dalam negeri, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sedang berusaha untuk menyatukan pandangan bagaimana agar dialog menuju jalan damai Papua dapat berjalan lantaran gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota juga masih menjadi isu yang hangat di tanah Papua.

Persoalan keamanan yang berbaur dengan politik di Papua masih menjadi berita yang sering muncul di Tanah Air. Kita harus sepakat bahwa kita harus bersatu padu melawan intervensi asing terkait Papua. Meski politisi dan pejabat senior AS menyatakan tidak mendukung separatisme Papua,kita patut bertanya, apa maksud dari kata “peningkatan otonomi” di Papua? Selama ini pemerintah memang belum mampu menyejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk di Papua, dan itu masih menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkannya.Namun bila ada negara atau kelompok asing yang ingin melakukan internasionalisasi Papua dengan tujuan negatif, tentunya kita akan menentangnya dengan keras.

Semboyan lama “menangi hati dan pikiran rakyat dahulu, menangi diplomasi kemudian” tampaknya masih amat relevan. Ini berarti dalam menyelesaikan persoalan Papua menjadi amat penting bila kita benar-benar mendengarkan apa yang ada di pikiran anak-anak muda Papua sebagai penerus generasi mendatang tanpa mengabaikan pandangan generasi tua yang kini semakin tidak mendapatkan dukungan politik di tanah Papua.Persoalan Papua tidak cukup diselesaikan secara diplomasi karena persoalan utamanya ada di Tanah Air kita sendiri.

Selesaikan dulu masalah internal kita, baru kita bicara soal diplomasi.Penyelesaian menyeluruh dan beradab soal Aceh bisa menjadi contoh yang baik dalam menyelesaikan persoalan domestik kita. Peristiwa kedua yang juga amat menggelitik adalah adanya surat dari ETAN dan WPAT soal penetapan Dino sebagai Duta Besar RI untuk AS. Persoalan yang mirip dengan ini pernah terjadi ketika HBL Mantiri akan ditunjuk sebagai calon Duta Besar RI untuk Australia. Saat itu kalangan LSM dan aktivis politik di Australia menentang Mantiri karena dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Akhirnya Mantiri gagal menjadi Duta Besar RI untuk Australia. Dalam kasus Dino Patti Djalal, ia adalah seorang diplomat karier, bukan seorang militer.

Kalaupun Dino selalu membela atau mendukung kebijakan Pemerintah RI di era Orde Baru,itu adalah tugasnya sebagai diplomat yang mewakili negaranya. Mungkin saja dalam membuat pernyataan diplomatik ada kata-kata atau ucapan Dino yang amat keras, tapi bukan berarti bahwa ia terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Di tengah upaya Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia memperbaiki atau bahkan ingin meningkatkan hubungan bilateral, persoalan penetapan Dino Patti Djalal sebagai Duta Besar RI yang berkuasa penuh untuk AS menjadi amat penting.Dalam kaitan ini Pemerintah RI harus tegas untuk tetap pada pendiriannya mengirimkan Dino sebagai duta besar.

Pihak AS juga perlu menimbang penetapan Pemerintah Indonesia ini jika keinginan untuk meningkatkan hubungan baik ini benar-benar ingin dijalankan. Bukan mustahil Dino akan menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugas barunya nanti di Washington DC, termasuk dan tidak terbatas pada akan banyaknya kritikan ataupun demonstrasi dari kelompok ETAN dan WPAT terhadap dirinya.Kita tidak boleh takut pada berbagai kritik tersebut, melainkan harus melawannya dengan memberikan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi di Papua dan Timor Timur pada masa lalu.Kita tidak menafikan adanya pelanggaran HAM di Papua dulu dan kini.

Kita juga berharap agar aparat pertahanan dan keamanan kita semakin profesional dan bekerja dengan hati nurani yang bersih dalam menghadapi sesama anak-anak bangsa di tanah Papua. Kita juga tahu ada pelanggaran HAM di Timor Timur pada masa lalu dan hingga kini masih menjadi perbincangan positif antara kelompok LSM dan Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk menanganinya. Kepiawaian Dino dalam berdiplomasi tidak dapat diragukan lagi. Namun, suka atau tidak, Dino memang harus mengurangi gaya bicaranya yang kadang kala arogan dan emosional dalam berdebat atau mempertahankan pendiriannya.

Kita dapat saja kukuh pada pendirian kita tanpa harus ngotot atau arogan atau kasar terhadap lawan bicara. Terlepas dari kelemahan Dino tersebut,sebagai bangsa kita harus mendukung penetapan dirinya sebagai ambassador designated RI untuk AS. Kita tentu juga akan mendukung Dino apabila ada kendalakendala politik baginya ketika menjalankan tugasnya nanti.Sebagai sesama anak bangsa,kita boleh saja berdebat di dalam negeri mengenai suatu hal, tapi dalam berhadapan dengan negara lain, tak ada kata lain selain kita harus bersatu padu demi kejayaan bangsa.

Sejalan dengan itu,kita juga harus bersatu padu menentang intervensi asing dalam urusan dalam negeri Indonesia, tak terkecuali bila itu datangnya dari negara adidaya sebesar AS.Ini sejalan dengan Trisakti Bung Karno: kita harus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa dari sisi kebudayaan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353556/38/



IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Lahirnya Generasi Baru Pembalik Krisis

Oleh: Hendro Sangkoyo


Tulisan ini catatan pribadi menyambut tulisan Alexander Supelli (Kompas, 19/6) dengan judul ”Hilangnya Sebuah Generasi”.

Tulisan itu menuturkan keprihatinan tentang ketidakpedulian kita di Indonesia untuk menghubungkan corak kehidupan sosial kepulauan lewat penguasaan perhubungan udara. Menurut dia, kemampuan produktif industri penerbangan Indonesia dapat menjadi ukuran seberapa jauh kita mengerti dan menyambut kebutuhan vital itu.

Tanpa terjebak keangkuhan profesi keteknikan atau kepercayaan berlebihan pada kedigdayaan teknologi, Alex Supelli mengajukan kasus terputusnya ikhtiar belajar bangsa Indonesia menguasai kecakapan produksi pesawat terbang, dalam konteks bangkit dan runtuhnya industri pesawat terbang Nusantara 15 tahun silam. Tidak sulit menunjukkan bahwa karut-marut transportasi publik tersebut juga terjadi di laut dan di ruang yang paling kita kenal: daratan.

Seperti tersirat di artikel tersebut, ironi yang ia tunjukkan—yaitu tumpulnya penglihatan tentang pentingnya mengerti, menguasai dan mengawaki sistem transportasi udara sipil kita sendiri—menohok banyak titik dalam dinamika krisis sosial-ekologis di Indonesia.

Catatan harian media-publik selama bertahun-tahun berkelimpahan dengan bukti tentang ketidakmampuan kita mengurus keselamatan dan keamanan manusia, apalagi kelangsungan rerantai proses alami di kepulauan dan perairan Indonesia.

Ingkari warga

Di sepanjang masa kembang ekonomik sejak akhir 1960-an, satuan wilayah pengurusan sungai rusak parah satu demi satu. Penguatan pengurusan penggunaan ruang daratan dan perairan telah menghasilkan rezim penataan ruang hidup yang kita bolehkan mengusir warganya, merusak sistem-sistem ekologis penopangnya, serta melepaskan kendali atas tanah dan wilayah yang vital bagi reproduksi sosial-ekologis pada skala pulau, termasuk sistem-sistem transportasinya.

Di pulau-pulau penghasil pangan utama, terus berlangsung pengerutan syarat kelayakan kemanusiaan dari nafkah pertanian pangan, pengerutan luas wilayah, serta ketersediaan air produksi tani. Percepatan pengurasan sumber-sumber energi primer fosil serta percepatan konsumsi energi berlangsung di luar rasionalitas publik untuk keadilan pemanfaatan tenaga dan keamanan energi jangka panjang.

Barangkali puncak dari ironi itu adalah fantasi bahwa masa depan terletak pada pembesaran ekonomi kelautan kita. Namun, dari 137 teluk dan 47 selat penting, wilayah vital bagi warga Indonesia yang hidup dari sabuk perairan pesisir dan pengurusan jalur perhubungan laut tidak banyak yang kita urus dengan baik. Bahkan, pembongkaran bahan mentah industrial maju ke garis depan terakhir: perairan pesisir dan laut dalam.

Ekonomika hidup bersama

”Ini bukan soal nasionalisme, bukan juga soal profit versus pengembangan SDM, tetapi mengatur masa depan hidup bersama. Itulah makna luas oeconomicus”.

Kritik di penutup tulisannya itu ia tujukan bukan saja pada profesi dan industri penerbangan yang digelutinya dalam konteks politik kebangsaan, tetapi pada soal yang lebih mendasar. Makna luas ekonomika tengah bangkit menjadi gugatan generasi baru yang peduli arah perluasan ekonomik pada skala bumi sampai kampung serta berbagai tawaran pemecahan semu dari krisis.

Bermula terutama di sekolah- sekolah ekonomi utama di Perancis sepuluh tahun silam, kritik mahasiswa terhadap ”ekonomika-autistik” itu menolak reproduksi sistem bertutur dominan tentang rerantai ekonomik. Ini termasuk puja-puji mengenai pertumbuhan nilai uang dari perluasan produksi-konsumsi dan nilai uang dari pendapatan per kepala, lewat pemodelan matematika yang tidak mengacu pada kenyataan, serta terus memperdalam krisis bagi kehidupan rakyat di tiap negeri.

Tulisan Alex menggugat ketidakteguhan kita untuk belajar mengurus kehidupan bersama, seperti kasus industri kendaraan udara, yang menyiratkan kerdilnya nyali kita merumuskan dan menyepakati syarat-syarat yang harus ditegakkan dan diadili di seluruh rerantai pengurusan publik dan pembesaran produksi-konsumsi bahan dan energi.

Awan hitam telah lama menggantung. Kita seperti dalam ketenangan sebelum badai datang. Dari mana kita mesti mulai merintis jalan menuju kehidupan cerah? Kalimat penutup di atas sekaligus mengajukan jalan keluar. Pembaruan harus dilakukan di lubuk krisis terdalam. Pemecahan akan datang dari pembaruan sikap pikir kita tentang konteks kemanusiaan dari rerantai produksi-konsumsi, bukan dari hiruk-pikuk mengingkari vitalitas solidaritas kemanusiaan.

Alex baru saja berangkat meninggalkan orang-orang terdekat dan yang hidupnya tersentuh olehnya. Dia meninggalkan sebuah kehidupan yang dia abdikan pada dunia penerbangan dengan cara mengesankan: lewat perjalanan penerbangan terakhirnya. Selamat terbang, Kawan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03414962/lahirnya.generasi.baru.pem


Hendro Sangkoyo Pelajar di Sekolah Ekonomika Demokratik, sebuah jejaring riset antarnegeri untuk pembalikan krisis

Membangun Konsolidasi dan Sinergi Pemberantasan Korupsi

Oleh: DR Bambang Widjoyanto


Kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi adalah keniscayaan, karena negara harus segera mewujudkan kesejahteraan rakyat dan melakukan konvergensi antara daulat rakyat dan daulat hukum secara bersamaan untuk merealisasi terwujudnya negara hukum yang demokratis.

Kebijakan konstitusionalitas di atas memperoleh relevansinya bila diletakkan dalam perspektif bangsa dunia dengan adanya konvensi tentang pemberantasan korupsi, yaitu UNCAC 2003. Konvensi dimaksud adalah upaya konkret bangsa-bangsa untuk bekerja bersama melawan korupsi yang sudah bersifat trans-national crime. Konvensi menyatakan, ”Prihatin atas keseriusan ancaman yang ditimbulkan korupsi karena merusak lembaga dan nilai demokrasi, etika, dan keadilan, serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”

Pernyataan dimaksud tepat dan juga sangat tegas, karena tindak korupsi tidak hanya sudah meluas sehingga bersifat massif, tapi juga dilakukan dengan secara terstruktur di dalam sendi kehidupan bermasyarakat dalam sistem governance. Kini, konvensi tersebut sudah diratifikasi menjadi UU No. 7 Tahun 2006, dan sesuai dengan pernyataan di atas, konvensi menunjuk pada tiga dampak sekaligus dari korupsi yang bersifat massif dan terstruktur, yaitu menegasikan proses demokratisasi, mendekonstruksi pembangunan berkelanjutan, dan mendelegitimasi penegakan hukum.

Pernyataan dimaksud juga dikonfirmasi oleh Warren (2004: 329), yang menyatakan ”Corruption violates the rules of democracy and threatens the inclusiveness of the political community” dan pernyataan dari Wonbin Cho and Matthew F. Kirwin (2007-2) yang mengemukakan ”Corruption is one of the most important constraints on economic growth and political development…”.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara korupsi, pembangunan berkelanjutan, proses demokrasi, dan penegakan hukum. Lebih jauh lagi, korupsi menjadi salah satu penyebab utama proses pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan kian absolut, pelayanan publik yang tidak optimal, infrastruktur yang tidak memadai, high-cost economy, dan terjadinya eksploitasi sumber daya yang tidak menimbulkan manfaat bagi kemaslahatan publik. Pada konteks inilah justifikasi pentingnya kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi memperoleh dasar legitimasinya.

Legitimasi dimaksud potensial mengalami proses dekonstruksi, karena pemberantasan korupsi disalahpersepsikan dan bahkan disalahartikan. Pemberantasan korupsi diberitakan dan hanya dilihat dalam perspektif ”kekerasan dan kegaharan”. Wajah pemberantasan korupsi diberitakan dari sisi dramatiknya, ditonjolkan kehebohannya, dan upaya paksa yang digunakan yang mendapatkan kesan arogansi dan ”perlawanan” pihak yang diduga pelaku juga dieksploitasi. Fakta ini tidak hendak menegasikan, ada indikasi yang cukup kuat, beberapa pihak memang tidak sepenuhnya menunjukkan komitmen yang kuat dan political action yang tegas untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dan dilakukan dalam perspektif yang lebih optimistis dengan strategi yang lebih sistemik dan pendekatan yang konsolidatif dengan mengintegrasikan semua sumber daya dan modal sosial yang ada secara paripurna. Pada konteks seperti itu, ada tiga hal penting yang dapat dilakukan, yaitu pertama, penindakan harus diletakkan secara paralel dengan kebijakan pencegahan; kedua, peningkatan koordinasi lembaga penegakan hukum antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan serta lembaga terkait lainnya, seperti PPATK, BPKP, dan lainnya; ketiga, membangun sinergi lembaga pengawasan antara KPK dan DPR, BPK, inspektorat, dan Bawasda.

Penindakan dan pencegahan harus dilihat sebagai dua sisi dari sebuah koin. Ada tiga yang dapat dijadikan alasan sebagai argumen untuk mengintegrasikan tindak represif dengan preventif, yaitu, pertama, penindakan pelaku kejahatan tanpa disertai upaya sistematis untuk ”membenahi” sistem yang memproduksi kejahatan adalah tindakan yang dapat bersifat ”karikatif”. Bila sistem yang ada terus-menerus memproduksi para koruptor, aparat penegak hukum niscaya tidak mampu menangani jumlah pelaku kejahatan, serta sumber daya yang digunakan akan ”habis” tanpa bisa menyelesaikan penyebab utama kejahatan yang terus memproduksi kejahatan. Kedua, penindakan tidak lepas dari kepentingan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan agar menimbulkan deterrent effect. Penindakan yang tegas dan tepat tidak hanya menimbulkan efek jera, tapi juga dapat membangun sifat dan efek pencegahan. Ketiga, kendati penindakan dalam pidana korupsi bersifat premium remedium, ia juga sense perspektif ultimum remedium. Maksudnya, tindakan lainnya dapat diterapkan lebih dulu sebelum digunakan upaya penindakan dan penjatuhan sanksi.

Pada lima tahun terakhir ini, kesan dan tensi rivalitas di antara lembaga penegakan hukum kian kuat, khususnya di antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Di satu sisi, tidak dapat dihindari fakta adanya mafia hukum di dalam lembaga penegakan hukum yang membuat kepercayaan publik kepada lembaga penegakan merosot tajam. Hal ini juga membawa dampak pada hubungan di antara penegak hukum. Di sisi lain, konsolidasi di antara sumber daya penegakan hukum juga perlu dilakukan. Untuk itu, perlu dibuat suatu program yang bersifat bridging system and trust building. Pada program dimaksud dapat dilakukan beberapa hal, yaitu membangun sistem koordinasi dan supervisi dalam penanganan kasus korupsi di antara penegak hukum, membangun kerja sama dalam penanganan kasus, serta memberi fokus pada program kerja bersama. Selain itu, dapat dilakukan program training bersama antara lembaga penegakan hukum dan instansi terkait lainnya (BPKP, PPATK, dan BPK) untuk refreshing and advanced course dengan materi tertentu. Program ini dimaksudkan untuk membangun kebersamaan, peningkatan kapasitas kompetensi secara bersama, dan memberikan fokus serta prioritas secara bersama di antara penegak hukum. Program ini juga dapat dimaksudkan sebagai bagian dari strategi untuk membangun lembaga penegakan hukum yang mempunyai value, etos, dan sistem yang sama dengan KPK sehingga dapat terjadi proses “penularan” untuk menciptakan “the island of integrity and professionalism” di antara lembaga penegakan hukum.

Yang sangat penting dan acap kali dilupakan adalah membangun strategi pengawasan bersama di antara DPR, KPK, dan lembaga pengawas lainnya. KPK mempunyai kewenangan dan kompetensi melakukan pengkajian potensi koruptif dan kolutif pada lembaga penegakan hukum, lembaga pelayanan publik, dan berbagai instansi pemerintah. BPK melakukan audit keuangan dan audit dengan tujuan tertentu pada hampir seluruh lembaga negara dan pemerintahan termasuk pemerintahan daerah. Kedua hasil pengawasan tersebut seyogianya digunakan oleh DPR untuk memperkuat dan mengoptimalkan fungsi pengawasannya. Inspektorat dan Bawasda, yang merupakan lembaga pengawasan di level pemerintahan, juga dapat menjadi bagian penting untuk secara bersama melakukan pengawasan bersama BPK, DPR, dan KPK. Untuk itu, fokus dan prioritas pengawasan pada bidang tertentu dapat dilakukan bersama, KPK dapat melakukan kajian untuk menentukan pemetaan potensi korupsi dan kemudian hasilnya dapat digunakan secara bersama dengan lembaga di atas dan pemerintah untuk melakukan mainstreaming, focusing, dan synergizing percepatan pemberantasan korupsi di beberapa bidang strategis.

Upaya pemberantasan korupsi bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga harus diyakini dan dihidupkan optimisme bahwa ada cukup banyak cara dan strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti contoh tersebut di atas. Ada modal sosial yang cukup, serta ada banyak pihak yang punya keinginan kuat dan bersedia mewakafkan sebagian waktu, pengetahuan, dan pengalamannya untuk secara bersama melakukan pemberantasan korupsi.

Jika percepatan pemberantasan korupsi dapat dilakukan, hal itu akan lebih baik karena segera mewujudkan kesejahteraan dan negara hukum yang demokratis. Bukankah kita harus menggantung cita-cita pada bintang di langit bahwa korupsi dapat ditaklukkan dengan meminjam kedahsyatan pidato Soekarno, mantan Presiden RI. Insya Allah, kita bisa melakukannya dan yakin bisa melakukannya bersama karena bukankah Allah akan selalu mengabulkan doa dan upaya hambanya sesuai dengan prasangka baik dari hambanya.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/28/Opini/krn.20100928.212992

DR Bambang Widjoyanto
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI; LEGAL ADVISOR PARTNERSHIP FOR GOVERNANCE REFORM; SENIOR PARTNER DI WSA LAW FIRM.

Mewujudkan Rasa Aman

Oleh: J Kristiadi



Rasa miris, berbaur waswas, cemas, khawatir, takut, dan gelisah mungkin diksi yang paling tepat untuk mengungkapkan sentimen dan afeksi perasaan masyarakat pasca-serangkaian perampokan bank di Sumatera dan diprediksi akan menjalar ke daerah lain. Lebih-lebih penjarahan itu diduga adalah bagian dari kegiatan terorisme yang kemampuan reproduksinya seakan-akan lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas negara menumpasnya. Bahkan, menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, kegiatan terorisme sudah mengarah pada kudeta. Artinya, terorisme juga mengancam tatanan politik yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Eksistensi negara dan demokrasi menjadi taruhan. Mungkin agar mendapat simpati rakyat, taktik balik terorisme dimulai dengan serangan terhadap simbol penguasa. Bukan lagi melakukan teror terhadap simbol Barat yang mengakibatkan korban indiskriminatif.

Peningkatan intensitas kegiatan terorisme yang eskalatif adalah ancaman serius yang harus semakin menyadarkan seluruh elemen bangsa bahwa selain teror, rasa aman warga serta eksistensi bangsa dan negara menghadapi ancaman yang jauh lebih kompleks. Mulai dari ancaman individual sampai ancaman yang berdimensi luas dan canggih, seperti bencana alam, narkoba, perdagangan anak dan perempuan, perompakan, penyelundupan, pemberontakan bersenjata, separatisme, kudeta, korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, cuaca ekstrem, senjata kimia, nuklir, konflik komunal, ancaman militer asing, dan lain sebagainya.

Mengingat rumit dan kompleksitasnya ancaman, diperlukan strategi keamanan yang komprehensif. Namun, pertama-tama yang diperlukan adalah konsensus dalam memahami keamanan nasional. Kesepakatan amat diperlukan mengingat sejauh ini perdebatan mengenai konsep itu berlangsung tidak produktif. Mungkin sebagai acuan dapat menengok sejarah bahwa gagasan itu muncul sejak disepakatinya penghentian perang tiga puluh tahun yang dituangkan dalam Treaties of Westphalia tahun 1648.

Semula keamanan nasional dipahami sebagai upaya mempertahankan integritas teritori suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan sendiri. Namun, mengingat makin kompleksnya hubungan antarnegara serta kompleksitas ancaman yang dihadapi komunitas internasional, penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara bersama dan tidak hanya mengamankan kedaulatan negara, tetapi juga menjamin keamanan warga negara, bahkan nilai bangsa yang bersangkutan.

Dalam menyusun strategi keamanan nasional, setidak-tidaknya harus dipenuhi beberapa ketentuan. Pertama, menegaskan hakikat dan prinsip keamanan nasional sebagai kondisi yang harus diwujudkan untuk kelangsungan bangsa dan negara serta rasa aman warga dalam mencapai masyarakat yang sejahtera. Kedua, mengatasi ancaman harus mempertimbangkan kompleksitas lingkungan strategis Indonesia, eskalasi ancaman, kemampuan melakukan perkiraan, penggunaan sumber daya agar efektif dan efisien, serta penghormatan atas kemanusiaan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketiga, manajemen penyelenggaraan keamanan nasional harus memerhatikan prioritas, terkoordinasi dengan jelas, tatanan kewenangan yang tidak tumpang tindih, serta menekan serendah mungkin wilayah abu-abu. Keempat, kontrol yang berlapis sehingga mencegah penyalahgunaan atau kesimpangsiuran dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Prinsipnya, pengawasan dilakukan ketat dan berlapis, mulai dari masyarakat, lembaga politik, administrasi, hingga teknis pelaksanaan lapangan.

Selain itu, isu yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah hubungan antara TNI dan Polri yang rancu. Kerancuan relasi itu bersumber pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kekaburan itu berkenaan dengan kewenangan kedua lembaga dalam menangani pertahanan dan keamanan. Klarifikasi diperlukan sehingga kewenangan dua lembaga itu jadi lebih jelas.

Strategi itu, agar memiliki legitimasi yang kuat, harus menjadi bagian dari UU Keamanan Nasional, yang rancangannya hampir 10 tahun tidak mengalami kemajuan. Berbagai regulasi yang terbit dan RUU berkaitan dengan RUU Keamanan Nasional harus disinkronisasi agar penyelenggaraan keamanan nasional dapat dilakukan secara terpadu, efektif, dan efisien. Misalnya, UU TNI, UU Polri, UU Intelijen, UU Rahasia Negara, UU Kebebasan Informasi Publik, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, UU Komponen Cadangan Pertahanan, UU Peradilan Militer, UU Wajib Militer, serta UU Bela Negara.

Penyusunan regulasi tentang keamanan nasional juga dapat dijadikan wahana untuk mengonsolidasikan lembaga politik, pemerintahan, dan masyarakat mengingat UU itu menjadi instrumen yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Meskipun harus diakui, regulasi bukan panasea (obat mujarab) yang bisa mengubah secara mendadak situasi rawan menjadi aman. Namun, UU yang didasarkan atas prinsip dan paradigma yang jelas menjadi modal yang sangat berharga untuk membangun kelembagaan, mengatasi kerancuan, serta efektivitas dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Dengan demikian, mewujudkan rasa aman harus dimulai dahulu dengan memprioritaskan pembahasan UU Keamanan Nasional yang sudah lama menjadi wacana publik.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/28/03183231/mewujudkan.rasa.aman.


J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Selasa, 28 September 2010

Delapan Agenda Indonesia

Oleh: Todung Mulya Lubis


Tulisan ini tak dimaksudkan untuk mempertentangkan delapan agenda yang diketengahkan oleh Presiden ketika berpidato di hadapan sejumlah tokoh media saat berbuka puasa bersama. Tulisan ini justru ingin menggarisbawahi sekaligus melengkapi delapan agenda penting yang kita perlu kaji untuk memuluskan perjalanan bangsa ini ke hari yang lebih baik. Secara ringkas, saya tuliskan delapan agenda penting yang menurut saya mutlak kita sepakati.

Pertama, kita perlu merawat pluralitas kita sebagai bangsa. Kekayaan kita justru pada pluralitas etnis, suku, bangsa, budaya, agama, bahasa, dan latar belakang sosial-budaya dan perspektif politik. Inilah pilar penting kebersamaan kita sebagai bangsa yang juga terpatri dalam dokumen-dokumen pergerakan dan kemerdekaan. Sekarang pluralitas ini tengah mengalami ancaman yang merusak semen perekat kebersamaan kita, menimbulkan keterasingan dan ketakberdayaan, menggoyahkan rasa kebangsaan. Mayoritas menindas minoritas. Apa yang terjadi pada Ahmadiyah dan Huria Kristen Batak Protestan belakangan ini adalah contoh paling segar yang menggerus pluralitas itu. Negeri ini tengah menyaksikan semangat Bhineka Tunggal Ika yang memudar. Negeri ini tengah menyaksikan negara tak berbuat maksimal dalam memelihara pluralitas ini.

Kedua, berkaitan dengan hal di atas, soal Papua adalah soal yang sepertinya diabaikan. Papua adalah bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Pemerintah menganggap persoalan Papua sudah selesai ketika otonomi khusus diberikan, ketika dana otonomi khusus yang triliunan rupiah digelontorkan. Tapi orang Papua merasa tak menikmati semua itu. Orang Papua merasa menjadi minoritas dalam pemerintahan dan merasa dilanggar hak asasi mereka. Apalagi dengan politik pemekaran yang terus berlangsung tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Laporan International Crisis Group berjudul "Indonesia: The Deepening Impasse in Papua" mencerminkan betapa seriusnya persoalan Papua yang merasa tak setara dengan saudara-saudaranya di daerah lainnya. Saya tak mengatakan ada "segregasi", tetapi perasaan yang tumbuh adalah terjadinya "segregasi".

Ketiga, melanjutkan pemberantasan korupsi. Saya tak membantah bahwa pemberantasan korupsi masih jadi agenda penting pemerintah, tetapi saya tak ingin mengingkari bahwa ada pelemahan pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir ini. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kriminalisasi Bibit-Chandra adalah stigma yang menghantam laju pemberantasan korupsi. Dipaksakannya pendirian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di semua ibu kota provinsi dengan komposisi jumlah hakim ad hoc lebih sedikit ketimbang hakim karier jelas menimbulkan keraguan akan ketegasan putusan hakim. Selain itu, bergantungnya KPK pada penyidik kepolisian dan penuntut dari kejaksaan menimbulkan pula "loyalitas ganda" yang membuat KPK tak bisa 100 persen efektif. Alhasil, KPK memang seperti berjalan tertatih-tatih, terutama karena minimnya dukungan politik nyata di lapangan.

Keempat, membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum dari mafia hukum. Mafia di sini bisa jadi hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Merekalah yang menjadi sarang laba-laba yang menjerat pencari keadilan, memerasnya untuk membeli keadilan. Supremasi hukum yang menjadi dasar berdirinya negara hukum diinjak-injak, dan lembaga penegak hukum berubah menjadi "black market of justice". Ke depan. lembaga penegak hukum kita mesti dibersihkan dari cengkeraman mafia ini, dan ini seharusnya juga menjangkau lembaga peradilan semu, seperti pengadilan pajak, badan arbitrase, KPPU, dan sebagainya. Pulau-pulau korupsi itu ternyata telah menyebar dengan sangat pesat ke banyak tempat.

Kelima, meningkatkan kualitas governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Semua krisis yang melanda selama ini adalah karena krisis dari governance. Di sinilah reformasi birokrasi itu menjadi mahapenting karena birokrasi kita sekarang memang menjadi sumber dari masalah. Birokrasi kita adalah "problem", bukan "solution". Ciri penting dari good governance adalah dijalankannya transparansi, rule of law, dan akuntabilitas. Sejauh ini kita merasa bahwa walau keadaan sudah jauh berubah jika dibanding zaman Orde Baru dulu, perubahan governance masih sangat lamban. Dan kelambanan reformasi birokrasi ini justru menjadi bottleneck yang sekaligus sumber korupsi yang berkepanjangan, baik korupsi karena kebutuhan (needs) maupun karna keserakahan (greed).

Keenam, sejalan dengan agenda kelima, kita juga harus menata kembali desentralisasi yang kita terapkan sekarang ini. Kita tak boleh mundur dari desentralisasi karena tak mungkin kita kembali ke sentralisasi. Tetapi desentralisasi yang tak ditunjang oleh kesiapan birokrasi, hukum, sumber daya manusia, dan checks and balances niscaya akan menjadi pulau-pulau korupsi baru.

Birokrasi daerah menjelma menjadi kerajaan kecil dengan ambisi kekuasaan yang besar. Tangan Jakarta tak bisa menjangkau, dan dalam banyak hal desentralisasi ini telah pula menjadi semacam trade barrier bagi investasi. Sayang bahwa desentralisasi tak melahirkan kompetisi untuk menjadi model pemerintahan daerah yang sukses.

Ketujuh, melindungi tenaga kerja Indonesia. TKI, yang selalu disebut sebagai pahlawan devisa, adalah warga negara Indonesia yang malang karena tak mendapat perlindungan hukum yang memadai. Para TKI dijadikan sapi perahan dan obyek baik oleh penyalur TKI maupun negara penerima kerja TKI. Tidak seperti pemerintah Filipina yang memberikan perlindungan penuh kepada tenaga kerja mereka, para TKI kita harus berjuang sendirian. Kita hanya mau uang para TKI, tetapi tak secara optimal memberikan perlindungan terhadap mereka. Penderitaan TKI adalah luka yang menusuk ulu hati kita, dan kita ikut terhina. Harga diri kita dilecehkan oleh para majikan dan negara penerima TKI. Sayangnya, pemerintah tak terlalu serius mengurusi nasib TKI yang malang ini.

Kedelapan, dan ini yang terakhir, adalah kemacetan lalu lintas jalan di Jakarta. Saya kira sudah ratusan triliun rupiah kita dirugikan oleh kemacetan Jakarta, yang katanya akan macet total pada 2012. Mantan Presiden Polandia Lech Walesa mengatakan kepada saya bahwa persoalan Indonesia akan selesai kalau soal kemacetan Jakarta bisa diselesaikan. Walesa tidak sedang bergurau. Dia mengatakan soal kemacetan ini adalah soal ekonomi, energi, governance, politik, dan sebagainya. Kemacetan ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak memerintah. Sayangnya, wacana yang berkembang justru ingin memindahkan ibu kota dari Jakarta, dan membiarkan Jakarta terus-menerus macet. Bayangkan, betapa besarnya kerugian yang bakal kita derita. Jangan-jangan kita akan jatuh pailit karena kerugian yang kita derita di Jakarta nanti.

Delapan agenda ini tentu bisa ditambah lagi. Isu hak asasi manusia, illegal logging, dan terorisme juga harus dibahas. Tetapi saya ingin berfokus pada delapan agenda ini, dan saya percaya bahwa banyak persoalan bangsa ini akan selesai jika kita mampu menyelesaikan delapan agenda ini. Hasil yang akan kita peroleh adalah dividend, dan dividend inilah yang akan membuat Indonesia menjadi lebih baik.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/22/Opini/krn.20100922.212399

Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)

Ekologi Politik Pesisir

Oleh: Arif Satria


Tanggal 24 September 2010 adalah tepat setengah abad Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Namun, ada hal yang sering terlupakan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengatur hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 16 dan 47). Air yang dimaksud adalah perairan pedalaman ataupun laut wilayah Indonesia. Salah satu spirit penting dalam UUPA adalah adanya pengakuan negara atas hak ulayat yang dimiliki masyarakat, baik hak pemanfaatan maupun hak pengelolaan. Di wilayah pesisir kedua jenis hak penting sebagai prasyarat menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir.

Masalahnya adalah kedua jenis hak di atas sering kali diabaikan. Kerusakan sumber daya pesisir ataupun konservasi yang sentralistik akan berdampak pada tak berfungsinya hak-hak mereka. Bagaimana memperkuat hak-hak masyarakat pesisir tersebut sesuai spirit UUPA?

Akses terbuka

Hardin mengeluarkan istilah tragedy of the commons untuk menggambarkan ketidakjelasan hak-hak penguasaan sumber daya karena sumber daya bersifat akses terbuka (open access) yang berdampak kerusakan sumber daya. Namun, kini, ketika hak-hak penguasaan semakin jelas, ternyata kerusakan sumber daya tetap terjadi.

Dalam ekologi-politik, ekologi bukanlah masalah teknis, tetapi lebih merupakan akibat dari tatanan politik dan ekonomi yang ada serta proses politik dari aktor-aktor yang berkepentingan. Inilah yang disebut Bryant dan kawan-kawan (2001) sebagai bentuk politicised environment.

Aktor yang dominan umumnya adalah negara dan swasta besar. Ternyata dominasi ini justru menyebabkan apa yang oleh Bryant disebut tragedy of enclosure, yakni tragedi akibat dominasi negara dan swasta yang menyebabkan akses masyarakat pada pemanfaatan dan pengelolaan makin dibatasi. Melemahnya akses ini membuat masyarakat makin marjinal.

Dari sinilah Bryant membuat tesis baru bahwa: (a) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (b) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan (c) dampak ketimpangan sosial ekonomi ini mengubah relasi kekuasaan antaraktor. Apakah tragedy of enclosure juga terjadi di wilayah pesisir? Bagaimana mengatasinya?

Politik pesisir

Tentu wilayah pesisir tak bisa lepas dari tragedi ini. Praktik kegiatan pertambangan oleh swasta di wilayah pesisir terbukti memperlemah akses nelayan untuk melaut karena lautnya tercemar. Juga rencana adanya kluster perikanan berupa konsesi khusus bagi segelintir pengusaha perikanan bisa berdampak pada melemahnya hak-hak nelayan.

Begitu pula praktik konservasi laut yang sentralistik bisa membatasi akses nelayan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sangat sentralistik dan minim pengakuan terhadap eksistensi hak-hak masyarakat pesisir.

Tragedi ini mestinya bisa diakhiri dengan legislasi pesisir yang populis. Kini pemerintah sudah punya UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang dalam proses revisi. Diharapkan revisi tersebut bisa menggunakan spirit UUPA dengan memerhatikan beberapa hal berikut.

Pertama, bagaimana revisi UU No 27/2007 bisa memperkuat posisi masyarakat dalam berbagai proses perencanaan pesisir, yaitu (a) rencana strategis, (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan, dan (d) rencana aksi untuk pengelolaan pesisir.

Rencana zonasi—yang harus ditetapkan dengan peraturan daerah—merupakan titik paling kritis karena memuat peruntukan wilayah pesisir. Perencanaan pesisir itu bukan merupakan arena yang netral, tetapi merupakan arena kontestasi kepentingan antarpelaku. Oleh karena itu, persoalan kritis berikutnya adalah bagaimana memperkuat akses masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan zonasi sehingga menjamin akses mereka pada pemanfaatan sumber daya.

Nelayan dalam posisinya seperti sekarang sering merupakan aktor terlemah sehingga diduga sulit untuk bisa dominan dalam pengambilan keputusan zonasi. Bila posisinya lemah, nelayan berpotensi menjadi korban.

Kedua, meninjau kembali pasal tentang Hak Pemanfaatan Perairan Pesisir (HP-3) yang saat ini bisa berlaku untuk masyarakat dan swasta selama 20 tahun, bisa dialihkan, serta diagunkan. Ada kekhawatiran dengan berlakunya pasal ini akan terjadi ”komoditisasi” perairan pesisir, dan tidak mempertimbangkan hak asal-usul masyarakat adat. Padahal, ada sejumlah hak yang melekat pada masyarakat adat. Begitu pula menurut UUPA, sumber-sumber agraria seperti tanah dan air memiliki fungsi sosial sehingga mestinya tidak bisa diprivatisasi secara monopolistik oleh swasta.

Ketiga, memperkuat Pasal 61 yang menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, serta kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau kecil yang dimanfaatkan secara turun-temurun. Pasal ini bagus sekali sehingga perlu diperkuat dan dielaborasi pada peraturan turunannya untuk implementasi.

Oleh karena itulah, pemberdayaan masyarakat pesisir tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingannya. Bila masih yakin bahwa kita adalah bangsa bahari, jaminan terhadap hak-hak masyarakat pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03082957/ekologi.politik.pesisir


Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Wakil Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional

Pertumbuhan dan Kemiskinan

Oleh: Robert B Zoellick



Diadopsinya upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) secara global satu dekade lalu didasari semangat untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

Sebelum dilanda krisis pangan, bahan bakar, dan finansial dua tahun terakhir ini, negara- negara berkembang mengalami kemajuan dalam menanggulangi kemiskinan. Tahun 1981, sebanyak 52 persen penduduk negara berkembang menderita kemiskinan ekstrem; tahun 2005 angka ini turun menjadi 25 persen. Sebelum krisis, negara-negara berkembang di Asia Timur, Amerika Latin, serta Eropa Timur dan Tengah mencatat penurunan kemiskinan yang cukup tajam.

Kendati demikian, kemajuan ini belum terjadi menyeluruh. Sub-Sahara Afrika masih tertinggal dalam penanggulangan kemiskinan. Tingkat kelaparan dan malnutrisi turun, tetapi belum cukup cepat untuk mencapai target penghapusan kemiskinan pada 2015. Masih terlalu banyak penduduk dunia yang menderita kelaparan, berada di bawah garis kemiskinan, atau rentan akan kemiskinan. Masih banyak pula yang menganggur dan tak mendapat akses ke pelayanan publik atau kesempatan ekonomi.

Krisis telah memperburuk keadaan. Bank Dunia memperkirakan, tahun 2010, lebih dari 64 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem (pendapatan di bawah 1,25 dollar AS per hari). Sampai 2015, angka kematian anak balita diperkirakan juga mengalami peningkatan 1,2 juta, sebanyak 350,000 siswa tak akan dapat menyelesaikan sekolah dasar, dan sekitar 100 juta orang tak akan memiliki akses air bersih.

Krisis pangan 2008 mungkin sudah mulai terlupakan, tetapi belum sepenuhnya berakhir. Untuk pertama kali dalam sejarah, lebih dari satu miliar orang di dunia tidur dengan perut kosong setiap hari. Oleh karena itu, kita perlu menggalakkan kembali upaya-upaya untuk membantu masyarakat miskin dan rentan.

Investasi di sepanjang rantai makanan untuk meningkatkan produktivitas pertanian tidak hanya akan membantu mengurangi kelaparan. Investasi ini juga akan membantu menanggulangi kemiskinan karena 75 persen penduduk miskin dunia tinggal di daerah pedesaan di negara-negara berkembang. Mereka mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencarian.

Negara-negara berpenghasilan rendah perlu membentuk program jaring pengaman yang lebih baik agar bisa melindungi penduduk termiskin serta mengembangkan keterampilan mereka sehingga dapat keluar dari jerat kemiskinan dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Perekonomian dunia sedang mengalami pemulihan tak merata dan tak menentu, tanpa adanya arus pekerjaan. Diperlukan perbaikan dan percepatan penurunan kemiskinan. Banyak kesempatan berinvestasi di negara berkembang dan meraup keuntungan (termasuk di sektor infrastruktur yang dapat mendobrak hambatan pertumbuhan) sekaligus menciptakan permintaan global.

Potensi pertumbuhan tidak hanya terbatas pada segelintir negara berkembang yang selama ini masuk kategori emerging markets. Sebelum krisis, banyak negara berpenghasilan rendah, termasuk di Sub-Sahara Afrika, berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun selama lima tahun berturut-turut berkat penerapan sejumlah kebijakan baru. Peningkatan keterampilan jadi sangat penting dalam menciptakan lapangan kerja yang baru dan lebih baik.

Hal ini sangat penting mengingat negara-negara berkembang dan emerging markets kini menghadapi sejumlah permasalahan demografis. Jumlah pencari kerja di Afrika dan Timur Tengah meningkat drastis, sementara tenaga di Eropa Timur serta Asia Tengah dan Asia Timur kian menciut. Tak kalah penting, upaya mempekerjakan semua orang hingga mencapai tingkat produktivitas tertinggi mereka.

Menciptakan kesempatan

Oleh karena itu, negara-negara perlu memiliki sistem pengembangan keterampilan yang sejak usia dini memerhatikan nutrisi, stimulasi, dan keterampilan kognitif dasar. Sistem yang memastikan semua sekolah memiliki standar jelas, guru berkualitas, sumber daya memadai, dan berorientasi pada prestasi. Sistem yang membentuk keterampilan sesuai kebutuhan modern dengan menekankan pendidikan tinggi dan pelatihan di tempat kerja. Sistem yang mendorong kewirausahaan dan inovasi.

Pemulihan juga bergantung pada sektor swasta. Jika perusahaan-perusahaan dapat menghasilkan laba, mereka akan berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja. Negara perlu memperbaiki iklim investasi dengan membentuk peraturan yang lebih jelas, mempermudah jalannya usaha, serta menyediakan pendanaan untuk UKM, baik untuk investasi swasta maupun untuk masyarakat miskin. Negara juga perlu menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan bebas korupsi.

Bersama mitra-mitra pembangunannya, pemerintah perlu bergerak cepat menciptakan kesempatan lebih luas, termasuk bagi anak gadis dan perempuan, karena perekonomian tidak akan maju berhasil apabila mereka didiskriminasikan. Minggu ini komunitas pembangunan menilik kemajuan mereka dalam mencapai MDGs di Kantor PBB.

Kita harus melihat lebih jauh dari apa yang selalu jadi fokus perhatian, yakni angka-angka pencapaian MDGs—dan melihat apa yang bisa dipelajari di balik angka tersebut. Apa yang berhasil perlu ditingkatkan. Apa yang gagal perlu diperbaiki. Dan sepanjang jalan ini, harus kita sadari, tujuan besarnya adalah pemberdayaan manusia. Semangat dapat mendorong manusia mencapai banyak hal luar biasa. Tiap manusia layak diberi kesempatan untuk berbuat luar biasa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03255493/pertumbuhan.dan..kemiskina


Robert B Zoellick Presiden Grup Bank Dunia

Petani Sejahtera Baru Sebatas Mimpi

Oleh: Idham Arsyad


Setengah abad lalu, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme membuat kebijakan baru pengaturan masalah agraria.

Aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar Pokok Agraria (UUPA).

Kelahiran UUPA menandai era baru sistem hukum dan politik agraria nasional yang menggantikan sistem hukum dan politik agraria kolonial. UUPA datang dengan semangat zaman untuk merombak tatanan politik agraria kolonial. Politik agraria kolonial adalah sebuah politik agraria yang mengabdi bagi kepentingan partikelir asing atau pemodal raksasa dengan mengorbankan rakyat tani di Indonesia.

”Guremisasi”

Di atas politik agraria kolonial, keadaan petani menjadi sengsara, miskin, dan kelaparan. Sebab, hukum yang lahir dari politik agraria kolonial ini mengakibatkan pertanian rakyat tergusur oleh perkebunan. Untuk mendapatkan keuntungan dan tenaga kerja yang banyak dan murah, perkebunan selalu menyasar tanah-tanah yang subur dan padat penduduknya. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak ada pilihan kecuali menjual tenaganya hanya untuk mempertahankan hidup.

Sampai saat ini, penerapan politik agraria kolonial mengakibatkan meningkatnya persentase petani berlahan sempit dan petani tak bertanah. Tauhid (1952) menunjukkan penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada tahun 1938 rata-rata 0,84 hektar. Khusus di Jawa, keluarga yang punya tanah kurang dari sepertiga hektar mencapai 70 persen, sedangkan keluarga yang punya tanah lebih dari 5 hektar hanya 0,5 persen.

Ironisnya, penguasaan tanah pada masa kolonial ini tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. Sensus pertanian dari tahun 1963 hingga 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 dan 1,05 hektar.

Sementara itu di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. (Bachriadi & Wiradi; 2009)

Penghentian program reforma agraria (land reform) akibat pergantian rezim menjadi salah satu faktor penyebab ”guremisasi” sampai saat ini masih bertahan. Bachriadi & Wiradi (2009) menunjukkan bahwa pelaksanaan reforma agraria pada masa Soekarno membawa perubahan dalam rata-rata kepemilikan tanah, yang meningkat 1,05 hektar setiap keluarga petani. Namun, selama Orde Baru, rata-rata penguasaan tanah oleh petani tidak pernah di atas 1 hektar, sedangkan jumlah petani tak bertanah dan buruh pertanian terus bertambah.

Reforma agraria

Meningkatnya angka petani berlahan sempit dan petani tak bertanah semestinya menjadi peringatan untuk dijalankannya program reforma agraria. Tanpa pembaruan agraria, maka akar kemiskinan, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, akan sulit diatasi dan kesejahteraan petani hanya mimpi.

Harus diyakini bahwa kemiskinan adalah akibat, dan penyebabnya adalah kapitalisme agraria. Beroperasinya mesin-mesin kapitalisme di lapangan agraria yang mengakibatkan ketimpangan membawa pada ketidakstabilan sosial-ekonomi. Meningkatnya persentase petani gurem dan petani tak bertanah merupakan gambaran buruknya ekonomi negara, khususnya negara yang mengandalkan sektor pertanian. Kepemilikan lahan yang sempit menyebabkan petani mencari makan di sektor lain. Hal ini menjadikan pertanian sebagai pekerjaan tidak pokok yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas pertanian yang rendah.

Sejumlah pakar juga mengingatkan bahwa kondisi petani tak bertanah bisa berkontribusi pada erosi dan deforestasi besar-besaran. Kondisinya yang tidak mempunyai tanah bisa mendorong untuk masuk bertanam di wilayah hutan yang tidak boleh dikonversi karena fungsi lingkungannya. (Barraaclough dan Ghimire; 1995/2000).

Adalah mustahil mencapai kesejahteraan petani tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, yang mengakibatkan petani berlahan sempit dan tidak punya lahan.

Ketimpangan penguasaan struktur agraria hanya bisa diatasi dengan kebijakan politik restrukturisasi penguasaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam. Kebijakan itu harus mencakup pengaturan dan penertiban semua sektor-sektor agraria.

Tidak hanya di pertanahan, tetapi juga di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, kelautan, dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, tindakan ini disebut sebagai reforma agraria.

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjalankan reforma agraria pada awal tahun 2007 saatnya untuk direalisasikan. Pada saat itu, Presiden menjanjikan akan melakukan sertifikasi dan redistribusi lahan seluas 9,25 juta hektar yang dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, khususnya di pedesaan.

Untuk menyambungkan dengan konteks persoalan ketimpangan struktur agraria sebagai persoalan pokok yang kita hadapi, maka redistribusi harus diluaskan maknanya menjadi program reforma agraria yang komprehensif.

Dalam hal ini, tanah yang akan diredistribusi sebagai obyek reforma agraria tidak hanya berasal dari bekas hutan konversi, tetapi juga mencakup tanah yang dikuasai secara monopolistik, baik oleh negara maupun swasta, baik individu maupun badan usaha.

Untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta dan badan usaha yang izinnya diperoleh semasa kebijakan politik agraria kapitalistik di era Soeharto seperti Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar, Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan (KP) hendaknya dijadikan obyek reforma agraria setelah penguasaannya dialihkan statusnya menjadi tanah negara untuk diredistribusi kepada rakyat.

Selain itu, penetapan obyek reforma agraria juga harus menyertakan tanah telantar, khususnya tanah perkebunan yang tidak aktif lagi dan tanah-tanah lainnya yang telah diambil untuk sejumlah proyek pembangunan, tetapi hanya digunakan sebagai obyek spekulasi, dan juga hamparan tanah perkebunan besar dan wilayah kehutanan yang telah diduduki oleh petani selama periode Orde Baru.

Janji reforma agraria Presiden Yudhoyono tetap harus ditagih. Bukan hanya karena janji adalah utang sehingga harus ditepati, tetapi reforma agraria menjadi satu-satunya jalan untuk mengatasi sejumlah tumpukan persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini, misalnya kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03222919/petani.sejahtera.baru.seba


Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria

Indonesia Lumbung Pangan Dunia?

Oleh: Murniaty Santoso


Memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional, 24 September, sebagai anak bangsa kita bertanya, masihkah Indonesia disebut negara agraris mengingat negara ini masih mengimpor beras, kedelai, dan gandum dalam jumlah yang besar?

Sekalipun mi instan telah menjadi makanan pokok rakyat kita selain nasi, tahu, dan tempe, gandum yang merupakan bahan baku mi instan merupakan produk impor. Padahal, Indonesia mestinya berswasembada pangan mengingat potensi agrarisnya yang begitu menjanjikan.

Pertama, ketersediaan lahan pertanian yang luas. Indonesia memiliki lahan pertanian lebih kurang 30 juta hektar (Departemen Pertanian, 2009). Kedua, ketersediaan air yang melimpah. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat curah hujan di Indonesia sangat tinggi, rata-rata 2.000-3.000 milimeter per tahun.

Persoalannya, apakah pemerintah mempunyai rencana jangka panjang 10-20 tahun ke depan untuk mengatasi krisis pangan? Rencana tersebut secara komprehensif mencakup pembibitan, pemupukan, perbaikan struktur tanah, reformasi irigasi, penggunaan mesin besar, hingga panen. Bagaimana pula dengan penggunaan teknologi nano di sektor pertanian, reformasi pertanahan (land reform), modernisasi lahan pertanian menjadi berskala besar (di atas 10.000 ha), penyediaan infrastruktur penunjang, dan pemberian insentif pemerintah? Semua ini sangat penting dalam mencapai ketahanan pangan.

Belajar dari Brasil

Kita harus mencontoh Brasil. Brasil kini muncul sebagai lumbung pangan dunia. Negara ini 15 tahun lalu adalah negara pengimpor bahan pokok dalam jumlah masif, seperti kedelai, gandum, dan daging. Namun, tahun 2010 Brasil menjadi negara tropis pengekspor gandum terbesar di dunia, di mana gandum merupakan makanan pokok dunia hari ini. Tak hanya itu, Brasil juga menyuplai seperempat total kebutuhan kedelai dunia (hanya dari sekitar 6 persen lahan pertaniannya), pengekspor kapas terbanyak, penghasil gula tebu, kopi, dan etanol terbanyak di dunia (The Economist, 28/8).

Padahal, potensi agraris Brasil jauh di bawah Indonesia. Brasil hanya memiliki sekitar 400.000 hektar lahan pertanian, jauh lebih kecil dibanding 30 juta hektar lahan pertanian Indonesia (FAO). Begitu pula dengan ketersediaan air. Curah hujan di Brasil Utara (daerah pertanian gandum dan kedelai) mencapai 975 mm per tahun, setara dengan curah hujan di Afrika yang kering, sedangkan curah hujan di Indonesia 2.000-3.000 mm per tahun.

Apa yang membuat Brasil mampu membalikkan nasib? Brasil sangat memerhatikan peningkatan populasi dunia yang diproyeksikan naik dari 7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050 sehingga perencanaan pertanian dibuat sesuai dengan asumsi tersebut.

Embrapa (Lembaga Penelitian Pertanian Pemerintah Brasil) secara kontinu mencari sistem pertanian yang cocok bagi Brasil sejak 1970-an. Mereka meneliti kondisi tanah, tingkat keasamannya, kebutuhan air, dan campuran material untuk setiap jenis tanah, peningkatan intensitas tanaman pangan, serta pemilihan dan rekayasa benih. Semuanya memakan waktu dan percobaan panjang di laboratorium nanoteknologi Embrapa. Hasilnya, total nilai produksi pertanian Brasil selama periode 1996-2006 meningkat dari 26 miliar dollar AS menjadi 108 miliar dollar AS. Tak heran, padang sabana Brasil hijau dengan kedelai dan gandum.

Pekerjaan rumah kita

Belajar dari Brasil, penyebab utama Indonesia tidak bisa berswasembada pangan sekalipun memiliki potensi agraris yang menjanjikan adalah karena Indonesia tidak lagi punya rencana jangka panjang di bidang pertanian. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I-VII) telah ditinggalkan bersama berlalunya Orde Baru. Padahal, garis besar perencanaan semacam inilah yang membuat Brasil berhasil.

Perencanaan pertanahan jangka panjang (land reform) harus dibuat untuk jangka waktu paling tidak 10-20 tahun mendatang. Perencanaan ini harus dirancang agar melibatkan pemerintah dan swasta. Kedua pihak harus berfokus pada pertanian yang mengedepankan economy of scale. Untuk itu, pihak swasta harus diberi ruang untuk mengembangkan pertanian skala besar dan berteknologi tinggi.

Pertanian pola tradisional tak lagi mumpuni untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik, dan tidak efisien, apalagi untuk mimpi menjadi lumbung pangan dunia. Mencontoh Brasil, perusahaan swasta di sektor pertaniannya terbukti mampu mengoptimalkan sekitar 15 persen dari total lahan pertanian dengan economy of scale yang sangat tinggi, produktivitasnya mencapai 365 persen!

Selain signifikannya swastanisasi pertanian, penyediaan infrastruktur penunjang sektor pertanian penting dimasukkan dalam rencana jangka panjang tersebut. Sebagai perbandingan, Brasil membangun jalan-jalan raya untuk memuluskan distribusi bahan mentah dan produk pertanian dari pedalaman sampai pesisir. Brasil bahkan membangun sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan bagi keluarga petani. Peran pemerintah juga dapat diwujudkan dalam pemberian insentif pajak, tingkat bunga rendah, dan kemudahan birokrasi.

Mengenai pembibitan, perlu dikaji ulang apakah monopoli bibit menguntungkan petani dalam jangka panjang. Penelitian-penelitian untuk penyediaan bibit unggul yang paling produktif, tahan hama dan perubahan cuaca, serta sesuai dengan struktur tanah di Indonesia sebaiknya didukung pemerintah. Bila petani masih menanam bibit rapuh tak tahan perubahan cuaca seperti hari ini, maka gagal panen akan semakin mengorbankan rakyat banyak.

Perencanaan jangka panjang dengan mempertimbangkan multifaktor sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan oleh setiap negara yang ingin survive dari krisis pangan dunia. Brasil telah berbenah sejak 30 tahun lalu untuk menjadi lumbung pangan dunia hari ini. China sedang secara khusus mendorong penelitian agrikultur agar 1,3 miliar rakyatnya tak perlu lagi mengimpor gandum 10-20 tahun mendatang.

Ini saatnya Indonesia menata diri. Dan rencana jangka panjang adalah batu penjurunya. Maju Indonesiaku!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/0349580/indonesia.lumbung.pangan.du


Murniaty Santoso Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society: Alumnus MIT Sloan School of Management

"Quo Vadis" UUPA?

Oleh: Maria SW Sumardjono


Tanggal 24 September genap 50 tahun Undang-Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 terbit.

Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.

Namun, perkembangan di segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat memerlukan penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.

Degradasi UUPA

Sejatinya, UUPA dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya selama 12 tahun diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, dapat dipahami bahwa di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir 80 persen UUPA mengatur pertanahan.

Kekuranglengkapan UUPA semestinya dilengkapi pada tahun - tahun berikutnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur pertanahan.

UU sektoral yang disusun sesuai dengan visi, misi, dan orientasi tiap sektor itu ternyata tumpang tindih. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA sungguh dipertaruhkan. Hasil kajian terhadap 12 UU sektoral (Maria Sumardjono, dkk, 2009) mengonfirmasikan hal itu.

Dilihat dari aspek orientasi, keberpihakan, pengelolaan, perlindungan HAM, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, terdapat inkonsistensi antar-UU sektoral. Dampak disharmoni dapat dilihat pada sulitnya koordinasi, degradasi SDA, ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan SDA, serta berbagai konflik yang berlarut.

Di bidang pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan.

Pertama, belum tersedia cetak biru kebijakan pertanahan yang komprehensif. Berbagai peraturan disusun untuk mengatasi hambatan yang terjadi dan urgensi-urgensi lain. Adanya tenggat penyelesaian peraturan mendorong penyusunan peraturan tidak selalu dilandasi pada Naskah Akademik (NA) yang memuat kerangka konseptual sebagai dasar perumusan peraturan yang bersangkutan. Bisa jadi NA bahkan dibuat bersamaan atau setelah peraturan selesai disusun. Penyusunan peraturan yang reaktif dan parsial berpotensi menghasilkan produk hukum temporer.

Kedua, arah dan strategi penyempurnaan UUPA belum tampak jelas. Kondisi yang dilematis ini perlu dicarikan solusinya.

Dilema UUPA

Wacana revisi UUPA diawali dengan usulan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 1998, yang memilih revisi UUPA sebagai UU payung/induk pengaturan sumber-sumber agraria (lex generalis).

Tahun 2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex specialis) dan September 2004 BPN menyusun RUU Sumber Daya Agraria (lex generalis). Tahun 2005/ 2006 BPN kembali menyusun RUU Pertanahan (lex specialis). Tahun 2006 DPD mengusulkan RUU Penyempurnaan UUPA sebagai lex generalis.

Revisi UUPA sebagai lex specialis dimaksudkan untuk mempertegas rumusan ketentuan UUPA seraya menyatukan ketentuan dasar tentang pertanahan yang tersebar dalam berbagai peraturan. Pilihan ini meminimalkan resistensi sektor lain, tetapi tidak mengubah peta sektoral dengan segala dampaknya.

Revisi UUPA sebagai lex generalis memerlukan komitmen semua sektor bahwa kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengaturan SDA. Mengingat tingginya ego sektoral, mengupayakan komitmen bersama bukanlah pekerjaan mudah.

Konsekuensi revisi UUPA sebagai lex specialis adalah memperkuat pengaturan di bidang pertanahan, tetapi tidak menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan UUPA. Revisi UUPA sebagai lex generalis dimaksudkan untuk mereposisi UUPA melalui (1) penguatan prinsip-prinsip UUPA dengan memberi perspektif baru sesuai perkembangan dan aspirasi masyarakat; (2) perumusan pokok-pokok pengaturan penguasaan dan pemanfaatan SDA di bidang pertanahan dan SDA selain pertanahan.

Agenda mendesak

Jalan keluar dari dilema antara kebutuhan penyusunan peraturan pertanahan dan pada saat yang sama merevisi UUPA adalah dengan mulai menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/agraria sesuai pilihan pendekatan.

Melalui cetak biru kebijakan akan diperoleh gambaran menyeluruh tentang visi, misi, tujuan, strategi, program, dan skala prioritas, berikut peraturan-peraturan yang diperlukan.

Di Republik Afrika Selatan, proses penyusunan cetak biru kebijakan pertanahan memerlukan waktu 2,5 tahun melalui konsultasi publik yang ekstensif. Ini diperkaya pengalaman hasil uji coba kebijakan di lapangan.

Pekerjaan besar menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/ agraria memerlukan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan. Sebelum hal ini terwujud, masa depan UUPA akan terus dipertanyakan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/03504295/quo.vadis.uupa


Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM

SKB 2 Menteri dan Perlindungan Minoritas

Oleh: Yenny Zannuba Wahid


Isu bahwa Presiden Obama beragama Islam kembali mencuat di Amerika Seikat (AS).Pemicunya adalah sikap Obama terhadap rencana pembangunan masjid dan Islamic center di dekat Ground Zerodi daerah Manhattan yang merupakan lokasi serangan teroris 11 September 2001 lampau.


Sebagian warga AS menentang rencana itu. Tidak kurang Sarah Palin, tokoh terkemuka Partai Republik meminta, agar rencana tersebut digagalkan. Mereka beralasan bahwa membangun masjid di daerah tersebut menunjukkan sikap yang tidak sensitif dan melukai hati ribuan keluarga para korban pengeboman WTC. Bahkan mantan ketua (speaker) DPR (House of Representatives), Newt Gingrich, menuntut lebih jauh lagi.

“Selama tidak ada gereja atau sinagoge di Arab Saudi,maka seharusnya tidak boleh ada masjid di AS,”katanya. Bagi orang-orang itu, Islam adalah tertuduh utama atas terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center, yang dulunya adalah simbol kedigdayaan ekonomi AS. Buat mereka tidak ada perbedaan antara Islam garis keras dan mayoritas umat Muslim yang cinta damai.

Untunglah masih banyak pula warga AS yang berpikiran waras. Presiden Obama dalam acara buka puasa bersama dengan masyarakat Muslim AS yang diadakan di White House secara tegas menyatakan bahwa “umat Islam mempunyai hak yang sama untuk beribadah sesuai keyakinannya seperti warga negara lain di AS. Termasuk hak untuk membangun rumah ibadah dan pusat kegiatan komunitas, di atas lahan swasta di daerah Manhattan bagian bawah (Lower Manhattan), sesuai dengan hukum dan peraturan setempat.“

Obama tidak sendirian. Wali Kota NewYork,Michael Bloomberg sebelumnya telah secara tegas menyatakan dukungannya bagi pembangunan masjid dan islamic center di daerah tersebut. Dukungan Bloomberg menjadi faktor penentu karena pemda New York-lah yang berhak mengeluarkan izin pembangunan masjid tersebut.

Mendukung Minoritas

Sikap yang diambil Obama bukannya tanpa risiko. AS sebentar lagi akan menghadapi mid term election. Islamofobia yang mulai muncul bisa membelah publik dan mengancam hilangnya dominasi Partai Demokrat atas kursi Senat dan House of Representatives. Bahkan dalam polling yang diselenggarakan salah satu media, didapati bahwa lebih dari 50% warga AS berpendapat bahwa Obama bergama Islam.Padahal Obama adalah seorang Kristen yang taat ke gereja.

Beberapa calon senator dari partainya Obama yang akan bertarung dalam pemilu lokal bahkan secara terang-terangan mengambil sikap berbeda dari Obama agar tidak di-anggap pro-Islam.Ketakutan terhadap Islam dengan sengaja dimanfaatkan oleh musuh-musuh Obama untuk melemahkan posisinya. Tetapi Obama tetap dengan pendiriannya. Baginya tugas untuk menegakkan konstitusi jauh lebih penting dibandingkan dengan risiko politik atas popularitas pribadinya.

Fenomena yang sedang terjadi di AS tersebut mengingatkan saya akan insiden serupa yang terjadi di Tanah Air kita.Bedanya di sini yang mengalami kesulitan mendirikan rumah ibadah adalah warga HKBP Bekasi. Ada sebagian warga yang menolak didirikannya gereja di daerah mereka. Bahkan kebrutalan mewarnai aksi penolakan tersebut dengan dilukainya dua orang anggota jemaat HKBP oleh kelompok yang ditengarai merupakan kelompok Islam radikal.

Konstitusi kita telah secara tegas menjamin hak tiap warga untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 menteri adalah perangkat legal untuk menerjemahkan semangat konstitusi tersebut dalam sebuah regulasi yang aplikatif. Sayangnya kerukunan umat beragama bukanlah melulu soal regulasi, tetapi ada masalah relasi sosial yang tidak adil yang harus disikapi dengan benar.

Kehidupan umat beragama dengan komposisi mayoritas minoritas yang terlalu timpang memang dapat menghadirkan potensi tirani atas kelompok yang lebih kecil. Ada kelompok yang terlalu dominan sehingga ruang sosial didominasi kelompok yang lebih besar ancaman dan pembatasan ruang gerak kelompok minoritas adalah contoh dari proses marginalisasi yang kerap dilakukan oleh kelompok mayoritas.

Dukungan Konstitusi

Kembali ke AS, saat ini beberapa kelompok lobi yang berpengaruh di AS sedang berupaya agar rencana pendirian masjid dapat digagalkan. Tetapi rencana tersebut sepertinya akan berhadapan dengan sebuah tembok kuat yang bernama Religious Land Use and Institutionalized Persons Act (RLUIP), sebuah produk hukum yang didesain untuk mendukung umat beragama yang hendak mendirikan rumah ibadah.Apakah itu gereja, masjid, sinagoge atau kuil.

Regulasi tersebut diluncurkan pada tahun 2000, ketika partainya George Bush sedang berkuasa dan dominan di Kongres. Semangat dari aturan tersebut adalah memastikan tidak terjadi diskriminasi ketika pemeluk agama yang hendak mendirikan rumah ibadah berhadapan dengan otoritas lokal seperti kantor wali kota,yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan izin pembangunan.

Sebelum ada RLUIP izin mendirikan bangunan dikeluarkan sesuai aturan zona (zoning codes) dan dikeluarkan oleh sebuah badan (zoning board) atau komisi (landmark commission). Ada kekhawatiran bahwa aturan zona tersebut berpotensi untuk secara ilegal mendiskriminasi para pemeluk agama ketika hendak membangun tempat beribadah di distrik-distrik tertentu di mana banyak dibangun gedung-gedung yang dipakai sebagai tempat kegiatan sekuler seperti aula pertemuan, bioskop,museum dan lain-lain.

Kongres AS mengakui bahwa hak untuk berkumpul untuk beribadah bersama adalah hak mendasar bagi umat beragama. Perkumpulan agama tidak bisa berfungsi tanpa ruang beribadah sesuai dengan kebutuhan teologisnya. Karena itulah kemudian keluarlah RLUIP yang gunanya memberikan instrumen legal bagi para pemeluk agama untuk dapat tetap membangun tempat ibadahnya di tanah mereka sendiri walaupun balai kota atau komisi landmark tidak menyetujuinya.

Sebagai negara yang samasama mengakui hak dasar warganya atas rumah ibadah, kita bisa belajar dari semangat lahirnya RLUIP tersebut. Saat ini banyak pro kontra menyangkut SKB 2 menteri. Ada yang menyarankan dicabut karena dianggap mempersulit pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas,ada pula yang bersikeras untuk mempertahankannya, juga ada yang meminta agar dilakukan revisi terhadapnya. Isu mengenai tempat ibadah tidak bisa diselesaikan hanya dengan mencabut atau merevisi peraturan bersama tersebut.

Ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan, yaitu bagaimana mendorong adanya relasi sosial keagamaan yang lebih terbuka di Indonesia. Kalau memang SKB 2 menteri tersebut akan direvisi harus ada perspektif baru yang disuntikkan ke dalamnya, yaitu semangat perlindungan atas minoritas, inilah yang absen dari regulasi mengenai tempat ibadah sekarang.

Hukum beserta seluruh perangkatnya yang memperlakukan setiap pemeluk agama secara setara, serta kepemimpinan nasional yang tegas mempertahankan konstitusi apapun harga politisnya, adalah kunci utama tidak terjadi lagi insiden kekerasan atas nama agama mayoritas. Kalau itu bisa dilakukan maka Indonesia akan sungguh-sungguh bisa menjadi contoh bagi bangsa lain dalam hal membina relasi antar agama yang sehat dan konstitusional. Semoga.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/351570/



Yenny Zannuba Wahid
Direktur The Wahid Institute

Kabinet : "Reshuffle"

Oleh: Hikmahanto Juwana


Menjelang bulan Oktober, istilah ”reshuffle” (perombakan kabinet) santer dibicarakan. Ada menteri yang rajin menyampaikan keberhasilannya, ada yang menyatakan tidak khawatir karena jabatan bisa datang dan pergi, ada pula yang mengandalkan partainya untuk bersuara.

Bisa jadi para menteri yang kerap menjadi sorotan masyarakat, apalagi yang mendapat nilai merah dari Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, bulan Oktober adalah bulan ketidakpastian.
Tiga alasan

Tujuan reshuffle adalah untuk meningkatkan kinerja kabinet, bahkan mempertahankan suatu pemerintahan (administration) untuk menyelesaikan masa jabatannya (term of office).

Merujuk pada pengalaman di sejumlah negara, ada paling tidak tiga alasan potensial untuk melakukan reshuffle di luar kompetensi pribadi dari mereka yang ditunjuk sebagai menteri.
Pertama, dalam sistem parlementer, reshuffle dilakukan untuk mengakomodasi keseimbangan baru dari partai-partai yang mendukung partai penguasa di parlemen. Meski Indonesia secara konstitusional tidak menganut sistem parlementer, dalam kenyataan, mengingat banyaknya jumlah partai, tidak dapat dihindari reshuffle yang didasarkan pada alasan ini. Menteri berpotensi diganti bukan karena kinerja buruknya.

Kedua, reshuffle didorong pada kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Kepala pemerintahan akan melakukan reshuffle apabila publik tidak mengapresiasi kinerja sejumlah menterinya.

Pergantian dilakukan agar kekecewaan publik tidak berimbas pada legitimasi pemerintahan secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, terkadang publik sangat kejam karena memiliki daya ingat yang pendek (short memory). Kinerja positif dari seorang menteri selama jangka waktu tertentu atau kredensial yang luar biasa sebelum menjabat menteri bisa berbalik di mata publik karena satu peristiwa. Satu peristiwa tersebut adalah peristiwa yang mendapat sorotan publik dan terjadi menjelang evaluasi kinerja kabinet.

Ketiga, reshuffle tidak terhindarkan apabila kepala pemerintahan menganggap menteri yang ditunjuk justru kerap memunculkan kontroversi di masyarakat, mulai dari kebijakan yang dibuat hingga isu pribadi yang menerpa sang menteri.

Kontroversi akan menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan di masyarakat. Pada gilirannya, kontroversi mengharuskan kepala pemerintahan untuk turun tangan menyelesaikannya. Kepala pemerintahan di sini justru menjadi tidak terbantu atas kehadiran menterinya, melainkan terbebani.

Tidak mudah
Bagi seorang kepala pemerintahan, saat akan melakukan reshuffle tentu tidaklah mudah. Berbagai pertimbangan akan menjadi acuan, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif.

Di sini kepala pemerintahan harus berhitung dari berbagai aspek. Mulai dari kompetensi pembantunya, mengakomodasi keseimbangan kekuatan, pengaruh ketidakpuasan publik atas kinerja kabinet, hingga seberapa terbantu kepala pemerintahan oleh para menterinya. Namun, keputusan akan menjadi mudah apabila ada ketegasan, adanya fakta yang solid untuk evaluasi, apa pun keputusan didukung oleh partainya dan, terpenting, alasan awal seseorang bersedia menjadi kepala pemerintahan.

Untuk hal terakhir, tentu akan banyak alasan seseorang berkeinginan menjadi pemimpin tertinggi di suatu negara. Dari sejumlah alasan, ada satu yang harus selalu dicamkan oleh siapa pun yang mendapat amanah sebagai kepala pemerintahan, yaitu mereka bekerja sesuai dengan kehendak rakyat. Sejatinya, demokrasi memang bertumpu pada apa yang menjadi kehendak rakyat yang tidak dimanipulasi. Bukan apa yang menjadi kehendak pribadi pemimpin, kelompok, atau golongannya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03131440/reshuffle


Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Memerangi Terorisme

Oleh: Donny Gahral Adian


Peristiwa teror senantiasa membawa efek disruptif dan disorientasi. Penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, misalnya, menimbulkan disorientasi dalam pengambilan kebijakan.

Presiden menginstruksikan Panglima TNI dan Kepala Polri untuk mengecek kelengkapan persenjataan guna mencegah terulangnya peristiwa Hamparan Perak (Kompas, 24/9). Sebagai respons terhadap panglima tertinggi angkatan bersenjata, instruksi tersebut terlalu teknis dalam menyikapi terorisme.

Perang melawan terorisme memerlukan perubahan fundamental soal definisi kita tentang ”perang”, ”terorisme”, dan ”operasi mengatasi terorisme” itu sendiri. Tanpa perubahan fundamental di tataran konseptual, kita senantiasa terjebak pada kebijakan teknis yang miskin gagasan. Alhasil, deret nyawa yang hilang selalu direspons dengan deret instruksi.

Perang

Perang melawan terorisme tidak memiliki musuh yang nyata seperti negara bangsa. Perang melawan terorisme sama abstraknya dengan perang melawan kemiskinan atau kebodohan. Pelaku teror memang individu konkret, tetapi pikiran, ideologi, ruang gerak, apalagi waktu, adalah abstrak dan tak tentu. Perang melawan terorisme tidak dapat dibatasi secara ruang dan waktu seperti perang melawan negara lain. Perbuatan teror dapat terjadi di mana saja dan tidak mengenal jeda. Sel mati bisa kemudian hidup kembali. Teroris yang mendapat remisi kemudian kembali mengorganisasi perlawanan.

Perang melawan terorisme sejatinya upaya menciptakan dan mempertahankan tata sosial tertentu (kedamaian) sehingga hal itu perlu melibatkan aksentuasi kuasa dan kekuatan secara terus-menerus. Perang melawan terorisme tidak mengenal kata ”berhenti”. Perang melawan terorisme harus dimenangkan terus-menerus.

Di sini dikotomi kaku antara operasi militer atau perang dan penegakan hukum jadi sangat cair. Corak ”tak berjeda” perbuatan teror menuntut kebijakan dalam anggaran sekaligus produk hukum. Kepolisian perlu mendapat anggaran tambahan untuk terus memerangi terorisme. Produk hukum perlu dibuat guna memayungi bantuan militer terhadap kepolisian. Kepolisian akan sangat kerepotan jika berjalan sendiri melawan terorisme yang tidak kenal ruang dan waktu.

Perang melawan terorisme menjungkirbalikkan perbedaan antara hubungan internasional dan politik domestik. Perbedaan antara ”pertahanan” dan ”keamanan” menjadi kabur dan bahkan lenyap. Operasi militer dengan penegakan hukum adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Tidak ada lagi perbedaan antara musuh luar dan musuh dalam. Pelaku teror dalam negeri disusupi ideologi asing. Pelaku teror yang melarikan diri ke negara tetangga terus berkontribusi terhadap aksi teror di dalam negeri. Di sini, perang intensitas rendah (low intensity warfare) perlu ditemukan dengan penegakan hukum berintensitas tinggi (high intensity law enforcement).

Perang melawan terorisme juga menggeser konsep aliansi atau sekutu. Seiring dengan abstraknya konsep ”terorisme”, aliansi melawan teror juga sangat ekspansif dan universal. Segenap kekuatan yang ada dapat bersekutu melawan terorisme tanpa terikat ras, etnis, atau agama. Di sini konsep ”perang yang adil” muncul di berbagai media dan forum. ”Perang yang adil” muncul sebagai wacana moral untuk menopang perang melawan terorisme. Konsep tersebut berfungsi untuk memperluas perang dari tujuan-tujuan partikular ke universal. Di sini, aliansi moral perlu dibangun dengan kekuatan-kekuatan sipil yang dapat membantu memerangi ideologi terorisme.

Terorisme

Siapa pelaku teror itu sesungguhnya? Pada awal abad ke-20, terorisme merujuk pada pengeboman yang dilakukan kaum anarki di Rusia, Perancis, dan Spanyol. Perbuatan teror adalah pernyataan membangkang terhadap kemapanan. Sementara pada awal abad ke-21, terorisme menjadi konsep politik yang merujuk pada tiga fenomena utama (Negri, 2004). Pertama, terorisme sebagai pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah. Kedua, aksentuasi kekerasan politik oleh negara terhadap warganya (penggusuran, misalnya). Ketiga, penggunaan kekuatan yang menyalahi rules of engagement, misalnya penyerangan terhadap warga sipil.

Terlepas kesulitan yang muncul dari tiga definisi di atas, terorisme sejatinya adalah strategi politik. Kita sering mengartikan pelaku teror sebagai pelanggar hukum atau pelaku kriminal. Padahal, kedua konsep tersebut berbeda 180 derajat. Pelaku kriminal tidak memiliki tujuan politik apa pun, sementara pelaku teror memiliki tujuan politik yang jelas, misalnya mengganti dasar negara. Tujuan politik tersebut adalah idealitas absolut yang melumpuhkan rasa bersalah dan memompa militansi. Berharap pelaku teror bertobat di lembaga pemasyarakatan konvensional adalah kenaifan yang berbahaya.

Saya berpendapat bahwa pelaku teror sama statusnya dengan pasukan asing yang mengancam kedaulatan Republik. Pasukan asing memasuki teritori atau kedaulatan fisik sebuah negara, sementara pelaku teror mengancam teritori atau kedaulatan nonfisik negara berupa ideologi atau dasar negara. Ancaman pelaku teror terhadap dasar negara sebuah republik sudah lebih dari cukup untuk meletakan mereka dalam kategori ”kombatan” sehingga kebingungan institusional antara kepolisian dan TNI tidak perlu terjadi. TNI, menurut hemat saya, dapat menggunakan segenap infrastruktur dan sumber daya yang ada untuk membantu kepolisian memerangi terorisme.

Pemahaman baru tentang terorisme menuntut sebuah kebijakan yang terukur dari lembaga-lembaga negara. Eksekutif dan legislatif perlu duduk bersama memikirkan payung hukum yang memungkinkan peran militer dalam perang melawan terorisme. Persoalan hak asasi manusia (HAM) dapat dibicarakan dan dinegosiasikan. Sebab, dalam kedaruratan permanen seperti ini, keberlakuan HAM tidak seuniversal seperti di masa normal. Setelah itu, alokasi anggaran yang memadai perlu ditetapkan guna menopang TNI dan kepolisian dalam menjalankan peran tersebut. Tanpa itu semua, perang melawan terorisme hanya akan berupa instruksi melawan terorisme belaka.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/09/27/03134573/memerangi.terorisme


Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...