Selasa, 31 Agustus 2010

LOWONGAN FIELD ASSISTANT TRAINEE (FAT)

RAJAWALI PLANTATIONS

Rajawali Plantations adalah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang sedang berkembang di bawah Rajawali Group dengan Kantor Pusat di Jakarta dan kebun yang tersebar di daerah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Sejalan dengan perkembangan perusahaan, kami mengundang tenaga professional yang berkualitas untuk berkembang bersama kami untuk ditempatkan di lokasi perkebunan dengan posisi:

FIELD ASSISTANT TRAINEE (FAT)
TRAINEE ASISTEN LAPANGAN

FIELD ASSISTANT TRAINEE (FAT) - TRAINEE ASISTEN LAPANGAN
Field Trainee Assistant akan mengikuti program pelatihan selama 6 (enam) bulan di lokasi Training Centre Rajawali Plantations di Kalimantan Selatan. Setelah lulus dari program pelatihan ini peserta akan langsung ditempatkan di lokasi perkebunan Rajawali Plantations.

Kualifikasi:
  1. Pria, belum menikah, usia maksimum 27 tahun.
  2. Fresh Graduate, Pendidikan Minimal D III Pertanian dengan Jurusan Agronomi, Ilmu Tanah, Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan dan Budidaya Tanaman Perkebunan
  3. IPK min. 2,7 (skala 4)
  4. Bersedia menjalani ikatan dinas dan ditempakan di seluruh lokasi perkebunan Rajawali Plantations

Jika anda menyukai tantangan, memiliki integritas tinggi, motivasi dan jujur dapat mengirimkan berkas lamaran disertai CV, pasfoto terakhir, copy ijazah dan transkrip nilai ditujukan ke:


HUMAN CAPITAL
RAJAWALI PLANTATIONS
PO BOX 8231
JKSSB 12920
atau
career@rajawaliplantions.com


Waktu dan pelaksanaan testing dan interview akan diberitahukan kemudian.
Hanya pelamar yang memenuhi kualifikasi yang akan diproses untuk mengikuti seleksi.

Lowongan Assistant Trainee

APRIL (RAPP, PT)


APRIL (Asia Pacific Resources International Holdings Limited) is one of the leading players in the global fiber, pulp and paper industry. Headquartered in Singapore, APRIL has principal fiber plantations and manufacturing operations in Indonesia.

APRIL develops over 50,000 ha of sustainable acacia fiber plantations each year integrating environmental conservation and social responsibility with economic objectives under a mosaic plantations landscape concept. It owns and operates one of the world’s largest pulp and paper mill complexes. The industrial site in Pangkalan Kerinci in Riau, Sumatera includes modern pulp and paper mills, an integrated chemical plant, and a power plant that generates all the energy for the complex and nearby town.

The pulp mill, with one of the biggest single production lines in the world, has a design capacity of more than 2.3 million tonnes per year. The paper mill has one of the world’s fastest fine paper machines, running maximum speeds of over 1,500 meters per minute.

The capacity of paper mill is more than 750,000 tonnes per year. PaperOne™ is APRIL’s flagship brand and available in at least 56 countries worldwide. It is made of ECF pulp produced from 100% plantation fiber.

For further information on APRIL, please refer to: http://www.aprilasia.com

Assistant Trainee

Qualifications:
  • Bachelor Degree in Agriculture / Horticulture / Forestry / Soil / Law
  • Minimum GPA 2.80 (Scale 4.00)
  • Good command in English (passive)
  • Willing to undergo a training period of 9 months followed by 2 years bond period with the company
  • Willing to work in our sectors / estates

For anybody who is qualified and interested, please submit your complete resume to:


fiber_recruitment@aprilasia.com

Lowongan Kepala Kebun dan Asisten Kebun

DIBUTUHKAN SEGERA

Perusahaaan perkebunan sawit di Bengkulu, membutuhkan :


Kepala Kebun dan Asisten Kebun

Kualifikasi :

  • Pria, Max 45 tahun
  • Sarjana Perkebunan
  • Pengalaman Min. 7 tahun
  • Memiliki kepemimpinan yang kuat, berwibawa dan pekerja keras
  • Memahami secara teknis sawit dan mampu melakukan pembebasan lahan
  • Bersedia tinggal di kamp. kebun

Bagi pelamar yang memenuhi persyaratan diatas , silahkan kirim lamaran dan CV yang dilengkapi dengan Foto 4x6 terbaru dan No.telp/Hp yang bisa dihubungi selambat –lambatnya 2(dua) minggu, Kirim email ke :

hrd_pih@yahoo.com(≤200kb)
Hanya lamaran yang memenuhi persyaratan yang akan kami proses

Lowongan Asisten Kebun (AK)

SWAKARSA SINARSENTOSA, PT
Kami adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang Perkebunan dan Pabrik Kelapa Sawit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, membutuhkan:


Asisten Kebun (AK)
Persyaratan:
  • Usia maksimal 30 tahun
  • S1 Pertanian/ Agribisnis
  • Pengalaman minimal 3 tahun

Surat lamaran beserta CV, transkrip nilai dan pendidikan terakhir, pas foto 4x6 (2 lembar), referensi kerja, sertifikat khusus, gaji terakhir dan yang diharapkan, serta nomor telepon dikirim ke:

HRD MANAGER
Kawasan Industri Pulogadung, Jl. Rawa Gelam V, Kav. OR 3B Gedung Sapta Mulya, Jakarta 13930

Lamaran paling lambat diterima 2 minggu sejak iklan ini dimuat.
Cantumkan kode jabatan pada bagian kiri atas amplop lamaran

Lowongan Management Trainee Asisten Kebun

PT BW Plantation


DIBUTUHKAN SEGERA

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sedang berkembang pesat, membutuhkan tenaga profesional yang berkepribadian baik, jujur, disiplin, ulet, dapat bekerjasama dalam team, proaktif, dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki motivasi dan mental kuat, berbadan sehat, serta integritas tinggi untuk posisi:

Management Trainee Asisten Kebun
(Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung)

Requirements:
  • Laki-laki max 27 thn
  • Min D3 Agronomi/ Perkebunan, Pertanian, Ilmu Tanah, Kehutanan
  • Pengalaman Max 2 thn, fresh graduate dipersilakan untuk melamar
  • Bersedia untuk ditempatkan di seluruh Indonesia
  • Menyukai tantangan
  • Mampu bekerja di bawah tekanan & deadline
  • Memiliki kemampuan komputer (Ms. Office)

Mohon mengindikasikan posisi yang diminati sebagai subject paling lambat 1 bulan sejak iklan ini ditayangkan ke:

career@bwplantation.com

LOWONGAN AGRONOMY MANAGER

TRIPUTRA AGRO PERSADA, PT Triputra Agro Persada merupakan salah satu anak perusahaan dari Triputra Group yang fokus di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet berskala nasional. Saat ini Triputra Agro Persada sudah memiliki luas lahan (landbank) seluas 200.000 ha dan beberapa pabrik pengolahan CPO (minyak kelapa sawit mentah). Lahan yang dikembangkan tersebar di wilayah Propinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang didukung oleh 6.000 karyawan. Sehubungan dengan program ekspansi dan perkembangan yang pesat tersebut, maka kami mengajak para tenaga muda berpotensi dan berorientasi masa depan untuk berkembang bersama kami sebagai:

AGRONOMY MANAGER

Kualifikasi:

  • Pendidikan minimal S1
  • Pengalaman minimal 2 tahun di posisi yang sama
  • Bersedia melakukan perjalanan dinas ke perkebunan Triputra Agro Persada Group di Kalimantan

Kirimkan Lamaran lengkap + Foto terbaru Anda ke:

TRIPUTRA AGRO PERSADA GROUP
RECRUITMENT & DEVELOPMENT DEPARTMENT
The East Building 23th Floor
Lingkar Mega Kuningan Street Kav. E 3.2 No. 1
Kuningan - South Jakarta 12950


* Harap Mencantumkan Posisi yang Anda Lamar.

Lowongan Manager Kebun Sawit

PALM OIL COMPANY DIBUTUHKAN SEGERA



Sebuah perusahaan kebun sawit di Sambas - Pontianak sedang membutuhkan Manager Kebun Sawit dengan persyaratan sebagai berikut :


Manager Kebun Sawit

Kualifikasi:


  • Pria
  • Pendidikan min. S1 Pertanian
  • Min. 5 tahun pengalaman di Kebun sawit
  • Memiliki jiwa pemimpin, tegas dan dapat berkomunikasi dengan baik
  • Mengerti mengenai keuangan
  • Mampu bekerjasama dalam team dan di bawah tekanan

Bagi kandidat yang sesuai dengan kualifikasi, mohon dikirim CV ke:

hrd.dept2010@gmail.com

Minggu, 22 Agustus 2010

Negeri yang Lupa Investasi Sosial

Oleh: A Prasetyantoko



Beberapa hari menjelang pidato presiden di depan DPR, The New York Times (5/8/2010) menurunkan berita impresif tentang Indonesia. Tidakkah kita bangga, harian terkemuka itu menyebut Indonesia sebagai perekonomian terbesar kawasan Asia Tenggara yang layak dijadikan ”model”?

Ironinya, pidato Presiden justru ditanggapi dengan dingin: terlalu konservatif, normatif, dan tidak subtantif. Simptomnya cukup jelas, perekonomian yang sebenarnya penuh potensi mengalami kemandekan yang diiringi dengan kian menurunnya kredibilitas pemerintah di mata publik. Mestinya, fakta ini menjadi bahan refleksi penting di ulang tahun kemerdekaan ke-65.

Gegap gempita perekonomian kita memang terasa di luar sana. Semester II-2010, perekonomian tumbuh 6,2 persen. Minat melakukan investasi rupanya tak sebatas investasi portofolio, tetapi juga investasi langsung. Para investor global tengah mengalami fase euforia terhadap perekonomian Indonesia, apalagi dengan proyeksi tahun depan akan masuk investment grade. Suatu penilaian dari lembaga pemeringkat investasi yang menempatkan Indonesia menjadi target untuk menanamkan modal, baik jangka pendek maupun panjang.

Tak heran jika realisasi investasi asing langsung hingga kuartal II sudah melampaui target 2010. Sementara, investasi portofolio tetap bergairah, terbukti indeks bursa saham sudah naik lebih dari 20 persen sejak awal tahun. Meski ada pengetatan pada instrumen investasi Sertifikat Bank Indonesia, investor asing tak mau pergi dengan memindahkan portofolio ke Surat Utang Negara.

Target investasi

Dalam ritual pidato kenegaraan menyambut Hari Kemerdekaan RI, Presiden Yudhoyono tak hanya mencanangkan target pencapaian tahunan, tetapi juga target perekonomian 2014. Pada akhir kepemimpinannya sebagai presiden, ekonomi diprediksi tumbuh 7,0 hingga 7,7 persen. Dengan begitu, angka pengangguran bisa ditekan, karena diperkirakan akan tercipta 10,7 juta lapangan kerja baru, sementara angka kemiskinan bisa ditekan menjadi 8-10 persen.

Dalam rangka merealisasikan target tersebut, sederet kalkulasi sektoral sudah dilakukan, mulai dari target investasi, konsumsi domestik, pengeluaran pemerintah, hingga ekspor. Namun, tetap saja pidato itu dianggap tak berjiwa. Mengapa demikian?

Dalam rangka mencapai target pertumbuhan tersebut, komponen penting yang akan digenjot pemerintah adalah investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal menghitung, paling tidak investasi asing langsung (PMA) akan naik 3-4 kali lipat dari pencapaian 2009 pada empat tahun mendatang.

Untuk itu, pembenahan infrastruktur juga dilakukan secara progresif. Pada anggaran 2011, pembangunan infrastruktur ditargetkan Rp 1.500 triliun, sebagian besar menggunakan metode patungan pemerintah-swasta atau public-private partnership (PPP).

Kita semua sudah paham, salah satu hambatan terbesar perekonomian Indonesia adalah infrastruktur. Dalam Global Competitiveness Index 2009/2010, peringkat daya saing Indonesia berada di peringkat ke-54, jauh di bawah Malaysia (24) dan Thailand (36). Infrastruktur menjadi penghambat utama, terlihat dari peringkatnya yang begitu buruk, yaitu ke-88. Dan penyumbang terburuk komponen infrastruktur adalah kualitas jalan (peringkat ke-94) dan pelabuhan (95).

Meski pemerintah sudah mencanangkan target percepatan program pembangunan infrastruktur, masih saja ada banyak tanda tanya. Pertama, isu tersebut sama sekali bukan isu baru. Ada kemungkinan target seperti ini akan terus diulang pada tahun-tahun ke depan. Artinya, tidak ada perubahan berarti. Kedua, metode PPP tidak selalu mudah, karena dalam banyak kasus, partisipasi swasta akhirnya gagal, karena eksekusi yang bertele-tele.

Kalaupun program percepatan pembangunan infrastruktur bisa diraih dalam tahun-tahun mendatang, apakah persoalannya selesai? Dalam perspektif jangka panjang, sebenarnya ada investasi lain yang juga sangat mendesak untuk diperbaiki. Kualitas pembangunan manusia kita berada pada peringkat cukup rendah. Pada 2009, Human Development Index Indonesia berada pada level 111, jauh tertinggal dari negara tetangga (Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina).

Memang, investasi sosial telah diterjemahkan dengan peningkatan anggaran pendidikan. Situasi yang sama terjadi dalam hal peningkatan anggaran program penanggulangan kemiskinan. Meskipun budgetnya dinaikkan ratusan persen sejak beberapa tahun terakhir ini, bukan berarti angka kemiskinan bisa ditekan secara maksimal.



Prasyarat

Investasi sosial memiliki prasyarat penting, yaitu selain komitmen dan visi yang kuat dari pemimpin tertinggi, juga perangkat yang rapi di tingkat bawah untuk merealisasikannya. Sayangnya, dua hal ini semakin hari semakin terasa lemah. Mungkin itulah mengapa pidato gegap gempita ditanggapi dingin oleh sebagian besar masyarakat.

Mungkin benar, kita masih berada dalam tataran yang artifisial. Kalaupun target-target normatif dibeberkan, rasanya hambar tak berjiwa. Ibaratnya, dalam perspektif hukum, kita punya seluruh aturan hukum yang bersifat legal formal, tetapi tak pernah berpikir bagaimana menjalankannya. Bangsa kita adalah bangsa yang legalistik. Begitu pun di dunia politik. Meski menganut demokrasi, tetapi masih sebatas pada prosedur-prosedurnya. Substansi tentang demokrasi masih jauh panggang dari api.

Di bidang ekonomi, meski setiap pidato disiarkan tentang komitmen kesejahteraan rakyat, bisa jadi hal itu tidak bermakna apa-apa. Perekonomian berjalan begitu saja, mengikuti irama dinamika global. Kita belum beranjak dari perekonomian yang mengandalkan pada faktor-faktor ekonomi sumber daya alam dan belum mengarah pada perekonomian yang berbasis pada efisiensi. Begitu kata-kata dalam World Competitiveness Report 2009/2010.

Itulah mengapa ketika rupiah menguat, ada wacana untuk memperlemah agar penghasilan ekspor tidak menurun. Jika kita sudah menjadi bangsa yang bertumpu pada efisiensi, menguatnya nilai tukar rupiah akan diimbangi dengan peningkatan produksi, karena bahan baku impor yang semakin murah.

Meski prospek ekonomi jangka menengah kelihatan cerah, bisa jadi sebenarnya secara fundamental tidak ada perubahan yang berarti. Perekonomian kita masih saja mengandalkan faktor-faktor produksi primer untuk diekspor guna menghasilkan devisa, sementara sektor industri semakin tertatih-tatih, bahkan proporsinya dalam perekonomian semakin mengecil. Itulah gejala deindustrialisasi yang sudah mulai terasa.

Pada kuartal II-2010, meski pertumbuhan cukup tinggi, tetapi didominasi sektor jasa yang tidak padat karya, seperti sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sementara sektor industri manufaktur masih belum optimal. Sektor industri memang harus dibenahi secara benar, jika tidak, pidato Presiden hanya akan jadi buih (bubble) yang setiap saat bisa meletus.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03062092/negeri.yang.lupa.investasi


A Prasetyantoko
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta

RAPBN 2011 Tidak "Nendang"

Oleh: A Tony Prasetiantono


Semula saya sangat senang mendengar pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie dalam sambutannya menjelang pidato pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2011, bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian terhadap pembangunan infrastruktur agar bisa membantu peningkatan efisiensi di bidang ekonomi (16/8/2010).

Optimisme saya kian kuat tatkala pidato Presiden Yudhoyono juga mengemukakan hal yang sama, bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting. Namun, tak lama kemudian saya menyadari, itu semua ternyata cuma sebatas wacana. Baru menjadi kesadaran, visi, dan cita-cita bersama, tetapi belum tampak komitmen kuat untuk mengupayakan implementasinya. Apa buktinya?

Dari volume belanja Rp 1.202 triliun, pemerintah menganggarkan belanja modal (capital expenditure) Rp 121 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk menunjang infrastruktur, termasuk irigasi dan transportasi. Ketika Presiden mengemukakan ini, dirinya menuai tepuk tangan meriah. Apalagi dikatakan bahwa angka ini naik 28 persen (Rp 26,6 triliun) dari anggaran tahun sebelumnya.

Tentu saja hadirin tidak terlalu menyadari angka tersebut sesungguhnya kecil, dan sangat diragukan kemampuannya untuk mendorong pembangunan infrastruktur, sebagaimana visi yang dikemukakan Ketua DPR dan Presiden. Memang pemerintah mempunyai keterbatasan untuk membelanjakan lebih banyak anggarannya bagi pembangunan infrastruktur. Pemerintah sangat konservatif dan berhati-hati sehingga APBN 2011 hanya ”diizinkan” defisit 1,7 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp 115 triliun.

Sikap konservatif ini tentu saja positif di satu sisi, yakni mengerem terjadinya penambahan utang pemerintah. Namun, di sisi lain, APBN menjadi tidak cukup bertenaga untuk menjalankan fungsinya sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi.

Padahal, sebagaimana dianut para pengikut Keynesian (ekonom terbesar abad ke-20 dari Inggris, John Maynard Keynes, 1936), ketika sektor swasta mengalami kebuntuan, pemerintah harus sigap mengambil alih tugas menstimulasikan perekonomian melalui kebijakan fiskal. Dengan kata lain, belanja pemerintah menjadi tumpuan harapan untuk menggerakkan ekonomi karena sektor swasta kedodoran atau kelelahan.

Alternatif yang kini ditempuh, pemerintah meminta tolong sektor swasta untuk membangun infrastruktur. Itu sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah sibuk menyelenggarakan infrastructure summit agar dapat mengundang sebanyak mungkin minat investor swasta (domestik dan asing). Pemerintah juga menawarkan kerja sama dengan swasta, melalui skema public-private partnership (PPP).

Tak cukup

Namun, itu semua ternyata tidak cukup. Kombinasi antara pemerintah dan swasta ternyata hanya mampu membelanjakan dana pembangunan proyek infrastruktur setara 3 persen terhadap PDB. Idealnya, negara berkembang seperti Indonesia belanja infrastrukturnya 5 persen terhadap PDB. Ironisnya, pencapaian Indonesia masih lebih rendah daripada negara berpendapatan rendah seperti Laos (4 persen) dan Mongolia (7,5 persen).

Bahkan India—yang sering dikritik sebagai negara pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia sesudah China, tetapi infrastrukturnya jelek (poor)—belanja infrastrukturnya mencapai 4,5 persen terhadap PDB. Sedangkan Brasil, negara dengan perekonomian terbaik di Amerika Latin, belanjanya 5 persen. Yang paling top di dunia adalah China, dengan 10 persen.

Akhir-akhir ini komplain terhadap kemacetan di Jakarta kembali marak. Semula saya berharap agar momentum ini bisa menginspirasi pemerintah untuk membelanjakan APBN-nya ke infrastruktur. Misalnya dengan meneruskan proyek monorel yang sesungguhnya biayanya ”hanya” Rp 7 triliun. Jika diasumsikan proyek ini diselesaikan dalam empat tahun, maka beban setahunnya maksimal Rp 2 triliun.

Proyek yang lebih mahal adalah kereta bawah tanah (subway). Sepintas ongkosnya memang mahal. Satu segmen subway rute Blok M-Jalan Jenderal Sudirman, biayanya Rp 16 triliun. Jika proyek ini diamortisasikan enam tahun, anggaran per tahun maksimal Rp 3 triliun. Jika dibandingkan volume APBN yang Rp 1.200 triliun, ini bukan apa-apanya.

Memang, dibandingkan belanja modal 2011 Rp 121 triliun, biaya pembangunan monorel dan subway tampak besar. Namun, dengan amortisasi, dan pemerintah bersedia menaikkan belanja infrastruktur, pembangunan ini masuk akal dan layak secara ekonomis. Pembangunan infrastruktur semacam itu punya dua urgensi. Pertama, sebagai upaya mengurai kemacetan yang sudah kelewatan di Jakarta. Kalau tidak dimulai sejak sekarang, kemacetan akan kian mengerikan. Persis yang digambarkan mantan Gubernur DKI Sutiyoso: ketika keluar dari rumah menuju tempat kerja, kita langsung kena macet.

Kita selama ini sibuk berdebat, sementara pembangunan monorel terhenti. Padahal, produksi mobil 2010 terus meningkat, akan mencapai 700.000 unit, yang berarti mengalahkan Thailand dan terbesar di Asia Tenggara.

Kedua, berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia (Global Competitiveness Index 2009-2010), ketersediaan infrastruktur yang lemah merupakan kendala nomor dua bagi investasi. Problem nomor satu adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, sedangkan kendala lain di bawah infrastruktur: (3) instabilitas kebijakan ekonomi, (4) korupsi, (5) lemahnya akses terhadap sumber pembiayaan, (6) regulasi tenaga kerja yang restriktif, (7) regulasi pajak yang memberatkan, dan (8) inflasi.

Pemerintah seyogianya lebih fokus dan memberikan prioritas tinggi terhadap pembangunan infrastruktur, terutama jalan, sedangkan infrastruktur lain, terutama jaringan telekomunikasi dan energi, sudah banyak diminati investor swasta. Listrik, dalam skala tertentu, juga sudah kian diminati. Namun, infrastruktur sangat mendesak ditangani pemerintah. Menunggu swasta tampaknya seperti ”menunggu Godot” dalam naskah Samuel Beckett. Artinya: tak kunjung datang.

Celah itu masih ada, tetapi pemerintah kurang berani melakukan. Defisit RAPBN 2011 ditetapkan 1,7 persen. Berdasarkan pengalaman, realisasi defisit ini paling hanya 1,4 persen. Artinya, RAPBN 2011 benar-benar miskin stimulus. Defisit bisa kita naikkan menjadi 2 persen terhadap PDB, tetapi dengan syarat.

Pertama, tambahan utang ini masih sanggup dibayar kembali (affordable). Kedua, alokasinya tepat, dalam hal ini digunakan untuk membangun infrastruktur yang kelak akan memberi multiplier effect tinggi. Ketiga, penggunaannya dikawal ketat agar tidak dikorupsi. Jika tidak, pembangunan infrastruktur cuma sekadar wacana sehingga RAPBN 2011 pun menjadi tidak ”nendang”, alias kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03044041/rapbn.2011.tidak.nendang


A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM.

Pidato Antikorupsi

Oleh: Teten Masduki


Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2010 di Gedung DPR, Presiden Yudhoyono kembali menegaskan komitmen pemberantasan korupsi sebagai prioritas dalam era yang disebutnya reformasi gelombang kedua.

Ditegaskan, ini merupakan kelanjutan dari reformasi gelombang pertama (1998-2008) yang telah berhasil dilewati melalui program antikorupsi yang telah dilakukan secara sistemik, berkesinambungan, mulai dari atas, dan tanpa pandang bulu, dengan berbagai rintahan dan resistensi.

Komitmen baru Presiden tersebut ditegaskan ingin jauh lebih efektif dalam membasmi segala bentuk praktik korupsi dari lingkungan birokrasi negara, termasuk praktik kolusi antara pejabat negara dan pengusaha. Disinggung pula pentingnya agenda pemberantasan mafia hukum sebagai landasan mewujudkan konsep keadilan untuk semua.

Kita belum tahu sejauh mana wibawa pidato Presiden itu bisa meyakinkan publik terhadap agenda pemberantasan korupsi yang dalam setahun pertama pemerintahannya tidak cukup membangun optimisme publik, menyusul mencuatnya kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan, rekening gendut jajaran perwira tinggi Polri, mafia hukum, mafia pajak, dan seterusnya.

Kita juga belum tahu sejauh mana pidato Presiden itu bisa membangkitkan semangat jajaran aparat pemerintah untuk menggenjot indeks persepsi korupsi dari skor 2,8 mencapai 5,0 atau setara dengan Malaysia saat ini, seperti dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Untuk sementara waktu barangkali kita harus memandang pidato itu sebagai sebuah peneguhan janji politik baru, boleh percaya boleh tidak, meskipun ini bukan pidato yang pertama kalinya soal antikorupsi.

Tak seindah realisasi

Yang kita khawatirkan, janji politik itu jauh lebih indah dalam bentuk pidatonya ketimbang realisasinya. Sampai saat ini barangkali tidak berlebihan kalau Presiden Yudhoyono yang memiliki dukungan politik mayoritas belum menunjukkan kepemimpinan dan visi yang kuat untuk menggerakkan seluruh perangkat pemerintahan, terutama kejaksaan dan kepolisian, menjadi sarana perang melawan korupsi yang efektif. Presiden sepertinya menghindari konflik untuk membersihkan birokrasi kita dari pejabat-pejabat kotor, sebagai bagian penting dari reformasi birokrasi selain penyederhanaan kelembagaan dan sistem merit. Bahkan belakangan mulai diadili korupsi yang melibatkan mantan anggota kabinetnya, padahal kita masih ingat janji Yudhoyono yang bertekad memulai pemberantasan korupsi dari lingkungan istana.

Persoalan itu harus diuji betul untuk melanjutkan reformasi birokrasi, dengan menempatkan pegawai negeri sebagai agen perubahan, untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih responsif, transparan dan akuntabel (good governance).

Akhiri persekongkolan?

Ada yang menarik dari pidato Presiden kali ini, yaitu disinggung persoalan kolusi antara pejabat dan pengusaha, yang sudah dibangun sejak era pemerintahan Soeharto dan melahirkan penguasaan sumber daya ekonomi pada segelintir orang, dan kini mereka sedang mencari pola hubungan yang baru yang sesuai dalam situasi fragmentasi kekuasaan politik pascaera demokratisasi.

Ini merupakan isu strategis dalam pemberantasan korupsi, yang boleh kita katakan sebagai mother of corruption di Tanah Air, meskipun bukan fenomena Indonesia saja. Tidak hanya penguasaan sumber daya ekonomi, persekongkolan elite itu juga pengaruhnya luar biasa dalam mendistorsi penegakan hukum dan demokratisasi yang partisipatif.

Dari sini kita bisa memahami bagaimana program pembangunan mass rapid transportation (MRT) sulit direalisasikan, masalah korban lumpur Lapindo terkatung-katung, kredit perbankan publik dikuasai korporasi besar, bahan bakar gas diekspor ketimbang dipakai oleh PLN, dan seterusnya.

Realisasi dari gagasan ini barangkali akan ditentukan oleh sejauh mana para pejabat atau politikus kita berhasil keluar dari masalah pendanaan politik, yang seperti diungkapkan Marcus Mieztner (2007), pada pascareformasi masih berasal dari sumber-sumber korupsi dan dana publik. Lihat fenomena tekanan terhadap dana publik dalam pilkada yang marak belakangan ini.

Kita berharap-harap cemas masalah ini bisa jadi perhatian serius Presiden. Sebab, seperti kata ahli, hambatan utama pemberantasan korupsi di Tanah Air selama ini sesungguhnya permasalahan politik dan tidak ada solusi teknis untuk masalah ini.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03051122/pidato.antikorupsi


Teten Masduki
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Sudahkah Petani Merdeka?

Oleh: Gatot Irianto



Pertanyaan mendasar ini mengemuka karena 17 Agustus 2010 kemerdekaan Indonesia genap berumur 65 tahun.

Logika sederhananya, kalau petani Indonesia jumlahnya mencapai 55 persen dari rakyat Indonesia, kemerdekaan Indonesia otomatis merupakan kemerdekaan petani.

Kalau tidak, siapa sebenarnya yang menikmati kemerdekaan itu? Pertanyaan selanjutnya, setelah merdeka, bagaimana kehidupan petani Indonesia? Apakah semakin sejahtera atau sebaliknya, semakin menderita? Benarkah petani kita semakin tidak berdaya, apa indikator kuantitatifnya dan bagaimana memerdekakan petani dalam arti yang sesungguhnya?

Merdeka atau menderita?

Paling tidak ada tiga indikator penciri dasar apakah petani sudah merdeka atau semakin menderita: tingkat pendidikan, ekonomi, dan kemandirian. Menurut data statistik, 75 persen tingkat pendidikan petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 persen lulus SMP dan SMA, serta hanya 1 persen lulus perguruan tinggi.

Konfigurasi ini menunjukkan bahwa pembebasan biaya pendidikan sampai SMP dan alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan belum mampu memerdekakan petani dari kebodohan dan keterbelakangan.

Ruh pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan Indonesia ikut mencerdaskan bangsa dan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, penetrasinya dangkal di permukaan. Lalu apa makna dan manfaat kemerdekaan bagi petani kita?

Secara ekonomi, sekitar 56 persen petani kita hidup secara subsisten dengan rata-rata luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan pendapatan Rp 16 juta/hektar/tahun. Harga komoditas yang sebagian diserahkan kepada mekanisme pasar (kecuali beras) menjadikan petani sulit dan terjepit.

Banyaknya petani terjerat rentenir, terperangkap pengijon, dan tidak berdaya menghadapi tengkulak saat panen raya merupakan fakta nyata petani belum merdeka, bahkan menderita. Tragisnya, petani masih harus menyubsidi orang kaya melalui penyediaan pangan murah.

Soal kemandirian, petani masih tergantung secara absolut dalam: penyediaan bibit ayam ras (DOC) yang 100 persen dikuasai perusahaan multinasional, pupuk fosfor dan kalium hampir 100 persen diimpor. Belum lagi pestisida. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar petani merdeka dan menikmati hasil kemerdekaan yang dulu diperjuangkannya? Reformasi politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan merupakan solusi konkretnya.

Politik anggaran

Diperlukan perubahan revolusioner politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota untuk memerdekakan petani. Alokasi 10 persen anggaran APBN serta APBD I dan II diperlukan untuk perluasan areal baru, infrastruktur pertanian, pascapanen, pengolahan hasil, dan mekanisasi.

Industri agro yang tangguh serta perbankan dan perdagangan yang propetani merupakan komponen pendukungnya. UU Perbankan harus direformasi, agar dana yang dihimpun dari masyarakat pedesaan digunakan untuk memacu sektor pertanian dan UKM, bukan sebaliknya digunakan untuk membiayai usaha konglomerasi. Bunga murah diikuti penghapusan agunan untuk usaha pertanian dan pembiayaan mikro-UKM harus diimplementasikan. Melalui pendampingan super intensif, kredit macet (non performance loans) dapat diminimalkan.

Industri agro harus diarahkan untuk diversifikasi produk hulu-hilir, memberi nilai tambah, daya saing dari komoditas pangan utama nasional (padi, jagung, tepung-tepungan, gula, kelapa sawit, dan daging). Industri tepung berbahan baku lokal harus dipacu untuk meningkatkan nilai tambah, waktu simpan, kualitas, gengsi, dan harga jual.

Tepung modified cassava flour/mocaf terbukti mampu memperpanjang waktu simpan ubi kayu, meningkatkan nilai jual, memperbanyak produk turunan sekaligus pendapatan petani. Importasi tepung terigu harus dikenai bea masuk agar daya saing tepung lokal menguat sehingga pemborosan devisa secara signifikan dapat dieliminasi. Liberalisasi perdagangan sektor pertanian harus dikontrol ketat agar petani tak jadi korban karena tertekan harga jual produk pertaniannya. Keberpihakan pemerintah ketika harga komoditas pertanian anjlok juga harus didukung anggaran memadai. Mekanisasi pertanian, mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang makin dahsyat harus menjadi fokus utama pemerintah dalam rangka memerdekakan petani.

Sinergi multisektor

Pertanian terintegrasi dengan produk karbon rendah (carbon efficient farming) yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata merupakan teladan konkret bagaimana memerdekakan petani. Melalui integrasi kelapa sawit dan sapi dengan produk utama: kelapa sawit, daging, pakan ternak, pupuk, dan biogas. Integrasi padi sawah, ikan, dan sapi harus dikembangkan sehingga petani dapat menghasilkan beras, ikan, daging, pupuk, dan biogas.

Diversifikasi ini akan meningkatkan ketahanan pangan, ekonomi, dan politik petani menghadapi berbagai guncangan ekonomi dan perubahan iklim. Model pertanian rendah emisi ini antara lain sudah dilaksanakan di Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, dan Jawa Barat. DPR harus mendorong pemerintah untuk memperluas dan mempercepat implementasinya.

Mengintegrasikan sektor pertanian dengan sektor lain seperti pariwisata merupakan pilihan ideal untuk mendongkrak harga komoditas pertanian secara nonlinier. Harga komoditas pertanian yang dijual di sektor pariwisata mempunyai nilai tambah nonlinier.

Gubernur Bali mengeksekusi sinergi pertanian terintegrasi dengan sektor pariwisata sehingga terjadi multiplikasi nilai, harga, dan rasa. Hasilnya Gubernur Bali mampu meningkatkan pendapatan petani dua kali lipat sesuai janji kampanyenya karena harga komoditas pertanian tidak mengikuti harga pasar normal sehingga pendapatan petani lebih menjanjikan dibandingkan bekerja di sektor industri yang gajinya berstandar upah minimum regional (UMR). Para gubernur, bupati, dan wali kota perlu mengadopsi pengalaman Gubernur Bali sehingga cepat dan pasti janji pendiri republik untuk mewujudkan masyarakat (termasuk petani) adil dan makmur segera terwujud. Saat itulah petani merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/18/03055248/sudahkah.petani.merdeka


Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian

Selasa, 17 Agustus 2010

Apa Salahnya Rupiah Menguat

Oleh: Faisal Basri


Bank Indonesia harus segera bersikap dan menggunakan kewenangannya untuk mengembalikan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ke tingkat yang kondusif” (Kompas, 12 Agustus 2010, halaman 19).

Nada ”nyinyir” terhadap penguatan rupiah tak hanya muncul dari seorang pejabat Kementerian Keuangan, sebagaimana kutipan di awal. Pernyataan-pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan juga senada. Tak hanya pejabat yang sekarang, yang sebelum-sebelumnya pun kebanyakan demikian.

Pernyataan-pernyataan pejabat yang terkesan ”menyudutkan” rupiah sudah keterlaluan. Tahukah mereka bahwa hampir semua mata uang di Asia menguat terhadap dollar AS? Mereka seharusnya paham bahwa kinerja perekonomian AS mengalami pemburukan sehingga indeks dollar AS merosot.

Yang terjadi sebetulnya adalah nilai dollar AS melemah terhadap hampir semua mata uang dunia.

Kita jadi bertanya-tanya, mengapa para pejabat tinggi yang mengurusi ekonomi menjadi resah.

Kita kutip saja ucapan Menko Perekonomian, ”Sekarang tampaknya dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah sudah ada tekanan terhadap ekspor Indonesia” (Kompas, 12 Agustus 2010, halaman 19). Bukankah ekspor kita ke AS tak sampai 10 persen?

Bukankah ekspor nonmigas kita masih tumbuh 38 persen selama semester pertama tahun ini.

Ekspor ke China tumbuh pesat. Ekspor ke negara-negara ASEAN pun demikian, juga ke Korea. Dunia usaha sudah mampu mendengus pasar-pasar potensial baru dan lambat laun mengurangi ketergantungan pada pasar AS, Eropa, dan Jepang.

Pemerintah seharusnya malu kalau mengandalkan daya saing dari melemahnya rupiah. Itu sama artinya pemerintah ”enggan” melaksanakan tugas utamanya membenahi persoalan-persoalan mendasar yang sampai sekarang tak tertangani.

Maka, satu-satunya harapan untuk menyangga daya saing tinggal pelemahan rupiah. Di mana jiwa nasionalisme mereka. Nasionalisme bukan cuma gagah-gagahan kenakan jas dan dasi dengan seonggok tanda jasa pada upacara detik-detik proklamasi.

Tolonglah produsen-produsen kecil untuk mampu menembus pasar-pasar baru yang sedang menggeliat. Mereka tak akan mengeluh kalau nilai rupiah sedikit menguat.

Mereka bisa bersaing. Daya saing mereka meredup karena pemerintah gagal melaksanakan fungsinya, gagal mengenyahkan kendala-kendala struktural yang selama ini menggelayuti dunia usaha.

Ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk-produk berbasis sumber daya alam. Pesaing kita relatif terbatas. Lagi pula, negara- negara pesaing pun mengalami penguatan nilai mata uang.

Untuk ekspor manufaktur juga tak begitu bermasalah. Sebab, komponen impor industri manufaktur kita masih relatif tinggi sehingga penguatan rupiah membuat ongkos impor bahan baku/penolong turun. Jadi, bisa dikatakan dampak penguatan rupiah bersifat netral.

Ada juga ekonom yang mengatakan bahwa penguatan rupiah menimbulkan kekhawatiran bisa meningkatkan konsumerisme karena barang-barang dari luar negeri menjadi lebih murah.

Kekhawatiran seperti ini berlebihan karena impor barang konsumsi hanya 7 persen, sedangkan sisanya adalah bahan baku (74 persen) dan barang modal (19 persen). Penguatan rupiah, oleh karena itu, lebih besar mendorong sektor produksi dan kegiatan produktif ketimbang memacu konsumerisme.

Tentu saja akan selalu ada pihak yang dirugikan. Pendapatan eksportir berbasis sumber daya alam otomatis berkurang dalam rupiah. Namun, harus dibedakan antara pendapatan berkurang ini dan penurunan daya saing sebagaimana menjadi kekhawatiran para pejabat.

Benar adanya bahwa penguatan rupiah juga disebabkan oleh membanjirnya dana asing dalam bentuk portofolio.

Namun, data pun menunjukkan bahwa aliran dana portofolio yang masuk lebih berkualitas. Belakangan ini telah terjadi pergeseran dari Sertifikat Bank Indonesia ke Surat Berharga Negara. Berarti, di mata asing, prospek perekonomian jangka panjang membaik.

Yang juga menggembirakan adalah penanaman modal asing langsung kian deras. Selama semester I-2010, penanaman modal asing langsung sudah melampaui pencapaian tahun 2008. Ditambah lagi dengan peningkatan pesat arus wisatawan asing.

Kesemua faktor itu membuat pundi-pundi cadangan devisa kita mencapai tingkat tertinggi, yakni 79 miliar dollar AS, pada akhir Juli. Bertambah kokoh sehingga bisa diharapkan volatilitas pergerakan nilai rupiah lebih terkendali.

Berikanlah keleluasaan agar rupiah bergerak lebih alamiah. Jangan rupiah diganggu oleh pernyataan-pernyataan pejabat yang mengakomodasikan para spekulan dan penimbun dollar AS.

Tugas Bank Indonesia adalah menjaga agar fluktuasi rupiah terjaga. Sementara tugas pemerintah adalah memperkokoh faktor-faktor penopang daya saing yang hakiki, yakni meningkatkan produktivitas perekonomian dan memerangi inflasi.

Dengan begitu, kita bisa memaknai perayaan kemerdekaan ke-65 bagi kejayaan bangsa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/02540813/apa.salahnya.rupiah.mengua

Faisal Basri
Pengamat Ekonomi

Jiwa Proklamasi

Oleh: Hamengku Buwono X


Kembali kepada Jiwa Proklamasi... kembali kepada sari intinya yang sejati, yaitu, pertama, Jiwa Merdeka Nasional... kedua, Jiwa Ikhlas... ketiga, Jiwa Persatuan... keempat, Jiwa Pembangunan, (Bung Karno, Pidato 17 Agustus 1952).

Pertanyaannya, menjelang 65 tahun kemerdekaan republik ini, apakah keempat Jiwa Proklamasi yang disitir oleh Bung Karno itu masih bersemayam di dada setiap warga bangsa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan kita sendiri itu, ada baiknya kita merefleksi makna proklamasi yang dapat kita baca dari teksnya.

”Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia”. Di sini mengandung pernyataan, Kemerdekaan Indonesia hanya bisa tercapai setelah melewati long-march perjuangan panjang sebelumnya.

Diawali sejak kebangkitannya, berupa cita-cita untuk merdeka yang dicanangkan Boedi Oetomo. Memang ”Indonesia” belum ”menjadi”, tetapi selangkah maju dari sekadar sebagai komunitas- komunitas terbayang, imagined communities versi Benedict Anderson (1991).

Di bagian lain, ”Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain”, makna ”pemindahan kekuasaan” menunjuk transformasi politik, konsekuensi logis kemerdekaan untuk lepas dari penjajahan dalam bentuk apa pun. Reformasi pada dasarnya juga bentuk kemerdekaan. Merdeka dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat penyelewengan.

Kita tentu tidak ingin bangsa ini terpuruk oleh sebab yang sama dalam bentuk lain. Nyatanya, korupsi masih marak dan penegakan hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya, reformasi belum menyentuh aspek hakiki, tetapi membawa kita terus berada dalam pusaran kesulitan serupa.

Anak kalimat ”dan lain-lain” adalah persoalan kita masa kini dan masa depan. ”Dan lain-lain” itu beraspek banyak yang menunjukkan pluralitas dan kompleksitas persoalan bangsa ini, yang harus kita urai lewat tahapan pembangunan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Pertanyaannya adalah sudahkah hasil yang kita capai itu memenuhi amanat proklamasi, yang tersirat dalam ”Tri Sakti Jiwa”? Jawabannya ada pada bagian teks lanjutannya, ”diselenggarakan dengan tjara seksama” dan ”dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”.

Anak kalimat pertama dapat dijabarkan dalam kebijakan, strategi, taktik, program, dan aksi. Dengan cara yang cermat saksama, melalui perencanaan atas dasar data, informasi, dan laporan yang benar. Kita lalu berbicara tentang peningkatan kualitas pemimpin, eksekutif, legislatif, yudikatif, pelaksana, sarana, pendidikan, manajemen, dalam hal profesionalisme, keandalan, kecerdasan, karakter, dan sebagainya.

Yang kedua adalah batasan ruang waktu, tahapan, sifat temporal yang sesegera mungkin dilakukan. Diakselerasi pencapaiannya, tetapi juga harus efisien dan efektif, hasil yang optimal, tanpa bocor. Karena, kalau tidak, kita akan tertinggal oleh percepatan transformasi global. Yang akhirnya, kita akan tinggal jadi penonton di arena perjuangan bangsa-bangsa lain di dunia.

Mimpi bersama

Untuk merefleksi 65 tahun proklamasi, kita harus dibawa kembali ke lorong-lorong sejarah pada awal tahun 1900-an, ketika kaum nasionalis sedang mencari- cari bentuk perjuangan untuk mewujudkan keindonesiaan kita.

Hal ini mengisyaratkan adanya paralelisme sejarah dengan situasi sekarang yang dihadapkan pada banyak permasalahan bangsa, di mana kita juga sedang mencari-cari solusinya.

Peta pluralitas keindonesiaan kita menjadi demikian kompleks, yang dalam dirinya membawa kepentingan, yang juga semakin terfragmentasi, mengancam semangat kebangsaan kita. Keberagaman justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok, dan dimaknai sebatas prinsip bahwa orang lain tidaklah lebih baik daripada kelompoknya sendiri.

Fenomena itu mempertegas pendapat Clifford Geertz (1997) tentang sulitnya melukiskan anatomi sosial-budaya masyarakat karena begitu kompleks dan serba multinya unsur Indonesia yang harus disenyawakan.

Sementara rajutan historis dan ideologis dari pluralitas itu tidak tumbuh dengan baik sehingga keindonesiaan yang terbentuk pun belum sepenuhnya utuh. Meminjam istilah Max Lane (2008), Indonesia adalah bangsa yang belum selesai (unfinished nation). Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas keindonesiaannya pun rapuh.

Politik identitas dalam format identitas suku, daerah, dan agama mudah menguat, yang bisa dilihat, misalnya, dalam radikalisme keagamaan. Tuntutan pemekaran daerah pun sering kali dipicu oleh menguatnya politik identitas. Jika hal tersebut tidak berhasil disinergikan menjadi modal sosial, kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi pembentukan keindonesiaan, melainkan juga dapat mengancam stabilitas dan eksistensi Republik.

Agar itu tidak terjadi, dan sebaliknya, supaya keragaman bangsa memberikan kontribusi signifikan bagi konsolidasi keindonesiaan, ”mimpi bersama” tentang keindonesiaan harus diciptakan kembali. Sebab, menurut Daniel Dhakidae (2001), tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa itu ”lahir”, tetapi ”hadir” dalam sebuah proses ”formasi” sebagai suatu ”historical being”. Bangsa mengisi kehadirannya sendiri dalam suatu ”proyek” yang dikerjakan oleh bangsa itu sendiri.

Jiwa merdeka

Kemerdekaan biasa kita maknai sebagai lepas dari belenggu penjajah dan kita sudah berhasil mewujudkannya 65 tahun yang lalu. Namun, kemerdekaan dalam artian seperti itu ternyata belum memadai dalam konteks kekinian. Dengan pandangan reflektif seperti itu, saat ini kita justru dituntut untuk terus melangkah maju karena bangsa lain sudah jauh di depan kita.

Dalam perspektif budaya, untuk mencapai ”Indonesia yang lebih baik”, konsekuensinya kita harus membangun watak baru yang memihak bangsa sendiri, berakar budaya yang berorientasi progresif agar mampu ”berbicara” di arena percaturan global karena dihormati oleh bangsa- bangsa lain di dunia.

Maka, marilah kita kembali pada Jiwa Proklamasi sebagai bangsa bermartabat, yang memiliki jiwa merdeka, keikhlasan untuk berkorban, tekad bersatu dalam keragaman, serta siap membangun jiwanya, membangun badannya untuk Indonesia Merdeka!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/03083355/jiwa.proklamasi.


Hamengku Buwono X
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisis Ekonomi :Kinerja Ekonomi Semester I/2010

Oleh: Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo



SEHARI menjelangperingatanProklamasi Kemerdekaan, saya ingin membuat refleksi tentang beberapa indikator perekonomian Indonesia pada semester I/2010.


Apakah perekonomian kita masih terengahengah sehingga perlu dipacu lebih lanjut atau justru sedang bergegas menghasilkan kinerja yang tinggi? Awal bulan ini pemerintah mengeluarkan data inflasi yang mengejutkan banyak pihak karena lebih tinggi dibandingkan prediksi. Dengan tingkat inflasi Juli 1,57%, besaran inflasi selama periode Januari– Juli 2010 mencapai 4,02%.

Mengingat masih ada “bulan-bulan panas” sampai akhir tahun ini, bukan tidak mungkin inflasi sepanjang 2010 akan mencapai lebih dari 6% atau bahkan di atas 7%. Harga bahan pangan menjadi salah satu penyebab utama inflasi, antara lain karena adanya anomali cuaca.Namun,suatu hal yang sebetulnya bisa diprediksi pemerintah adalah tekanan harga pangan karena dikuranginya subsidi pupuk tahun 2010 ini.

Saya menulis masalah ini sesudah berbicara di depan Rapat Kerja Petrokimia Gresik tahun 2009 lalu.Pengurangan subsidi pupuk adalah kesalahan fatal yang ikut mendorong kenaikan harga saat ini. Pengurangan subsidi pupuk juga mengurangi penggunaan pupuk (stok di pabrik pupuk meningkat tajam) sehingga dapat memengaruhi produktivitas pangan. Sayang sekali, pemerintah lebih senang menumpuk uangnya di Bank Indonesia daripada harus membantu para petani dengan harga pupuk lebih murah yang dampaknya kita rasakan saat ini.

Di lain pihak,kinerja ekspor sepanjang semester I/2010 justru menunjukkan tanda-tanda cerah.Selama semester tersebut total ekspor mencapai USD72,25 miliar.Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja ekspor tertinggi selama ini, yaitu semester I/2008, yang mencapai USD70,27 miliar.Dengan perkembangan ini, sepanjang 2010 sangat mungkin tercapai kinerja ekspor di atas USD145 miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan rekor selama ini, USD137 miliar pada 2008.

Yang menarik, perkembangan ekspor tersebut disumbang ekspor manufaktur yang pertumbuhannya mencapai sekitar 66%. Selain tekstil,pakaian jadi,dan sepatu, ekspor produk elektronik juga berkontribusi besar. Ekspor produk elektronik Indonesia bahkan sudah melampaui tekstil dan pakaian jadi.Adapun ekspor industri automotif dengan cepat menyusul. Jika tahun 2010 ini ekspor tekstil dan produk turunannya mencapai USD10 miliar, produk elektronik akan mencapai di atas USD13 miliar, sementara produk automotif akan mencapai lebih dari USD4 miliar.

Dari sisi komoditas, mengingat harga produk tersebut lebih rendah, ini berarti ekspor komoditas lebih genuine, yaitu dihasilkan oleh volume yang lebih banyak. Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka produk domestik bruto (PDB), yaitu perhitungan seluruh nilai tambah yang dihasilkan semua sektor ekonomi di Indonesia. Data yang dilaporkan BPS tersebut ternyata melampaui prediksi pemerintah dan para pengamat.

BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi riil kuartal II/2010 sebesar 6,5%.Karena pada kuartal I/2010 pertumbuhan ekonomi riil mencapai 5,5%,secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi selama semester I/2010 mencapai 5,9%. Ini berarti selama semester I/2010 telah berlangsung akselerasi menuju tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Dengan akselerasi ini, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi riil sepanjang 2010 akan mencapai sekitar 6,3%, suatu angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan target pemerintah sebelumnya.

Yang juga menarik, PDB nominal (PDB yang diukur atas dasar harga yang berlaku saat ini) sepanjang kuartal II/2010 mencapai Rp1.572,4 triliun. Ini berarti sepanjang semester I/2010 telah tercapai PDB sebesar Rp3.071,1 triliun. Berdasarkan pola yang terjadi tahun-tahun sebelumnya bisa diperkirakan PDB nominal untuk kuartal III/2010 ini akan mencapai sekitar Rp1.650 triliun,sedangkan kuartal IV akan berada pada sekitar Rp1.700 triliun.

Jika ini terjadi, total PDB sepanjang 2010 akan mencapai sekitar Rp6.400 triliun. Apabila angka ini diterjemahkan dalam nilai dolar yang bergerak di pasar saat ini (at market exchange rate, bukan berdasarkan kurs purchasing power parity),PDB Indonesia akan mencapai sekitar USD700 miliar. Angka ini akan menghasilkan pendapatan rata-rata setiap penduduk di sekitar USD3.000. Banyak pihak yang tidak melihat arti pentingnya angka pendapatan per kapita sebesar USD3.000.

Dalam pertemuan dengan manajemen BCA beberapa waktu lalu, manajemen Bank Sumitomo Mitsubishi (SMBC) Jepang menyatakan bahwa pendapatan per kapita sebesar USD3.000 akan menghasilkan gelombang baru dalam perekonomian. Gelombang baru tersebut dihasilkan oleh munculnya kelas menengah yang lebih besar dalam perekonomian sehingga pada akhirnya akan menghasilkan proses akselerasi dalam berbagai sektor produksi.

Itulah sebabnya saya berani memprediksi penjualan mobil sebesar 1 juta unit akan terjadi lebih cepat dari dugaan pemerintah, yaitu pada 2015, tetapi sangat mungkin terjadi pada 2012. Peningkatan produksi ini juga terjadi di sektor industri elektronik, lifestyle, pariwisata, dan sebagainya. Itu pula yang menyebabkan terjadinya peningkatan pesat industri penerbangan Indonesia dan sangat sesaknya Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng,saat ini.

Apakah pemerintah dapat membantu proses akselerasi ini lebih lanjut? Jawabannya secara tegas adalah: ya, jika pemerintah menerapkan strategi tepat.Sebagai contoh yang spesifik adalah pembangunan infrastruktur.Pada tahuntahun mendatang ini pemerintah bisa melakukan crash program pembangunan jalur ganda kereta api dari Pekalongan ke Surabaya.Biayanya sekitar Rp7 triliun.

Dengan pembangunan jalan kereta api (di mana penyediaan lahannya tidak menimbulkan masalah), proses migrasi dari jalan raya ke kereta api akan semakin banyak dilakukan sehingga pembangunan jalan kereta api bisa dianggap sebagai substitusi pembangunan jalan raya. Jumlah Rp7 triliun tersebut, apalagi memerlukan waktu lebih dari satu tahun,akan sangat mungkin dibiayai APBN karena pemerintah memiliki dana menganggur saat ini sekitar Rp200 triliun.

Kalaupun tidak secara langsung, pemerintah bisa menambah permodalan PT Kereta Api Indonesia dan memberi mereka kewenangan untuk mem-bangun jalur rel (yang selama ini dimiliki pemerintah) sehingga PT Kereta Api Indonesia bisa membiayainya dengan modal tersebut maupun pinjaman dari perbankan yang dengan mudah bisa mereka kerahkan. Ini berarti baik Kementerian BUMN maupun Kementerian Perhubungan bisa bahu-membahu dalam mendorong pembangunan infrastruktur ini. Selamat memperingati Hari Kemerdekaan dengan lebih berbesar hati.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344917/38/



CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi

65 TAHUN KEMERDEKAAN RI :Pancasila Janganlah Diabaikan

Oleh: Rikard Bagun


Sampai sekarang belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret.

Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan belakangan ini. Sudah mati angin. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.

Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi.

Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah.

Lebih memprihatinkan lagi dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.

Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.

Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah.

Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian.

Tidak ada kegairahan tinggi yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak disadari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran.

Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existential vacuum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai, ke dalam ruang hampa itu yang dapat memorak- porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.

Fungsi integratif

Sadar atau tidak, Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan negara-bangsa Indonesia yang pluralistik. Taruhannya tidaklah kecil jika Pancasila dilecehkan, lebih-lebih karena posisinya sebagai dasar eksistensi negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tidaklah berlebihan jika Pancasila menjadi salah satu kekaguman dunia luar terhadap Indonesia karena memiliki fungsi menyatukan masyarakat dan wilayah Nusantara yang begitu luas, dengan berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama.

Perlu diakui, Pancasila merupakan warisan luar biasa Pendiri Bangsa yang mengacu pada nilai-nilai luhur, yang bersifat orisinal dan tahan zaman. Sungguh warisan nilai yang sangat berharga.

Namun, sekali lagi, upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila itu terasa sangat lemah. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari belum terasa kuat, yang bisa saja membuat orang puas atau tidak puas.

Namun, bukanlah soal puas atau tidak puas ketika ada upaya menyingkirkan Pancasila dengan ideologi lain. Upaya itu jelas-jelas mengancam keberlangsungan negara-bangsa Indonesia yang eksistensinya berada di atas basis Pancasila.

Tidak kalah rumitnya tantangan yang bersifat sosiologis. Sampai sekarang masih terdapat kerancuan soal pemahaman dan penghayatan tentang keindonesiaan. Tidak sedikit anggota masyarakat belum menempatkan dirinya sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi (Pancasila) dan konstitusi.

Masih banyak pula yang mencampuradukkan pengertian sebagai warga negara dengan posisi sebagai anggota kelompok etnik, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai dampaknya, bukannya tunduk kepada Pancasila dan konstitusi negara, tetapi justru menggugatnya.

Eksistensi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik terancam tamat jika dasar negara dan konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagai warga negara.

Sudah menjadi tugas semua anggota masyarakat, terutama pemerintah, untuk memberikan kawalan terhadap dasar negara dan konstitusi. Pemerintah bahkan memiliki wewenang istimewa untuk menindak warga yang tidak tunduk kepada dasar negara dan konstitusi.

Tidak dapat dibiarkan upaya mengutak-atik ideologi yang melelahkan dan hanya akan membuang banyak energi, mengacaukan konsentrasi bagi proses pembangunan dan perubahan. Bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di belakang jika tidak membulatkan tekad memacu kemajuan seperti dilakukan banyak bangsa belakangan ini. Pembangunan merupakan upaya menciptakan kesejahteraan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi, dan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Merdeka!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/16/02532015/pancasila.janganlah.diabai

Rikard Bagun
Kompas

Sabtu, 14 Agustus 2010

Redenominasi sekadar perlu, atau wajib?

Oleh: Sigit Pramono



Redenominasi rupiah sebetulmya bukanlah pemikiran yang buruk. Apalagi tujuannya ialah untuk memudahkan masyarakat bertransaksi dan dalam jangka panjang mendorong terjadinya efisiensi secara nasional.
Redenominasi sebaiknya kita terjemahkan secara ringan saja supaya tidak terlalu menakutkan. Yaitu sebagai upaya untuk mengubah penyebutan angka nominal mata uang yang tertera pada mata uang tersebut.

Kalau kita menyimak gagasan yang dilontarkan BI, redenominasi rupiah kita berarti uang kertas seratus Rp100.000 berwarna merah bergambar Soekarno Hatta akan diganti dengan uang kertas Rp Baru 100, tetap berwarna merah dan tetap bergambar Soekarno Hatta.

Demikian pula uang kertas Rp1.000 berwarna biru bergambar Pattimura akan diganti dengan uang kertas Rp Baru 1, tetap berwarna biru dan tetap bergambar Pattimura. Demikian seterusnya untuk uang kertas dengan nilai nominal lainnya.

Pada tahap transisi nantinya maka masyarakat bisa bertransaksi misalnya membayar barang atau jasa senilai Rp100.000 dengan uang kertas nominal Rp100.000 atau membayar dengan uang kertas nominal Rp Baru 100 yang sama-sama bergambar Soekarno Hatta.

Kedua, dua uang kertas itu masih berlaku. Sampai di sini saya yakin masyarakat tidak akan bingung . Lalu apa manfaatnya? Penyebutan nominal rupiah yang disederhanakan dengan cara mengurangi 3 nol di belakang jelas akan lebih memudahkan masyarakat dalam bertransaksi.

Dengan redenominasi maka semua perhitungan di kalkulator, komputer, mesin kasir, alat timbang dan alat tera yang menggunakan nominal rupiah seperti pompa SPBU dan sebagainya jelas akan lebih mudah karena berkurang 3 digit.

Belum lagi penghematan media simpan atau memori komputer, cetakan dalam kertas jelas akan lebih efisien kalau nominal uang berkurang 3 digit. Jika menimbang manfaat dari redenominasi di atas sepertinya redenominasi memang perlu dilakukan.

Pertanyaan berikutnya redenominasi rupiah itu sekadar perlu atau wajib dilakukan?

Kalau kita meminjam istilah dalam tingkatan hukum agama Islam mulai dari wajib , sunah, makruh , mubah, dan haram, maka redenominasi rupiah yang dicetuskan BI barangkali baru pada tingkatan sunah saja.

Yaitu perlu dilakukan tetapi belum ke tingkat wajib. Bagi Anda yang tidak terlalu memahami idiom di atas, sunah berarti apabila kita tidak lakukan suatu tindakan kita tidak akan dihukum (mendapat sanksi), namun apabila kita lakukan kita akan diuntungkan atau mendapat manfaat.

Adapun, wajib berarti kalau kita lakukan kita akan mendapat keuntungan ( manfaat ) tetapi kalau kita tidak lakukan kita akan mendapat hukuman (kerugian). Membandingkan tingkatan atau herarkhi perlu tidaknya suatu tindakan dilakukan dengan analogi hukum sunah dan wajib di atas barangkali akan memudahkan kita mengukur derajat urgensinya.

Mari kita lihat persoalan redenominasi dari pengalaman negara lain yang dianggap berhasil melakukan redenominasi, yaitu Turki.

Apa latar belakang Turki melakukan redenominasi, pertama karena terpuruknya perekonomian Turki yang diwarnai hiperinflasi sehingga nilai lira jatuh, harga barang-barang naik dengan tingkat yang gila-gilaan sehingga masyarakat menahan barang.

Kedua dalam rangka persiapan Turki masuk menjadi anggota Uni Eropa. Ketika melakukan redenominasi mata uangnya pada 2005 Turki bahkan harus mengurangi 6 angka nol, akibat begitu buruknya ekonomi Turki pada waktu itu.

Jika belajar dari pengalaman Turki tersebut sangat jelas bahwa ketika mereka melakukan redenominasi tingkatannya sudah 'wajib' bagi Turki. Kembali kepada situasi di negara kita, perlu dilontarkan kembali pertanyaan apakah redenominasi perlu atau wajib dilakukan di Indonesia?

Betul bahwa situasi dan kondisi perekonomian kita sekarang ini tidak sama seperti ketika Turki melakukan redenominasi. Namun kita harus ingat bahwa kita juga dalam persiapan untuk masuk Pasar Tunggal Asean pada 2015.

Kita bisa bandingkan nominal yang tertera pada uang kita dibandingkan dengan anggota Asean yang lain. Kita ambil contoh, dengan Singapura 1 angka mata uang dolar Singapura setara dengan 3 angka uang rupiah kita Apakah kita tidak memandang ini sebagai suatu persoalan ?

Sebuah tindakan besar yang berdampak sangat luas dan dalam pada masyarakat seperti kebijakan redenominasi ini seharusnya dimulai dengan perencanaan yang rinci dan matang, dikoordinasikan antara BI, Pemerintah dan DPR , serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang lain seperti kalangan perbankan dan dunia usaha. Dan yang paling penting adalah sosialisasi harus dilakukan secara terencana dan melibatkan semua elemen nasyarakat.

Beragam pemahaman

Masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke itu sangat beragam latar belakang pendidikan, dan beragam tingkat pemahamannya mengenai masalah uang, perbankan dan perekonomian.

Jadi jangan sekali-kali ceroboh dan mengabaikan dampak sosial dan psikologis dari kebijakan ini.

Geger wacana rencana redenominasi ini ibaratnya BI seperti seorang ibu yang keguguran kandungan sebelum bayi dilahirkan.

Ironisnya sang suami (Pemerintah) pun tidak tahu kapan bayi akan lahir, di mana akan dilahirkan dan bagaimana proses kelahirannya.

Belajar dari peristiwa ini maka suatu kebijakan sebaiknya direncanakan dengan matang, dikoordinasikan, dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik.

Kalangan perbankan sempat menerima hujan pertanyaan dari bank-bank di luar negeri dan para nasabah yang khawatir dan panik. Dan bebarapa saat saham perbankan juga sempat mengalami tekanan akibat wacana redenominasi yang prematur ini.

Jadi jelas bahwa untuk meningkatkan derajat kebijakan redenominasi dari sekadar 'perlu' menjadi 'wajib' bagi Indonesia, maka menjadi tugas utama BI untuk dapat 'menjual' gagasan redenominasi ini kepada para pemangku kepentingan lainnya.

BI perlu meyakinkan penentang gagasan ini yang mempersoalkan mengenai biayanya yang mahal, ketidaksiapan masyarakat dan bukan menjadi prioritas Indonesia.

BI juga harus konsisten dengan gagasan redenominasi ini. Jangan karena sedikit tekanan kemudian mereka surut dan mengatakannya baru sekadar wacana. Pjs Gubernur BI bahkan mengatakan "secara fundamental redenominasi ini tidak memperbaiki, tetapi juga tidak memperburuk perekonomian kita."

Wah kalau betul pernyataan Gubernur BI terpilih seperti yang dikutip media massa itu, maka tingkatan redenominasi itu jangan-jangan 'sunah' saja tidak ? Bahkan hanya 'mubah', artinya dilakukan atau tidak dilakukan tidak memberi manfaat dan tidak menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia. Lalu mengapa kita wacanakan rencana redenominasi ini ?

URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3050.html

Sigit Pramono
Ketua Umum Perbanas

Pusaran Kutukan Politik Uang

Oleh: J Kristiadi


Tulah dapat menimpa siapa saja yang menistakan sesuatu yang seharusnya dimuliakan. Politik sebagai kompleksitas relasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bersama mewujudkan kesejahteraan umum adalah upaya yang luhur dan mulia. Namun, setelah lebih dari satu dekade pencerahan politik yang menjanjikan tatanan kekuasaan yang beradab, politik justru berwajah kusam dan berjelaga karena praktik politik uang menjadi jalan pintas para elite politik mencapai kekuasaan.

Berpolitik tak perlu cita-cita. Ibaratnya, walaupun bermodalkan selembar ijazah aspal (asli tapi palsu), jika mempunyai uang berlimpah, kekuasaan dapat dipastikan bisa diraih. Oleh sebab itu, kemuliaan dunia politik kekinian di Indonesia benar-benar mencemaskan karena kering dengan martabat dan kehormatan. Politik uang telah memorakporandakan makna keutamaan karena ketamakan kekuasaan. Kedaulatan rakyat ditukar dengan janji-janji retorik atau uang jajan dan ongkos jalan setiap pencoblosan. Rakyat telah direduksi dari pemegang kedaulatan menjadi angka mati dan dikonversi menjadi kursi.

Perilaku elite politik semacam itu telah menuai kutukan. Sangat jarang dijumpai para simpatisan atau pendukung partai politik bersedia secara sukarela berkejar untuk kepentingan parpol. Perputaran roda kegiatan partai hanya dapat digerakkan dengan uang. Kenangan masyarakat membiayai sendiri kampanye mendukung parpol yang menjadi idolanya pada pemilu 1999 sudah tidak ditemukan dalam pemilu-pemilu berikutnya.

Para elite politik telah memanen benih-benih yang ditebarkannya sendiri. Oleh sebab itu, tidak selayaknya menuduh rakyat telah kehilangan kesantunan, materialistis, dan lain-lain, karena perilaku rakyat hanya merupakan produk praktik politik yang mengajarkan rakyat bahwa elite politik selalu tampak berkelimpahan uang.

Tulah tersebut telah mengakibatkan ongkos politik sangat mahal. Namun, biaya politik yang jauh lebih mahal dan merusak adalah perilaku para elite yang melakukan praktik transaksi kepentingan dan korupsi politik. Ekstraksi kekayaan negara untuk kepentingan politik direguk dengan berbagai cara, misalnya dana rumah aspirasi, dana sosialisasi, dan sebagainya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pusat dan daerah) sangat rentan terhadap manipulasi.

Jabatan publik bukan amanah, tetapi kenikmatan. Politik uang telah semakin membuat para elite kedap terhadap keprihatinan dan penderitaan rakyat. Rakyat dan para elitenya mempunyai dunia masing-masing dan bertolak belakang. Rakyat bergulat dengan kesulitan hidup, elite politik sibuk berbagi kuasa dan saling melindungi kepentingan kekuasaan mereka. Eskalasi dan pusaran kutukan menjadi semakin luas dan merusak, karena kebijakan publik tidak memuliakan kepentingan bersama, tetapi menjadi instrumen penguasa membangun oligarki dan dinasti politik.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan produk perundangan sebagai regulasi yang berfungsi mewujudkan kesejahteraan masyarakat tumpang tindih, semrawut, saling tabrak baik secara horizontal maupun vertikal. Alih-alih menjadi ketentuan yang dapat menertibkan tatanan, perundang-undangan justru seperti rimba raya yang dapat menyesatkan siapa pun yang masuk wilayah itu.

Akibatnya, ribuan peraturan daerah bermasalah, puluhan undang-undang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, bahkan UU yang baru beberapa minggu disahkan oleh DPR. Penyebab utamanya karena rezim pemerintahan sekarang tidak mempunyai politik UU sebagai acuan perencanaan program regulasi yang mendukung tujuan nasional. Padahal, UU Nomor 10/2004 secara imperatif mewajibkan perencanaan dalam menyusun melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda) sebagai instrumen perencanaan penyusunan regulasi agar terpadu dan sistematis. Tetapi semua itu mubazir karena mereka lebih tertarik dengan politik dagang sapi yang dapat menjamin kelangsungan kedudukan mereka. Prolegnas dan Prolegda pun jadi mandul.

Selain itu, demi mengamankan kenikmatan kekuasaan, para pembuat regulasi mengesankan mencoba memandulkan lembaga-lembaga yang selama ini mempunyai reputasi dan peran besar dalam upaya membasmi penyakit yang merusak sendi-sendi negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Termasuk dalam kategori itu adalah hilangnya pasal tembakau dalam UU Kesehatan dan penelikungan pasal-pasal dalam regulasi politik sehingga UU menjadi banci.

Oleh karena itu, dewasa ini ancaman paling besar dan kasatmata terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan ancaman terhadap eksistensi tatanan politik yang beradab, adalah politik uang dan korupsi politik. Pusaran kutukan telah semakin membesar dan deras, karena itu perlu segera dilakukan upaya menolak turbulensi tulah yang daya hancurnya sangat dahsyat.

Caranya, tirakat atau zuhud nasional. Para elite politik harus memuliakan kembali politik dengan meninggalkan nafsu perburuan harta dan nikmat. Mereka harus berputar haluan mengejar harkat dan martabat. Dibutuhkan pula kepemimpinan yang sanggup meniupkan sangkakala untuk menyatukan semua kekuatan masyarakat guna mendesak lembaga perwakilan rakyat membuat regulasi jelas dan sanksi tegas terhadap pelaku politik uang. Masyarakat juga harus memberikan sanksi sosial kepada para pelaku korupsi, terutama koruptor politik.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/0406521/pusaran.kutukan.politik.uan


J Kristiadi Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies.

Lowongan Asisten Riset

PT Applied Agricultural Resources Indonesia




Kami adalah Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang Jasa Riset dan Konsultasi untuk perkebunan sawit/karet yang ada di Indonesia. Seiring dengan pesatnya perkembangan Perusahaan, Kami membutuhkan karyawan untuk mengisi beberapa posisi yang akan ditempatkan di wilayah Sampit dengan kualifikasi sebagai berikut:

Asisten Riset
(Sampit - Kalimantan Tengah / Belitung-Bangka Belitung)

Requirements:
  • Pria, usia maksimal 25 tahun
  • Minimal Diploma III/SI Ilmu Pertanian
  • Memiliki pengetahuan mengenai perkebunan
  • Menyukai pekerjaan perkebunan dan perjalanan ke luar kota
  • Berjiwa kepemimpinan
  • Dapat bekerja sama dalam Tim
  • Memiliki SIM A (lebih diutamakan)
  • Bersedia untuk ditraining di Pekanbaru selama 6 bulan pertama bekerja

Lamaran lengkap dikirimkan ke alamat:

The Director PT. AAR Indonesia
PO BOX 1289 Pekanbaru

Ditujukan kepada HRD PT. Applied Agricultural Resources Indonesia.
Disudut kanan atas amplop cantumkan kode "AARI Kalteng"
Hanya yang memenuhi kualifikasi yang akan dipanggil untuk interview

Kamis, 12 Agustus 2010

Koreksi Kebijakan Harga Pangan!

Oleh: Hendri Saparini



Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat selalu khawatir dengan lonjakan harga bahan-bahan pokok.

Tahun ini keresahan masyarakat akibat kenaikan harga pangan lebih besar dibandingkan biasanya karena bahan makanan telah mengalami kenaikan harga lebih cepat. Perubahan iklim telah mengakibatkan terganggunya produksi dan distribusi.

Jika beberapa bulan terakhir kenaikan harga lebih karena tekanan dari sisi pasok, mulai bulan ini tekanan kenaikan harga juga akan didorong dari sisi permintaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk Ramadhan dan Lebaran tak hanya harga bahan makanan, tetapi harga makanan jadi juga cenderung meningkat. Selain karena permintaan musiman, kenaikan harga juga karena kenaikan tarif listrik yang berlaku Juli 2010.

Berat bagi si miskin

Dampak kenaikan harga makanan tidak sama bagi setiap rumah tangga. Semakin rendah pendapatan, semakin berat beban akibat kenaikan harga makanan. Sebagai gambaran, garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Rumah tangga yang pengeluarannya di bawah batas tersebut sebagian besar (73 persen) pengeluarannya untuk pangan.

Artinya, jika pemerintah gagal mengendalikan harga makanan, akan ada persoalan serius karena jumlah penduduk yang rawan terhadap kenaikan harga bahan- bahan pokok bukan hanya 31 juta orang yang berada di bawah angka tersebut. Ada puluhan juta lain yang terkategori mendekati miskin, pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, yang juga rentan mengalami penurunan kesejahteraan jika harga pangan naik.

Jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin), jumlah mereka 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Adapun berdasarkan data penduduk, yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Angka ini akan semakin besar apabila digunakan data Bank Dunia, yang menyebutkan 42 persen, berarti mendekati 100 juta penduduk, memiliki pengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari.

Beban berat kenaikan harga bahan pokok bagi kelompok bawah juga tak cukup sekadar mendasarkan pada angka inflasi umum karena dapat memberikan gambaran yang salah. Salah satu studi ADB dan BPS bahkan menyebutkan inflasi yang ditanggung kelompok miskin rata-rata 2-3 kali lebih tinggi dibanding inflasi nasional. Kajian lain menunjukkan kemungkinan adanya kelemahan dalam perhitungan inflasi. Contohnya, menurut Susenas 2005, porsi belanja beras 24 persen, tetapi dalam Survei Biaya Hidup, yang jadi dasar perhitungan inflasi, hanya 6 persen. Belum lagi survei yang disinyalir bias terhadap kelompok atas.

Penting bagi pemerintah mengkaji ulang beban inflasi riil yang dihadapi setiap kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatannya. Informasi ini sangat diperlukan agar pilihan kebijakan lebih tepat.

Butuh strategi baru

Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi strategi stabilisasi pangan saat ini. Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dikebiri, masyarakat terus menghadapi beban gejolak harga pangan yang tidak sebanding dengan daya belinya. Dengan dilepaskannya harga pangan pada mekanisme pasar, instrumen operasi pasar dan PPN Ditanggung Pemerintah dalam mengendalikan harga pangan tidak akan efektif, bahkan hanya menjadi sekadar pemadam kebakaran.

Diperlukan strategi baru untuk mengembalikan peran pemerintah dalam menstabilkan harga pangan. Tentu usulan ini tidak pernah jadi alternatif bagi pengusung paradigma pasar yang memilih strategi lepas tangan (hands-off). Namun, jika konstitusi mewajibkan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, tidak ada yang tabu untuk mengoreksi liberalisasi dan pengebirian Bulog tahun 1998 lewat letter of intent IMF.

Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi yang menghilangkan berbagai peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan, harus dikoreksi. Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. Meski kini lembaga ini jadi milik publik, perannya menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, masih dikontrol. Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Tentu dukungan lembaga saja tidak cukup karena dibutuhkan kesepakatan baru tentang politik pangan nasional. Untuk mewujudkan peran negara dalam stabilisasi pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan, dituntut perubahan dan dukungan kebijakan komprehensif. Gas alam yang diprioritaskan untuk pupuk, institusi dan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian, kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri, anggaran untuk membangun infrastruktur pertanian, dan sebagainya. Tak mudah, tetapi perubahan harus dilakukan.

URL Source:



Hendri saparini Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Kesalehan Sosial Bangkrut

Oleh: ST Sularto



Menyaksikan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia akhir-akhir ini, potensi kemungkinan Indonesia menjadi ”negara gagal” semakin besar. Mengacu pada pernyataan Francis Fukuyama, ancaman terbesar abad ke-21 adalah ”negara gagal”, ditandai antara lain kemiskinan, pengangguran, konflik antarkelompok, dan merebaknya aksi teror.

Untuk kasus aktual Indonesia, pernyataan Fukuyama lima tahun lewat itu terlihat dalam kasus-kasus pembiaran rakyat menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang membelitnya, seperti kenaikan tarif listrik, kemiskinan, gas meledak, perilaku koruptif, dan tereduksinya keluhuran politik jadi sekadar politik praktis berdurasi pendek, kerdil, dan bernuansa sempit.

Kekerasan yang merebak dalam berbagai bentuk terjadi semakin sporadis dengan tingkat semakin masif, dari yang fisik hingga simbolis, mengindikasikan berkembang suburnya sisi kekerdilan manusia; cara berpikir dan bertindak atas nama ideologi agama, tetapi sebenarnya membenarkan doktrin sempit agama: menegaskan entakan Fukuyama semakin mengancam. Meskipun kita boleh menghibur diri, potensi ”negara gagal” perlu dihadapi, tidak dengan menafikan, tetapi meletakkannya sebagai kemungkinan yang menantang untuk kritis dan mencegahnya.

Itu karena yang kita hadapi tidak hanya krisis identitas, tetapi juga krisis intelektual dan hati nurani (akhlak dan moral) yang mencerminkan krisis karakter bangsa (Soemarno Soemarsono, Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang, PT Elex Komputindo, 2009). Karena pembangunan karakter diabaikan, kondisi bangsa Indonesia sekarang ibarat ”gunung es”, kelihatan gagah perkasa, tetapi jiwa atau fondasinya rapuh.

Kondisi Indonesia saat ini, menurut Soemarno, serupa yang dikhawatirkan Mahatma Gandhi tentang tujuh dosa yang mematikan. Meliputi: berkembangnya nilai dan perilaku budaya kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan.

Aktualisasi Pancasila

Memungut Pancasila sebagai referensi kekayaan peradaban, warisan bapak bangsa, dan menempatkannya sebagai antisipasi kecenderungan ke ”negara gagal”, ibarat berseru di padang pasir. Padahal, dalam kondisi menemukan kekayaan budaya Indonesia—bagian dari obsesi Mengenal Tanah Air dan Merajut Nusantara—seruan itu aktual untuk mencegah pelapukan saat ini, yang diakibatkan ketidakmampuan kita memanfaatkan arus globalisasi dan neoliberalisme, kegagapan menghadapi perkembangan dunia yang serba cepat.

Repotnya, warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu, karena kesalahan praktik pemerintahan Orde Baru yang menjadikannya mesin indoktrinasi politik, Pancasila dianggap sudah apak-basi. Kelima sila dengan inti dasarnya kemanusiaan (N Drijarkara, Karya Lengkap Drijarkara, Kanisius, 2006) mengerucut pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu dianggap tidak relevan. Tidak hanya tidak dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Go to hell Pancasila!

Padahal, kelima sila Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai dan cita-cita yang hidup dalam masyarakat, rumusan dalam konteks obsesi bersama membentuk negara kesatuan, yang dipercayai dan perlu terus diperjuangkan.

Menyangkut bentuk negara, berdasarkan agama atau nasionalisme, terjadi perdebatan panjang sebelum akhirnya ditemukan kesepakatan, antara lain mengerucut dalam kelima sila Pancasila. Karena itu, anjuran aktualisasi dan revitalisasi merupakan keharusan, yang ditempatkan tidak hanya dalam mewujudkan sila-sila Pancasila— terutama dalam konteks ini sila pertama—tetapi lebih jauh lagi dalam kaitan hubungan agama dan negara.

Munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukkan belum selesai tuntasnya hubungan agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara dan agama dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan konstitusi.

Padahal, sejak awal sudah disadari realitas kemajemukan sebagai berkah. Kemajemukan itu disyukuri, dikembangkan, dan ditempatkan sebagai batu sendi dasar ideologi bernegara. Keberagaman tidak bersifat hierarkis, melainkan egaliter, karena itu berimplikasi pada nilai etis toleransi.

Dalam pemaknaan keberagaman-pluralisme-multikulturalisme sebagai toleransi dan kerukunan hidup beragama terbentang tarik ulur. Ketika kita menerima sejumlah agama resmi, berarti eksistensi agama- agama itu diakui sebagai kompetitor yang sah dalam menyebarkan dan menjalankan agama masing-masing. Sudah dengan sendirinya terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan lainnya, tetapi juga dalam agama-agama itu sendiri. Fanatisme tidak dibenarkan dalam agama apa pun, apalagi kalau keberagamaan diwujudkan dengan cara-cara ekstrem yang menempatkan agama sendiri sebagai kebenaran mutlak satu-satunya. Kebenaran atas keyakinan sendiri dibenarkan sejauh tidak dipaksakan pada pemeluk agama lain.

Dimensi horizontal

Dimensi moral yang disebut sebagai kesalehan sosial bermakna memiliki kepedulian berhubungan secara harmonis dengan lingkungan, sekaligus meninggikan martabat kemanusiaan. Kesalehan sosial merupakan amunisi kritik sosial. Agama pun seperti dikembangkan Peter L Berger, etika protestanisme, dalam agama Islam di Indonesia seperti dirintis KH Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah seabad lalu, merupakan terobosan keberagamaan tidak terhenti pada kesalehan ritual, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam praktik kehidupan berbangsa-bernegara saat ini, kesalehan terhenti di tingkat ritual, tidak dalam praksis pemerintahan.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kerucut dari keempat sila lainnya, tidak selesai dihafalkan, tidak selesai sebagai doktrin kekuasaan, tetapi perlu terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Sementara di saat ini, kalau di tingkat ideologis perlu diselesaikan masalah hubungan agama dan negara, di tingkat tataran praktis perlu dicegah bangkrutnya kesalehan sosial. Dengan itulah kita mencegah kemungkinan terjadinya ”negara gagal” Francis Fukuyama, tidak dalam arti ”gagal” secara hukum formal politis, tetapi dalam arti mandulnya eksistensi negara.

Wujudnya, ketentuan perundang-undangan tidak dipakai sebagai alat dan pedoman melaksanakan tindakan, sebaliknya kasus-kasus perda syariah yang dibuat beberapa pemerintah daerah mencerminkan betapa peraturan dibuat tidak didasarkan atas landasan kepentingan umum, melainkan pemahaman keberagamaan yang sempit. Yang dilalaikan adalah realitas pluralisme Indonesia sebagai berkah dan kekayaan yang harus ditempatkan sebagai batu sendi, sementara begitu realitas ini ditinggalkan, berarti negara membiarkan kebebasan beragama dan beribadah terancam.

Mencegah bangkrutnya kesalehan sosial di tingkat masyarakat aktual berarti menjadikan penegakan hukum sebagai aturan main dan sembuhnya kegemaran elite politik berakal-akalan atas nama rakyat. Hadirnya fungsi pemerintah yang eksekutif dan tidak gamang dalam keberpihakan demi kepentingan bersama dan keharmonisan hidup keberagamaan dalam masyarakat majemuk, kita menatap masa depan Indonesia merdeka tanpa direcoki kekhawatiran menuju ”negara gagal

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/04112513/kesalehan.sosial.bangkrut

ST Sularto
Kompas

Bersama Melawan Korupsi

Oleh: Airlangga Pribadi


Setelah penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, beberapa waktu lalu, agaknya agenda pemberantasan korupsi yang bergulir telah sampai pada momen point of no return.

Tindakan kekerasan yang mulai dilakukan kepada pihak-pihak yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi menjadi peringatan dari para koruptor agar perang melawan korupsi tak menyentuh daerah-daerah sensitif terkait kepentingan para petinggi. Untuk menghadapi ini semua, integritas pemerintahan dan kepercayaan di antara kita perlu diperkuat guna memastikan agenda pemberantasan korupsi dimenangi warga negara.

Respons publik dan elite politik terhadap peristiwa penganiayaan tersebut memberikan harapan akan kembalinya kehendak memerangi korupsi yang telah berurat akar di republik ini. Kedatangan Presiden SBY dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD untuk menjenguk Tama dan langkah sigap Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera melakukan pemeriksaan atas persoalan korupsi yang diduga melatari kejadian itu merupakan pintu pembuka bagi hadirnya kembali semangat memberantas korupsi di republik ini.

Seperti kanker dalam kehidupan republik, persoalan korupsi adalah penyakit sentral yang turut menentukan apakah negara itu telah gagal menjalankan fungsinya (failed state) atau tidak. Lima abad yang lalu pujangga politik terbesar Italia, Nicollo Machiavelli (1512-1517), dalam karyanya, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, memaparkan bahwa menjalarnya korupsi dalam kehidupan republik adalah malapetaka terbesar dalam kehidupan republik.

Hilangnya daya hidup dan dinamika kehidupan bernegara bermula dari tumbuhnya perilaku korupsi yang menjalar dan tak dapat dihentikan, baik oleh warga maupun elite politik.

Ketika napas kehidupan politik dalam tatanan republik ditujukan guna merangkai apa yang dianggap baik untuk kepentingan bersama, tindakan yang dilakukan para pejabat publik dan pelayan warga untuk kepentingan personal dan memperkaya diri adalah tindakan yang secara perlahan mengikis aktivitas politik sebagai seni untuk merangkai kebaikan bersama. Politik berhenti dan mati sebagai aktivitas positif saat setiap aktivitas bernegara diperuntukkan memperkaya kepentingan personal elite politik.

Mari kita bentangkan perjalanan sejarah di republik ini. Penyelewengan terhadap tujuan bernegara dalam konstitusi UUD 45 maupun Pancasila berjalan seiring dengan mewabahnya korupsi di republik ini. Pembusukan politik (political decay) dalam kehidupan bernegara terjadi sejak masa awal Orde Baru, ketika pada waktu itu Soeharto tidak serius mengindahkan nasihat Bung Hatta (yang pada tahun 1970 menjadi Penasihat Presiden) untuk segera memberantas persoalan korupsi yang saat itu tengah mewabah di tubuh perusahaan minyak nasional Pertamina.

Selanjutnya, seperti kita saksikan bersama, rezim Orde Baru berkembang menjadi rezim yang tumbuh melalui pengisapan terhadap aset-aset publik ataupun persekongkolan pengusaha dan penguasa yang berpusat di keluarga Cendana. Akibatnya, pembangunan tidak pernah benar- benar dinikmati oleh masyarakat banyak, pemusatan kekayaan tertumpu pada elite minoritas ekonomi-politik saja. Pada era pasca- Orde Baru, kita saksikan bahwa lesunya antusiasme dan partisipasi publik dalam aktivitas politik dan bernegara tak dapat dilepaskan dari begitu kuatnya korupsi berurat akar dan jadi persoalan yang belum bisa terselesaikan tuntas.

Karena itu, seperti diutarakan Vedi R Hadiz dan Richard Robison (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, bahwa pertarungan politik pasca-Orde Baru menandai berseminya pertarungan politik di antara elite-elite oligarkis menjadi predator aset-aset publik di tengah kian terintegrasinya Indonesia dalam pusaran rezim pasar bebas.

Telah jadi fakta sejarah, korupsi selalu menjadi malapetaka dalam saat-saat menentukan kehidupan kita bernegara. Belajar dari ini, perang terhadap korupsi tak dapat lagi surut. Kebersamaan dalam kehidupan bernegara dan energi positif rakyat sudah saatnya diarahkan pada pemusatan perang terhadap korupsi. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menuntaskan ikrar melawan korupsi.

Langkah politik

Terkait dengan penguatan kembali ikrar melawan korupsi, Presiden seharusnya mengambil langkah di depan untuk menjelaskan kepada publik mengapa suatu kebijakan perang terhadap korupsi sampai ke akar-akarnya harus diambil, apa alasan dan logikanya, langkah apa yang akan dilakukan dalam jangka waktu cepat, dan apa yang akan didapatkan secara transparan dari langkah-langkah politik yang telah diambil. Setelah beberapa waktu lalu integritas pemerintahan dihantam bertubi-tubi terkait dengan Century Gate, maka kasus dugaan korupsi ini menjadi momentum penting bagi Presiden untuk bertindak.

Pakar komunikasi politik seperti Arjen Boint, Paul’t Hart et al (2005) dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership Under Pressure mengutarakan pentingnya penciptaan makna bersama (collective meaning making) oleh pemimpin dan tim politiknya pada saat krisis untuk mengurangi ketidakstabilan yang muncul di masyarakat.

Pemimpin harus mampu membangun komunikasi politik untuk menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal ini sampai terjadi, apa yang segera harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan, bagaimana tokoh-tokoh publik dan masyarakat dapat dilibatkan bersama untuk ikut serta menyelesaikan persoalan.

Keberhasilan dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi juga sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah membersihkan elemen-elemen di dalam dirinya yang terkait dan tidak bersih dari persoalan korupsi. Komunikasi politik dalam kepemimpinan politik membutuhkan kerja konkret yang dapat dilihat oleh publik secara terbuka. Kampanye perang terhadap korupsi membutuhkan pemerintahan yang autentik dan warga yang berpartisipasi untuk mengawal proses tersebut.

Dalam kondisi demikian, terbangunnya kepercayaan kolektif ketika pemerintah mampu meyakinkan warga akan agenda tersebut menjadi prasyarat utama. Momentum ini menjadi kesempatan bagi SBY untuk membangun kembali kepercayaan warga terhadap integritas pemerintahannya memberantas korupsi. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan melakukan pembersihan terhadap aparat negara yang terindikasi kasus korupsi, memperkuat kembali dan tidak membonsai komisi seperti KPK untuk menghantam korupsi di berbagai sudut kelembagaan negara yang selama ini tak terjangkau.

Dengan integritas pemerintahan yang kokoh inilah, kepercayaan sosial warga terhadap pemerintah dapat dirajut kembali. Sementara pada langkah yang tidak dapat kembali lagi, prospek pemberantasan korupsi berjalan seiring dengan prospek rehabilitasi kehidupan republik. Kemampuan untuk mengintegrasikan langkah memerangi korupsi akan menjadi pertaruhan terpenting dari integritas pemerintahan SBY di mata rakyatnya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/10/03255195/bersama.melawan.korupsi.


Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Minggu, 08 Agustus 2010

Demokrasi Minus Kesejahteraan

Oleh: Didik J Rachbini



Perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 ini diperkirakan akan cukup baik sejalan dengan berkurangnya krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa. Itu berarti faktor eksternal akan lebih kondusif bagi perekonomian Indonesia.

Dengan demikian, kita bisa berharap pertumbuhan ekonomi dapat didongkrak lagi bukan hanya dari sumber pertumbuhan internal di dalam negeri, melainkan juga dari perdagangan, ekspor, dan arus investasi masuk dari luar negeri.

Faktor eksternal sangat penting bagi ekonomi Indonesia karena selama ini sudah dibuka dan diarahkan bersaing keluar meskipun level daya saingnya masih berada di ujung paling belakang.

Kawasan Asia dengan pusat pertumbuhan China, ASEAN, dan India dapat mendongkrak kinerja ekonomi Indonesia. Infrastruktur warisan lama, bonus demografi, dan banyak faktor yang lain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun kinerja kebijakan tidak optimal.

Pekerjaan rumah

Meskipun demikian, masih ada pekerjaan rumah yang berat di dalam negeri, yakni isu kemiskinan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kasus kemiskinan di Indonesia dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan ukuran yang ringan masih sangat merisaukan (Kompas, 12/7/2010).

Jumlah penurunan golongan miskin di Indonesia tidak selaras dengan pencapaian indikator ekonomi lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan APBN, serta pertumbuhan sektor keuangan dan perbankan. Jumlah golongan miskin sampai Maret 2010 ini masih sangat besar jumlahnya, sekitar 31 juta orang atau masih sekitar 13,3 persen dari jumlah penduduk.

Ukuran kemiskinan absolut versi BPS ini tergolong ringan karena hanya mematok garis kemiskinan sekitar Rp 190.000 per orang per bulan di pedesaan dan sekitar Rp 230.000 per orang per bulan di perkotaan.

Golongan miskin di sekitar garis tersebut masih sangat banyak jumlahnya. Artinya, jika garis batas kemiskinan dinaikkan sedikit saja, kemiskinan bisa mencapai dua kali lipat dari angka tersebut. Bahkan, bukan tidak mungkin membengkak menjadi tiga kali lipat sejalan dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok terakhir ini.

Inilah satu dimensi, yakni dimensi kesejahteraan, yang tidak dilihat dengan saksama oleh elite, pemimpin, dan pelakon demokrasi pada saat ini. Selama ingar-bingar perjuangan demokrasi, aspek kesejahteraan rakyat tertinggal atau tepatnya ditinggalkan. Pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara, sektor keuangan, dan perbankan mengalami pertumbuhan yang cukup, tetapi kesejahteraan rakyat banyak tidak mengalami perbaikan, yang signifikan.

Masalah kesejahteraan ekonomi menjadi pembahasan kritis pada headline harian Kompas beberapa waktu yang lalu. Data tersebut tentu mengkhawatirkan kita semua karena kemudian timbul pertanyaan, apa hasil reformasi dan demokrasi selama ini? Kerisauan tersebut lebih kuat lagi karena negara-negara lain, seperti China, Thailand, dan Vietnam, berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya secara drastis dan signifikan mengurangi jumlah golongan miskinnya.

Catatan Faisal Basri terhadap perkembangan pembangunan ekonomi ini, masih terus mempertanyakan, ”Apakah pembangunan kita salah arah?” Keraguan seperti ini wajar karena Indonesia jauh lebih lambat, kalau tidak hendak dikatakan gagal, dalam menangani masalah kemiskinan dibandingkan dengan negara lainnya. China berhasil menurunkan masyarakat golongan miskin dari 31 persen menjadi 6 persen, sedangkan Vietnam lebih drastis lagi dari 51 persen menjadi hanya 3 persen dalam satu dekade terakhir ini.

Demokrasi ”pasar loak”

Jumlah golongan miskin di Indonesia dikatakan terus menurun, tetapi tergolong lambat sekali, apalagi dibandingkan dengan negara-negara lain tersebut di atas. Penurunan ini dapat dikatakan tidak signifikan. Seperti perumpamaan seorang pelajar yang naik peringkatnya dari ke-70 ke peringkat ke-69, yang tidak bermakna apa-apa dalam pergeseran angka-angka tersebut (indifferent). Itu berarti bahwa kita masih mempunyai pekerjaan rumah yang masih berat dalam aspek kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Lalu ada pertanyaan besar, apa hasil dari reformasi dan demokrasi, yang ingar-bingar selama ini? Apa artinya itu semua bagi rakyat jika dampaknya terhadap kesejahteraan dan perbaikan hidup mereka tidak nyata?

Setelah dilihat dari berbagai sisi, ternyata ada yang salah di dalam proses dan praktik demokrasi kita selama ini. Politik yang dijalankan tidak lebih sebagai demokrasi ”pasar loak”, yang mempertukarkan barang kacangan atau barang bekas, murahan, tidak bernilai, dan transaksinya bernuansa aji mumpung (moral hazard) karena ada informasi yang tidak simetris. Demokrasi kacangan seperti ini akan menghasilkan kontrak instan, yang tidak lagi memerlukan visi bagi pemimpin politik, kecuali hanya jual beli pada masa pencoblosan.

Hasil penelitian Political Research Institute for Demokrasi (Pride) di Jawa Timur (Juni 2010) memperlihatkan praktik demokrasi pasar loak tersebut. Dari pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh calon pemimpin agar dia menang pilkada, diperoleh jawaban 60 persen ”transaksi uang saja”, ketimbang membenahi ekonomi, infrastruktur, perbaikan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Demokrasi bukan hanya semakin pragmatis, melainkan juga semakin mirip pasar loak, yang menjajakan barang kacangan.

Konsep pasar loak di dalam Teori Akerlof (pemenang Nobel ekonomi) menghasilkan pasar yang gagal (market failure). Sebabnya jelas, karena ada praktik moral hazard di dalamnya, informasi pasar tidak simetris, terjadi penipuan oleh pihak yang menguasai informasi, dan tentu saja pasar tersebut tergolong sebagai pasar yang tidak adil. Demokrasi kita sekarang ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan pasar loak seperti diceritakan di atas. Bukti kegagalannya sudah terlihat dari indikator kemiskinan dan kesenjangan yang masih meluas, pengangguran tergolong tinggi, dan kesejahteraan secara umum belum memadai.

Jika tidak ada perbaikan dalam beberapa tahun ke depan, kita akan mempertontonkan hasil dari reformasi dan demokrasi seperti ini—demokrasi yang tidak memberi arti kesejahteraan ekonomi.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/03455754/demokrasi.minus.kesejahter


Didik J Rachbini Ekonom

Aspirasi: "Dana" ke "Rumah"

Oleh: W Riawan Tjandra


Setelah usulan dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar per anggota ditolak oleh pemerintah dan masyarakat, kini muncul usulan baru dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menarik uang negara atas nama rumah aspirasi.

Bila usulan itu diterima, maka setiap anggota DPR akan menerima dana dari APBN 2011 mencapai Rp 374,9 juta. Angka fantastis itu muncul sebagai hasil kalkulasi dari Panja Rumah Aspirasi DPR yang didasarkan atas penghitungan yang mencakup sewa kantor, kesekretariatan, dan pertemuan dengan konstituen serta pemerintah daerah.

Berdasarkan perhitungan atas komponen-komponen itu, secara keseluruhan anggaran untuk rumah aspirasi bagi seluruh anggota DPR mencapai Rp 209,9 miliar.

Dalam teori demokrasi, hakikat kedudukan anggota DPR sebagai wakil rakyat adalah melaksanakan fungsi representatif, yang di dalamnya melekat kewajiban utama anggota DPR, yakni menyalurkan aspirasi rakyat. Berdasarkan fungsi representatif tersebut, diderivasi tiga fungsi pokok anggota DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.

Belum efektif

Hingga saat ini, belum satu pun dari ketiga fungsi pokok anggota DPR tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Artinya, pelaksanaan ketiga fungsi pokok anggota DPR tersebut belum dapat digambarkan telah merepresentasikan dengan baik aspirasi rakyat.

Hingga saat ini, belum satu pun dari 55 rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi prioritas pembahasan DPR pada tahun 2010 ini berhasil diselesaikan oleh DPR. Padahal, DPR pada bulan Desember 2009 telah menetapkan bahwa 247 RUU masuk dalam program legislasi nasional 2009-2014, dengan 55 RUU menjadi prioritas pada 2010.

Jumlah RUU prioritas DPR tahun 2010 ini sama dengan RUU prioritas DPR pada tahun 2005. Sebagai perbandingan pada tahun 2005, hanya 14 RUU prioritas yang tuntas dibahas oleh DPR periode tahun 2004-2009. Kelemahan manajemen legislasi DPR yang selalu berulang dari tahun ke tahun turut berpengaruh terhadap lemahnya kapasitas DPR dalam menuntaskan pembahasan prioritas RUU setiap tahun.

Diskursus etis-politis

Diskursus seputar berganti-gantinya wajah ”aspirasi” dari semula dana aspirasi menjadi rumah aspirasi tanpa menyentuh sedikit pun hakikat dari makna aspirasi yang semestinya harus lebih banyak menjadi fokus perhatian dari para anggota DPR harus ditempatkan sebagai bagian dari diskursus etis-politis.

Masyarakat berhak untuk memproblematisasi konsensus etis mengenai tanggung jawab seorang wakil rakyat yang seharusnya melaksanakan mandat untuk mewakili aspirasinya, tanpa mengubah makna aspirasi tersebut menjadi alat untuk memprivatisasi kekayaan negara, dengan mengatasnamakan ”dana” atau ”rumah” dan menjadikan aspirasi sekadar sebagai atribut.

Dalam pandangan Jean Jacques Rousseau, rakyat akan berdaulat (volonte generale) kalau mereka berkumpul. Kedaulatan rakyat merupakan konsep yang sangat kabur dan bersifat plastis karena bisa dengan makna ambigu. Menyebut DPR tempat berkumpulnya para ”wakil” rakyat juga bisa bersifat kabur dan plastis. Mengatasnamakan aspirasi untuk membenarkan perampokan uang rakyat di tengah lebih kurang 32,53 juta jiwa warga masyarakat yang masih berkubang kemiskinan merupakan tindakan yang melukai rasa keadilan (sense of justice) rakyat.

Para wakil rakyat harus sungguh-sungguh hadir dalam dunia kehidupan (lebenswelt) rakyat sehingga DPR bisa menjadi ”rumah aspirasi” rakyat sesuai dengan jati dirinya sebagai simbol demokrasi perwakilan.

DPR perlu lebih banyak membuka dirinya sebagai wakil rakyat dan mendengarkan suara rakyat. Absennya aspirasi rakyat dari berbagai sidang di DPR yang juga jarang dihadiri oleh sebagian para wakil rakyat disebabkan absennya ”ruang antara” dalam sistem demokrasi perwakilan.

Rakyat tidak memperoleh akses demokrasi untuk menyuarakan aspirasinya di antara satu pemilu ke pemilu berikutnya. Demokrasi ”ruang antara” sangat penting untuk memadukan demokrasi deliberatif dengan demokrasi perwakilan.

Kontrak politik wakil rakyat dengan konstituennya melalui pemilu seharusnya tidak berakhir pascamereka terpilih, tetapi harus selalu menjadi bagian dari diskursus politik yang hidup di ruang publik politik melalui aspirasi yang selalu digali dari rakyat tanpa mengubahnya menjadi sekadar dana atau rumah aspirasi.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/0340067/aspirasi.dana.ke.rumah


W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...