Jumat, 19 Juni 2009

Energi Masa Depan yang Berkelanjutan untuk Asia Tenggara akan Menghemat Uang dan Energi

Singapura — Investasi di bidang energy terbarukan untuk masa depan akan menghemat waktu 10 kali dari biaya penggunaan bahan bakar konvensional (fosil). Hal tersebut akan menghemat US$180 milyar setiap tahun dan mengurangi emisi CO2 50% pada tahun 2030 menurut laporan bersama Greenpeace dan The European Renewable Energy Council (EREC) yang di terbitkan satu hari sebelum pertemuan menteri-menteri energi negara ASEAN

Sepuluh menteri energi yang tergabung dalam negara-negara ASEAN sedang mendiskusikan pengembangan energi masa depan di wilayah ASEAN, dengan solusi yang salah, memerlukan biaya mahal, dan sangat berbahaya yang menjadi ancaman bagi pemanasan global dan energi seperti dengan penggunaan pembangkit batubara dan tenaga nuklir.

Laporan Greenpeace dan EREC tersebut menunjukkan bagaimana perekonomian di ASEAN akan diuntungkan dari investasi energi bersih. Greenpeace menyerukan kepada pemerintah di negara-negara ASEAN untuk belajar menjadi pemimpin dan menggunakan energi terbarukan serta mentargetkan energi yang efisien dalam rangka penurunan skala emisi untuk menghindari bahaya pemanasan global.

Dari analisis Global pertama yaitu, ”Investasi masa depan - Rencana energi yang berkelanjutan untuk sektor energi yang melindungi iklim,” (1) menunjukan kekuatan argumentasi ekonomi untuk perubahan dari investasi global terhadap energi terbarukan ( tenaga Matahari, angin, air, panas bumi dan bioenergi), dalam waktu 23 tahun yang akan datang dan terjauhkan dari bahaya batubara dan nuklir. Laporan tersebut memberi rasionalisasi keuangan untuk “Energi [R]evolusi” Greenpeace,” (2) Sebuah konsep untuk mengurangi bahaya emisi global CO2 sebesar 50 % di tahun 2050 sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi global.

“laporan kami menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan efisiensi energi secara maksimal, akan membuat perekonomian mengarah ke energi terbarukan. Jika kita melihat energi fosil, saat energi terbarukan merupakan pilihan jangka panjang yang lebih baik. Kita secara pasti akan menghemat triliun dollar; sebesar US$180 milliar pertahunnya, untuk seterusnya dan pada kesempatan yg sama menghindari bencana besar dari dampak perubahan iklim.” ungkap Athena Ballesteros, Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Internasional.

“Asia tenggara adalah wilayah yang memegang peringkat ke tiga penyumbang emisi CO2 di Negara-negara berkembang, setelah Cina dan India. Dan Negara-negara seperti Indonesia bahkan tidak pernah memulai untuk memaksimalkan eksplorasi terhadap potensi energi terbarukan, apapun itu termasuk panas bumi atau tenaga angin, sinar matahari dan biomassa. Sangat masuk rasional bagi Negara kepulauan untuk mengembangkan system energi yang berskala kecil dengan energi terbarukan yang terdesentralisasi daripada melakukan kebohongan dalam promosi dengan menerapkan solusi yang membahayakan seperti nuklir atau teknologi batubara bersih.” Ujar Nur hidayati, Juru kampanye iklim dan energi,Greenpeace Asia Tenggara

Dengan beralih ke energi terbarukan, Asia Tenggara harus bersikap untuk menghemat sebesar US $2 triliun dari biaya energi fosil di 23 tahun yg akan datang dan mengurangi emisi CO2 sebanyak 22% dari tahun 2003. Meningkatkan efisiensi energi dan pengalihan suplai energi kearah energi yang terbarukan sebagai pilihan untuk mensuplai listrik dalam jangka panjang akan mengurangi biaya menjadi sepertiga proyeksi biaya normal.

Dalam Energy [R]evolution sekenario, kemampuan energi batubara akan turun dari 145,600 MW ke 137,900 MW. Batubara, faktanya, akan, mengalami penurunan dari 36,000 MW ke 22,000 MW di tahun 2030. 70% dari pembangkitan menurut skenario [R]evolusi energi akan berbasis pada energi terbarukan. Dan meninggalkan seluruh energi fosil. Kapasitas dari energi nuklir akan berhenti beroperasi pada tahun 2030 ketika pembangkit tenaga listrik yang lama di gantikan pembangkit tenaga listrik yang terbarukan

Analisis dari sisi keuangan ini menunjukkan bahwa merupakan pilihan yang ekonomis untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama batubara dan beralih pada energi terbarukan yang memiliki kestabilan harga paling tidak untuk 15 tahun. Mengacu pada kuatnya target dari energi terbarukan dan energi efisiensi di sektor energi juga memakan biaya tapi kita butuh itu terjadi sekarang

“Yang paling di butuhkan saat ini adalah untuk menentukan tindakan sekarang. ASEAN harus memiliki hokum iklim dan kebijakan energi. Keputusan di buat pada tahun yang akan datang, akan berlanjut pada tahun 2050. Hanya dengan mengambil energi terbarukan sebagai keputusan, Kita bisa menghindari terjadinya perubahan iklim yang terburuk” tegas Ballesteros.


Laporan yang terkait
Greenpeace Briefing Paper: Climate Change, Energy Security and a Sustainable Energy Future for ASEAN

source:http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/energi-masa-depan-yang-berkela

Perlu 50.000 Ha untuk Dukung Tepung Mocal

MAGELANG, RABU- Tahun ini Perum Perhutani menyediakan 50.000 hektar lahan di kawasan hutan produksi untuk ditanami singkong sebagai tanaman tumpang sari. Produksi singkong yang dihasilkan sepenuhnya akan digunakan untuk mendukung industri tepung modified cassava flour (mocal).

"Lahan seluas 50.000 hektar tersebut tersebar di seluruh kawasan hutan produksi milik Perhutani di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Madura," ujar Kepala Biro Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Perum Perhutani Zulfi R Pohan, saat ditemui di sela-sela acara Silaturahmi Pengembangan Tepung Mocal Berbasis Masyarakat di Pondok Pesantren Ushuluddin di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Rabu (21/5).

Dalam satu hektar lahan, nantinya akan ditanami 5.000 hingga 7.500 batang tanaman singkong. Bibit tanaman ini nantinya akan disediakan oleh Perhutani, diambilkan dari daerah-daerah sentra ketela pohon seperti Pati atau Sukabumi.

Produksi singkong, menurut Zufli, nantinya berkisar 20 hingga 25 ton per hektar. "Dari pasokan bahan baku tersebut, pada akhir tahun 2008 ini diperkirakan bisa diproduksi 12 juta ton tepung mocal," ujarnya.

Selain menyediakan lahan, Perhutani juga akan menyediakan mesin untuk memotong singkong menjadi irisan-irisan tipis atau chips. Chips inilah yang akan dikirim ke industri untuk diolah menjadi tepung mocal.

Aktivitas pemotongan singkong itu nantinya akan dijalankan dalam sebuah pabrik khusus. Direncanakan, dalam satu provinsi nantinya akan berdiri lima hingga enam pabrik.

"Pengelolaan dan kegiatan dalam pabrik nantinya akan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga masyarakat desa hutan (LMDH)," terangnya. Di seluruh Indonesia terdapat 5.594 LMDH.

Hingga tahun 2008, di Jawa Tengah sendiri, singkong sudah ditanam di 45.000 hektar lahan di kawasan hutan produksi di 30 kabupaten. Saat ini, produksi singkong dari kawasan hutan tersebut sudah mencapai 250.000 hingga 300.000 ton per hektar, papar Kepala Biro PHBM Perhutani Jawa Tengah Suwarno.

Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) M Taufik mengatakan, industri pengolahan tepung mocal sudah dimulai sejak tahun 2004. Awalnya, industri pertama didirikan di Lampung, pada tahun 2005 didirikan pula di Trenggalek, dan kini sudah tersebar semakin banyak di berbagai kota/kabupaten.

Ke depan, koperasi diharapkan mampu bekerjasama dengan Perhutani untuk mendirikan industri pemotongan singkong menjadi chips. Selanjutnya, dari kumpulan beberapa koperasi di satu kota atau kabupaten nantinya diharapkan juga mampu saling bekerjasama untuk mendirikan pabrik tepung mocal, paparnya.


source: http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/21/18440742/perlu.50.000.ha.untuk.dukung.tepung.mocal

Kamis, 18 Juni 2009

Tobat Mengembangkan Pupuk Kimia

Ini adalah kisah Zainal Sudjais, tokoh senior bidang perpupukan Indonesia, yang bertobat setelah lebih 20 tahun bergelut dengan pupuk kimia. Ia terjun ke dunia pupuk organik sebagai bentuk menebus kesalahannya yang turut andil merusak lahan pertanian Indonesia dan juga lingkungan hidup.

Zainal malang melintang di dunia pupuk kimia dengan menduduki berbagai jabatan direksi di perusahaan pupuk kimia besar. Karirnya dimulai dari Pupuk Kaltim selama 13 tahun. Kemudian di Asian ASEAN Fertilizer di Aceh 5,5 tahun. Kemudian di Pusri 4 tahun.

“Totalnya 22 tahun dan pensiun di tahun 2004,” katanya di Program SAGA KBR68H.

Tapi, kini dia berubah total. Ia berbalik arah dengan mengurus bisnis pupuk organik. Katanya, ini bentuk menebus kesalahannya yang turut andil merusak lahan pertanian Indonesia dan juga lingkungan hidup.

Sejak beberapa tahun di Pusri, ia mulai merasakan timbul kesadaran tersebut. Hal itu muncul setelah pria ini mempelajari dunia pertanian yang lebih luas, ternyata pupuk kimia menimbulkan masalah besar.

“Jadi, inilah saatnya saya menebus dosa karena membuat petani menjadi kecanduan pupuk kimia,” tutur Zainal.

Menurut Zainal, atas nama produksi, petani dimanjakan dengan pupuk kimia selama puluhan tahun. Awalnya, produksi memang melimpah, tapi tanpa sadar, tingkat kesuburan tanah kian merosot. Kalau sudah begini, dapat ditebak, kata Zainal, justru produksi bakal berkurang.

Kalaupun hasil beras petani stabil, berarti pupuk kimia yang ditebar harus lebih banyak. Padahal pupuk kimia itu mudah sekali terkena isu, terutama kelangkaan. Kalau itu terjadi, biasanya harga pupuk meroket, dan petani semakin susah.

“Selama puluhan tahun sejak revolusi hijau dicanangkan, kita terlalu asyik dengan pupuk sintetik atau kimia, dan lupa pada pupuk organik. Padahal masukan organik itu sangat dibutuhkan oleh tanah,” imbuhnya.

Di usianya yang menginjak kepala tujuh, Zainal Sudjais menghabiskan masa tuanya dengan menggaungkan pentingnya petani menggunakan pupuk organik. Sejak tiga tahun lalu, dia membangun pabrik kecil di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan untuk memproduksi bahan organik bagi petani. Setidaknya ada 11 macam produk yang diproduksi disana, antara lain adalah pupuk organik cair, pengendali hama organik, pupuk organik, pestisida organik dan dekomposer organik.

Dengan modal awal 200 juta rupiah, Ia mendirikan pabrik pupuk organik bernama Superfarm-Greenland Agrotech Industries. Sejumlah anak muda yang menekuni pengembangan pupuk organik digandengnya. Tak lupa, sang anak Zein Mawardi Arief yang telah 10 tahun menimba ilmu bisnis di Amerika Serikat, dipanggil pulang memimpin Superfarm.

Tidak terhenti disitu saja, Zainal pun mengajak teman sejawatnya di dunia perpupukan Indonesia untuk membuka mata. Dia berpendapat bahwa pupuk tak hanya soal produksi, tapi juga nasib tanah dan petani di masa mendatang.

“Saya ajak kepada seluruh kawan-kawan di industri pupuk di Indonesia, agar turut memikirkan bagaimana mensejahterakan petani dan membangun pertanian Indonesia,” ajaknya.

Ajakan tersebut tidak bertepuk sebelah tangan. Ada beberapa pebisnis pupuk kimia berhasil ditaklukkannya dan mulai mengkombinasikan produk pupuknya dengan menyediakan pupuk organik. Tantangan berikutnya justru menaklukkan petani yang tak terbiasa menggunakan pupuk organik.

“Menyadarkan petani adalah hal yang paling berat. Butuh penyuluhan ke masyarakat seperti yang dilakukan Bimas dan Insus di tahun 1960an saat mensosialisasikan pupuk kimia,” ujarnya.

Selain itu, sang anak Zein Mawardi Arief menyatakan masalah lain yang dihadapinya dalam mengembangkan pupuk organik adalah masalah pemasaran. Karena mereka harus bersaing dengan penyebaran pupuk anorganik atau pupuk kimia yang dibela pemerintah.

Namun, harusnya kegelisahan Zainal dan Arief sudah tertepis dengan mengutip ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan mendukung mengembangan pupuk organik. Dia mengatakan akan menyeimbangkan pupuk kimia dan organik bagi petani, demi lingkungan hidup. Bahkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, kata SBY sedang mengemas insentif bagi pengelola pupuk organik.

Terlepas dari masalah yang dihadapi tersebut, penerimaan masyarakat terhadap Superfarm ternyata baik-baik saja. Kelompok Tani Mekarsari di Desa Jati, Cipunagara, Subang, Jawa Barat adalah contoh penggemar berat produk organik Superfarm.

Lebih dari 70 petani di sana menggunakan produk Superfarm untuk menggarap 60-an hektar sawah. Ketua Kelompok tani Mekarsari Suta Suntana mengatakan sudah 3 tahun terakhir menggunakan pupuk organik cair, pengendali hama, dan dekomposer Superfarm.

“20 tahun saya menggunakan pupuk kimia. Saya beralih ke Superfarm karena melihat banyak program. Setelah diajari bagaimana membuat pupuk organik, Sejak 2005 sawah saya langsung diorganikan,” kata Suta.

source :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=530:tobat-mengembangkan-pupuk-kimia&catid=67:bussines&Itemid=192

Suta beruntung memakai produk organik Superfarm, karena kini ia merasakan nasi yang ditanaknya lebih enak, dan tidak cepat basi. Berasnya pun putih dan jarang kepatahan. “Saya nggak bisa lepas dari Superfarm,” paparnya.

Lahan Pertanian Kian Menyusut

Lahan pertanian di Indonesia semakin menyusut akibat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Kurun waktu 1993-2003 saja alih fungsi mencapai 100 ribu–110 ribu hektar per tahun, dan 30 ribu-40 ribu pertahun diantaranya adalah lahan sawah. Bila itu terus berlanjut, bisa mengakibatkan gangguan ketahanan pangan nasional.

Hilman Manan, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian (Deptan) mengatakan pihaknya mencoba terus mengejar perluasan lahan sawah baru. Tapi karena keterbatasan dana, pihaknya baru berhasil rata-rata 15 ribu-20 ribu hektar pertahun.

“Total tiga tahun terakhir saja baru mencetak sawah baru 74 ribu hektar. Itu akibat kondisi dana terbatas,” katanya kepada 89.2 FM Green Radio, Selasa (16/6).

Menurutnya perubahan alih fungsi lahan sawah paling banyak adalah menjadi permukiman dan kawasan industri. Biasanya keduanya hadir dipicu oleh pertumbuhan infrastruktur jalan, yang juga dibuat dengan alih fungsi sawah.

Dicontohkan seperti proyek pelebaran jalur pantai utara (pantura), membuat jalur Cikampek-Cirebon makin rapat dengan rumah makan dan permukiman. Selain itu bila ada pembangunan jalan tol, di sepanjang jalan akan berkembang kawasan industri, karena kemudahan akses.

“Semuanya itu memberi dampak berkurangnya lahan pertanian yang ada di sekitarnya,” ujarnya.

Perubahan-perubahan tersebut dikuatirkannya berdampak pada gangguan produksi pangan. Oleh karena itu, ia berpendapat Deptan berupaya melakukan penyeimbangan terhadap kekurangan lahan pertanian itu.

Hilman mengatakan, Deptan melakukan peningkatan produktivitas lahan perhektar dengan mengejar sarana produksi. Antara lain adalah benih unggul, ketersediaan pupuk dan pestisida, pengolahan tanah yang lebih baik, serta ketersediaan air yang cukup.

“Bagaimanapun peningkatan produktivitas ada batas atasnya. Kalau batas atas sudah tercapai, mau tidak mau harus mengejar mencetak lahan tanamnya,” imbuhnya.

Antisipasi agar lahan pertanian tidak terus berkurang dilakukan Deptan. Salah satunya melakukan kajian akademis pada 2006. Dari situ, tim kajian menyarankan harus ada undang-undang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Setelah diolah, di 2007 rancangan undang-undang (RUU) itu diajukan ke DPR RI dan menjadi hak inisiatif DPR. Saat ini, RUU tersebut dalam tahap pembahasan di Komisi IV.

“Semoga sebelum masa bakti mereka habis, pembahasannya bisa diselesaikan. Dan ini target juga dari semua anggota komisi tersebut. Ini salah satu cara menjaga dan melindungi lahan pertanian,” harapnya.

Hilman tampak bersyukur, karena sosialisasi tentang RUU itu mendapat respon positif di daerah-daerah. Menurutnya, dalam penyusunan tata ruang di kabupaten dan provinsi, pimpinan daerah dan anggota DPRD setempat sudah menyiapkan peraturan daerah (Perda) untuk menyambut kehadiran RUU tersebut.

“RUU di DPR Pusat saja belum selesai, tapi Perda yang disiapkan sudah mencapai tahap akhir,” katanya.

Dirinya optimis bahwa penegakan hukum dan ketaatan pada tata ruang yang sudah dibuat bisa meredam laju kehilangan lahan pertanian. Bagi Hilman, sepatutnya tidak mengabaikan kebutuhan pangan bila berbicara soal pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

“Kita harus mandiri dulu pangannya, baru negara ini bisa tenang. Bila ada jaminan ketersediaan pangan, baru kita bisa membangun,” tutupnya.

source: www.greeenradio.fm

Makna kepemimpinan

oleh : A. M. Lilik Agung
Trainer dan Pembicara Publik

Menjelajahi perkebunan di sepanjang Kalimantan Barat, mulai dari kabupaten Pontianak hingga Kabupaten Sintang sungguh memberi harapan. Benar, hutan di Kalimantan semakin meranggas. Namun, di sisi lain, di Kalimantan bertumbuh kencang perkebunan sawit dan karet yang memberi nilai ekonomi tidak kalah tinggi dibandingkan dengan hasil hutan. Bahkan kalau diolah lebih lanjut, sawit dan karet akan jauh bernilai ekonomi dan berdampak signifikan tidak saja pada perekonomian lokal, tetapi juga nasional.

Sebagai perusahaan pelat merah, PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII) mendapat mandat untuk mengelola perkebunan yang terbentang disepanjang Kalimantan. Dibentuk pada tanggal 11 Maret 1996, PTPN XIII dapat disebut bayi gemuk yang sarat beban.

Disebut bayi gemuk karena PTPN XIII merupakan hasil penggabungan dari delapan proyek pengembangan PTPN lainnya yang semuanya berlokasi di Kalimantan. Pantas dikatakan sarat beban lantaran penggabungan delapan proyek pengembangan PTPN menjadi satu, memerlukan kecakapan dan kecerdasan dari pemimpinnya. Sosok bernama Akmaluddin Hasibuan memperoleh mandat untuk mengelola PTPN XIII ini.

Saya pantas bersyukur karena hampir setahun memperoleh kesempatan berinteraksi dengan Akmaluddin Hasibuan untuk keperluan proses transformasi bisnis PTPN XIII dan menuliskannya menjadi buku.

Selama berinteraksi ini saya mendapat pelajaran penuh menyoal kepemimpinan. Tidak terbatas pada penuturan, tetapi lebih penting lagi adalah tindakan Akmaluddin Hasibuan ketika menjadi pemimpin tertinggi di PTPN XIII dan diteruskan pengabdiannya di PTPN III, Medan.

Akmaluddin Hasibuan menyebut cara kepemimpinan dengan nama "Marhamah." Sikap marhamah, kata Akmaluddin Hasibuan merupakan sikap saling menasihati dalam kasih sayang. Sikap marhamah apabila selalu dijalankan akan berpengaruh dan merasuk ke dalam setiap diri pribadi karyawan perusahaan.

Kelangkaan contoh

Untuk mempraktikkan sikap marhamah ini Akmaluddin Hasibuan mengembalikan kepada makna dan fungsi kepemimpinan. Kepemimpinan selalu bersandar kepada lima elemen pokok, yaitu: (1) Adanya pemimpin, (2) Adanya pengikut, (3) Terjadinya proses memengaruhi, (4) Kontekstual atau situasional, (5) Mencapai tujuan. Makna kepemimpinan ala Akmaluddin Hasibuan memang mudah ditemukan dalam buku-buku referensi. Namun, ketika menjadi praktik, tiba-tiba terjadi kelangkaan contoh perannya. Akmaluddin Hasibuan mengisi kelangkaan ini.

Makna pertama yaitu adanya pemimpin diartikan Akmaluddin Hasibuan, sebagai bentuk tanggung jawab seorang pemimpin. Ketika seseorang didaulat menjadi pemimpin maka dia akan bertanggung jawab untuk menetapkan arah, tata nilai, dan sasaran yang hendak dicapai organisasi.

Dalam menetapkan arah, tata nilai dan sasaran ini harus berimbang memperhatikan kepentingan para stakeholders. Wujud dari tanggung jawab yang lain adalah memastikan proses formulasi yang efektif dalam merumuskan strategi, sistem dan metode untuk mencapai sasaran organisasi. Tidak ketinggalan membangun intelektual kapital, memobilisasi serta memotivasi para konstituennya dan merangsang inovasi demi kelangsungan organisasi.

Untuk mengaplikasikan makna ini, ketika didaulat menjadi pemimpin tertinggi perusahaan Akmaluddin Hasibuan selalu mencanangkan proses transformasi bisnis. Apalagi dua perusahaan yang pernah dinahkodai -PTPN III dan PTPN XIII- merupakan perusahaan pelat merah yang dalam banyak kasus perlu mengubah seluruh pola pikir bisnisnya melalui program transformasi bisnis.

Makna kedua, adanya pengikut, tak salah merupakan wujud untuk menjalankan sikap marhamah. Pengikut sebagai pelaksana ide-ide besar pemimpin jelas akan menjadi ujung tombak keberhasilan organisasi. Hanya saja membentuk pengikut yang cakap dan 'loyal' diperlukan kecerdasan spiritual pemimpinnya. Akmaluddin Hasibuan memakai prinsip marhamah, yaitu memimpin anak buah melalui kasih.

Ketika saya sering bertandang ke kantor pusat PTPN XIII di Pontianak dan kantor cabang di Jakarta, saya merasakan sendiri aura marhamah ini. Cap melekat kepada banyak pemimpin perusahaan pelat merah yang feodal, minta dilayani ketimbang melayani dan intrik-intrik mencari cantolan politik nan telanjang, nyaris tidak saya temukan di PTPN XIII. Yang ada justru suasana egaliter dan sifat dinamis layaknya sebuah bisnis besar.

Makna ketiga, terjadinya proses memengaruhi yang tak lain makna paling primitif dari kepemimpinan. Disebut pemimpin apabila ia mampu memengaruhi para konstituennya. Ide-ide besar, langkah-langkah stategis, dan kemampuan untuk mencapai apa yang telah menjadi sasaran organisasi hanya akan terjadi apabila pemimpin memiliki pengaruh.

Menjadi pemimpin BUMN sebenarnya relatif mudah untuk mempraktikkan pengaruh ini. Apalagi idiologi paternalistik pada banyak BUMN masih bertahan dengan sempurna. Namun, Akmaluddin Hasibuan memiliki kiat sendiri untuk memperkuat pengaruhnya. Kiat yang sederhana; mengasah nilai-nilai kepemimpinan bernama integritas, kepercayaan, kesetaraan, dan keterbukaan.

Makna keempat, kontekstual atau situasional, berhubungan dengan kecakapan membaca perubahan lingkungan usaha. Agar sukses berselancar dengan gelombang perubahan ini, Akmaluddin Hasibuan melakukan dua hal pokok: (1) Proses rekayasa bisnis yaitu dengan menjalankan reposisi bisnis, desain ulang sistem bisnis dan strategi bisnis.

(2) Membangun budaya perusahaan melalui perubahan paradigma, implementasi tata nilai dan mengasah kompetensi seluruh karyawan. Berbasis pada dua hal ini, maka pemimpin menjalankan prinsip kepemimpinan kontekstual atau situasional dapat dipilih dengan elegan.

Makna kelima, mencapai tujuan. Inilah pertandingan akhir seseorang disebut pemimpin besar atau justru pecundang. Keempat makna kepemimpinan akhirnya bergaung menggema melewati batas-batas wilayah kekuasaannya apabila sang pemimpin berhasil dengan gemilang mencapai tujuan yang telah dicanangkan pada masa awal kepemimpinannya.

Pada diri Akmaluddin Hasibuan dengan dua kali menjadi CEO perusahaan (PTPN XIII dari 1998 - 2003 dan PTPN III dari 2003 - 2006), menunjukkan kedua perusahaan tersebut bertumbuh menjanjikan. Hal ini mengabarkan bahwa Akmaluddin Hasibuan sukses mencapai tujuan. Makna kepemimpinan dipraktikkan oleh Akmaluddin Hasibuan tidak sebatas retorika, tetapi menemukan rekam jejaknya di PTPN XIII dan PTPN III.

Source :http://web.bisnis.com/kolom/2id2221.html

Visionaris

oleh : Andrias Harefa
Penggagas Visi Indonesia 2045


Kita paham bahwa yang namanya pemimpin itu pastilah seorang visionaris. Ia menjadi visionaris karena memiliki ketidakpuasan mendalam mengenai realitas faktual masa kini, yang sekaligus dibarengi dengan suatu pandangan yang amat tajam mengenai kemungkinan menciptakan realitas baru pada masa depan, yang secara mendasar lebih baik, lewat agenda kerja tertentu.

Jika orang memiliki ketidakpuasan mendalam mengenai situasi dan kondisi saat ini, dan berharap akan datangnya kondisi yang lebih baik, tetapi tidak terdorong untuk melakukan apa pun, maka dia adalah orang biasa. Sebab setiap insan yang dianggap normal mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Dia bukan pemimpin. Yang justru penting adalah kemampuan melihat secara tajam tentang kemungkinan menciptakan situasi dan kondisi baru pada masa depan, yang lebih baik, lewat agenda kerja tertentu. Penglihatan yang tajam itu membuat orang disebut visioner, menjadi visionaris alias pemimpin.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pemimpin itu tidak boleh realistis. Data-data masa kini justru sangat tidak memuaskan dirinya. Fakta-fakta yang nyata di lapangan justru membuatnya sedih dan prihatin. Karena itu dia berbicara dan menawarkan sesuatu yang ideal, yang tidak realistis, tetapi yang sungguh pantas untuk diperjuangkan.

Tugas pemimpin sebagai visionaris adalah memformulasikan visi yang besar dan jelas agar memikat orang lain untuk mengikutinya secara sukarela, menjadi konstituen, menjadi pengikut, menjadi pendukung.

Dia harus bisa membuat visi yang diformulasikannya itu menjadi "milik bersama", milik sebanyak mungkin orang. Visi itu tidak cukup hanya menarik perhatian sekelompok orang, tetapi harus meyakinkan banyak orang.

Mengapa sebuah visi yang diformulasikan oleh pemimpin harus menjadi visi bersama? Sebab kita paham bahwa orang tidak bisa menjadi pemimpin yang lebih besar dari cakupan kepentingan yang dia formulasikan dalam visinya.

Jika visinya hanya mencakup kepentingan keluarga dan kerabat dekat, cakupannya akan sangat terbatas. Jika visinya menyangkut organisasi bisnis keluarga (privat), boleh jadi akan berbeda dengan visi organisasi bisnis milik publik.

Organisasi massa, organisasi politik, organisasi agama, dan organisasi sosial lainnya juga akan memiliki rumusan visi yang berbeda-beda pula. Pemimpin pada skala nasional, pemimpin sebuah negara-bangsa, sudah seharusnya kita harapkan memiliki visi yang mencakup kepentingan seluruh komponen dalam masyarakat bangsa tersebut.

Visi sang pemimpin juga harus menjadi "visi bersama", sebab untuk merealisasikan visi yang besar tidaklah mungkin mengandalkan dirinya atau kelompoknya sendiri. Jika masa depan yang ingin dicapai itu bisa dicapai tanpa dukungan banyak orang, maka visi itu pastilah bukan visi dalam artinya yang sesungguhnya. Di sinilah letak hubungan antara pemimpin dan konstituen, pengikut, pendukungnya: keduanya saling membutuhkan, saling merindukan, dan saling bergantung satu sama lain.

Namun, prakarsa dan tanggung jawab adalah pertama-tama urusan pemimpin. Pemimpin mengambil prakarsa dan menerima tanggung jawab untuk memformulasikan visinya dan "menjualnya" kepada orang banyak. Lalu konstituen yang melihat berbagai kepentingannya di dalam visi itu, yang yakin akan kesungguhan sang pemimpin, akan mendekat untuk menyatakan dukungannya.

Kalau ada kritik yang perlu diajukan kepada para pemimpin di negeri ini, kritik itu mungkin adalah soal tidak jelasnya visi dan agenda aksi yang menyertainya. Sebagai akibatnya, pihak yang diharapkan menjadi konstituen kemudian terombang-ambing tak karuan karena pemimpin yang satu dengan pemimpin yang lain tak jelas benar perbedaannya. Dalam konteks politik, kondisi semacam inilah yang kemudian menyuburkan apa yang disebut pakar politik sebagai politik dagang sapi, politik uang, dan yang semacam itu.

Mungkin pihak-pihak yang berhasrat besar menjadi pemimpin, baik dalam skala mikro di perusahaan (privat), terlebih lagi dalam skala makro di pemerintahan (publik), perlu kita ingatkan bahwa visi merupakan faktor pemicu (precipitating factor) yang amat vital.

Kekuatan visi

Visi menggerakkan cipta, rasa, karsa, dan karya. Visi memberi inspirasi, menggugah emosi, membangkitkan antusiasme, dan menyuntikkan motivasi. Visi menimbulkan sense of direction, menunjukkan arah yang perlu ditempuh.

Visi memberikan sense of urgency, kemampuan untuk membedakan antara yang penting dan genting (mendesak), dan yang penting tetapi belum genting. Visi memberikan fokus untuk melakukan segmentasi, targeting, dan positioning. Visi bahkan memberikan sense of identity, suatu rasa identitas kolektif yang dapat menimbulkan rasa bangga.

Secara negatif bisa dikatakan bahwa tidak tampaknya sense of direction, sense of urgency, dan sense of identity, disebabkan terutama oleh kegagalan pemimpin sebagai visionaris.

Itu pertanda pemimpin tidak bekerja, tidak melaksanakan apa yang menjadi inti dari pekerjaannya. Tanpa visi yang besar dan jelas, inspirasi akan surut, antusiasme akan sayup, dan motivasi akan redup.

Dalam konteks bisnis, beberapa contoh sederhana mungkin perlu. Visi Edwin Land ketika membuat kamera langsung jadi (Polaroid) menginspirasi pasar pada zamannya. Visi Akio Morita membuat radio-tape ukuran portable menggairahkan orang-orang yang membutuhkan produk tersebut.

Visi Bill "Microsoft" Gates untuk menghadirkan komputer di setiap meja dalam setiap rumah, pernah menjadi pemicu inspirasi yang luar biasa dalam industri terkait. Visi Michael Dell untuk menjual komputer lewat sistem antar langsung (direct). Visi Tirto Oetomo dengan Aqua menginspirasi air mineral dalam kemasan.

Jadi, untuk masa depan negeri tercinta ini, kita bisa berseru: wahai pemimpin, bekerjalah! Berikan kami sebuah visi besar yang menggugah hati, dan agenda kerja yang jelas, agar dukungan kami tak berpaling darimu.

source :http://web.bisnis.com/kolom/2id2270.html

Selasa, 16 Juni 2009

"Argumentum ad Populum"

Oleh: Ignas Kleden


Menghadapi kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sekarang ini, kita bertanya: apa gerangan yang hendak dicapai masing-masing tim sukses untuk tokoh yang mereka jagokan?

Jawabannya, agar tokoh yang dipromosikan dalam setiap kampanye berkenan di hati rakyat. Setelah itu, perkenanan rakyat akan dinyatakan melalui suara yang diberikan kepada tokoh bersangkutan dalam pemilihan umum nanti. Dengan kata lain, yang menjadi kecemasan tim sukses adalah kalau tokohnya tidak berkenan.

Akan tetapi, di situlah soalnya, apakah kita memerlukan pemimpin yang berkenan dan menghindari yang tidak berkenan, ataukah kita memerlukan pemimpin yang sanggup bertindak benar dan menghindari pemimpin yang bertindak tidak benar? Mungkin para pemilih dan pemberi suara perlu berpikir ulang tentang siapa yang hendak mereka dapatkan sebagai pemimpin.

Sebagai perbandingan, coba bayangkan, Anda datang ke sebuah hotel, resepsionis menerima dengan senyum yang ramah dan murah meriah, tetapi ketika Anda memerlukan sesuatu, urusannya amat lambat dan bertele-tele dan Anda tidak mendapat pelayanan yang Anda perlukan. Sebaliknya, ada pula hotel dengan resepsionis yang serba lugas dan tampang sedikit galak, tetapi melayani semua permintaan Anda dengan cepat dan memuaskan.

Anda harus berpikir, ke hotel manakah sebaiknya Anda pergi untuk menginap: ke tempat yang ramah dan kelihatan menyenangkan, tetapi dengan pelayanan tidak efektif atau ke hotel lain dengan suasana yang serba lugas, tetapi di sana keperluan Anda dilayani segera.

Hal yang lebih kurang mirip akan Anda hadapi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan menjadi pemimpin nasional Indonesia selama lima tahun mendatang. Jelas, tiap tim sukses akan mereka-reka dan menciptakan tampilan setiap tokoh mereka semenarik mungkin, entah dengan foto yang memikat, janji yang melambung, atau dengan acara-acara hiburan berupa nyanyian dan tarian, pantun, sajak, atau entertainment lain.

Anda jatuh hati dan mulai berpikir untuk memberikan suara kepada tokoh bersangkutan karena dia berkenan dan menarik hati Anda. Namun, sebelum terlambat, pikirkan sejenak, jangan-jangan tokoh simpatik ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dan harapan Anda jika sudah memerintah. Karena itu, daripada terlena mendengar kata-kata yang menarik dan terpukau oleh tampilan yang memesona, cobalah Anda selidiki apakah tokoh bersangkutan mengajukan program politiknya yang bisa dipegang. Anda harus bertanya apakah tokoh bersangkutan sanggup dan mau melakukan suatu program politik yang konkret untuk mewujudkan apa yang Anda impikan sebagai terwujudnya perbaikan nasib Anda sebagai warga negara.

Komitmen pemimpin

Seorang pemimpin nasional, yaitu dia yang memegang tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, semestinya seseorang yang mengetahui dengan jelas apa yang akan dilakukannya, mempunyai komitmen untuk melaksanakan apa yang diketahuinya, dan berani menanggung risiko dari keputusan dan tindakan politiknya. Kita tidak memilih pemimpin karena hati kita terharu dan perasaan kita terpesona, tetapi karena ada keyakinan yang cukup berdasar bahwa pemimpin yang dipilih akan memperbaiki nasib dan perikehidupan rakyatnya karena dia mempunyai pengetahuan, kesanggupan, dan kemauan untuk melaksanakannya.

Dalam pengantar filsafat, dibedakan beberapa jenis logika. Kalau Anda bertanya kepada seorang anggota DPR tentang apa yang disumbangkannya kepada perbaikan nasib rakyat yang konon diwakilinya, dan Anda mendapat serangan balik terhadap diri Anda, maka anggota DPR kita melakukan suatu argumentum ad hominem (misalnya dengan mengatakan ”saudara mengerti apa tentang urusan DPR, ini soal yang penuh komplikasi yang tidak saudara pahami”). Sebaliknya, kalau dia tidak menjawab pertanyaan Anda secara langsung, tetapi menceritakan kehebatan riwayat dirinya dan menonjolkan pribadinya, maka di sana dia melakukan suatu argumentum ad populum (misalnya dengan mengatakan bahwa dia sudah mengalami tiga masa kerja di DPR dan semua orang juga tahu siapa dirinya).

Seseorang bisa menyerang lawan bicaranya secara pribadi atau dapat pula berusaha menarik hatinya secara pribadi. Akan tetapi, dengan itu kita belum mengetahui apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat untuk para konstituennya. Pada titik itu dia tidak memberikan argumentum ad rem, yaitu jawaban atau keterangan tentang hal yang ditanyakan.

Menyimak tokoh

Dalam masa kampanye sekarang ini, rakyat pemilih sebaiknya menyimak apakah tokoh-tokoh yang mencalonkan dirinya sanggup dan bersedia memberikan jawaban mengenai soal-soal penting yang ditanyakan (yaitu memberikan argumentum ad rem), atau hanya menyerang pesaingnya secara pribadi dan juga menyerang pihak yang meragukan kemampuannya (yaitu melakukan argumentum ad hominem), atau juga hanya berusaha menarik simpati publik kepada dirinya dengan membuat pendengarnya kagum dan terpesona, tanpa menjawab berbagai soal yang ditanyakan mengenai tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin nasional tertinggi (yaitu hanya memberikan argumentum ad populum).

Pada titik ini para pemilih sebaiknya diingatkan bahwa suara yang mereka berikan kepada seorang calon pemimpin nasional bakal menentukan keadaan negara dan bangsa ini untuk masa lima tahun ke depan. Juga bahwa suara yang diberikan akan menentukan juga nasib mereka sendiri sebagai warga negara, apakah hak-hak mereka dipenuhi, perlindungan terhadap mereka dijamin, serta kebutuhan dan harapan mereka bakal dipenuhi.

Choose the right path, not the easy path (pilihlah jalan yang benar, bukan jalan yang gampang), kata Presiden Obama dalam pidatonya di Kairo pada 4 Juni 2009. Kita juga sebaiknya memilih pemimpin yang benar dan bukan sekadar pemimpin yang berkenan di hati.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04453785/argumentum.ad.populum

Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokr

Sosialisme ala Amerika

Oleh: Joseph E. Stiglitz


Di tengah-tengah ramainya pembicaraan mengenai "tunas-tunas hijau" pulihnya ekonomi, perbankan Amerika Serikat terus berupaya mementahkan upaya untuk meregulasinya. Sementara para politikus berbicara mengenai komitmen mereka untuk mereformasi regulasi guna mencegah berulangnya krisis, inilah wilayah tempat perincian regulasi itu menjadi perintang utama--dan perbankan Amerika akan mengerahkan segala sisa tenaganya yang masih ada untuk memastikan bahwa ia punya ruang yang cukup besar untuk berbuat seperti di masa lalu.

Sistem yang lama menguntungkan bagi perbankan Amerika (jika bukan bagi para pemegang sahamnya), jadi mengapa mereka harus menyerah kepada perubahan? Sesungguhnya upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan mereka tidak banyak menyinggung sistem keuangan pascakrisis macam apa yang kita kehendaki sehingga akhirnya hanya akan menghasilkan sistem perbankan yang kurang bersaing dan bank-bank besar, yang katanya terlalu besar untuk jatuh bangkrut, bahkan tumbuh semakin besar.

Sudah lama diakui bahwa bank-bank Amerika yang terlalu besar untuk jatuh bangkrut itu juga terlalu besar untuk dikelola dengan baik. Itulah sebabnya mengapa kinerja beberapa di antara bank-bank itu ternyata sangat buruk dan mengecewakan. Ketika mereka ambruk, pemerintah merekayasa restrukturisasi keuangan dan memberikan deposit insurance, seraya menguasai sebagian sahamnya di masa depan. Para pejabat pemerintah tahu bahwa, jika mereka menunggu terlalu lama, bank-bank hantu atau nyaris hantu itu--yang tidak memiliki net worth, tapi diperlakukan seolah-olah sebagai lembaga yang viable--bakal "berjudi untuk bangkit kembali". Jika mereka berjudi dengan taruhan yang cukup besar dan menang, mereka bisa melenggang dengan hasil taruhannya; jika mereka gagal, pemerintahlah yang menanggung kerugiannya.

Ini bukan cuma teori, ia merupakan pelajaran yang kita petik, dengan ongkos yang mahal, ketika terjadinya krisis Savings & Loan pada 1980-an. Ketika anjungan tunai mandiri mengatakan "dana tidak cukup", pemerintah tidak ingin ini berarti bahwa bank, bukan rekening Anda, yang kehabisan dana. Karena itu, ia campur tangan sebelum peti uang tersebut kosong sama sekali. Dalam suatu restrukturisasi keuangan, pemegang saham biasanya yang tersapu bersih, dan pemegang obligasi menjadi pemegang saham yang baru. Kadang-kadang pemerintah harus menyediakan tambahan dana atau investor baru harus bersedia mengambil alih bank yang bangkrut itu.

Namun, pemerintahan Obama telah memperkenalkan konsep yang baru: terlalu besar untuk direstrukturisasi secara finansial. Pemerintahan Obama berargumentasi bahwa semuanya bakal berantakan jika kita mencoba bermain dengan aturan yang biasa dengan bank-bank yang besar ini. Pasar bakal panik. Karena itu, kita tidak hanya tak dapat menyentuh pemegang obligasi, kita juga tidak bisa bahkan menyentuh pemegang saham--walaupun sebagian besar dari nilai saham yang ada itu cuma mencerminkan taruhan yang diletakkan pada bailout pemerintah.

Saya kira penilaian seperti ini keliru. Saya kira pemerintahan Obama telah tunduk kepada tekanan politik dan ketakutan yang dibesar-besarkan bank-bank tersebut. Akibatnya, pemerintahan Obama telah salah mencampuradukkan bailout para bankir dan para pemegang sahamnya dengan bailout bank itu sendiri.

Restrukturisasi memberikan kesempatan kepada bank memulai yang baru lagi: investor baru yang tertarik (baik sebagai pemegang saham maupun obligasi) akan menaruh kepercayaan yang lebih besar, bank-bank lainnya bakal lebih bersedia memberikan pinjaman kepada mereka, dan mereka bakal lebih bersedia memberikan pinjaman kepada pihak-pihak lainnya. Para pemegang obligasi bakal menarik keuntungan dari restrukturisasi yang tertib. Jika nilai aset itu benar-benar lebih besar daripada yang diyakini pasar (dan para analisis), mereka akhirnya bakal memetik keuntungan.

Tapi yang jelas adalah bahwa ongkos yang harus dibayar untuk strategi Obama pada saat ini dan di masa depan itu sangat tinggi--dan sejauh ini ia belum berhasil mencapai tujuannya yang terbatas dalam mengucurkan kembali pinjaman. Para pemegang saham terpaksa membayar triliunan dolar, dan telah memberi jaminan triliunan dolar lagi--utang yang bakal jatuh tempo di masa datang.

Mengubah aturan main ekonomi pasar--dengan cara yang menguntungkan mereka yang telah menimbulkan begitu banyak kepedihan kepada ekonomi global--lebih buruk daripada ongkos yang harus ditanggung secara finansial. Sebagian besar rakyat Amerika memandangnya sangat tidak adil, terutama setelah mereka menyaksikan bank-bank itu mengalihkan triliunan dolar yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali pemberian pinjaman kepada pembayaran bonus dan dividen yang berlebihan. Merobek kontrak sosial itu merupakan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan dengan begitu mudah.

Tapi bentuk baru kapitalisme ersatz ini, ketika kerugian disosialisasi dan laba diprivatisasi, pasti mengalami kegagalan. Arti insentif diputarbalikkan. Tidak ada disiplin pasar. Bank yang terlalu besar untuk direstrukturisasi itu tahu bahwa mereka bisa berjudi dengan bebas--dan dengan tersedianya dana dari Federal Reserve dengan suku bunga yang nyaris nol--tersedia cukup dana untuk berbuat demikian.

Ada yang menamakan rezim ekonomi yang baru ini sebagai "sosialisme khas Amerika". Tapi sosialisme itu menyangkut rakyat banyak. Sebaliknya pemerintah Amerika tidak banyak membantu jutaan rakyatnya yang kehilangan rumah tempat mereka berteduh. Buruh yang kehilangan pekerjaan cuma menerima tunjangan pengangguran terbatas selama 39 minggu, dan kemudian dibiarkan mencari nafkah sendiri. Dan ketika mereka kehilangan pekerjaan, mereka juga kehilangan asuransi kesehatannya.

Amerika telah memperluas jaringan pengaman korporat dengan cara yang tak pernah dilakukannya sebelumnya, dari bank umum sampai bank investasi, lalu industri asuransi, dan sekarang industri otomotif, tanpa tanda-tanda di mana semua ini akan berakhir. Sebenarnya ini bukan sosialisme, melainkan perpanjangan dari corporate welfarism yang sudah berlangsung lama. Mereka yang kaya dan kuat berpaling kepada pemerintah untuk membantu mereka kapan saja dapat mereka lakukan, sementara mereka yang miskin tidak memperoleh perlindungan sosial yang memadai.

Kita perlu memecah bank-terlalu-besar-untuk-jatuh-bangkrut itu; tidak ada bukti bahwa raksasa-raksasa ini membawa manfaat setara dengan ongkos yang mereka bebankan kepada masyarakat. Jika kita tidak bisa memecah mereka, kita harus membatasi ruang gerak mereka. Mereka tidak boleh dibiarkan berbuat seperti dulu lagi--berjudi atas kerugian orang lain.

Timbul masalah lainnya dengan bank-bank yang terlalu besar untuk bangkrut dan terlalu besar untuk direstrukturisasi ini: mereka juga terlalu kuat secara politis. Lobi yang mereka lakukan telah berhasil, pertama mementahkan regulasi, dan kemudian memaksa pembayar pajak menanggung ongkos membersihkan puing-puing yang mereka tinggalkan. Mereka berharap bakal berhasil lagi bebas berbuat semau mereka, tanpa mempedulikan risiko yang mereka timpakan kepada pembayar pajak dan perekonomian. Kita tidak boleh membiarkan ini terjadi.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/15/Opini/krn.20090615.16

Joseph E. Stiglitz
Guru Besar Ekonomi pada Columbia University, Ketua Komisi Ahli yang ditunjuk Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengupayakan reformasi sistem moneter dan keuangan internasional

Committee on Agriculture

Committee on Agriculture

Senin, 08 Juni 2009

Mengukur kinerja tanggung jawab sosial perusahaan

Oleh: Juniati Gunawan

Hangatnya pembicaraan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan corporate social responsibility (CSR) di kalangan dunia usaha mau tidak mau merambat pada dunia akademis. Topik CSR sudah mulai diakomodasikan pada beberapa mata ajaran di kalangan perguruan tinggi.
Hasilnya, tak sedikit para mahasiswa berlomba membuat karya akhir atau skripsi dengan topik CSR. Jawaban paling sederhana dan jujur dari mereka adalah karena topik ini sedang ngetren, atau memang topik ini yang diterima dibandingkan dengan topik lain yang diajukan.

Ironisnya, kebanyakan mahasiswa kecewa saat mendapati bahwa dosen pembimbingnya ternyata tidak menguasai topik tersebut. Tentu bukan sepenuhnya kesalahan dosen bila mereka dengan jujur mengatakan tidak menguasai masalah CSR, apalagi membuat suatu kajian akademis karena mereka memang belum pernah mempelajarinya. Belum ada mata kuliah ini pada saat kita-kita, para dosen dulu kuliah.

Perlu disadari bahwa begitu banyak variabel dan lintas ilmu yang terkait dengan masalah CSR. Perubahan kondisi sosial yang dinamis tidak dapat dijadikan suatu hitungan matematis yang sederhana. Salah satunya adalah bagaimana mengukur kinerja CSR.

Saat ini, cara untuk mengukur kinerja CSR adalah melalui laporan kegiatannya, yakni dengan metode content analysis. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif sehingga dapat diolah dalam perhitungan statistik.

Artinya, total angka yang didapat dari proses content analysis ini menggambarkan banyaknya pengungkapan yang diinformasikan dalam laporan tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah informasi CSR yang diungkapkan bukan jaminan informasi yang menggambarkan semua kegiatan CSR yang telah dilakukan. Ada gap yang mungkin terjadi.

Bisa saja informasi CSR yang diungkapkan hanya sepersekian persen dari semua kegiatan CSR yang dilakukan. Sebaliknya, mungkin informasi yang diungkapkan melebihi kegiatan yang dilakukan. Belum lagi sifat laporan yang berbeda. Misalnya, laporan tahunan perusahaan yang sering dipakai menjadi dasar untuk pengukuran kinerja CSR.

Dalam laporan tahunan, terlihat bahwa porsi pengungkapan informasi CSR sangat terbatas dibandingkan dengan laporan lainnya, misalnya laporan keberlanjutan (sustainability report). Namun karena jumlah laporan semacam ini masih sedikit, maka untuk tujuan penelitian, laporan tahunan masih menjadi primadona.

Kembali ke proses content analysis, pengukuran kinerja CSR yang dilakukan melalui laporan tahunan memerlukan acuan informasi (information guideline).

Acuan informasi laporan CSR yang saat ini mendominasi adalah sustainability reporting guidelines (SRG), yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI), walaupun ada acuan lain yang dikembangkan oleh beberapa akademisi melalui kajian literatur.

Dalam SRG, terdapat 79 item yang tersebar pada enam indikator kinerja. Dengan SRG inilah pengungkapan informasi CSR pada laporan tahunan perusahaan diukur melalui pemberian skor.

Cara yang paling sederhana dalam memberikan skor adalah mencantumkan angka '1' pada item di SRG untuk informasi yang diungkapkan. Atau, memberikan skor '0' untuk informasi yang tidak diungkapkan.

Cara pemberian skor ini dikenal dengan dichotomous (angka 1 untuk menandai 'ya' dan 0 untuk 'tidak'), walaupun ada cara lain pemberian skor yang lebih kompleks. Dengan menjumlahkan semua angka 1, maka didapatkan jumlah angka yang merupakan total informasi CSR yang dilaporkan pada laporan tahunan.

Setelah total angka diperoleh, variabel lain dapat ditambahkan. Beberapa variabel yang cukup sering ditemukan positif berhubungan dengan banyaknya informasi CSR dalam laporan tahunan adalah total aset, total penjualan, profitabilitas, kapitalisasi, return on asset (RoA), return on equity (RoE), earning pershare (EPS), serta tipe dan usia perusahaan.

Di sinilah uji statistik berperan untuk melihat apakah informasi CSR yang ada dalam laporan tahunan mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tersebut. Atau, apakah variabel ini memengaruhi banyaknya informasi CSR yang diungkapkan. Atau, apakah sebuah perusahaan yang mempunyai besaran aset lebih tinggi akan memberikan informasi CSR yang lebih banyak.

Lalu, apakah variabel yang sudah diuji itu bisa disimpulkan menjadi variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja CSR perusahaan? Mengacu pada penjelasan sebelumnya, maka pertanyaan ini seharusnya dijawab 'tidak', karena pengukuran kinerja CSR yang dilakukan melalui content analysis masih menggunakan informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan.

Belum lagi masalah subjectivity yang menjadi kelemahan proses scoring dalam content analysis. Untuk itu, kita harus mendapatkan sebuah laporan CSR yang mempunyai gap seminimal mungkin dengan kinerja nyata CSR, sehingga pengukuran melalui laporan tersebut dapat menggambarkan kegiatan CSR yang mendekati sesungguhnya.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Juniati Gunawan
Dosen Pascasarjana Magister Manajemen-CSR Universitas Trisakti

Serius pada Nilai Tambah Produk Pertanian

Oleh: Bustanul Arifin


Sampai menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla, persoalan klasik tentang rendahnya nilai tambah produk pertanian Indonesia belum juga dapat diselesaikan. Buruknya kinerja pengembangan (dan keberlanjutan) industri hilir minyak sawit masih akan berakibat pada kontroversi pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan subsidi minyak goreng.

Pengembangan industri hilir margarin, kosmetik, dan lainnya akan mendongkrak harga beli tandan buah segar yang dinikmati petani, apalagi di tengah ”membaiknya” harga CPO dunia saat ini. Buruknya kinerja industri hilir berbahan baku karet alam menyebabkan nilai tambah yang diperoleh dari industri di sektor ini, seperti industri sarung tangan untuk peralatan kedokteran, akan memperoleh kemampuan mendongkrak kinerja sektor agroindustri dan bahkan pertanian secara umum.

Lemahnya pengembangan industri hilir berbahan baku kakao menyebabkan industri hilir domestik menjadi kekurangan bahan baku. Bayangkan saja, negara-negara di Eropa, seperti Swiss, Perancis, dan Belanda, yang tidak memiliki kebun kakao, ternyata telah cukup lama menjadi ”penguasa” pasar cokelat di tingkat global.

Entah mengapa, para perumus kebijakan di Indonesia tidak terlalu peduli terhadap strategi peningkatan nilai tambah produk pertanian meski hal itu sangat bermanfaat bagi perekonomian. Kampanye calon presiden tampaknya tak akan menyentuh substansi persoalan betapa rapuh dan buruknya peningkatan nilai tambah produk pertanian, yang memang bervisi jangka panjang, di luar tradisi lima tahunan administrasi pemerintahan.

Jika toh sistem administrasi mengadopsinya menjadi suatu kebijakan nasional, hal itu hanya menjadi salah satu agenda kecil dalam suatu direktorat jenderal, bukan agenda besar suatu kementerian, apalagi bagi presiden-wakil presiden.

Di dalam literatur, strategi peningkatan nilai tambah produk pertanian sangat berhubungan dengan manajemen kebijakan sektor hulu pertanian serta manajemen kebijakan sektor hilir itu sendiri. Sementara kebijakan sektor hilir juga berhubungan dengan investasi, pemberdayaan usaha, termasuk dukungan pendanaan modal kerja.

Telah cukup banyak studi yang mengidentifikasi beberapa determinan investasi di sektor hilir, seperti kepastian hukum, iklim usaha, perpajakan, dan kepabeanan, dan bahkan skema desentralisasi atau otonomi daerah sekarang ini (lihat Arifin, 2005). Langkah yang harus diambil pada sektor hulu ini memerlukan dukungan dari beberapa sektor dan tingkat manajemen birokrasi pemerintahan, pusat sampai daerah.

Di sektor hulu, determinan lemahnya manajemen kebijakan terlihat dari jumlah dan kontinuitas bahan baku industri pertanian yang kian tidak menentu. Misalnya, buruknya teknik budidaya, pemeliharaan tanaman, teknik panen dan penanganan pascapanen, hingga lemahnya strategi efisiensi usaha dan manajemen produksi.

Kisah industri pengolah biji kakao yang semula 11 kini hanya 3 buah, atau industri biofuel dari 21 kini hanya 4 buah, adalah contoh dari buruknya manajemen kebijakan di sektor hulu. Peningkatan nilai tambah produk pertanian hanya menjadi angan-angan jika pasokan bahan baku—dalam jumlah dan kontinuitas suplai produk pertanian—tidak direncanakan dengan baik.

Data potensi sektor hulu pertanian Indonesia rasanya tidak perlu diuraikan lagi. Masyarakat paham bahwa Indonesia adalah produsen CPO nomor satu di dunia, produsen kakao nomor tiga di dunia, produsen kopi nomor empat di dunia, dan sebagainya.

Produksi CPO 18,6 juta ton itu tidak berdampak banyak bagi pembangunan dan kesejahteraan jika nilai tambah produk hilir lebih dinikmati Malaysia.

Pelajaran berharga dari kakao

Produksi kakao Indonesia sekitar 500.000 ton tahun lalu, masih di bawah produksi Pantai Gading dan Ghana. Saat puncak krisis ekonomi, kakao pernah jadi salah satu tumpuan ekonomi rakyat di Sulawesi. Produksi kakao Indonesia meningkat pesat, terutama era Proyek Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor dekade 1980-an.

Saat ini, petani kakao Indonesia ada 1,4 juta rumah tangga, berskala kecil, sekitar 2 hektar, walaupun di luar Jawa. Rendahnya pasokan biji kakao kepada industri kakao domestik merupakan kombinasi dari faktor-faktor berikut: (1) banyak tanaman sudah tua; (2) serangan hama dan penyakit; (3) pengelolaan sumber daya lahan tidak tepat; (4) penurunan produktivitas; (5) rendahnya kualitas biji kakao, dan sebagainya.

Indonesia tidak boleh menganggap enteng karena hancurnya industri kakao di Brasil dan Malaysia menjadi pelajaran berharga. Kakao Brasil hancur karena ”Witches Broom”, jamur patogen ganas akhir 1980-an. Kakao Malaysia nyaris habis karena hama penggerek buah kakao, serangga kecil perusak jaringan buah.

Di Indonesia, dijumpai berbagai hama dan penyakit, terutama karena pohon kakao berusia tua dan sistem manajemen usaha tani yang kurang memadai. Selain penggerek buah kakao, petani kakao di Sulawesi juga dihantui jamur perusak pembuluh batang atau vascular-streak dieback (VSD) yang mematikan.

Maksudnya, tanpa perhatian berbagai pihak, kejadian di Brasil dan Malaysia dapat saja menimpa Indonesia. Untuk itu, diperlukan intervensi dari pemerintah, partisipasi swasta, dan kepedulian masyarakat madani.

Kemampuan, kapasitas, dan pengembangan teknologi baru pada tingkat lembaga penelitian cukup maju. Peneliti di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur, mampu mengembangkan teknologi kultur jaringan somatic embryiogenesis (SE) dengan varietas pohon yang dikehendaki.

Varietas jenis ini memiliki produktivitas lebih tinggi karena batang kakao mudah terkena sinar matahari langsung. Varietas ini merupakan salah satu pilihan ideal untuk peremajaan kakao Sulawesi. Di samping produktivitas yang tinggi, varietas ini juga tahan hama dan penyakit.

Singkatnya, persoalan bukan pada kemampuan para peneliti dan petani, tetapi terletak pada manajemen birokrasi dan kapasitas administrasi pemerintahan di pusat dan di daerah untuk all out meningkatkan nilai tambah produk pertanian.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/03001326/serius.pada.nilai.tamb

Indonesia.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef; Visiting

Minggu, 07 Juni 2009

Arti Ekonomi Kerakyatan

Oleh: Wahyu Prasetyawan

Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden. Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan?

Pertama-tama dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut? Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan memberikan nama broad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.

Pro-poor growth sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UKM.

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan 2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan. Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk dipertanyakan.

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan? Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang dikenal adalah pro-poor growth. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/04/Opini/krn.20090604.16

Wahyu Prasetyawan
PENELITI SENIOR LEMBAGA SURVEI INDONESIA, DOKTOR EKONOMI-POLITIK LULUSAN UNIVERSITAS KYOTO, JEPANG

Ekonomi Terintegrasi dan Visi Capres- Cawapres

Oleh: Firmanzah, Phd

”The US maintains agriculture subsidies greater exceeding the total income of Sub-Saharan Africa.How can they compete?” (Stiglitz,2005)


PERTANYAAN tersebut dilontarkan oleh ekonom Amerika Serikat (AS) Joseph E Stiglitz pada kuliah umum di Arthur Levitt Public Affairs Center dan menjadi sangat relevan dalam ekonomi global yang terintegrasi.

Implisit, Stiglitz ingin menunjukkan bahwa kebijakan negara-negara di kawasan Sub- Sahara Afrika sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil Pemerintah AS.Ekonomi global telah terkait satu dengan yang lain (interconnectivity). Praktis, tidak ada kebijakan ekonomi nasional suatu negara disusun tanpa mempertimbangkan kebijakan yang sedang diambil oleh negara lain.Indonesia pun mengalami hal yang sama.

Premis dasar dalam ekonomi terintegrasi saat ini adalah keterkaitan. Stimulus untuk meningkatkan daya saing suatu negara akan segera direspons oleh negara lain yang merasa dirugikan. Bahkan dalam game-theory, kebijakan ekonomi suatu negara akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang akan dibuat oleh negara pesaing utamanya.

Artinya, dalam penyusunan kebijakan ekonomi, suatu negara dituntut tidak hanya inward-looking, melainkan juga outward-looking. Analisis tren ekonomi regional dan global dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kebijakan yang akan diambil oleh negara lain, kemudian menentukan bagaimana kita meresponsnya.

Kesalahan membaca tren ini dapat berakibat fatal.Apalagi ekspor nonmigas Indonesia menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Meskipun diperkirakan turun pada 2009, tahun lalu nilai ekspor nonmigas mencapai USD107,8 miliar atau tumbuh 17,16%.

Kegagalan dalam mengantisipasi kebijakan stimulus ekspor negara pesaing akan menurunkan daya saing produk ekspor nasional.Tinggi rendahnya kinerja ekspor tidak hanya ditentukan kualitas produk yang kita hasilkan, melainkan juga kebijakan yang diambil oleh negara pesaing dalam mendorong ekspor mereka.

Visi Ekonomi Capres-Cawapres
Menjadi penting untuk meletakkan perspektif ini ke dalam penyusunan visi ekonomi caprescawapres 2009–2014. Kebijakan ekonomi yang akan disusun dan diperdebatkan perlu meletakkan Indonesia sebagai salah satu pemain utama ekonomi global. Perubahan mind-set perlu dilakukan. Kita bukan korban globalisasi, melainkan pemain utama globalisasi.

China, misalnya, meletakkan konsep pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dalam konteks globalisasi. Mereka tidak menolak kehadiran perusahaan multinasional.Justru yang mereka lakukan adalah merangkul perusahaan multinasional melalui investasi langsung asing (foreigndirect- investment) demi meningkatkan kekuatan ekonomi nasional China.

Saya berpendapat, ekonomi kerakyatan yang berusaha membangun basis ekonomi rakyat yang kuat tidak perlu dikonfrontasi dengan kehadiran perusahaan multinasional. Seolah-olah ada pertentangan antara ekonomi kerakyatan dengan kehadiran perusahaan multinasional. China menunjukkan kebalikannya.Kehadiran banyak perusahaan multinasional dimanfaatkan oleh Pemerintah China untuk memajukan daerahdaerah seperti Guangzhou, Hangzhou, dan Senzhen.

Dukungan penuh dari pemerintah untuk memfasilitasi investasi dan mengintegrasikan ke dalam desain pemberdayaan industri menengah dan kecil ikut membantu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi China. Terdapat dua hal penting di sini. Pertama, bagaimana visi pasangan capres-cawapres mengakomodasi kemudahan berinvestasi di Indonesia.

Kedua, bagaimana penataan dan keterkaitan industri besar,menengah,dan kecil dilakukan. Dengan demikian, kehadiran perusahaan multinasional dan berskala besar akan berkontribusi positif mengangkat industri menengah dan kecil. Tanpa adanya integrasi kebijakan nasional antara industri besar dan kecil hanya akan membahayakan eksistensi industri menengah dan kecil di Indonesia.

Bermanfaat atau tidaknya perusahaan multinasional akan sangat ditentukan oleh perangkat undang-undang yang mengaturnya. Bukan Carrefour yang salah, melainkan ketidakmampuan kita untuk mengatur hipermarket, supermarket,minimarketdan pasar tradisional-lah yang perlu ditelaah. Tetap saja yang memberikan izin operasi Carrefour di Indonesia bukan Pemerintah Prancis,melainkan kita sendiri.

Pentingnya Capacity-Building
Tanpa berpretensi, dapat dikatakan visi ekonomi pasangan capres-cawapres sarat dengan jargon-jargon populis. Misalnya, munculnya dikotomi antara neoliberal dan kerakyatan. Praktis sulit sekali mencari contoh konkret suatu negara yang menerapkan sistem ekonomi neoliberal di mana negara menghilangkan peran dan intervensi pada kebijakan ekonomi nasional.

Bahkan free-marketsekalipun membutuhkan aturan main (regulasi) yang disusun negara. Di sisi lain,sulit juga mencari negara yang menutup diri dengan pasar global menjadi pemain utama ekonomi dunia. Misalnya saja AS, Jepang, Prancis, China, Jerman, dan Singapura.Mereka justru menjadi kuat ketika melakukan proses internasionalisasi kegiatan ekonomi.

Tantangan terbesar visi caprescawapres adalah menyusun langkah-langkah strategis di bidang ekonomi agar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dapat dilakukan secara bersamaan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak akan bertahan tanpa ditopang distribusi pendapatan dan akses ke potensi ekonomi nasional. Kebijakan ekonomi nasional perlu diarahkan agar setiap kelompok (kluster) industri dapat mendukung satu dengan yang lain.

Diskriminasi positif (positivediscrimation) atau perlakukan istimewa terhadap kelompok ekonomi yang terpinggirkan selama ini dapat ditawarkan kepada publik. Pemberian insentif pajak, suku bunga, dan pelatihan terhadap usaha kecil dan mikro perlu dilakukan secara sistematis dan integral. Hal ini juga dilakukan oleh negara maju seperti AS, yaitu memberikan perlakukan istimewa terhadap kelompok petani mereka.

Selain itu, visi membangun kawasan Indonesia bagian timur perlu dilakukan untuk pemerataan ekonomi. Kemudian mengurangi berbagai persoalan yang dihadapi Pulau Jawa, baik masalah ekonomi, ekologi, sosial maupun energi, akibat terkonsentrasinya penduduk seiring arus urbanisasi. Target-target pertumbuhan ekonomi pasangan capres-cawapres hanya akan menjadi realistis apabila didasarkan atas tiga hal.

Pertama, ekonomi Indonesia tidak terisolasi dengan ekonomi global dan kawasan. Geliat ekonomi negara-negara tetangga juga memengaruhi target pencapaian pertumbuhan dan pemerataan.Kedua, tanpa adanya usaha secara serius untuk membangun capacitybuilding, ekonomi nasional rasanya sulit untuk merealisasi target pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Ketiga, diperlukan kontrol politik atas kebijakan ekonomi nasional oleh pihak-pihak noneksekutif (DPR, masyarakat, mediamassa, LSM), terlepas siapa pun presiden dan wakilnya nanti. Kita berharap, ke depan Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam sistem ekonomi yang terintegrasi di tingkat regional dan global.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/241255/38/



FIRMANZAH, PHD
Dekan Fakultas Ekonomi UI

Menimbang Ulang Kapitalisme

Oleh: B Herry Priyono

Tulisan kecil ini diajukan sebagai tantangan kepada para calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, dan siapa saja yang berambisi menjadi pemimpin Indonesia melalui Pemilihan Umum 2009.

Dan, tantangan ini diajukan dalam bayang-bayang kampanye yang sedang kian bergerak menjadi praktis, dengan perhatian pada urusan taktik pemenangan suara. Tentu pada minggu-minggu terakhir sebelum pemilu ini perhatian pada urusan taktik pemenangan itu tidak terelakkan.

Namun, justru karena perhatian pada urusan taktis itu, banyak persoalan fundamental juga tersingkir dari horizon riuh rendah perebutan kursi kekuasaan. Salah satunya adalah perdebatan besar yang sedang melanda dunia sejak meletusnya krisis ekonomi global 2008. Inilah musim ketika para negarawan dan pemikir dunia sedang berdebat tentang masa depan sistem ekonomi, tetapi hampir-hampir tak ada timbangan apa pun mengenai perkara itu di negeri ini.

Apa yang dimaksud bukan sekadar urusan stimulus ekonomi karena pada akhirnya stimulus hanyalah langkah ”memadamkan kebakaran ekonomi”. Sesudah api krisis dapat terkendali, sebuah masa depan tata ekonomi tetap menganga menunggu agenda. Yang dimaksud juga bukan urusan polemik tentang sosialisme baru lantaran polemik itu telah terperosok pula menjadi fanatisme ideologi kubu-kubu.

Apa yang saya maksud lebih berupa timbangan ulang atas prinsip ekonomi politik yang hendak kita pakai untuk menata Indonesia. Dan, persis ketika para pemburu kursi kepemimpinan Indonesia hari-hari ini sedang bermunculan ke panggung kampanye, tepatlah saatnya mengajukan persoalan ini sebagai tantangan kepada mereka.

Selama ini, entah karena fanatisme atau kenaifan, timbangan atas prinsip ekonomi politik itu selalu saja terpelanting ke dalam oposisi otoritarianisme lawan demokrasi, atau sering pula tampil dalam oposisi kapitalisme lawan sosialisme.

Oposisi semu
Dari mana oposisi itu berasal? Tentu dari sejarah lantaran lintasan sejarah pernah tersobek-sobek oleh perang doktrin seperti itu. Akan tetapi, dalam periode sejarah dewasa ini, oposisi itu lebih mungkin berakar dalam ketidakmatangan intelektual atau semacam kekanak-kanakan ideologis.

Sebagai contoh, di tengah kencangnya desakan regulasi atas berbagai malapraktik bisnis yang membawa dunia terperosok ke dalam malapetaka ekonomi dewasa ini, John Castellani, Presiden Business Roundtable (jaringan lobi perusahaan-perusahaan swasta raksasa Amerika Serikat), bersungut-sungut, ”Kita tidak tahu bagaimana keluar dari bahaya besar musim ini, yaitu petualangan sosialisme yang membuat sektor swasta tidak dapat melakukan yang terbaik yang mesti dibuat” (Financial Times, 13/3). Yang dimaksud ”sosialisme” dalam ungkapan itu adalah regulasi dan pengambilalihan bank oleh pemerintah sebagai upaya ”memadamkan kebakaran” dan rekapitalisasi.

Yang ganjil di situ, apa saja yang tak disukai bisnis swasta diberi nama ”sosialisme”. Bukankah itu mirip dengan gejala di negeri ini dari dulu sampai hari ini ketika apa saja yang tak disukai diberi nama ”komunis”? Itulah yang dimaksud dengan ketidakmatangan dan kekanak-kanakan ideologis. Namun, mengapa disebut ketidakmatangan?

Penjelasannya tidak terletak dalam urusan teknis ekonomi atau politik, melainkan dalam cara berpikir primitif yang berisi kesesatan melakukan dilema pilihan. Untuk menjelaskan maksudnya, barangkali ada gunanya menimbang perbedaan dua jenis dilema berikut.

Pertama, andaikan kita harus memilih calon presiden A atau B. Memilih A berarti tidak memilih B, dan sebaliknya. Silakan menambah jumlah calon presiden C, lalu D, sampai ke N, dan tetap saja pola eksklusif pilihan itu berlaku.

Sama halnya jika memilih pergi ke Medan, kita tidak mungkin sekaligus berada di Bali. Teknologi informasi tentu dapat membantu kita ”tersambung” dengan Bali, tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan kehadiran fisik kita. Pilihan berada di Bali atau Medan itu bersifat eksklusif. Artinya, kita hanya memilih dengan melepaskan pilihan lain karena fakta keterbatasan fisik kita. Itulah ”dilema praktis” yang solusinya hanya membutuhkan putusan praktis. Memilih salah satu dari keduanya bukanlah cacat, melainkan kelugasan putusan yang sederhana.

Kedua, akan tetapi, manakah yang mesti kita pilih: individualitas atau sosialitas? Kebebasan atau tertib tatanan? Aksi atau refleksi? Kita dapat memilih salah satu pada momen tertentu, tetapi tata hidup masyarakat yang bermutu dan matang secara niscaya berisi keduanya. Ringkasnya, pilihan individualitas atau sosialitas (juga kebebasan atau tertib tatanan) merupakan oposisi semu. Maka, pertanyaan mesti memilih individualitas atau sosialitas bisa dikatakan sebagai salah pertanyaan.

Karena sulitnya menemukan istilah yang sederhana, bolehlah teka-teki itu disebut ”dilema eksistensial”. Solusinya bukan dengan memilih yang satu dan membuang lainnya, tetapi hidup suatu masyarakat yang matang dan tidak kekanak-kanakan hanya mungkin terjadi jika, dan hanya jika, kita menghidupi tegangan di antara keduanya.

Itu juga berarti, memilih individualitas dengan mengorbankan sosialitas (dan sebaliknya) adalah resep pasti menuju kesesatan. Dalam menghidupi tegangan itulah terletak kunci kematangan suatu bangsa. Tidak kalah penting, suatu tatanan ekonomi, politik, atau kultural disebut progresif bukan pertama-tama karena tatanan itu ikut mode terbaru, tetapi persis karena menghidupi serta menjelmakan tegangan individualitas dan sosialitas.

Oleh karena itu, sistem ekonomi yang hanya memuja individualitas dengan mengabaikan daya sosialitas niscaya akan membawa kita menuju malapetaka. Begitu pula sebaliknya, tata ekonomi yang hanya merayakan kolektivitas dengan menyingkirkan daya spontanitas individual bukanlah sistem ekonomi yang sehat. Prinsip ini juga berlaku bagi kehidupan politik dan kultural.

Sering terjadi, kita merujuk pada praktik ekonomi AS untuk membenarkan keganasan individualisme dalam tata ekonomi kita. Tentu saja cara membenarkan diri seperti itu mengundang gelak tawa. Bahkan, dari cara berpikir paling sederhana, apa yang sedang berbondong-bondong dilakukan oleh banyak orang bukanlah panduan baik untuk ditiru begitu saja. Bukankah ganjil hanya karena sesuatu dilakukan oleh banyak orang Amerika, lalu kita merasa harus menirunya?

Apa yang terjadi dalam krisis besar tata ekonomi dunia dewasa ini persis merupakan akibat langsung dari kesesatan memperlakukan ”dilema eksistensial” sebagai ”dilema praktis”. Tentu kesesatan ini terjadi dalam simpang siur berbagai kepentingan. Sejarah memang bukan linear, bukan juga siklis, tetapi lebih mirip orang mabuk yang terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dan, setiap kali terperosok ke ekstrem kiri, kita rindu pada ekstrem kanan. Begitu pula ketika jatuh ke lembah ekstrem kanan, kita merengek ingin ke kiri.

Atau, titik tengah mungkin merupakan kondisi yang membosankan lantaran ia terasa tidak punya gereget maupun kejelasan. Akan tetapi, di situ pula tersimpan rahasia bahwa tata hidup yang tidak mabuk rupanya berisi jalan luhur untuk menghidupi tegangan. Dan, tegangan itu merupakan ”tegangan eksistensial” antara kiri dan kanan atau juga antara sosialitas dan individualitas. Lalu, apa yang layak dijadikan pandu?

Sosialitas laba
Jika bulan-bulan ini Anda menyimak laporan berbagai media yang selama ini gegap gempita merayakan ekonomi fundamentalisme pasar, Anda akan bertemu gejala lucu. Contohnya, mingguan The Economist yang sering menyebut diri ”juru bicara kapitalisme global” dan selalu cenderung memandang rendah buruh sembari memuja eksekutif bisnis bak para pangeran yang gagah menunggang kuda putih. Tiba-tiba pada beberapa bulan ini berbagai liputannya penuh kepanikan, lalu membuat pelesetan logika apa saja untuk membenarkan garis ideologinya. Sementara itu, pemikir neokonservatif seperti Francis Fukuyama atau jurnalis neoliberal seperti Thomas Friedman mulai meratapi cacat besar pada klaim mereka sebelumnya.

Sebuah era baru bagi pencarian arah tatanan ekonomi politik sedang dimulai. Namun, ada gunanya pencarian itu berangkat dari pengakuan sederhana. Dalam ”The Schumacher Lecture” (6 Oktober 2008), sebuah kuliah publik tahunan di Inggris untuk menghormati ekonom EF Schumacher (penulis Small is Beautiful), Susan George (penulis The Lugano Report) melukiskan kapitalisme sekarang dengan ungkapan begini, ”Kapitalisme dewasa ini tidak lagi waras menurut arti ’kewarasan’ yang dipahami orang-orang waras”.

Apa yang tidak waras pada kapitalisme dewasa ini? Amartya Sen, pemikir ekonomi yang biasanya santun itu, melukiskannya sebagai jenis kapitalisme ”yang menyiapkan malapetaka” karena ”tidak adanya regulasi atas berbagai malapraktik keuangan yang niscaya berakibat pada spekulasi ganas dan kebuasan pengejaran laba” (New York Review of Books, 26/3).

Atau, dengan meminjam ungkapan Adam Smith, kapitalisme dewasa ini ada di tangan ”para pemboros dan penjudi” yang membuat modal ”jatuh ke tangan orang- orang yang paling berperan menghancurkannya”. Kalau itu belum cukup, Jack Welch si pencipta gerakan ”aktivisme pemegang saham” menyebut dengan sangat kasar apa yang dikejar kapitalisme dewasa ini sebagai ”kedunguan paling besar” (Financial Times, 13/3).

Dalam bayang-bayang malapraktik yang terbongkar inilah para pemboros dan penjudi mulai panik, lalu melihat desakan ke arah regulasi pasar keuangan sebagai sosialisme. Padahal, naluri dasarnya sederhana, yaitu mereka khawatir tidak bisa lagi mengeruk laba dan bonus raksasa seperti yang mereka raup sebelum krisis.

Maka, dengan lugas mesti dikatakan, desakan regulasi yang kencang dewasa ini tidak punya kaitan apa pun dengan sosialisme. Bahkan, ekonom serius seperti Dani Rodrik melihat ”regulasi dan supervisi finansial pada tingkat nasional agar diperketat dan diperluas” (The Economist, 14/3). Tentu saja regulasi serampangan di tangan pemerintah yang korup juga hanya akan menjadi jalan lempang menuju kebusukan lain.

Lalu, bagaimana sebaiknya memahami desakan regulasi yang kencang dewasa ini? Tuntutan bagi regulasi terutama di sektor keuangan itu tidak punya kaitan apa pun dengan oposisi kapitalisme lawan sosialisme. Regulasi itu hanya tuntutan akal sehat sederhana agar ”uang” diabdikan kembali bagi tujuan ”ekonomi”, yaitu kesejahteraan bersama. Itulah tuntutan agar ”uang” tidak lagi menjadi obyek kebuasan pengerukan laba yang selama ini dilakukan para tuan besar bisnis dan keuangan beserta stafnya.

Pada akhirnya, desakan regulasi itu hanya dapat dipahami dari latar belakang corak kapitalisme yang sedang begitu memuja individualisme laba. Dan, regulasi merupakan tuntutan sederhana untuk menyuntikkan kembali daya sosialitas ke dalam tata ekonomi. Karena itu, apa yang sedang dituntut bukanlah sosialisme ekonomi, tetapi sosialitas laba. Jika Anda tetap bersikeras menyebut itu sebagai ”sosialisme”, cukup pasti Anda tersesat. Sebab, tatanan ekonomi yang matang dan tidak kekanak-kanakan pada akhirnya bukan penyembah kapitalisme ataupun sosialisme, melainkan tata ekonomi yang menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas. Dan, di situ pula letak ciri progresif sebuah sistem ekonomi.

Tegangan itu bukan untuk dihindari, bukan pula untuk dilenyapkan, melainkan untuk dirawat melalui berbagai kebijakan publik, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan, maupun sektor-sektor lain dalam semesta hidup berbangsa. Sekali lagi, terpelanting ke salah satu kutub adalah jalan menuju kesesatan.

Kepada yang terhormat para pemburu tongkat kepemimpinan Indonesia, berkenanlah menerima ini sebagai tantangan. Selebihnya, semoga Anda memimpin Indonesia keluar dari kekanak-kanakan dan ketidakwarasan kapitalisme yang sedang mendera kita.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/18/04345263/menimbang.ulang.kapita


B Herry Priyono
Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Neoliberal dan Implementasi Konsensus Washington

Oleh: Hikmahanto Juwana

Sejak Prof Boediono ditetapkan oleh SBY sebagai calon wakil presidennya, istilah neoliberal ramai diperbincangkan. Boediono dianggap sebagai pengusung ekonomi neoliberal. Menjadi pertanyaan apakah yang dimaksud dengan neoliberal? Seberapa jauh Indonesia telah mengimplementasikannya?


Neoliberal
Tentu banyak arti yang bisa diatribusikan pada istilah neoliberal. Padahal neoliberal merujuk pada satu perekonomian di mana pasar diberikan peran yang lebih besar, sementara negara hanya berperan secara minim.Peran minim ini terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan peraturan itu memang merupakan monopoli dari peran pemerintah. Peran pemerintah yang minimal diidentikkan dengan resep ekonomi yang dikenal dengan istilah Konsensus Washington (Washington Consensus). Bila ini makna dari neoliberal, Indonesia telah sejak lama mengacunya.

Acuan dilakukan tidak hanya secara sukarela, tetapi “dipaksakan” oleh lembaga keuangan internasional dan negara-negara yang pelaku usahanya memiliki kepentingan atas perekonomian Indonesia. Penyebutan Konsensus Washington pertama kali dimunculkan John Williamson pada 1989.

Istilah Washington merujuk pada lembaga keuangan yang berada di Washington DC,di antaranya International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB),dan Departemen Keuangan AS. Sementara Konsensus merujuk pada resep bagi negara- negara di Amerika Latin yang ketika itu sedang menghadapi krisis ekonomi dan keuangan.

Ada 10 rekomendasi yang dianggap sebagai Konsensus dari lembaga keuangan internasional dan pemerintah AS. Di antaranya adalah liberalisasi perdagangan internasional, liberalisasi penanaman modal, privatisasi badan usaha milik negara, deregulasi serta penguatan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan. Untuk diingat,ketika Pertemuan G-20 April lalu berakhir, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan Konsensus Washington telah berakhir.

Menilik ke Belakang
Bila menilik apa yang terjadi di Indonesia pada akhir 1980 hingga kini rekomendasi atau resep Konsensus Washington ternyata telah diimplementasikan. Indonesia, misalnya, telah melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization(WTO) pada 1994.

Perjanjian WTO telah mampu menghilangkan hambatan yang kerap diberlakukan oleh negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk berbagai alasan. Tujuan akhir adalah membuat perdagangan antarnegara sama seperti perdagangan antarprovinsi yang tidak mengenal hambatan tarif maupun nontarif. Perjanjian WTO mendasarkan diri pada prinsip nondiskriminasi atas barang dan jasa.

Sayangnya prinsip nondiskriminasi hanya akan adil bila negara-negara yang memiliki kesetaraan (equal footing). Kesetaraan atas kualitas barang atau jasa,merek, bahkan efisiensi dalam memproduksi barang. Bagi negara yang memiliki ketimpangan dengan negara lain, seperti antara negara maju dengan negara berkembang, pihak yang diuntungkan dari prinsip nondiskriminasi adalah negara maju.

Negara maju memiliki jumlah produsen yang banyak,kuat secara finansial serta pemilik teknologi. Sementara negara berkembang sebaliknya. Negara berkembang memiliki apa yang dibutuhkan produsen negara maju,yaitu pasar yang besar. Pasar besar karena jumlah populasi yang besar dan kesukaan (preference) konsumen atas barang atau jasa yang belum terbentuk.

Dalam konteks demikian negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang telah diimplementasikan Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan perundang-undangan di bidang yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan bisnis.

Di antaranya adalah peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas, pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha milik negara secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama operasi dan go public.

Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan perundang-undangan di berbagai sektor. Terakhir sejumlah undangundang diubah dan dibentuk untuk menguatkan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk hak atas kekayaan intelektual.

Paksa
Rekomendasi Konsensus Washington diimplementasikan baik secara sukarela maupun dipaksa. Secara sukarela karena pengambil kebijakan memercayai bahwa berbagai resep tersebut dapat merevitalisasi perekonomian nasional. Pada saat bersamaan sebenarnya ada pemaksaan oleh unsur eksternal.

Pemaksaan dilakukan dengan cara mendorong Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di samping memanfaatkan ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian internasional seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional yang penting untuk mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti ini sulit untuk disebut sebagai pelanggaran atas hukum internasional ataupun campur tangan dalam urusan domestik Indonesia.

Ke Depan
Indonesia perlu untuk berbenah diri.Para elite politik yang memimpin negeri ini harus lebih sensitif terhadap kebijakan dunia yang diluncurkan oleh negara maju atau industri dan lembaga keuangan internasional. Pertama, para pengambil kebijakan harus sadar berbagai perjanjian internasional tidak seharusnya secara mudah diikuti Pemerintah Indonesia.

Alasan agar Indonesia bisa diterima dalam pergaulan internasional, bahkan untuk menaikkan citra Indonesia, harus dibuang jauh-jauh. Kedua, dalam melakukan pinjaman luar negeri harus dilakukan secara ekstra-hati-hati. Jangan sampai pengalaman di masa lalu terulang kembali. Ketika krisis melanda Indonesia pada 1998, dengan leluasanya IMF mengatur apa yang harus dilakukan Indonesia.

IMF meminta agar Undang-Undang (UU) Kepailitan diamendemen dan UU Persaingan Usaha dibentuk. UU Kepailitan penting karena ini dianggap sebagai pintu agar kreditur asing dapat keluar dari Indonesia. Ini mengingat krisis tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir.

Proses memailitkan yang sangat mudah menjadi sarana untuk mengalihkan aset debitor Indonesia kepada kreditor asing. UU Persaingan Usaha dibentuk untuk memungkinkan pelaku usaha dari luar negeri mempunyai akses yang lebih besar pada pasar Indonesia (access to market).Pasar dirasakan tertutup karena didominasi para pelaku usaha yang memiliki koneksi ke penguasa dan Istana.

UU Persaingan Usaha diharapkan dapat menghilangkan hambatan demikian.Bahkan dana bantuan dari WB digunakan untuk mengamandemen ketentuan tentang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Saat ini ketentuan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah dalam harga tertentu terbuka bagi pelaku usaha asing.

Padahal pengadaan barang dan jasa (baca: belanja publik) merupakan stimulus bagi perekonomian nasional di samping sebagai upaya untuk menguatkan pelaku usaha dalam negeri. Di sinilah pentingnya bagi para pengambil kebijakan untuk pandai membaca dan memahami dimensi yang luas dari percaturan ekonomi maupun politik internasional untuk menjaga kepentingan nasional.

Perjanjian internasional dan ketergantungan ekonomi telah dimanfaatkan oleh negara maju sebagai alat politik.Bahkan dapat dikatakan telah menjadi alat pengganti kolonialisme. Kita patut bersyukur Konsensus Washington telah diakhiri oleh G-20.

Paksaan dari lembaga keuangan internasional dan negara besar terhadap Indonesia untuk menerapkan ekonomi pasar dengan seminim mungkin peran pemerintah akan berkurang intensitasnya.

Kini saatnya Indonesia dapat lebih mengembangkan sistem perekonomian yang cocok untuk masyarakat nya. Namun ini tidak berarti segala sesuatu yang telah dilakukan harus dinafikan dan diulang segala sesuatunya dari awal.

Kini tergantung dari presiden dan wakil presiden mendatang untuk mengoptimalkan apa yang telah ada bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Bagaimana strateginya? Inilah yang akan kita dengar dari tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada hari-hari mendatang.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/240599/



Hikmahanto Juwana
Guru Besar

Mencari Calon Presiden Antikorupsi

Oleh: Febri Diansyah

Setelah pendaftaran pasangan calon presiden, penetapan, dan pengundian nomor urut dilakukan. Pilpres akan memasuki tahapan yang lebih substansial.


Pada fase kampanye sebagai tahap keempat ini,setiap calon akan menjelaskan janji politik dan melakukan komunikasi publik, termasuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Khusus poin terakhir,pertanyaan pentingnya adalah siapa yang paling berkomitmen memerangi korupsi? Incumbent SBY-Boediono, JK-Wiranto, atau justru Mega- Prabowo? Belum terlalu jelas.

Salah satu indikator yang paling krusial saat ini, ternyata itu tidak dicantumkan sebagai prioritas semua pasangan calon. Pada matrik Program Hukum Koalisi Presiden dan Wakil Presiden 2009 yang ICW dapatkan dari lampiran booklet Reformasi Hukum 2009–2014 KHN, ternyata tidak satu pun partai pengusung yang menyebutkan perlunya pengesahan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Menjelang hari pemungutan suara putaran pertama 8 Juli 2009, agaknya belum terlambat untuk mengomunikasikan komitmen terhadap Pengadilan Tipikor. Karena institusi ini merupakan prasyarat terpenting untuk memerangi korupsi secara terus-menerus. Selama hampir 5 tahun dari 2003–2009, Pengadilan Tipikor bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai telah mulai mengobati gejala keputusasaan masyarakat terhadap jejaring korupsi.

Jika di pengadilan umum sangat banyak kasus korupsi berakhir dengan vonis bebas/lepas atau kalaupun dihukum, vonis yang dijatuhkan sangat rendah, lain halnya dengan Pengadilan Tipikor. Hingga saat ini semua kasus korupsi yang diajukan KPK berhasil divonis bersalah. Selain karena KPK sangat keras menjerat aktor-aktor koruptif di berbagai instansi, komitmen dan moralitas hakim di Pengadilan Tipikor juga sangat baik.

Lantas,apakah dapat dibenarkan setiap upaya yang mencoba menghentikan pemberantasan korupsi di KPK dan Pengadilan Tipikor? Tentu saja tidak. Bahkan pihak yang secara sistematis mencoba mematikan dua institusi ini, harus berhadapan dengan rakyat banyak. Data yang dikumpulkan ICW dari 2005 hingga 2008 tentang penanganan kasus korupsi di pengadilan umum akan semakin membuat yakin bahwa Pengadilan Tipikor merupakan sesuatu yang harus dipertahankan.

Dari 1.421 terdakwa kasus korupsi yang terpantau, 659 orang diganjar vonis bebas/ lepas. Bahkan, hakim tidak segan menghadiahkan vonis di bawah 1 tahun dan percobaan. Bagaimana mungkin kejahatan mencuri uang rakyat masih terkesan “dilindungi” oleh institusi bernama pengadilan? Keresahan publik inilah yang menjadi isu krusial yang harus dijawab secara tegas oleh capres-cawapres 2009.

Setiap pasangan calon seharusnya mafhum bahwa isu pemberantasan korupsi punya nilai tawar politik yang cukup kuat untuk memengaruhi perolehan suara. Meskipun ada banyak catatan kritis terkait pemilu legislatif April lalu, akan tetapi kemenangan Partai Demokrat merupakan satu fenomena penting.

Sebagian pemilih dinilai melihat posisi Ketua Dewan Pembina Demokrat SBY yang dinilai fokus pada isu perang terhadap korupsi.Memang salah satu dari aspek hukum ketatanegaraan, prestasi pemberantasan korupsi KPK sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.Di titik inilah, kata “Lanjutkan!” dapat menghipnotis pemilih kalangan awam yang masih ingin pemberantasan korupsi terus dilakukan.

Namun, terlepas dari nilai jual politik tersebut,keberadaan Pengadilan Tipikor haruslah tetap dilihat sebagai kebutuhan pokok pembersihan negara ini ke depan. KPK dan Pengadilan Tipikor tidak boleh bernasib sama dengan beberapa instansi pemberantasan korupsi lain yang dimatikan ketika mulai menyentuh penguasa.

DPR Mengecewakan

Sayangnya, beberapa kalangan politikus di DPR melihat berbeda. Pengadilan Tipikor justru dinilai sebagai simalakama yang berbahaya bagi para legislator tersebut. Membaca fenomena penanganan kasus korupsi di KPK, setidaknya saat ini sudah 12 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka dan delapan di antaranya sudah divonis bersalah melakukan korupsi.

Vonis tertinggi delapan tahun penjara dijatuhkan kepada Al-Amin Nasution (Fraksi PPP) dan enam tahun untuk Bulyan Royan (Fraksi PBR) dalam kasus pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan. Mengacu pada berbagai fakta persidangan dan kasus korupsi terkait dengan oknum legislatif di DPR yang ditangani KPK, bukan tidak mungkin 60 orang lainnya akan bernasib sama.

Berdasarkan catatan ICW,setidaknya dari kasus aliran dana BI Rp100 miliar, dugaan suap/gratifikasi Agus Condro pada pemilihan Deputi Dewan Gubernur BI, dana stimulus Abdul Hadi Djamal,Tanjung Api-Api,dan dugaan korupsi mobil pemadam kebakaran, tentu saja wajar jika anggota DPR khawatir akan bernasib sama dengan rekan mereka yang sudah jadi terpidana korupsi.

Salah satu cara paling efektif untuk menyelamatkan diri adalah membubarkan/ melemahkan KPK, dan mematikan Pengadilan Tipikor dengan tidak menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Seperti diketahui,saat ini Panitia Khusus DPR ditugasi merampungkan penyusunan RUU Pengadilan Tipikor.

Akan tetapi,hingga 4 bulan sebelum masa tugas DPR 2004–2009 berakhir, tidak terlihat kemajuan signifikan. Alih-alih bersemangat menyelesaikan RUU, yang terdengar oleh publik justru suara yang bertentangan dengan pemberantasan korupsi. Karena itu, sudah cukup meyakinkan sesungguhnya bahwa sulit berharap kepada DPR.

Institusi ini justru menambah deret prestasi buruk sektor legislatif. Dengan kinerja yang pas-pasan, fenomena “tukang bolos” dan rendahnya prestasi legislasi ditambah dengan semangat mendelegitimasi lembaga pemberantasan korupsi menjadikan DPR sebagai lembaga yang mengecewakan publik.

Namun, bagaimana jika RUU tersebut tidak selesai dibahas DPR hingga masa sidang akhir September 2009? Di tahapan inilah komitmen setiap capres menjadi penting. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) merupakan jalan keluar. SBY sebagai incumbent punya potensi sangat besar dibandingkan pesaing lain.

Namun, deadlinebagi Presiden saat ini adalah September 2009.Karena pada bulan itulah masa sidang terakhir DPR. Setelah itu baru Mahkamah Agung bersama pemerintah bisa melakukan set-up institusional Pengadilan Tipikor menjelang Desember 2009. Akan tetapi, bukan berarti pasangan calon lain tidak dapat menyatakan komitmen terhadap Pengadilan Tipikor.

Berdasarkan agenda KPU, ada waktu sekitar 3 bulan sejak mereka terpilih dan dilantik Oktober 2009 nanti. Karena Mahkamah Konstitusi memberikan deadline undang-undang tersebut 19 Desember 2009.Pertanyaannya, apakah dua capres lain bersedia menyerahkan “nilai jual”politik yang begitu besar dari Pengadilan Tipikor hanya pada calon incumbent? Jika tidak, kami tunggu janji dan komitmen Anda untuk menerbitkan Perppu Pengadilan Tipikor sebagai capres Republik Indonesia 2009–2014.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244501/



Febri Diansyah
Peneliti Hukum,
Anggota Badan Pekerja ICW

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...