Jumat, 18 Juli 2008

Menjadi Manajer yang Benar

James Burke, CEO Johnson & Johnson menceriterakan pengalamannnya pada saat awal bergabung di Johnson & Johnson sebelum menjadi CEO. Ia membuat “prestasi” yang mengesankan ketika ia mengembangkan produk baru. Perusahaan rugi satu juta dolar ! Produk barunya gagal total di pasaran. Ia merasa yakin, bahwa ia akan dipecat. Pimpinan perusahaan pada waktu itu, Jenderal Johnson, memanggilnya dan berkata,” Saya tahu anda kehilangan satu juta dolar, karena produk itu”. “Ya pak, itu benar” jawab Burke. Kemudian Jenderal Johnson bangkit dari duduknya dan menyalaminya, seraya berkata , “ Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Bisnis penuh dengan pengambilan keputusan, dan jika anda tidak membuat kesalahan anda tidak pernah gagal.” Dia kemudian mengatakan lebih lanjut kepada Burke, bahwa pekerjaan yang paling sulit yang pernah dialaminya adalah menyuruh orang membuat keputusan. Ia menambahkan , jika Burke mengulangi kesalahan yang sama tentu saj ia akan memecatnya. Kemudian ia berkata, “ Saya berharap anda membuat lebih banyak keputusan lagi, dan nanti anda menemukan, bahwa lebih banyak kegagalan dibanding sukses”.

Cerita di atas menggambarkan salah satu peran manajer yang sangat sulit adalah peran sebagai pengambil keputusan. Orang-orang yang menyadari bahwa mengambil keputusan merupakan peran yang diembannya akan menapak karir lebih tinggi.

Peran pengambil keputusan yang harus diemban seorang manajer mempunyai beberapa aspek. Pertama adalah peran sebagi entrepreneur, yang mencari peluang dan inisiator untuk memulai program-program yang memberikan dampak perubahn positif bagi perusahaan. Kedua, adalah peran sebagai disturbance handler, yang bertanggungjawab untuk melakukan tindakan koreksi pada saat perusahaan mengalami kesulitan, terutama dalam kondisi kritis dan tak terduga. Hal ini dilakukan Burke ketika Johnson & Johnson menghadapi krisis dalam tragedi Tylenol beracun. Ketiga, peran sebagai resources allocator, yang bertanggungjawab mengalokasikan sumber daya untuk berbagi kepentingan. Keempat, perannya sebagai negosiator, yang bertanggungjawab untuk mewakili perusahaan dalam berbagai proses negosiasi, baik dalam kaitannya dengan karyawan internal maupun dalam suatu negosiasi antar organisasi.

Peran lain dari seorang manajer adalah peran interpersonal dan peran informasional. Dalam peran interpersonal meliputi peran sebagai figurehead, sebagai leader, dan sebagai liasion. Peran sebagai figurehead menempatkannya sebagai pemimpin simbolis yang mewakili perusahaan dalam acara-acara resmi, sosial, dan legal. Peran sebagai leader mengharuskannya untuk memimpin, mengarahkan, dan memotivasi bawahan. Sedangkan perannya sebagai liaison menuntutnya untuk membentuk jejaring (network) dengan pihak internal, maupun ekstrenal organisasi.

Peran informasional mensyaratkan manajer untuk melaksanakan tiga fungsi yaitu memantau (monitoring), disseminator, dan spokesperson. Dalam monitoring manajerdiharapkan untukmereview informasi dari kalangan internal maupun eksternal. Sebagai disseminator, manajer wajib untuk mendistribusikan informasi dari pihak eksternal maupun dari level manajemen yang lebih tinggi. Di samping itu manajer juga harus bertindak sebagai sopekes person yang menyampaikan informasi kepada pihak di luar perusahaan.

Berbagai peran untuk manajer di atas, tampaknya tidak mungkin dituangkan dalam job description. Tetapi peran tersebut harus tetap diemban dengan baik, sehingga dibutuhkan penghayatan peran (role awareness).



Peran Dalam Organisasi

Dunia ini adalah panggung sandiwara. Tiap orang harus memerankan apa yang telah digariskan oleh sang sutradara. Ungkapan ini sering kita dengar, juga dalam lagu. Dalam sebuah masyarakat tiap individu memang harus mempunyai peran tertentu, tetapi tentu saja bukan sebuah sandiwara.

Masyarakat sering diandaikan sebagai sebuah struktur. Tiap-tiap orang mempunyai posisi dalam struktur itu yang disebut status sosial. Dalam suatu status sosial tersimpan sebuah peran sosial (social role) yang berisi harapan-harapan masyarakat bagiamana sebaiknya bertingkah laku yang “benar” bagi seseorang yang berada dalam posisi tersebut. Seorang guru harus bertindak sebagai seorang tokoh teladan bagi murid-muridnya. Seorang tokoh agama harus menjadi ‘penjaga’ nilai-nilai agama. Sehingga seorang individu harus bertingkah laku seperti rambu-rambu telah di desain oleh “sutradara” yang bernama masyarakat.

Masyarakat adalah sebuah organisasi yang besar dengan batas-batas struktur yang tipis. Sementara perusahaan merupakan organisasi yang ketat strukturnya. Selain mempunyai struktur yang dapat “digambar”, posisi masing-masing indvidu dideskripsikan secara jelas dalam sebuah jabatan. Namun job description terlalu sempit untuk mengatur seluruh tingkah laku yang berkaitan dengan perannya dalam organisasi, karena di samping struktur formal yang nampak, sebenarnya seorang individu juga berada dalam struktur informal.

Seorang karyawan mempunyai persepsi tertentu dengan perannya (role perception), yang merupakan sudut pandang seseorang mengenai bagaimana ia harus bersikap dan bertingkah laku dalam suatu situasi. Sementara organisasi dan kelompok mempunyai harapan-harapan tertentu bagaimana seharusnya seorang pemegang peran bersikap dan bertingkahlaku (role expectation).

Persepsi peran sangat dipengaruhi oleh latar belakang individu pemegang peran, dan tidak selalu selaras dengan role expectation dari perusahaan. Harapan perusahaan ini tersirat dari “psychological contract”.
Role perception yang bersifat individual ini harus diselaraskan terlebih dahulu role expectation perusahaan, agar tidak timbul ketidakjelasan peran (role ambiguity). Kemudian ditanamkanpenghayatan peran (role awareness) bagi SDM organisasi.

HIGH VALUE PROFESIONALS

A.B. Susanto*

Setiap hari kita lihat iklan lowongan tenaga kerja menghiasi media cetak, maupun media lainya seperti internet, pengumunan perusahaan dan radio. Belum lagi gerilya di bawah permukaan yang dilakukan oleh konsultan yang bergerak di bidang executive search. Para eksekutif diburu oleh executive search consulting atas pesanan dari klien-klien mereka. Kantor kami menerima banyak klien yang meminta bantuan untuk mencari eksekutif sesuai dengan kriteria yang mereka tentukan.

Coba Anda bayangkan jika suatu saat ditelpon oleh seseorang dari konsultan executive search dan mendapat pekerjaan yang menantang, serta gaji yang menggiurkan. Sebulan kemudian Anda sudah berada dalam perusahaan yang baru, dengan penghasilan yang meningkat. Penghasilan ini mungkin baru dapat peroleh beberapa tahun lagi jika mengharapkan dari perusahaan yang sama. Inilah dinamika dunia kerja pada saat ini, yang memungkinkan terobosan dalam pencapaian karir. Tergantung seberapa jauh Anda memiliki ‘daya jual’.

Dalam dunia kerja kita sering melihat betapa bervariasinya pendapatan profesional yang sebenarnya memiliki kemampuan yang setara. Begitu banyak variabel yang menentukan penghasilan seorang profesional, sehingga paling gampang dikatakan sebagai ‘nasib’. Sehingga sering terbit pertanyaan bagaimana menjadi seorang profesional yang berdaya jual tinggi? Karir meluncur mulus, penghasilan pun oke.

Selain menyediakan peluang yang luas dinamika karir juga mengandung tantangan karena merupakan arena yang sangat kompetitif. Dinamika ini adalah dinamika pasar yang bertumpu pada permintaan dan penawaran, serta persaingan untuk meraih yang terbaik. Sehingga Anda digiring agar dapat memiliki ‘daya jual’ yang tinggi.

Sebagai ‘penjual jasa’, agar dapat memiliki ‘daya jual’ tinggi, ada dua sisi yang mesti diperhatikan : ‘produk’nya bagus dan pemasarannya pun oke. Artinya kita mesti meningkatkan kompetensi sebagai produk yang harus kita jual, sekaligus diiringi upaya-upaya untuk memasarkan diri sendiri. Kita sering menjumpai orang-orang yang pandai memasarkan dirinya. Walaupun sebenarnya kompetensinya kurang menonjol, tetapi lebih cepat dipromosikan atau lebih mudah diterima bekerja di tempat lain yang posisinya lebih bagus. Orang-orang ini pandai menciptakan kesan yang baik kepada para pewawancara, dan memperoleh penilaian yang positif, dan dianggap lebih baik dari orang lain yang sebenarnya prestasinya lebih bagus.

Bagaimana memasarkan diri yang efektif ? Pertama yang patut diperhatikan adalah ‘produk’, dalam hal ini adalah kemampuan kita. Anda harus mengetahui dengan persis kemampuan, termasuk segala kekuatan dan kelemahan. Kemampuan ini dapat dilacak dari segala pengalaman dan prestasi Anda. Prestasi-prestasi Anda di masa lampau ibarat puncak-puncak bukit, yang jika kita hubungkan satu sama lain akan membentuk pola yang menunjukkan dimanakah kekuatan Anda yang sebenarnya. Kemampuan inilah yang akan dikemas dengan baik, agar menarik ‘konsumen’ Anda.

Setelah mengetahui kemampuan Anda, Anda akan mengetahui siapakah yang akan menjadi target Anda. Perusahaan macam apa yang akan sesuai dengan kemampuan Anda, sehingga Anda mempunyai nilai lebih di mata mereka. Pemahaman yang baik terhadap ‘konsumen’ memungkinkan Anda untuk memberikan benefit . Seperti halnya suatu produk, yang terpenting adalah benefitnya akan diterima oleh pemakai jasa Anda. Benefit adalah apa yang menjadi kompetensi utama Anda, sehingga bermanfaat dan memberi kontribusi terhadap perusahaan, yang diharapkan lebih tinggi dibanding kandidat lainnya. Kompetensi ini adalah sesuatu yang abstrak sehingga mereka menelusuri dari berbagai cara dengan menggali skill, prestasi, pengalaman-pengalaman memegang jabatan di perusahaan terdahulu, pendidikan formal maupun non formal, kepribadian, penampilan, sikap dan lain-lain.

Strategi yang harus Anda susun tergantung pada kesan yang ingin ditampilkan. Kompetensi, karakter, dan penampilan seperti apa yang dibutuhkan oleh sasaran Anda, agar Anda mendapatkan nilai lebih di mata pemakai jasa Anda. Sehingga Anda harus tahu benar siapa yang akan memakai jasa Anda dan memperkirakan kriteria yang akan dipakai untuk menilai kandidatnya. Dengan demikian Anda dapat menyusun bagaimana cara yang tepat untuk mempromosikan diri.

Sebagai orang yang memasarkan diri, Anda harus mengetahui kemampuan Anda dan berapa ‘nilai’ yang pantas untuk kemampuan setara dengan Anda di pasar tenaga kerja. Anda harus memberi harga kepada diri Anda agar Anda mempunyai nilai yang kompetitif.

Dalam memasarkan diri, Anda merupakan ‘produk’ yang perlu dikemas dan ‘dijual’, sehingga harus tampil dalam penampilan terbaik. Anda harus memiliki kemampuan yang harus ditunjukkan, prestasi yang layak ditonjolkan serta pengalaman yang menambah bobot profesional Anda. Kesemuanya harus Anda kemas dengan baik sehingga bukan hanya dapat diungkapkan secara verbal, tetapi dituangkan ke dalam bentuk yang tercetak dan merupakan bukti-bukti apa yang Anda kemukakan. Kumpulkan fakta-fakta dan dokumen, yang mencerminkan segala pengalaman dan prestasi Anda, yang dapat menjadikan nilai lebih Anda sebagai seorang profesional dalam bidang Anda. Anda dapat mengumpulkan surat rekomendasi, penghargaan, sertifikat, dan semua tulisan yang menyangkut diri Anda. Anda dapat juga menyertakan contoh-contoh tugas dan pekrjaan yang pernah Anda lakukan.
Anda dapat menuangkan dalam sebuah curriculum vitae yang menarik, dan mulai menitipkan data Anda kepada executive search consultant. Mereka akan membantu mencari posisi dan perusahaan yang sesuai dengan apa yang Anda ‘miliki’. Kesesuaian itu tidak hanya sekedar kesesuaian dalam kompetensi belaka, tetapi juga faktor lainya. Kantor kami misalnya, selain mencocokan kriteria yang ditetapkan oleh klien kami, kami juga mempertimbangkan kecocokan antara aspirasi kandidat dengan situasi dalam perusahaan klien kami. Berarti selain masalah kompetensi, tetapi juga kesesuaian antara nilai-nilai individu dan nilai-nilai yang berlaku dalam perusahaan klien. Pendek kata cultural fitness merupakan salah satu pertimbangan. Jadi jika Anda melamar sendiri faktor kesesuan sikap dan nilai dengan perusahaan yang Anda masuki harsu Anda pertimbangan, karean faktor ini ikut menetukan sukses tidaknya Anda berkarya di tempat yang baru. Jika Anda hanya bertumpu hanya pada masalah teknis dan kecocokan gaji saja, Anda dapat menyesal di kemudian hari. Ambisi yang besar bukan berarti tindakan tanpa perhitungan.

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Jumat, 11 Juli 2008

Kedaulatan Pangan : Mengubah Ancaman Jadi Peluang

Oleh: Ninuk Mardiana



Indonesia mengalami harga pangan yang tinggi setahun terakhir. Tingginya harga pangan menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Pada Januari 2008, pedagang tahu dan tempe berdemonstrasi di depan Istana Merdeka menuntut penurunan harga kedelai yang mayoritas masih diimpor.

Harga pangan pokok, beras, juga bergerak naik, sementara pemerintah mengatakan, produksi terus naik. Harga bahan pangan lain, seperti jagung, minyak goreng, dan terigu, juga naik lebih dari dua kali lipat.

Kenaikan harga disebabkan beberapa hal secara bersamaan, seperti kenaikan harga pangan dunia secara tajam. Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan kelangkaan pupuk juga menyebabkan biaya produksi pangan meningkat.

Tingginya harga pangan memunculkan kekhawatiran terjadinya gejolak sosial. Namun, yang harus lebih diwaspadai adalah menurunnya kualitas hidup sebagian besar masyarakat.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam kertas kerja Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Pangan Dunia di Roma awal Juni 2008 mengingatkan meskipun secara nasional konsumsi pangan masyarakat tidak menurun akibat naiknya harga pangan, perubahan nyata dapat terjadi pada konsumsi individu masyarakat miskin.

Orang miskin akan tetap membeli beras walaupun harga mahal dengan mengorbankan biaya pendidikan dan kesehatan serta mengurangi konsumsi bahan pangan lain yang lebih bergizi. Situasi kurang gizi dapat terjadi berkepanjangan akibat penurunan kualitas manusia yang oleh majalah Economist disebut silent tsunami.

Perubahan struktural

Kenaikan harga pangan bukan sekali ini saja terjadi meskipun dalam nilai riil kenaikan harga pangan utama dunia saat ini yang tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Yang membedakan dengan kenaikan sebelumnya adalah keterkaitan erat di antara pasar komoditas pertanian akibat kenaikan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, terutama di China dan India, juga keterkaitan antara harga komoditas pertanian dan yang lain, seperti BBM, bahan bakar nabati, dan instrumen pasar uang yang meningkatkan harga dan permintaan pangan serta melemahnya nilai tukar dollar AS terhadap banyak mata uang lain.

Situasi saat ini juga berbeda karena diiringi volatilitas harga lebih dari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan tipisnya pasokan pangan serta keterkaitan pasar komoditas pangan.

Promosi dan proteksi

Situasi di atas menuntut pemerintah merespons dengan kebijakan yang cepat dan cermat melalui promosi dan proteksi pertanian untuk melindungi petani kecil, orang miskin, dan kelompok marjinal dari persaingan pasar bebas yang tidak adil.

Tingginya harga pangan selain ancaman sebenarnya juga peluang untuk petani kecil sepanjang biaya produksi, seperti harga pupuk dan benih tidak naik melebihi biaya produksi petani dan tersedia tepat waktu, infrastruktur antara lain pengairan dan transportasi terjamin, dan ada kebijakan yang memberi akses petani kecil dan buruh tani memanfaatkan lahan tidur.

Pembiayaan untuk produksi tanaman pangan padi, palawija, dan tebu selayaknya diperbesar dari yang saat ini kurang dari Rp 5 triliun, sementara pembiayaan untuk satu kompleks apartemen bisa mencapai Rp 8 triliun.

Promosi juga dapat diberikan melalui akses pasar di dalam dan luar negeri serta kebijakan agroindustri pedesaan agar petani menikmati harga pangan yang tinggi sehingga mereka terangsang berproduksi dan meningkat pendapatannya.

Upaya mendorong swasta besar domestik dan asing berinvestasi di bidang pertanian, khususnya pangan, harus dipikirkan cermat dan hati-hati serta tetap memerhatikan kepentingan petani kecil, kelompok marjinal, dan masyarakat lokal. Pengembangan pangan lokal benar-benar dilaksanakan untuk kemandirian dan kedaulatan pangan.

Jangan sampai terulang kebijakan investasi kelapa sawit yang berorientasi pada asing dan swasta besar. Operasi pasar minyak goreng seperti tertelan bumi dan harga tak beranjak turun meski Indonesia salah satu produsen terbesar minyak sawit.

Di sisi lain, proteksi tetap diperlukan, antara lain untuk merespons perubahan iklim dan eksternalitas yang terjadi akibat kerusakan lingkungan, selain proteksi dari lonjakan harga karena pasar bebas komoditas dunia serta penyelundupan. Perhatian juga harus diberikan kepada masyarakat di wilayah terpencil dan pulau-pulau terpencil.

Hanya respons kebijakan pemerintah yang cepat, cermat, dan dilaksanakan dengan baik hingga ke produsen dan konsumen yang dapat mengubah ancaman menjadi peluang meningkatkan kesejahteraan petani kecil dan kelompok tertinggal.

URL Source:

Soekarno Menghadapi Krisis Pangan

Oleh: Andreas Maryoto



Sejarah kepemimpinan di negeri ini bisa memberi banyak inspirasi. Kisah hidup dan juga perjuangan seseorang ketika menghadapi masalah bisa menjadi cermin bagi kita. Di antara rentang waktu hidupnya, pengalaman saat-saat menghadapi krisis mungkin yang paling banyak dicari untuk diambil hikmahnya.

Keputusan-keputusan dan pandangan hidup presiden RI pertama, Soekarno, telah banyak digali. Salah satu yang belum banyak digali adalah pandangan dan keputusan Soekarno ketika menghadapi krisis pangan. Hal ini menjadi aktual ketika dunia (dan juga Indonesia) tengah menghadapi krisis pangan.

Setidaknya ada tiga babak yang bisa dipelajari dari Soekarno ketika menghadapi krisis pangan, mulai dari Soekarno muda hingga diturunkan sebagai presiden pada tahun 1967.

Babak pertama

Babak pertama ketika Soekarno menjadi aktivis politik selepas mahasiswa. Sejumlah tulisannya, yang diterbitkan menjadi buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, menyiratkan kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan pangan pada tahun 1932-1933.

Soekarno membaca penderitaan rakyat melalui sejumlah media, seperti Darmokondo, Pertja Selatan, Aksi, Siang Po, Pewarta Deli, dan Sin Po.

Ia juga mengutip beberapa berita surat kabar dan majalah itu dalam beberapa tulisannya. Kutipan-kutipan itu memperlihatkan betapa rakyat menderita karena kekurangan pangan. Ia mengutip Pewarta Deli (7 Desember 1932), ”Di kota sering ada orang jang menjamperi pintu bui, minta dirawat dibui sadja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenjang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari….” Sementara dari Sin Po (27 Maret 1933) ia mengutip, ”Menjuri ajam sebab lapar. Dihukum djuga sembilan bulan.”

Dalam babak ini Soekarno tidak banyak melakukan aksi. Ia lebih banyak memotret penderitaan masyarakat yang sejak awal memang tertancap dalam batinnya. Keprihatinan seperti ini muncul yang di banyak buku diakuinya karena latar belakang keluarganya yang diakui miskin.

Cerita mengenai pertemuannya dengan petani bernama Kang Marhaen di Bandung selatan makin menunjukkan keberpihakannya. Nama Marhaen sendiri akhirnya dipakai oleh Soekarno untuk mencirikan petani Indonesia yang miskin tanpa tanah.

Di samping itu, di antara berbagai diskusi yang dilakukan setiap malam Minggu dalam pengasingan di Bengkulu (1938-1942), Soekarno memunculkan topik persoalan pangan. Salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah, ”Mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?”

Babak kedua Soekarno menghadapi krisis pangan adalah ketika ia ”bekerja sama” dengan Jepang menghadapi masalah ekonomi. ”Kerja sama” yang acap kali dituduh oleh banyak kalangan sebagai berkolaborasi dan tidak nasionalis itu mengharuskan Soekarno mencari akal di tengah upaya Jepang untuk mengambil beras milik rakyat sebagai logistik perang.

Masalah pertama

Masalah pertama yang muncul tak lama setelah Jepang mendarat adalah pasokan pangan bagi mereka. Ketika itu Soekarno berada di Padang, seperti dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat. Pasukan Jepang mengaku menghadapi persoalan beras yang rumit. Jepang meminta bantuan Soekarno sehingga bukan jalan kekerasan yang ditempuh.

Soekarno berpikir, lebih baik menyediakan beras itu dibanding menolaknya. Ia beralasan, bila permintaan itu ditolak, siksa akan menimpa rakyat. Ia kemudian meminta para saudagar beras agar menyediakan beras itu. Dalam waktu singkat, beras bisa didapat dan ia mengatakan, Jepang tidak kelaparan dan rakyat terhindar dari siksa.

Saat itu kesulitan pangan muncul di mana-mana. Jepang berusaha merampas beras milik rakyat. Akibatnya, hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Setiap kali ada rakyat yang menyimpan beras, Jepang berusaha merampasnya.

Ketika di Jakarta, Soekarno yang telah menjadi Ketua Pusat Tenaga Rakyat (Putera) terdorong untuk meringankan penderitaan rakyat. Mengetahui masalah itu, Soekarno berpikir keras untuk mencari cara meringankan penderitaan rakyat.

”Aku berhasil mengumpulkan sedjumlah besar biji papaja dan membagikannja kepada setiap orang masing-masing dua butir. Buah-buahan jang enak ini kemudian tumbuh di setiap pendjuru pulau,” katanya menyebut salah satu upaya mengurangi penderitaan rakyat.

Melalui radio yang dilengkapi dengan pengeras suara (yang sengaja dibuat Jepang agar rakyat mendengarkan seruan Soekarno) di berbagai desa, Soekarno mengimbau rakyat agar memproduksi pangan selain beras.

”Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara jang terluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan oleh Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya tjukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” katanya. Menurut Soekarno, imbauannya ini manjur. ”Dan di setiap halaman bertunaslah buah djagung. Usaha ini ada ketolongannya,” katanya.

Pada masa menjelang akhir kepemimpinan Soekarno, 1960-an, ia juga menghadapi krisis pangan yang berat. Babak ketiga ini memperlihatkan Soekarno gagal menangani krisis pangan yang terjadi pada masa itu.

Dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat dikisahkan, di antara kesibukan-kesibukannya pada masa itu, Soekarno juga mempelajari angka- angka terakhir produksi beras.

Mengenai masalah pangan yang muncul saat itu, Soekarno beralasan, ”Dalam peperangan melawan kelaparan, produksi beras kami meningkat dua kali lipat, tetapi di samping itu pemerintah harus mengimpor lebih dari sejuta ton beras seharga hampir 1 juta dollar AS setahun. Ini akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan pertambahan produksi beras.”

Ia juga beralasan, pada zaman Belanda penduduk makan nasi sehari, tetapi setelah penjajahan, penduduk memerlukan makan tiga kali sehari. ”Setiap kemajuan menciptakan lebih banyak persoalan yang memusingkan kepala,” katanya.

Soekarno juga mulai menghadapi para spekulan. Saat itu Soekarno pun tak segan untuk menghadapi mereka. Ia mengatakan, ”Baru-baru ini aku mengeluarkan ancaman hukuman mati terhadap pengacau ekonomi. Seorang pemilik penggilingan padi menaikkan harga beras hingga membubung tinggi dengan melakukan penumpukan sebanyak enam ribu ton. Apabila nanti ternyata bersalah, maka aku, aku sendiri, akan menandatangani hukuman matinya.”

Krisis pangan yang melanda tidak mendorong Soekarno membuat program bantuan. Ia tetap berpendapat, ”menderita adalah memperkuat diri”. Ia menambahkan, ”Aku harus memberi makanan jiwa rakyatku, tidak saja memberi makan perutnya. Kalau aku menggunakan semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat memerangi kelaparan mereka. Tapi, tidak. Apabila aku memperoleh uang lima dollar AS, aku harus mengeluarkan 2,5 dollar AS untuk tulang punggungnya. Dan mendidik suatu bangsa adalah sangat kompleks.”

Kemerosotan

Menurut Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari, awal dari krisis pangan saat itu adalah involusi atau kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak ditangani pemerintah. Fragmentasi lahan mulai terjadi hingga produktivitas lahan merosot. Krisis pangan dinilai sebagai akibat dari masalah itu.

Masalah itu memuncak pada tahun 1960-an. Ichwan mengatakan, Soekarno tidak mengambil langkah strategis, tetapi malah terjebak pada berbagai retorika politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, energi yang ada bukan untuk mencari cara menyelamatkan tekanan pertanian, tetapi malah membuat retorika politik.

”Retorika tidak mengimpor beras memang memperlihatkan sebuah upaya untuk kemandirian pangan. Semangat tidak mengimpor memang tinggi, tetapi tidak ada upaya untuk menyelamatkan lumbung padi. Dari sisi strategi, relatif tak ada penanganan yang memadai terhadap krisis pangan,” katanya.

Di luar berbagai spekulasi soal penyebab peristiwa G30S tanggal 30 September 1965 hingga kemudian Soekarno diturunkan dari kekuasaannya 1967, masalah pangan (khususnya beras) saat itu memang sangat berat. Inflasi kelompok makanan mencapai 685,36 persen. Harga beras naik 900 persen.

Soekarno terkesan sangat percaya diri dengan kebijakannya di tengah antrean-antrean rakyat yang menanti jatah beras. Soekarno sempat memarahi wartawan ketika ia melihat foto yang memperlihatkan rakyat tengah berebut beras. Soekarno diturunkan di tengah krisis pangan yang berat.

URL Source:

Rezim Pertanian Remukkan Petani

Oleh: Maria Hartiningsih



Ini proyeksi konservatif dari Bank Dunia: lebih dari 100 juta orang di dunia mengalami kelaparan karena krisis pangan yang melanda banyak negara. Pada saat yang sama, keuntungan segelintir korporasi transnasional (TNCs) di bidang pangan meningkat berlipat-lipat.

Editor lingkungan The Independent di Inggris, Geoffrey Lean (04/05/08), menulis, pendapatan bersih Monsanto tiga bulan terakhir—sampai akhir Februari 2008—meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan rentang waktu sama pada tahun sebelumnya: dari 543 juta dollar AS menjadi 1,12 miliar dollar AS.

Korporasi transnasional lainnya, Cargill, menangguk kenaikan sekitar 86 persen, dari 553 juta dollar menjadi 1,030 miliar dollar AS. Tujuh tahun terakhir ini Cargill menginvestasikan 17 miliar dollar AS dalam bentuk modal tetap dan modal kerja, termasuk untuk riset dan pengembangan. Pendapatan bersih salah satu korporasi pengolah bijian-bijian terbesar di dunia, Archer Daniels Midland, juga naik sampai 42 persen, dari 363 juta dollar AS menjadi 517 dollar AS.

Kenaikan pendapatan dan keuntungan di tengah ancaman kelaparan ini, menurut para ilmuwan dan aktivis, memperlihatkan watak dasar korporasi: serakah dan tak punya etika!

Di tengah krisis pupuk, pendapatan bersih korporasi pupuk terbesar di dunia, Mosaic Company, naik 12 kali lipat: dari 42,2 juta dollar AS menjadi 520,8 juta dollar AS. Harga beberapa jenis pupuk naik tiga kali lipat karena kebutuhan yang jauh melampaui pasokan. Situasi itu memukul banyak negara berkembang yang ingin meningkatkan produksi pangannya. Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan, 37 negara berkembang sangat membutuhkan pangan saat ini.

Kenaikan harga pangan dunia jelas dipicu oleh kebutuhan yang meningkat. Sebagian disebabkan oleh booming biofuels yang membutuhkan sejumlah besar biji-bijian, sebagian lagi disebabkan oleh kebutuhan daging di India dan China—untuk memproduksi 0,45 kilogram daging, misalnya, dibutuhkan 3,5 kilogram biji-bijian—selain rendahnya cadangan pangan dunia, larangan ekspor, dan kekeringan di Australia.

Namun, menurut Profesor Bob Watson, ilmuwan kepala dari Departemen untuk Masalah Lingkungan, Pangan, dan Pedesaaan AS, kenaikan harga pangan itu terutama dipicu oleh spekulasi.

Harga komoditas pertanian sebenarnya tak berbeda dengan harga minyak. Dalam sistem ekonomi pasar yang kapitalistik, ekonomi spekulan lebih berperan dalam menentukan harga.

Tahun lalu indeks-fund dari investasi di bidang pangan dan daging naik hampir lima kali, mencapai lebih dari 47 miliar dollar AS. Dalam pasar uang, yang penting bukan besarnya aset dasar, melainkan produk-produk instrumen keuangan, seperti future trading dan transaksi derivatif di pasar modal.

Pendekatan suplai

Dengan kondisi seperti itu, pertanyaannya, di mana posisi petani tanaman pangan di Indonesia, yang 48,5 persennya berlahan kurang dari 0,5 hektar dan separuh rumah tangganya hanya menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Lalu, bagaimana kita menjawab ancaman kelaparan di Indonesia?

Petani di Indonesia adalah soko guru sistem pangan nasional. Puluhan juta keluarga petani berlahan sempit bekerja keras untuk menghasilkan berbagai bahan kebutuhan pangan untuk keluarganya sendiri dan orang lain.

Makanan pokok lebih dari 95 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta saat ini adalah beras, setelah Pemerintah Orde Baru memperkenalkan beras pada komunitas-komunitas yang makanan pokoknya semula nonberas dan kurang memberi perhatian pada budidaya tanaman pangan nonberas. Karena itu, diskusi soal pangan pun biasanya didominasi cerita tentang beras.

Nasib petani pangan dan masa depan sistem pangan Indonesia dipengaruhi oleh konfigurasi ekonomi-politik di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi berbagai perubahan kebijakan strategis di berbagai tingkatan, termasuk liberalisasi pangan tahun 1998 yang diwujudkan dalam kebijakan di dalam negeri dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, menghapus pembiayaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia untuk kredit ini.

Di dalam paket kebijakan reformasi termasuk pembukaan impor beras bagi para importir. Perubahan situasi strategis di semua lini itu membangkitkan kekhawatiran tentang masa depan petani tanaman pangan Indonesia, yang sebagian petani gurem.

Sayangnya, diskusi tak membedah lebih dalam persoalan ini. Semua cerita tentang pangan dalam diskusi lebih dibicarakan dari sisi pasokan, tak sungguh-sungguh serius mencari solusi yang dihadapi produsen primernya, yakni petani gurem itu, bukan para pemodal besar yang beberapa tahun terakhir ini beramai-ramai masuk ke sektor pertanian karena melihat peluang besar di situ.

Penguasaan lahan sangat luas untuk pertanian oleh pemodal besar (corporate farming) di luar Jawa dengan izin pemerintah—dalam otonomi daerah, pemerintah di daerah mengundang investor untuk berinvestasi di wilayahnya dengan menawarkan lahan di wilayahnya—sedikit banyak mengingatkan pada penguasaan hutan dengan skema hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang diciptakan rezim Orde Baru, dengan sejumlah kebijakan yang mendukungnya.

Perkembangan corporate farming membuat cerita tentang ”ketahanan” dan ”kedaulatan pangan” ataupun ”nasionalisme pangan” tak bisa diandaikan karena inklinasinya memberi toleransi pada peluang besar corporate farming, yang cenderung menguasai wilayah hulu sampai hilir dari produksi pangan dan mengukuhi watak dasar korporasi yang sudah disebutkan di atas.

Kedaulatan dari akar

Soal pangan tak seharusnya didominasi dengan upaya meningkatkan produktivitas, apalagi produktivitas pemodal. Revolusi Hijau yang dipromosikan Club of Rome pada awal tahun 1970-an tak mampu menjawab tantangan zaman ketika dampak perubahan iklim kian serius dan bencana akibat alam ataupun ulah manusia kian meruyak.

Masalah pangan juga tak bisa semata demi kestabilan ekonomi karena pertanyaannya jelas: kestabilan ekonomi siapa?

Ekonomi petani sudah lama ambruk. Di Lombok petani padi hanya ”laba nyawa”. Pupuk langka dan kalaupun ada tak terbeli, benih harus membeli, tanah makin sempit, air sulit, hutan hancur, sumber daya alam habis dikeruk, dan lingkungan rusak parah. Kalau kemudian mereka menjual lahannya, lalu menjadi buruh di negeri orang, yang harus diawasi adalah alasan mengapa hal itu terpaksa dilakukan.

Inilah rentetan kejadian berikutnya akibat kehancuran kehidupan petani di kampung, anak-anak kurang gizi, kelaparan, dan mati karena penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa disembuhkan, tetapi sistem kesehatan komunitas sudah hancur dan biaya pengobatan tak terjangkau. Anak perempuan putus sekolah akibat biaya sekolah sangat mahal lalu kawin muda. Istri harus menyelamatkan ekonomi keluarga dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang, yang tak jarang pulang sebagai mayat, cacat berat, atau (paling ringan) dikemplang gajinya oleh majikan. Seluruh penderitaan ini dilarutkan menjadi soal produktivitas dalam berbagai kebijakan tentang pangan.

Lalu, jalan keluarnya? Jawabannya terkait dengan seberapa besar investasi publik untuk mengembalikan kehidupan pertanian yang berpusat di kampung atau desa dan kehendak (pemerintah) untuk melakukannya. Kalau jawabannya tak ada dana, pertanyaannya, ke mana devisa 5 miliar dollar per tahun dari tenaga kerja Indonesia yang 75 persennya perempuan?

Memulihkan ekonomi petani di kampung akan memberikan jawaban pada kedaulatan pangan dari akarnya dan pemeliharaan lingkungan karena kepemilikan rezim makanan ada pada pelaku atau subyek primernya. Kalau mau reforma agraria, itu tidak dilakukan dengan membagi-bagi tanah dan memberi sertifikat karena selalu ada godaan untuk menjualnya.

Tetapi, semua ini hanya mudah dituliskan. Di luar sana, tanah adalah komoditas ekonomi dan politik. Sejarah kelam negeri ini berhulu pada soal tanah. Nasib petani terus menjadi taruhan dan perlawanan untuk merebut kembali hidupnya selalu mendapat cap hitam: subversif!

URL Source:

Kamis, 03 Juli 2008

EMPLOYEE VALUE

Dalam situasi yang kompetitif, hidup matinya perusahan bergantung kepada sejauh mana value yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan kompetitor. Value chain analysis membantu perusahaan mengidentifikasi sumber dan kapabilitas potensialnya yang kompetitif. Perusahaan membutuhkan analisis terhadap keseluruhan value chain-nya, termasuk keterhubungan di antara tiap tahapannya dan dalam prosesnya bisa dibangun informasi value chain terpadu. Ibarat lomba lari maka startnya adalah customer needs, dan garis finishnya adalah customer delight.

Tiap fungsi bisnis dalam value chain diperlakukan sebagai aset penting dan berkontribusi pada value. Dengan demikian value chain marketing mengintegrasi dan mengkoordinasikan semua fungsi bisnis, memenuhi kebutuhan pelanggan dan setelah transaksi penjualan tetap menjaga hubungan dengan pelanggan dengan memberikan layanan yang superior sehingga didapat customer equity yang tinggi.

Perlu pendekatan strategis untuk menghubungkan proses pemasaran dengan value dari shareholder, pelanggan, dan karyawan. Shareholder value yang sifatnya terukur serta lebih mudah dipahami oleh investor dipakai sebagai ukuran finansial. Dalam iklim kompetisi yang tajam ini, shareholder value hanya akan dicapai melalui super costumer value yang menyajikan keunggulan diferensial yang kompetitif. Dua hal tersebut dicapai melalui tiga tahapan utama, yaitu value exploration, value creation, dan value delivery yang semuanya harus didukung oleh employee value.

Sebuah perusahaan yang menyatakan dirinya customer-centric, harus memahami betul seberapa jauh karyawan megadopsi slogan ini menjadi budaya yang telah dibatinkan dan menjadi pedoman perilakunya dalam perusahaan. Harus dipastikan bahwa semua orang mengadopsi fokus eksternal (berorientasi pelanggan), dan mereka juga diberi wewenang dan tools untuk memutuskan cara terbaik menangani pelanggan.

Bagi perusahaan karyawan berkontribusi dalam hal tenaga kerja, memberikan layanan, keahlian, ide dan inovasi, serta budaya perusahaan. Di sisi yang lain harapan karyawan terhadap perusahaan secara umum meliputi kelangsungan hidup perusahaan, pembagian keuntungan, keamanan kerja, kualitas lingkungan kerja, sharing informasi, dan manajemen yang baik.

Dari harapan ini selanjutnya bisa diurai faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Biasanya yang muncul pertama kali adalah kompensasi, yang meliputi gaji, tunjangan, dan bonus baik secara perorangan maupun tim. Berikutnya adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini meliputi penghargaan terhadap ketrampilan, keselamatan, lingkungan, ergonomis, hubungan yang baik dengan manajemen sehingga tercipta pemberdayaan karyawan, komunikasi yang baik, serta kantor yang keren.

Pada saat ini karir menduduki tempat yang terhormat dalam pola ekspektasi karyawan yang semakin meningkat. Aspek karir ini terutama meliputi kelangsungan pekerjaan, ketersediaan fasilitas untuk mendapatkan pelatihan, pengembangan karir, dan employability.

Tak ketingggalan pula faktor eksternal ikut menjadi bagian dari harapan karyawan. Faktor eksternal ini meliputi hubungan masyarakat, reputasi perusahaan yang akan menunjang kebanggaan personal, dan kualitas hidup.

Pemahaman mengenai persepsi karyawannya menjadi menu wajib bagi perusahaan. Secara umum, kebanggaan sebagai karyawan dan merasa bahwa ketrampilannya bernilai sebagai aset bagi perusahaan haruslah mendapat perhatian yang sangat besar. Kebanggaan dan perasaan berharga ini dapat meningkatkan engagement karyawan terhadap perusahaan dan dapat menjadi tali emosional yang sangat kuat untuk memacu motivasi internal.

Selanjutnya adalah bagaimana seorang karyawan menikmati datang bekerja setiap hari dan merasakan bagaimana hasil kerjanya memberi nilai tambah bagi pelanggan. Jika seorang karyawan menikmati pekerjaannya tentu akan menumbuhkan kerelaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam melayani pelanggan eksternal, maupun internal akan meingkatkan kualitas layanan itu. Sementara pelatihan secara berkesinambungan dan dilaksanakan secara lintas sektoral akan memperluas wawasan dan memberi pandangan yang utuh membantu karyawan dalam membuat keputusan dan mendukung visi dan misi perusahaan. Karyawan juga menginginkan mendapatkan informasi yang relevan untuk membuat keputusan bilamana mereka memerlukan. Karyawan juga menginginkan dihargai selaku perorangan maupun selaku anggota tim atas kontribusinya.

Bila nilai ini disampaikan dengan baik dan karyawan juga menerimanya dengan baik pula maka diharapkan terciptanya suasana betah dan kondusif untuk berinovasi serta meningkatnya produktivitas.

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

JANGAN MUSUHI ATASANMU

Sebagai orang baru di lingkungan pekerjaan Anda, apa yang harus Anda lakukan untuk mengggalang kerjsama yang baik dengan atasan ? Pendekatan yang pertama kali harus dilakukan adalah tanyakanlah secara langsung apakah ada hal-hal spesifik yang ingin dibicarakan dengan Anda, sebelum Anda mulai bekerja. Dalam hal ini bersikaplah sopan dan jangan kelihatan terlampau gugup ketika menghadapi atasan.

Berusahalah untuk mempelajari sikap atasan Anda, karena secara langsung atau tidak langsung karier Anda dipengaruhi dan tergantung pada reaksinya terhadap pekerjaan yang Anda lakukan. Sangat perlu mengenal secara cepat mengenai kepribadiannya dan cara bekerja atasan Anda, sehingga Anda dapat menyesuaikan diri dengannya dan dapat membangun kerjasama yang baik. Anda perlu mengetahui sejauh mana wawasan dan pandangannya, pola kepemimpinan yang dikembangkan, kelebihannya, kelemahananya, dan sebagainya -- yang kesemuanya akan sangat membantu Anda untuk menempatkan diri secara baik dan benar sekaligus membina hubungan secara serasi dan berkualitas.

Dalam hal ini, Anda diharapkan untuk memperhatikan apa yang menjadi keinginan atasan Anda atau apa yang diharapkannya dari Anda. Misalnya ketika ia akan meninggalkan kantor, sempatkan diri Anda untuk berbicara dan katakanlah bahwa Anda senang bekerja untuknya, serta berharap ia juga senang dengan cara Anda menangani pekerjaan. Lain waktu, mungkin atasan Anda pulang agak larut dan mempersilakan Anda untuk pulang terlebih dahulu. Di sini, Anda sebaiknya melihat situasi dan kondisi yang ada: apakah aktivitasnya tidak lagi membutuhkan kehadiran Anda ataukah sebaliknya? Secara keseluruhan dapat dikatakan di sini, berupayalah agar senantiasa menimbulkan kesan yang baik melalui berbagai aktivitas untuk mendukung aktivitas atasan, tanpa melupakan perkembangan diri Anda sendiri.

Selain itu, bertanyalah pada rekan sekerja di dalam satu departemen, bagaimana caranya Anda dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dan mengapa dikerjakan demikian. Dengarkanlah saran-saran mereka. Barangkali memang bermanfaat untuk diterapkan, walaupun mungkin Anda mempunyai cara-cara lain. Juga, berupayalah untuk menerapkan cara kerja yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan Anda dan sesuaikanlah diri dengan prosedur selaras dengan tanggung jawab Anda.

Jika Anda telah bekerja dengan baik, maka memang sebaiknya atasan atau rekan kerja lain pun mengetahuinya. Anda dapat secara strategis memperlihatkannya secara nyata, tanpa maksud untuk sok pamer. Salah satu indikasi keberhasilan Anda terletak pada persepsi atasan dan rekan-rekan lain. Mungkin atasan Anda mengetahui dan memuji keberhasilan Anda dalam pekerjaan. Namun di sisi lain banyak atasan yang sama sekali tidak mau memperhatikan pekerjaan bawahannya dan sama sekali tidak menunjukkan kepedulian terhadap hasil yang telah dicapai bawahannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila Anda ingin atasan Anda mengetahui keberhasilan Anda, antara lain :
1. Meyakinkan atasan mengenai bagaimana Anda menjalankan suatu pekerjaan dan sejauh
mana hasil yang telah dicapai.
2. Meminta adanya pertemuan rutin yang membahas dan mengevaluasi hal-ihwal pekerjaan
departemen Anda.
3. Jika pekerjaan yang didelegasikan pada bawahan Anda dikerjakan dengan baik,
lontarkanlah pujian dengan tulus.
4. Tunjukkan secara tidak langsung mengenai ambisi Anda pada atasan. Tunjukkan pula
perhatian Anda pada ambisi tersebut sejauh Anda mampu mempelajarinya.
5. Bersikap jujur dan terbuka jika Anda melakukan kesalahan.
Senantiasa memberikan informasi kepada atasan. Apabila Anda memberi memo,
tulislah secara singkat, jelas, dan tuntas.

Jika atasan Anda sudah mengetahui eksistensi Anda berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sebaiknya eksistensi Anda perlu juga diketahui oleh rekan-rekannya. Dengan demikian, Anda tidak hanya dikenal pada satu departemen dan tidak bergantung hanya pada satu atasan, melainkan memiliki jalinan hubungan meluas di dalam lingkungan kerja.

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Jejak Karir Si Kutu Loncat

A.B. Susanto*

Di sebuah negeri antah berantah, seorang wanita tua biasa duduk di gerbang sebuah kota untuk memperhatikan para pengelana yang lewat dan kadang-kadang berbicara dengan mereka.

Suatu malam seorang pengelana datang mendekat, ia terlihat kelelahan setelah melalui perjalanan yang berat. “Permisi”, katanya kepada wanita tua itu, “saya sedang mencari tempat untuk beristirahat. Dapat anda membantu saya dengan mengatakan seperti apa orang-orang di kota ini.” Wanita itu tersenyum dan menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan, ”Anda pasti telah melakukan perjalanan yang jauh. Anda pasti kelelahan dari manakah anda sebenarnya?”

Sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut, pengelana itu mengatakan kepada wanita itu nama kota asalnya, Utopia.

Wanita itu tertarik sehingga kemudian bertanya, ”Oh,” sambil tersenyum, ”seperti apakah orang-orang di Utopia?”

”Oh,” jawab pengelana itu, ”Anda pasti tidak percaya bagaimana buruknya orang-orang di Utopia. Mereka tidak peduli apakah kamu lapar atau haus. Mereka bahkan tidak akan menghabiskan waktu dengan kamu dan apabila kamu meminta bantuan mereka akan pergi atau secara sengaja mengirim kamu ke arah yang salah. Mereka sangat kasar dan tidak bersahabat.

”Astaga” jawab wanita tua itu dengan wajah ketakutan, saya punya berita buruk buat kamu. Orang-orang di kota ini kurang lebih sama dengan orang-orang di Utopia. Saya rasa kamu pun tidak akan menyenangi mereka.”

Pengelana tersebut menjadi kecewa, ”Oh, begitu.” Katanya sambil menghela nafas, ”saya rasa saya akan meneruskan perjalanan.”

Selang beberapa saat seorang pengelana datang lagi. Ia melihat wanita tua itu duduk di situ, tersenyum dan mendekatinya. ”Permisi, katanya ”saya sedang mencari tempat untuk bermalam, dapatkah anda membantu saya dengan bercerita bagaimana orang-orang di kota ini?”

Wanita tua itu tersenyum kepadanya dan sekali lagi dia bertanya, pertanyaan yang sama seperti yang ia tanyakan kepada pengelana terdahulu.

”Saya datang dari Utopia ” katanya.

”Seperti apakah orang-orang di Utopia ?” wanita itu bertanya lagi.

”Oh, mereka orang-orang yang baik.” Jawab pengelana itu, ”saya suka sekali dengan mereka, mereka selalu ramah, siap untuk saling membantu dan pemaaf.”

”Baiklah kalau begitu.” Wanita tua itu memberitahu dia, saya rasa anda akan menemukan hangatnya sambutan di kota ini. Penduduk kota ini kurang lebih sama dengan penduduk Utopia .”
Sebuah kisah kebijakan dari masa lalu yang menarik untuk bahan renungan para pendaki karir. Wanita tua itu dapat mewakili ”head hunter” atau para interviewer sebuah perusahaan yang tengah mencari para eksekutif jempolan untuk berkarya di sebuah perusahaan. Pertanyaan utama yang harus digali dan dijelaskan adalah bagaiman performance di tempat bekerja terdahulu. Salah satu bagian yang diteropong adalah mengapa dia ingin pindah atau bersedia pindah dari tempat yang lama?

Seorang interviewer yang menjadi ’jembatan’ bagi para pemburu karir, pertama kali akan melihat jejak rekam (track record) seseorang yang menjadi kandidat yang akan digaetnya. Misalnya jika seseorang kandidat mempunyai track record amat sering berpindah pekerjaan. Pertanyaannya apakah ada yang salah dengan karirnya?

Dari pertanyaan awal inilah bergulir menjadi pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang lebih mendalam dan si pewawancara akan berperan sebagai nenek tua penjaga gerbang kota. Apakah ia sering berpindah pekerjaan karean kinerjanya yang amat kinclong, sehingga menjadi rebutan para employeer? Ataukah justru sebaliknya, si kandidat ini sebenarnya seseorang yang mempunyai kelemahan tertentu, sehingga memaksanya untuk selalu berpindah pekerjaan?

Salahkah berpindah-pindah pekerjaan? Barangkali untuk era sekarang, berpindah-pindah pekerjaan tidak menjadi persoalan, walaupun ada ungkapan yang agak sinis sebagai ”kutu loncat”. Masalahnya adalah alasannya berpindah pekerjaan.

Kita dapat memilah motif pindah pekerjaan berdasar dua hal, sebab internal dan sebab eksternal. Jika seseorang pindah pekerjaan, karena ”tidak tahan” terhadap situasi di dalam perusahaan pada saat ini, dapat dikategorikan sebagai sebab internal. Tetapi jika seseorang yang pindah pekerjaan semata-mata karena tergoda iming-iming bekerja di tempat yang lain, inilah yang diklasifikasikan sebagai sebab eksternal.

Namun seringkali untuk berpindah pekerjaan bukan berdasar motif tunggal, dan memang seorang pemburu karir yang matang selalu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum memutuskan hengkang dari perusahaanya yang sekarang.

Inilah yang dikejar oleh pewawancara yang menjadi ”wanita tua penjaga gerbang kota”. Si pewawancara tentu sudah mendapat mandat dari perusahaan untuk menjaring calon yang benar-benar tepat untuk posisi yang tersedia. Dengan segala keahliannya mereka harus menelusuri kompetensi dan kinerja dari masing-masing kandidat. Seperti halnya si wanita tua di gerbang kota, mereka akan bertanya situasi ”kota” yang telah disinggahi sebelumnya. Bagaimana persepsinya terhadap kota sebelumnya, masalah-masalah apa yang ditemui, dan bagaimana solusi yang dilakukan dalam menghadapi masalah tersebut.

Jika ternyata si kandidat hanya singgah sebentar dari satu kota ke kota yang lain, tentu ada ’sesuatu’ yang harus diklarifikasi. Mungkinkah si kandidat berpindah-pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan yang lain, justru karena lari dari masalah yang dihadapi? Berarti ia tidak dapat menyelesaikan masalah, dan justru lari dari masalah yang dihadapi. Jika dia hanya memandang negatif semua perusahaan yang ditinggalkan, apakah di tempat yang baru dia tidak akan bersikap yang sama? Dia tentu memiliki asumsi-asumsi untuk menilai sebuah perusahaan sebgai lingkungan kerjanya, tetapi apakah asumsi-asumsi yang dimiliki terlalu ideal. Sehingga pengembaraan karirnya hanya mencari sebuah ”kota” yang ideal dalam pandangannya, dan barangkali tidak akan pernah ditemukan dalam dunia kerja yang nyata. Dia akan selalu menemukan kekecewaan, dan lari dari masalah yang dihadapi untuk mencari ’kota’ yang lain.

Sebuah percikan permenungan bagi pendaki karir, keputusan untuk pindah pekerjaan harus dipikirkan masak-masak dan mempertimbangkan berbagai aspek. Pertimbangkanlah berbagai aspek lain, selain imbalan dan fasilitas. Misalnya apakah budaya perusahaan sesuai dengan karakter kita? Pastikan bahwa chemistry akan cocok.

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Di Ambang Negara Gagal

Oleh: Imam Cahyono



SEHARUSNYA busung lapar tidak terjadi di sini," kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah menanggapi gizi buruk yang menjangkiti warga miskin di Nusa Tenggara Barat (Tempo, edisi 12/6/2005). Ironis, karena gizi buruk yang serius justru melanda wilayah lumbung padi.

Ia menduga penyakit itu muncul karena rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan serta lantaran terhambatnya sistem pemantauan kasus. Sementara Menko Kesra Alwi Shihab mengatakan penyakit busung lapar hanya kecelakaan.

"State neglect"

Lagi-lagi, rakyat miskin kembali menjadi korban keganasan berbagai penyakit. Benarkah ini terjadi karena kesalahan rakyat? Atau sebaliknya, mereka adalah korban ulah pengabaian oleh negara (state neglect) yang salah urus sehingga rakyat kian tidak terurus?

Dalam hal ini, sulit dimungkiri kinerja pemerintah-pusat maupun daerah- yang amburadul. Pemerintah terbukti lemah dan tak mampu mendeteksi sejak dini kehadiran berbagai penyakit itu. Bangsa ini tidak hanya kecolongan teror bom, tetapi juga kecolongan lumpuh layuh. Penyakit yang semula diduga hanya terjadi di Sukabumi ini ternyata juga melanda berbagai daerah sehingga dicanangkan sebagai ancaman nasional.

Busung lapar pun senada, yang pasti tidak datang mendadak. Setiap tahun ada sekitar 1.500 kasus busung lapar di NTB. Tetapi, pemerintah daerah justru berusaha menutupinya. Saat wabah itu menyedot perhatian publik, pemerintah- pusat dan daerah-terkesan saling menyalahkan satu sama lain.

Tak kalah ironisnya, reaksi pemerintah dalam merespons berbagai penyakit itu. Selain lamban, pemerintah menganggap penyakit-penyakit itu sebagai kecelakaan sehingga pemerintah cenderung menghadapi penyakit akut itu dengan sikap reaktif jangka pendek. Demam berdarah, polio, dan busung lapar sekadar dianggap kecelakaan sehingga penanggulangannya pun hanya semacam pertolongan pertama ala kadarnya. Seperti demam berdarah, penanggulangan terhadap polio dan busung lapar hanya bersifat reaktif setelah wabahnya menjangkiti berbagai daerah.

Pemerintah telah melakukan vaksinasi polio secara serentak di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Tetapi sebenarnya, vaksinasi polio itu hanya kebetulan (by accident), bukan program yang direncanakan (by program) dalam program kerja pemerintah secara jelas dan matang. Vaksinasi polio merupakan tindakan darurat. Tak kalah daruratnya adalah porsi anggaran yang disediakan pemerintah untuk menanggulangi masalah nasional ini. Tiba-tiba, muncul gerakan nasional dengan anggaran yang mendadak. Dari total Rp 38 miliar, hanya Rp 2,7 miliar berasal dari anggaran negara (APBN). Sisanya dari APBD, serta kemurahan hati donatur seperti WHO dan Unicef.

Ironis, bersamaan dengan serangan penyakit itu, pemerintah sibuk menggelar pesta pilkada dengan anggaran tidak sedikit. Aparat pemerintah sibuk menggunakan segala cara demi suksesnya pilkada. Seakan-akan pilkada lebih penting ketimbang kesehatan rakyat.

Merebaknya sejumlah penyakit yang melanda negeri ini seharusnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Serangan penyakit itu tidak saja menghambat tumbuh kembang jutaan nyawa anak negeri, tetapi juga merenggut masa depan bangsa. Penyakit itu jika tidak segera diatasi akan menimbulkan preseden buruk karena masa depan bangsa akan bertumpu pada generasi yang rapuh.

Tentu saja sebuah negara ada dan berdiri karena rakyatnya. Maka, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk mengurus, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan mendasar warganya, termasuk kesehatan. Jika negara mengabaikan atau menyepelekan hak asasi warganya, berarti ia telah melakukan pelanggaran. Dan rakyat berhak menggugat negara yang lalai dan tak mampu melakukan tugasnya.

"Failed state"

Setidaknya ada empat kategori negara bangsa (nation state): negara bangsa yang kuat, lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state). Negara lemah merupakan calon potensial kegagalan negara. Sementara negara gagal atau hancur merupakan tahapan akhir kegagalan negara.

Sebuah negara bangsa dianggap gagal jika ia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. A failed state results when the leadership and institutions of the state are wakened and discredited to the point where the state can no longer fulfill its responsibilities or exercise sovereignty power over the territory within its borders (Stoddard, A: Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge: A Graduate Journal of International Affairs, Volume-4, Carleton University, Kanada, 2000).

Sindrom ini dapat dilihat pada beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom dari negara gagal antara lain keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri (Robert I Rotberg, The Nature of Nation-State Failure, 2002).

Sindrom ini meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja, dan status ekonomi. Di masyarakat, korupsi dan praktik-praktik gelap meluas, sementara pemerintah tidak mampu memberi gaji layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjatanya. Kondisi ekonomi terus memburuk akibat sistem ekonomi tersembunyi seperti penyelundupan dan pelarian modal.

Elite yang berkuasa melakukan korupsi besar-besaran. Mereka menolak transparansi, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sementara pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan transportasi umum merosot. Jasa pelayanan hanya melayani elite yang berkuasa. Pembusukan terjadi di pusat kekuasaan, termasuk pemerintahan yang tidak becus, kebobrokan institusional, dan kepemimpinan yang merusak sehingga menyulut konflik dan perpecahan.

Sebuah negara bangsa lahir untuk memberikan barang-barang politik (political goods), seperti keamanan, pendidikan, pelayanan kesehatan, hukum dan keadilan, serta infrastruktur yang diperlukan rakyatnya. Negara gagal tak bisa memberikan semua kewajiban itu kepada rakyatnya. Negara dalam gagal tidak lagi mampu atau tidak mau melaksanakan tugas sebagaimana negara bangsa di dunia modern sekarang ini. Negara gagal tidak mampu menjamin, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan mendasar bagi rakyatnya.

Namun, tidak semua orang sepakat jika Indonesia masuk kategori negara gagal. Menurut Jusuf Wanandi (Indonesia: A Failed State?, The Washington Quarterly, Summer, 2002), kendati lima tahun lebih dihantam aneka krisis, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya, Indonesia tidak bisa disebut negara gagal. Indonesia adalah negara lemah (weak state), bukan negara gagal (failed state).

Saat ini Indonesia dalam zona bahaya atau merah dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal!

Imam Cahyono Peneliti Lembaga Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan (LPBTN) PP Muhammadiyah; Pegiat al-Maun Foundation for Social Transformation; Lulusan Sosiologi Fisipol Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/09/opini/1801328.htm

Memimpin Frustrasi Rakyat

Oleh: Rocky Gerung


Siapa kini yang sanggup memimpin frustrasi rakyat? Pers lebih tergiur mengamati bahasa tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda mengolok-olok model komunikasi politik pemerintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi HAM karena kurang biaya. Universitas lebih suka menerima riset pesanan birokrasi dan dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan. Parlemen amat gembira memagari diri dari gangguan rakyat. Dalam kondisi itu, politik ”arus bawah” mengalir deras.

Isu ”arus bawah” kini tidak memiliki nama, kecuali ia hanya akibat dari harapan yang hampir putus terhadap perubahan. Untuk sementara harapan itu bisa disambung melalui kebijakan ”politik uang” yang bernama BLT (bantuan langsung tunai), sekadar untuk menunda instabilitas politik. Karena itu, kita berhasil memelihara stabilitas politik yang semu selama satu triwulan lalu.

Menabung risiko

Namun, sebelum tahun yang lalu berakhir, gelombang PHK sudah mulai, bahkan merata ke seluruh provinsi. PHK berarti frustrasi ekonomi bagi kelas menengah. Dan, ini adalah kondisi politik yang tidak dapat disubsidi karena ia menyangkut defisit harga diri para penganggur.

Seorang penganggur bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Menurut rumus sosiologi, huru-hara adalah fasilitas sosial bagi ekspresi politik harga diri! Sekali pintu itu terbuka, dendam-dendam politik lama akan berhamburan menuju pintu yang sama. Begitulah rawannya kondisi transisi demokrasi kita kini. Tetapi siapa peduli?

Kabinet yang baru tentu bersiap untuk meredam teori ini. Tetapi, samakah kepentingan politik di antara anggota kabinet sehingga suatu dirigisme ekonomi dapat dijalankan secara koheren, yaitu dengan asumsi yang satu dan dalam arah yang sama? Misalnya, apakah bidang ”kesra” (yang berparadigma subsidi) akan dikelola secara ”moneteristik” sama seperti bidang ”ekuin” (yang berparadigma efisiensi)? Atau apakah paradigma bidang ”ekuin” sendiri dapat dikendalikan secara disipliner oleh Menko Perekonomian tanpa halangan politik dari menteri-menteri teknisnya yang berbendera partai? Bukankah hasil reshuffle kabinet adalah amat politis ketimbang keahlian sehingga political utility seorang menteri mendahului intellectual capability-nya? Dapatkah Menko Perekonomian mengabaikan itu?

Tentu saja problem ini akhirnya memerlukan kata akhir presiden. Tetapi hingga kini demarkasi antara wilayah ”teknokrasi” dan ”politik” belum dapat ditetapkan presiden sebagai kepala kabinet. Padahal, garis inilah yang akan menentukan iklim investasi jangka panjang, kepastian pemberantasan korupsi, sekaligus dasar dari suatu sistem pemerintahan presidensial yang efektif.

Dunia bisnis yang rasional tentu ingin menghormati politik, untuk jaminan investasi jangka panjang. Tetapi bila demarkasi itu tidak tegas, dunia bisnis akan mengeksploitasi politik demi keuntungan jangka pendek. Ini pasti berakibat memperdalam pelembagaan korupsi dan memperlebar dendam ketidakadilan. Suatu langkah mundur reformasi!

Garis demarkasi yang tidak tegas juga mengaburkan teori legitimasi pemilu langsung karena presiden terus bekerja dalam teori parlementarian semu. Dalam sistem presidensial yang efektif, seorang presiden memerlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko. Sebaliknya, presiden yang menggabung-gabungkan teori, menumpuk-numpuk asumsi, niscaya sedang menabung banyak risiko.

Instabilitas politik

Suatu skenario tentang instabilitas politik sudah harus dibayangkan oleh presiden, mengingat periode ”bulan madu” presiden dengan publik sudah selesai. Sebenarnya, hanya karena ketiadaan figur oposisilah maka kita masih menikmati ujung eforia politik pascapemilu, yaitu harapan terhadap perubahan. Selebihnya sebetulnya, ”politik arus bawah” sudah berakumulasi bukan lagi akibat putusnya harapan, tetapi justru karena memburuknya kualitas hidup. Yang ”ada” memburuk, apalagi yang ”akan”!

Sambungan antara politik ”arus bawah” dan kepentingan ”kelas menengah” amat mudah dibuat dalam situasi di mana kebijakan ekonomi justru memerosotkan daya beli mereka. Sinyal pasar uang, kurs, dan suku bunga terlalu pendek jangkauannya untuk meyakinkan psikologi para penganggur tentang bakal kembalinya pekerjaan mereka. Bahkan sebaliknya, persepsi terhadap indikator-indikator ekonomi yang membaik sekalipun akan segera diterjemahkan sebagai bertumpuknya keuntungan di tingkat elite. Jalan pikiran ini adalah juga ”jalan pikiran ekonomis” bagi mereka yang terjepit.

Hal yang berbahaya adalah menganggap daya tahan masyarakat amat kuat dalam menjalani kesulitan ekonomi di masa transisi ini. Percobaan politik yang dilakukan pemerintah melalui kenaikan harga BBM ”sekali pukul” Oktober lalu, tanpa menimbulkan gejolak politik, adalah harga yang dibayar publik untuk memperoleh sebuah kabinet baru yang hanya ahli menyelesaikan masalah dan bersih dari pertimbangan-pertimbangan politis. Tetapi, karena bukan itu yang terjadi, masuk akal bila kini angka popularitas presiden turun. Kemanakah arus delegitimasi itu bermuara? Masalahnya kembali pada fakta, kita tidak memiliki pemimpin oposisi.

Bahaya dari kondisi politik semacam ini adalah, frustrasi rakyat lebih cepat bermuara ke dalam politik destruktif ketimbang mengalir menjadi politik alternatif. Inilah bahaya laten bagi presiden yang menggantungkan legitimasi formil pada konfigurasi politik parlementarian dalam kondisi di mana lembaga oposisi tidak bekerja. Siapa yang akan memimpin frustrasi rakyat? Rakyat akan mencari pemimpinnya sendiri. Itu benar, tetapi setelah destruksi terjadi.


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/17/opini/2370708.htm

Rocky Gerung Pengajar Filsafat FIB UI

Energi Biru, Kebijakan Biru, Politik Biru

Oleh: Wahyudin Munawir



Jika Presiden Yudhoyono memberi nama temuan Djoko Suprapto (baca: membuat bahan bakar dari air) dengan blue energy, seorang peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pakar energi dari Tokyo University, Jepang, menjuluki temuan "wong Nganjuk" itu juga dengan blue energy. Bedanya, blue versi SBY berkonotasi "laut biru yang bisa menjadi sumber bahan baku tak terbatas” dari BBA (bahan bakar air)-nya Djoko, sedangkan blue versi peneliti BPPT berkonotasi sesuatu yang jorok, tidak rasional, dan menjijikkan tapi nikmat dibayangkan seperti orang melihat blue film.

Apakah Presiden SBY akan terus mendukung temuan Djoko yang sudah dipromosikan di Konferensi Iklim Bumi di Bali beberapa waktu lalu sebagai "sumbangan Indonesia" untuk dunia yang mengalami krisis BBM itu? Mungkinkah gara-gara temuan Djoko, antusiasme SBY terhadap program pengembangan jarak pagar untuk biofuel langsung lunglai? Padahal, sejak dua tahun lalu, bayangan masyarakat terhadap program pengembangan biofuel dari jarak pagar ini sudah membuncah. Saya diundang berkali-kali menghadiri seminar nasional tentang prospek aduhai biofuel dari jarak pagar dan pertunjukan mesin yang berjalan baik dengan BBJ (bahan bakar jarak) tersebut. Promosi plus roadmap jarak pagar pun digelar di mana-mana. Hasilnya?

Mesin ekstraksi minyak jarak pagar di NTT kini sudah karatan. Mesin-mesin pengolah minyak jarak pagar di Pangandaran, Jawa Barat, juga sudah nyaris menjadi besi tua. Puluhan investor yang sudah mulai tertarik dan siap menanamkan uangnya untuk mengembangkan jarak pagar juga kecewa. Ribuan hektare pohon jarak pagar kini telantar dan petani mulai membabatnya. Sejumlah pompa bensin di Jakarta yang tadinya gencar menjual solar bercampur biofuel kini tak terdengar lagi beritanya. Rupanya era promosi biofuel telah redup, kalah dengan blue energy-nya Djoko yang didukung SBY.

Padahal, proyek biofuel dari jarak pagar secara ilmiah sudah banyak dibuktikan kelayakannya. Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Belanda sudah mencoba biofuel jarak pagar, dan kini mereka mengembangkannya secara besar-besaran. Israel, misalnya, sangat antusias mengembangkan minyak jarak pagar untuk mengurangi ketergantungan BBM pada negara-negara Teluk. Prof Manurung, pakar minyak jarak dari ITB, kini menjadi konsultan sejumlah perusahaan otomotif di Jepang untuk mengembangkan BBJ. Pendek kata, eksistensi BBJ secara ilmiah, teknologi, ekonomi, dan lingkungan sudah terbukti kebenarannya di dunia. Berbagai penelitian ilmiah tentang minyak jarak pagar di laboratorium berkelas internasional di Jerman, Inggris, Belanda, dan Prancis, yang hasilnya bisa dibaca siapa pun dan bisa diverifikasi oleh ilmuwan mana pun, telah membuktikan bahwa BBJ layak untuk menggantikan BBM yang mahal dan mencemari lingkungan itu.

Jika Jepang dan Jerman, dua negara yang teknologinya amat maju saja, sudah menerima minyak jarak dan tengah mengembangkannya secara besar-besaran, kenapa Indonesia justru surut? Apakah Istana lebih tertarik pada energi birunya seorang Djoko yang tak pernah mau datang jika diundang oleh panel para pakar energi Indonesia?

Sekadar informasi saja, perusahaan otomotif Mitsubishi, misalnya, pada 2015, tak akan lagi membuat mobil bermesin diesel dengan bahan bakar solar. Mitsubishi hanya membuat mobil diesel berbahan bakar biofuel. Mitsubishi tampaknya ingin kembali ke khittah, bahwa mesin diesel pertama yang dibuat Christian Karl Diesel, 1893, di Jerman, memakai biofuel (baca: saat itu yang dipakai Diesel adalah minyak kedelai, kacang, dan jarak). Andaikan Indonesia fokus pada pengembangan minyak jarak, seperti fokusnya Soeharto pada pembangunan pertanian di awal-awal rezim Orde Baru, niscaya program diversifikasi energi sudah mulai kelihatan hasilnya. Sayang, rezim SBY sering tidak fokus dalam membuat kebijakannya. Kebijakan rezim SBY sering berubah-ubah di tengah jalan seperti kebijakan diversifikasi energi.

Dalam kebijakan konversi minyak tanah, misalnya, mula-mula batu bara akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah. Ketika orang-orang sudah mulai melirik batu bara dan para perajin sudah berkreasi membuat kompor batu bara yang aman dan murah, tiba-tiba kebijakannya berubah. Batu bara, katanya tidak aman, dan konversinya diganti dengan gas. Masyarakat kaget dan perajin kompor batu bara menangis, modalnya ludes dan harapannya buntu. Kini, masyarakat dipaksa memakai gas. Namun, ketika masyarakat mulai tertarik memakai gas, tiba-tiba tabung-tabung gas mulai menghilang di agen-agen. Sejumlah orang dengan sinis menyatakan, hilangnya tabung gas di agen-agen ini pertanda akan muncul kebijakan baru, yaitu kebijakan untuk memakai blue energy.

Barangkali, inilah "blue policy" pemerintahan SBY yang amat menjijikkan tapi indah dibayangkan! Bayangkan, seandainya temuan Djoko benar, Indonesia akan benar-benar swasembada energi. Langkanya minyak tanah, gas, dan kotornya batu bara hanya kisah usang di masa lalu. Dengan berhasilnya proyek blue energy, maka dunia masa depan benar-benar bagai impian. Krisis BBM adalah sejarah masa lalu. Kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan menjadi besi tua. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, dan Petronas akan bangkrut. Masyarakat dunia akan benar-benar berpesta dengan energi murah temuan Djoko.

Sayang, mimpi SBY tersebut kandas. Sama kandasnya dengan bayangan pemerintah yang akan menghemat subsidi BBM Rp 34,5 triliun dengan menaikkan harga minyak 28,7 persen. Menurut kajian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akibat kebijakan kenaikan harga BBM, pemerintah tidak hanya gagal menghemat anggaran Rp 34,5 triliun, tapi malah rugi Rp 45 triliun. Kerugian, menurut LIPI, berasal dari opportunity lost dari inflasi (Rp 10,5 triliun) karena membubungnya harga barang. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi juga turun karena pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sehingga potential lost-nya mencapai Rp 15,8 triliun. Selain itu, pemerintah harus menyediakan BLT Rp 14,1 triliun, beras untuk orang miskin Rp 4,2 triliun, dan kredit usaha kecil Rp 1 trliun. Dengan demikian, alih-alih pemerintah dapat menghemat subsidi BBM dengan menaikkan harga minyak, yang diperoleh justru sebaliknya: "subsidinya" menjadi Rp 45 triliun.

Tentu saja, pemerintah menolak hasil kajian LIPI tersebut. Pasalnya, LIPI mengkajinya berdasarkan metodologi ilmiah yang komprehensif, sedangkan metodologi kajian proyek BLT? Itulah kajian ekonomi model "blue politic". Meminjam kata-kata Amien Rais, proyek BLT basis ilmiahnya memang abu-abu. Unsur politiknya lebih kental ketimbang unsur ekonominya. Dengan kata lain, "blue politic" ini berkonotasi jorok secara ilmiah, tapi indah secara "seandainya". Maklumlah, blue politic ini penting karena mendekati pemilihan presiden! Siapa tahu orang miskin yang dikasih BLT akan memilihnya kembali untuk periode 2009-2014?

URL Source: Oleh: Wahyudin Munawir



Jika Presiden Yudhoyono memberi nama temuan Djoko Suprapto (baca: membuat bahan bakar dari air) dengan blue energy, seorang peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pakar energi dari Tokyo University, Jepang, menjuluki temuan "wong Nganjuk" itu juga dengan blue energy. Bedanya, blue versi SBY berkonotasi "laut biru yang bisa menjadi sumber bahan baku tak terbatas” dari BBA (bahan bakar air)-nya Djoko, sedangkan blue versi peneliti BPPT berkonotasi sesuatu yang jorok, tidak rasional, dan menjijikkan tapi nikmat dibayangkan seperti orang melihat blue film.

Apakah Presiden SBY akan terus mendukung temuan Djoko yang sudah dipromosikan di Konferensi Iklim Bumi di Bali beberapa waktu lalu sebagai "sumbangan Indonesia" untuk dunia yang mengalami krisis BBM itu? Mungkinkah gara-gara temuan Djoko, antusiasme SBY terhadap program pengembangan jarak pagar untuk biofuel langsung lunglai? Padahal, sejak dua tahun lalu, bayangan masyarakat terhadap program pengembangan biofuel dari jarak pagar ini sudah membuncah. Saya diundang berkali-kali menghadiri seminar nasional tentang prospek aduhai biofuel dari jarak pagar dan pertunjukan mesin yang berjalan baik dengan BBJ (bahan bakar jarak) tersebut. Promosi plus roadmap jarak pagar pun digelar di mana-mana. Hasilnya?

Mesin ekstraksi minyak jarak pagar di NTT kini sudah karatan. Mesin-mesin pengolah minyak jarak pagar di Pangandaran, Jawa Barat, juga sudah nyaris menjadi besi tua. Puluhan investor yang sudah mulai tertarik dan siap menanamkan uangnya untuk mengembangkan jarak pagar juga kecewa. Ribuan hektare pohon jarak pagar kini telantar dan petani mulai membabatnya. Sejumlah pompa bensin di Jakarta yang tadinya gencar menjual solar bercampur biofuel kini tak terdengar lagi beritanya. Rupanya era promosi biofuel telah redup, kalah dengan blue energy-nya Djoko yang didukung SBY.

Padahal, proyek biofuel dari jarak pagar secara ilmiah sudah banyak dibuktikan kelayakannya. Sejumlah negara Eropa seperti Jerman dan Belanda sudah mencoba biofuel jarak pagar, dan kini mereka mengembangkannya secara besar-besaran. Israel, misalnya, sangat antusias mengembangkan minyak jarak pagar untuk mengurangi ketergantungan BBM pada negara-negara Teluk. Prof Manurung, pakar minyak jarak dari ITB, kini menjadi konsultan sejumlah perusahaan otomotif di Jepang untuk mengembangkan BBJ. Pendek kata, eksistensi BBJ secara ilmiah, teknologi, ekonomi, dan lingkungan sudah terbukti kebenarannya di dunia. Berbagai penelitian ilmiah tentang minyak jarak pagar di laboratorium berkelas internasional di Jerman, Inggris, Belanda, dan Prancis, yang hasilnya bisa dibaca siapa pun dan bisa diverifikasi oleh ilmuwan mana pun, telah membuktikan bahwa BBJ layak untuk menggantikan BBM yang mahal dan mencemari lingkungan itu.

Jika Jepang dan Jerman, dua negara yang teknologinya amat maju saja, sudah menerima minyak jarak dan tengah mengembangkannya secara besar-besaran, kenapa Indonesia justru surut? Apakah Istana lebih tertarik pada energi birunya seorang Djoko yang tak pernah mau datang jika diundang oleh panel para pakar energi Indonesia?

Sekadar informasi saja, perusahaan otomotif Mitsubishi, misalnya, pada 2015, tak akan lagi membuat mobil bermesin diesel dengan bahan bakar solar. Mitsubishi hanya membuat mobil diesel berbahan bakar biofuel. Mitsubishi tampaknya ingin kembali ke khittah, bahwa mesin diesel pertama yang dibuat Christian Karl Diesel, 1893, di Jerman, memakai biofuel (baca: saat itu yang dipakai Diesel adalah minyak kedelai, kacang, dan jarak). Andaikan Indonesia fokus pada pengembangan minyak jarak, seperti fokusnya Soeharto pada pembangunan pertanian di awal-awal rezim Orde Baru, niscaya program diversifikasi energi sudah mulai kelihatan hasilnya. Sayang, rezim SBY sering tidak fokus dalam membuat kebijakannya. Kebijakan rezim SBY sering berubah-ubah di tengah jalan seperti kebijakan diversifikasi energi.

Dalam kebijakan konversi minyak tanah, misalnya, mula-mula batu bara akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah. Ketika orang-orang sudah mulai melirik batu bara dan para perajin sudah berkreasi membuat kompor batu bara yang aman dan murah, tiba-tiba kebijakannya berubah. Batu bara, katanya tidak aman, dan konversinya diganti dengan gas. Masyarakat kaget dan perajin kompor batu bara menangis, modalnya ludes dan harapannya buntu. Kini, masyarakat dipaksa memakai gas. Namun, ketika masyarakat mulai tertarik memakai gas, tiba-tiba tabung-tabung gas mulai menghilang di agen-agen. Sejumlah orang dengan sinis menyatakan, hilangnya tabung gas di agen-agen ini pertanda akan muncul kebijakan baru, yaitu kebijakan untuk memakai blue energy.

Barangkali, inilah "blue policy" pemerintahan SBY yang amat menjijikkan tapi indah dibayangkan! Bayangkan, seandainya temuan Djoko benar, Indonesia akan benar-benar swasembada energi. Langkanya minyak tanah, gas, dan kotornya batu bara hanya kisah usang di masa lalu. Dengan berhasilnya proyek blue energy, maka dunia masa depan benar-benar bagai impian. Krisis BBM adalah sejarah masa lalu. Kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan menjadi besi tua. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti ExxonMobil, Chevron, dan Petronas akan bangkrut. Masyarakat dunia akan benar-benar berpesta dengan energi murah temuan Djoko.

Sayang, mimpi SBY tersebut kandas. Sama kandasnya dengan bayangan pemerintah yang akan menghemat subsidi BBM Rp 34,5 triliun dengan menaikkan harga minyak 28,7 persen. Menurut kajian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akibat kebijakan kenaikan harga BBM, pemerintah tidak hanya gagal menghemat anggaran Rp 34,5 triliun, tapi malah rugi Rp 45 triliun. Kerugian, menurut LIPI, berasal dari opportunity lost dari inflasi (Rp 10,5 triliun) karena membubungnya harga barang. Akibat kenaikan harga BBM, pertumbuhan ekonomi juga turun karena pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sehingga potential lost-nya mencapai Rp 15,8 triliun. Selain itu, pemerintah harus menyediakan BLT Rp 14,1 triliun, beras untuk orang miskin Rp 4,2 triliun, dan kredit usaha kecil Rp 1 trliun. Dengan demikian, alih-alih pemerintah dapat menghemat subsidi BBM dengan menaikkan harga minyak, yang diperoleh justru sebaliknya: "subsidinya" menjadi Rp 45 triliun.

Tentu saja, pemerintah menolak hasil kajian LIPI tersebut. Pasalnya, LIPI mengkajinya berdasarkan metodologi ilmiah yang komprehensif, sedangkan metodologi kajian proyek BLT? Itulah kajian ekonomi model "blue politic". Meminjam kata-kata Amien Rais, proyek BLT basis ilmiahnya memang abu-abu. Unsur politiknya lebih kental ketimbang unsur ekonominya. Dengan kata lain, "blue politic" ini berkonotasi jorok secara ilmiah, tapi indah secara "seandainya". Maklumlah, blue politic ini penting karena mendekati pemilihan presiden! Siapa tahu orang miskin yang dikasih BLT akan memilihnya kembali untuk periode 2009-2014?


Source: http://www.korantempo.com/korantempo/2008/07/01/Opini/krn,20080701,66.id.ht

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...