Selasa, 27 Mei 2008

Teknologi Pengolahan Sampah

By Michael Hutagalung on 30 December 2007

Pernah mendengan PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan.
Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.

Proses Konversi Thermal


Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.


Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Proses Konversi Biologis
Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.



Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal - proses aerobik) dan menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.

Pemilihan Teknologi

Tujuan suatu sitem pemanfaatan sampah ialah dengan mengkonversi sampah tersebut menjadi bahan yang berguna secara efisien dan ekonomis dengan dampak lingkungan yang minimal. Untuk melakukan pemilihan alur konversi sampah diperlukan adanya informasi tentang karakter sampah, karakter teknis teknologi konversi yang ada, karakter pasar dari produk pengolahan, implikasi lingkungan dan sistem, persyaratan lingkungan, dan yang pasti: keekonomian.
Kembali ke Bandung. Kira-kira teknologi mana yang tepat sebagai solusi pengolahan sampah menjadi bahan berguna? Apakah PLTSa sudah merupakan teknologi yang tepat??
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri - Prof. Tjandra Setiadi

SEJARAH DAN POLITIK PERTANIAN

I. LATAR BELAKANG

Jalan panjang yang telah ditempuh bangsa Indonesia untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan mensejahterakan seluruh rakyat, dapat dikatakan berawal dengan mencari alternatif terhadap ekonomi liberal zaman kolonial (1830 – 1870).
Sebagai diketahui sistem kapitalisme Eropah meluas ke Benua Asia dan Afrika dalam wujud kolonialisme, sesuai dengan sifat kapitalisme yang ekspansif.
Pertimbangan ekonomi – politik ekspansi tersebut ialah guna menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tenaga murah dan pasaran yang sangat potensial karena ratusan juta penduduk, serta kesediaan tanah yang luas. (E. Wallerstein, 1974, Rutgers, 1937).
Disamping terjadinya eksploitasi tenaga kerja manusia (J. C. Breman, 1987) yang sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan, meluasnya ekonomi uang ke dalam masyarakat pedesaan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut, sehingga ketergantungan dari perekonomian kita semakin kuat.
Terhadap eksploitasi petani dan buruh perkebunan tadi, sejak awal abad ke-20 mulai timbul oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga “Politik Etnik” (1900) mulai diterapkan dengan memberikan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar (1906).
Di jajaran birokrasi Hindia–Belanda yang dipimpin oleh orang-orang Belanda juga, untungnya terdapat tokoh-tokoh yang progresif juga dan ajaran-ajaran sosial demokrat memasuki masyarakat kita (Rutgers, 1937).
Perluasan kesempatan pendidikan membuka peluang bagi putera-puteri pribumi untuk mengenal dasar-dasar Demokrasi Barat yang memang tumbuh bersamaan dengan Liberalisme dan Kapitalisme.
Tetapi di Eropa pengendalian “Kapitalisme dini” (vroeg-kapitalisme) sudah mulai menjelang abad ke-19, dan kaum sosial-demokrat diseluruh Eropa Barat memegang peranan penting dalam usaha ke arah membangun suatu negara sejahtera (welfare state).
Lebih-lebih setelah perang dunia pertama (1914 – 1918) dan krisis ekonomi dunia (1930) politisi dan pakar ekonomi Barat semakin yakin bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam turut mengawasi perputaran roda ekonomi, apabila kesejahteraan rakyat ingin diciptakan secara merata.
Sistem hukum, baik yang membatasi monopoli dan oligopoli, maupun yang mengatur hak buruh dan kewajiban para pemodal dikembangkan, agar segi-segi negatif kepitalisme dapat ditiadakan, atau paling tidak dikurangi dampaknya.

II. BANGKITNYA NASIONALISME

Sebenarnya bangkitnya Nasionalisme terjadi di seluruh Asia, sejalan dengan perkembangan di Eropa tadi. Gerakan dipimpin oleh para cendekiawan di India, Tiongkok, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya, yang memahami Demokrasi, dan terlebih setelah perang Jepang–Rusia (1904 – 1905) yang untuk pertama kali dalam sejarah dimenangkan oleh satu bangsa Asia. Kesadaran inilah yang kemudian bagaikan angin taufan, mengembus di seluruh benua Asia dan menumbuhkan partai-partai nasional (Congres Party, Kuomintang, Sarekat Islam dan lain-lain).
Nasionalise yang mencari alternatif kehidupan politik, ekonomi dan sosial tersebut hampir diseluruh daerah jajahan di Asia sedikit banyak merangkul sosialisme (Tjondrongoro, 1996, Wertheim, 1959).
Lebih khusus di Indonesia (Blumbergerm, 1931, Rutgers, 1937) pendekar-pendekar nasional kita seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ir. Maruto Darusman, Syahrir dan masih lebih banyak lagi menggali nilai-nilai keadilan, kesamarataan, kesejahteraan rakyat dan sebagainya karena suatu proses yang mengakar terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Pengaruh sosialisme tersebut secara paling jelas dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidatonya mengenai Marhaenisme (1957) dan kemudian bahkan dijadikan kebijaksanaan : Sosialisme ala Indonesia.
Unsur-unsur tersebut di atas yang dimuat dalam UUD 1945 maupun berbagai UU antara lain No. 5/1960 tercermin dari kebijaksanaan sampai 1965.
Setelah perkembangan ekonomi tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diidamkan, dan masalah pertanahan juga tak berhasil dipecahkan, dicarilah jalan keluar yang lain. Sistem ekonomi yang antara 1958 – 1965 cendderung tertutup untuk modal asing dibuka kembali dan dengan ketenangan/stabilitas politik tatanan ekonomi dapat diatur kembali dengan bantuan Bank Dunia dan negara-negara di luar blok Sosisalis.
Pertumbuhan ekonomi meningkat juga karena sektor swasta diberi peluang lebih besar disamping BUMN, tetapi dalam periode Orde Baru setelah kita menghadapi pasaran dunia yang semakin terbuka ternyata BUMN semakin tidak sffisien dan kurang mampu menunjang kesejahteraan yang lebih merata.
BUMN yang dimodali pemerintah mampu menumbuhkan suatu lapisan menengah, tetapi seberapa jauh mereka juga menunjang perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan sehat masih sangat dipertanyakan.
III. KOOPERASI
Dari latar belakangnya dapat disimak bahwa gerakan kooperasi lahir dari keinginan meningkatkan kesejahteraan jutaan pengusaha semasa Sarekat Islam (1912), bahkan sebelumnya.
Dalam gerakan ini memang ada unsur politik juga, ialah lebih membantu masyarakat pribumi dan ikatan batin melalui agama Isalam.
Pecahnya Sarekat Isalam menjadi yang Merah dan Hijau, menunjukkan bertapa ideologis sosialis, yang berpihak pada rakyat kecil, mewarnai unsur politik tadi.
Setelah Indonesia merdeka kooperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia dan ideologi Pancasila pun sudah sepenuhnya menggarisbawahi anggaran dasar tersebut. (Hatta, 1962). Sejak tahun 198… bahkan didirikan suatu Departemen Koperasi secara khusus, karena sebelumnya masih digabung dengan Departemen Transmigrasi, yang sebagai diketahui, membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Ini satu jenis distribusi tanah pertanian berskala relatif kecil.
Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara.
Ada kalanya pula pemerintah terlalu memanfaatkan koperasi sebagai satuan usaha ditingkat bawah untuk melaksanakan program pemerintah. Misalnya diawal tahun 1960-an dalam program Bimas. Manajemen ditangan lurah tidak selalu baik dan pilihan komoditi padi sebagai usaha koperasi belum tentu tepat. Akhirnya koperasi dirasakan sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD.
Sampai sekarang pun, setelah 30 tahun pembangunan, koperasi bertambah jumlahnya, tetpai bukan effisiensinya, dan akibatnya kesejahteraan rakyat belum terangkat dengan koperasi.

IV. KEMISKINAN BERKURANG

Menurut angka-angka Statistik berbagai sumber kemiskinan telah berkurang secara spektakuler sejak 1970-an dan kita bersyukur ada proyek-proyek yang dapat menarik tenaga kerja cukup banyak. Faktor lain adalah ketersediaan kredit (KUK, KIK, KMKP dll), tetapi semua itu dalam rangka industrialisasi dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi belum mampu mencapai “Full employment”. Definisi pengangguran terbuka BPS tidak realistik ataupun manusiawi, dan definisi pengangguran terselubung yang lebih realistik melahirkan presentase yang tinggi, serta akan bertahan – kalau tidak meningkat sampai tahun 2019.
Setelah kemiskinan di tekan sampai 11% (kl 22 juta orang) di Pelita VI, mencapai golongan miskin yang tersebar dan merupakan inti (care poverty) semakin sulit. Pemberian kredit saja mungkin belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan, mungkin sebagian tetap pharus disubsidi oleh pemerintah mengingat bahwa persaingandiberbagai sektor ekonomi akan bertambah tajam. Subsidi pemerintah bagi simiskin sebenarnya adalah protekdi terhadapnya.

V. EKONOMI PANCASILA DAN BERBAGAI LIBERALISASI

Yang menjadi pertanyaan; prinsip-prinsip dasar apa yang perlu melandasi Ekonomi Pancasila agar mekanisme pasar dalam Ekonomi Liberal dapat dikendalikan demi melindungi simiskin ?.
Jawabannya sebenarnya adalah Welfare State dengan ekonomi yang terkendali melalui : Sistem perpajakan yang progresif; pembagian asset yang lebih merata; menciptakan kesejahteraan kerja yang memadai, dibantu “public invesment” bila perlu; tingkat upaya/gaji yang mencukupi, dan semua itu tentu bersendi pada sistem hukum. Sistem monopoli, oligopoli dan sebagainya tak dibenarkan agar kesenjangan sosial tidak melebar.
Semua faktor yang disebut diatas rupanya belum atau baru sebagian terwujud, sehingga Ekonomi Pancasila rupanya harus mampu merealisasikan idam-idaman tersebut dalam suasana/sistem liberalisasi global. Apa yang harus dilakukan untuk merubah sistem ekonomi dewas ini, itulah sudah menjurus ke arah pembangunan Ekonomi Pancasila.
Pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan industrialisasi, dimana ada keseimbangan antara sektor industri padat modal dan industri padat karya, mengingat bahwa tingkat teknologi yang mampu kita serap maupun kualitas SDM kita dewasa ini masih perlu ditingkatkan. Sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untukmengurangi pengangguran pada umumnya. Menurut proyeksi Aris Ananta (1995) pengangguran kita masih akan bertambah sampai tahun 2020.
Kalaupun pemerataan belum sepenuhnya tercapai keadaan “Full employment” (£4% pengangguran, berdasarkan definisi yang manusiawi), akan mengurangi kesenjangan, meningkatkan produktivitas pada umumnya dan mempertebal rasa keadilan dalam masyarakat.
Konsep Welfare State tampaknya lebih mencerminkan sasaran yang diunggulkan dalam Negara Pancasila. Karena itu selama liberasisasi global yang dewasa ini berkembang sejalan dengan Welfare State, tampaknya masih dapat kita terima.
Individu dan persaingan bebas yang tajam,semata-mata mengikuti hukum pasar seperti yang dikenal dalam tahap “kapitalisme didi”, sangat berlawanan dengan dasar-dasar Ekonomi Pancasila.

VI. EKONOMI RAKYAT

Istilah Rakyat sebenarnya mencakup segenap bangsa Indonesia, tetapi sejak zaman penjajahan usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat berpijak pada golongan rakyat yang lemah. Masyarakat yang miskin itu dominan hidup dari pertanian dan menghadapi perusahaan-perusahaan raksasa Eropa misalnya dalam perkebunan besar, sehingga timbul penindasan dan penghisapan atas usaha rakyat kecil itu.
Lebih dari setengah abad setelah Indonesia merdeka rakyat kecil yang relatif merana itu masih berjumlah puluhan juta orang masih lebih dari penduduk Malaysia, hampir setengah penduduk Thailand dan sebagainya- dan merekalah yang ingin kita bantu. Dalam periode yang sama juga sudah tumbuh suatu golongan konglomerat, yang lebih gembira menyambut Era Globalisasi, dan kurang mempedulikan nasib rakyat kecil.
Keadaan ini yang ingin kita ralat, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, pemerataan, mitra kerja, sejajar dan sebagainya. Caranya, sebagian telah dikemukakan tentu melalui sistem hukum, sistem pajak, yang progresif, perluasan kesempatan kerja dan cara-cara lainnya yang sesuai dengan proses demokratisasi menuju “masyarakat modern” (civil sosiety). Dalam ekonomi klasik abad ke-18 pun sebenarnya prinsip-prinsip tersebut sudah dikemukakan oleh John Stuart Mill dan John Locke. Variant ekonomi kapitalisme gaya A. Smith atau R. Malthus, yang dapat ditarik ke gagasan Alfred Marshall seabad kemudian, tampaknya tidak serasi dengan pengertian globalisasi abad ke-21 nanti.
Tahap pengentasan kemiskinan yang kita masuki dalam menghapus “core poverty” tampaknya tetap tidak bisa mengesampingkan peranan pemerintah, bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai pemberi kredit, bahkan subsidi untuk jangka waktu lebih dari satu-dua masa Pelita.
Jadi prinsip-rinsip ekonomi Pancasila tidak boleh memperburuk nasib golongan lemah dan miskin, justru sebaliknya peningkatan muru hidup golongan lemah dan miskin harus mengurangi dan bila mungkin meniadakan kesenjangan antara lapisan dalam masyarakat. Keadilan dan pemerataan kesejahteraan akhirnya adalah terwujudan Demokrasi Pancasila. Inilah suatu alternatif baru terhadap Demokrasi Barat, apabila kita berhasil menciptakannya.
Singkatnya bila Ekonomi Pancasila mencakup prinsip-prinsip dasar, Ekonomi Rakyat adalah pengejawantahan dan operasionalisasinya sehingga ketimpangan dan kesenjangan antara lapisan sosial ditiadakan.

Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro: Guru Besar Sosiologi Institut Pertanian Bogor

Jumat, 16 Mei 2008

PEMBERDAYAAN PETANI DALAM RANGKA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Dasar Berpikir

1. Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, terutama seperti yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, Lima Tahun Kemudian (WFS, fyl), dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia.
2. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.

Permasalahan

1. Dalam hal ini, sekalipun ketahanan pangan ditingkat nasional (dilihat dari perbandingan antara jumlah produksi dan konsumsi total) relatif telah dapat dicapai, pada kenyataanya ketahanan pangan dibeberapa daerah tertentu dan ketahanan pangan dibanyak keluarga masih sangat rentan.
2. Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor)
b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi
c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan
d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai
f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah
g. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.
Tanpa menyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai.
3. Disadari sepenuhnya bahwa telah terjadi perubahan tatanan sosial politik masyarakat sehingga berbagai aspek pembangunan telah lebih terdesentralisasi dan lebih berbasis pada partisipasi masyarakat. Permasalahan timbul terutama karena proses desentralisasi tersebut masih berada pada tahap proses belajar bagi semua pihak. Hal tersebut semakin diperberat ditengah kondisi dimana anggaran pemerintah semakin terbatas, perencanaan dan pelaksanaan pengembangan pangan yang kurang terfokus, berpendekatan proyek, parsial, dan tidak berkesinambungan.
4. Globalisasi dalam berbagai aspek sosial ekonomi pada kenyaraannya telah menjadi ancaman serius bagi usaha membangun ketahanan pangan jangka panjang, walaupun disadari pula menjadi peluang jika dapat diwujudkan suatu perdagangan internasional pangan yang adil (fair trade).
Usulan Agenda
1. Masalah ketahanan pangan adalah masalah bersama yang menjadi tanggung jawab semua pihak. Untuk itu perlu dikembangkan suatu komitmen dan kerjasama diantara semua pihak terutama dalam bentuk kerjasama yang erat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (yang antara lain direpresentasikan oleh kalangan LSM dan perguruan tinggi). Dalam hal ini, Dewan Ketahanan Pangan yang telah didirikan dari sisi pemerintah, perlu diperkuat dan dilengkapi dengan forum atau lembaga lain yang mampu menampung partisipasi swasta, LSM dan perguruan tinggi.
2. Tantangan yang dihadapi masyarakat, khususnya LSM dan perguruan tinggi, dalam pengembangan ketahanan pangan adalah :
a. Melanjutkan komitmen dan langkah nyata dalam mendampingi petani dan masyarakat pada umumnya;
b. Terus mengusahakan agar komitmen politik pemerintah dan legistatif dalam mendukung ketahanan pangan dapat terus dijaga dan diperkuat;
c. Terus memberikan masukan bagi pelaksanaan manajemen pangan nasional yang sesuai dengan tujuan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan;
d. Bersama pemerintah dan swasta melakukan berbagai usaha untuk menghadapi tekanan dan dampak negatif globalisasi dan perdagangan pangan internasional.
3. Mengusulkan kepada pemerintah dan swasta agar dapat memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan sebagai berikut :
a. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif.
b. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.
c. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.
d. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa.
e. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai.
f. Mempromosikan produksi dan konsumsi aneka-ragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.
g. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah.
h. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan;
i. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan pola konsumsi pangan beraneka.
4. Mengusulkan kepada Dewan Ketahanan Pangan untuk :
a. Atas dasar keberpihakan yang jelas kepada rakyat kecil (produsen dan konsumen) melakukan rekonstruksi kebijakan pangan yang mampu mengakomodasi berbagai perkembangan dan kepentingan dalam mengantisipasi berbagai tantangan masa depan, terutama dengan mengedepankan peran pembangunan ketahanan pangan di daerah atas dasar partisipasi masyarakat.
b. Terus memperjuangkan perdagangan internasional yang adil (fair trade) melalui instrumentasi kebijakan yang efektif dan memberi manfaat langsung kepada rakyat;
c. Mendorong kebijakan fiskal melalui alokasi anggaran belanja pemerintah dan penetapan pajak yang berpihak kepada ketahanan pangan rakyat;
d. Mendorong kebijakan moneter melalui pengelolaan tingkat bunga dan pengembangan sistem pembiayaan yang sesuai.
5. Mengusulkan kepada berbagai pihak yang terkait agar dalam jangka pendek (Januari atau Februari 2003) dapat diselenggarakan pertemuan untuk :
a. Mengaktualisasikan “jaringan ketahanan pangan” yang mencakup keterlibatan pemerintah, swasta, dan LSM
b. Merinci agenda pengembangan ketahanan pangan diatas dalam bentuk rencana aksi
c. Menghimpun “best-practices” pendampingan yang dilakukan LSM dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan ketahanan pangan masyarakat.

Oleh: Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi -- Kepala Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB)

REFORMASI AGRARIA: MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN

Meskipun ilmu ekonomi pertanian telah memberikan “andil” pada pemahaman masalah-masalah produktifitas dan efisiensi produksi pertanian, namun masih belum cukup mampu memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keadilan sosial (Mubyarto, 1987:620)

Pendahuluan

Dalam rangka renungan “5 tahun krismon”, pakar-pakar ekonomi pertanian kita kini nampak gusar karena dampak awal krismon yang positif terhadap pertanian rupanya telah berubah menjadi kondisi yang sangat berat menekan kegiatan pertanian. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.
Tema diskusi panel adalah “Pembangunan Agraria dan Pembaruan Pengelolaan Sumberdaya Alam bagi Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis”. Mengapa harus ada pembaruan (reformasi), dan mengapa agribisnis? Jika kesejahteraan petani tetap menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata per­tanian kini tidak lagi disebut-sebut. Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Memang Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat Ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang sudah bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR adalah ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”.
Ideologi Agribisnis
Ideology provides a lens through which one sees the world; a set of beliefs that are held so firmly that one hardly needs empirical confirmation. Evidence that contradicts those beliefs is summarily dismissed (Stiglitz, 2002:222).
Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak ada program S2 Pertanian, tetapi program Magister atau MM Agribisnis yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi baru bahwa “farming is business”.
Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan produksi, termasuk pengunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.
Jika kita jujur mengamati praktek pertanian sebagian besar petani kita, maka teori dan praktek agribisnis yang kita baca dalam buku-buku teks terbitan Amerika barulah merupakan gambaran “abstrak-ideal”. Memang di Amerika praktek-praktek agribisnis ini sudah ada dan sangat berkembang, tetapi luas pemilikan tanah pertanian per petani adalah rata-rata 100 ha, sedangkan di Indonesia kurang dari 0,5 ha. Usaha tani (farm) di Indonesia sebagian besar bersifat subsisten, tidak komersial, sehingga pengertian dan konsep agribisnis tidak cocok diterapkan.
Krismon Dosa Siapa?
Di Koran-koran kini tidak ada lagi orang menyebut krismon, krisis keuangan, atau krisis perbankan, karena lebih mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Mengapa disebut krisis ekonomi padahal banyak orang termasuk Amartya Sen penerima hadiah Nobel Ekonomi tidak setuju menyebutnya sebagai krisis ekonomi laksana “kiamat”.
Take for example, the crisis in Indonesia, Thailand, earlier on, even in South Korea. It may be wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or 10 percent fall in gross national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed at the aggregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen, 2000: 187)
Jika masyarakat umum kini berbicara tentang krisis ekonomi sebenarnya mereka sekedar ikut meneriakkan suara orang-orang atau pengusaha-pengusaha kaya yang tidak lagi seperti masa Orde Baru mampu memperoleh keuntungan mudah melalui cara-cara berburu rente (rent seeking) yaitu sejumlah kecil pengusaha yang memperoleh keuntungan luar biasa besar (hampir tanpa kerja), meskipun mereka tahu sejumlah besar pengusaha atau masyarakat dirugikan. Keuntungan sangat besar yang dulu mereka peroleh melalui persekongkolan dengan pemerintah (KKN) kini tidak dapat lagi mereka peroleh karena pemerintah sendiri sudah jatuh miskin, dan berutang banyak. Maka segala peluang mengejar rente ini sudah tertutup. Mereka (terutama eks konglomerat) memang bermimpi “memulihkan kembali” (recovery) perekonomian pra krismon dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun, bila perlu dengan utang-utang baru dalam rangka “pengobatan ala IMF”, dan dengan menarik investor-investor asing dengan segala cara.
Sebenarnya MPR hasil Pemilu 1999 telah tegas-tegas menunjuk konglomerat sebagai penyebab krismon yang menyengsarakan seluruh rakyat dan yang terutama memiskinkan pemerintah. Tetapi hebatnya, kini mereka berhasil menciptakan kesan bukan mereka yang salah tetapi yang salah adalah pemerintah, IMF, atau spekulan dari luar negeri.
Reformasi Agraria yang bagaimana?
Kini tidak lagi mudah menyepakati apa yang harus direformasi dalam bidang agraria, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu telah kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah tidak dipatuhi, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama dari kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak akan lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial setelah Repelita I baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta menjadi leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri berorientasi promosi ekspor, yang kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.
Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Perlu dicatat bahwa dalam kata agriculture ada pengertian budaya pertanian, way of life, atau livelihood petani, yang tidak semuanya dapat dibisniskan. Maka jika kita ingin mengadakan pembaruan (reformasi) justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan dan budaya kita.
Penutup
Kami khawatir tinjauan aspek sosial-ekonomi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berse­berangan dengan kerangka pikir panitia penyelenggara, yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Reformasi Agraria harus berarti pembaruan penataan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
Assuming the framework of institutions required by equal liberty and fair equality of opportunity, the higher expectations of those better situated are just if and only if they work as part of a scheme which improves the expectations of the least advantaged members of society (Rawls, 1971:74)

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
Makalah diskusi panel "Pembaruan Agraria", Departemen Pertanian, Hotel Salak, Bogor, 11 September 2002.

Bacaan
1. Burk, Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London – New York.
2. Elliot, Jenniver A. 1994. An Introduction to Sustainable Development: The Developing World, Routledge London, New York.
3. Mubyarto, 1987. “Masyarakat Pedesaan di Indonesia Dewasa ini dan Tantangan Profesional Ilmu Ekonomi Pertanian” dalam Hendra Esmara (ed). Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
4. Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2000. A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada UP, Yogyakarta.
5. Shepherd, Andrew. 1998. Sustainable Rural Development, Macmillan, London – St. Martin’s, London New York.
6. Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and its Discontents. Norton. New York. 7. Trainer, Ted. 1996. Towards A Sustainable Economy: The Need for Fundamental Change, Envirobook, Sydney.

Kamis, 15 Mei 2008

Kenaikan Harga BBM: Rencana dan Fakta

Oleh :Ninasapti Triaswati

Sejak 10 tahun terakhir, kenaikan harga BBM menjadi ritual dilema politik-ekonomi setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia di Indonesia. Ketika Pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM di tahun 1998, maka demonstrasi masyarakat secara luas di Indonesia mencapai puncaknya dan menjatuhkan pemerintahan tersebut.
Pemerintahan setelah era Soeharto berupaya berbagai cara untuk melunakkan hati masyarakat ketika akan mengumumkan harga BBM naik. Pemerintahan Megawati bahkan tidak ingin melukai hati rakyat miskin dengan mempertahankan agar harga BBM tidak dinaikkan dan subsidi BBM meningkat. Namun secara politik rakyat tidak lagi memilih Megawati pada Pemilu 2004 karena berharap adanya pemimpin baru akan membawa perubahan kebijakan yang secara signifikan berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pada tahun pertama SBY-JK memerintah, harga dinaikkan dua kali pada tahun 2005, sekitar 30 persen pada sekitar bulan Maret dan lebih dari 120 persen pada bulan Oktober 2005 dengan janji "tidak akan lagi menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya".

Daya Beli Rakyat

Secara ekonomi minyak bumi di Indonesia maupun di dunia sudah semakin langka sehingga kenaikan harga merupakan suatu keniscayaan, yaitu pasti terjadi cepat maupun lambat. Naiknya harga BBM di Indonesia hanya masalah penentuan waktu, karena gejolak kenaikan harga dunia secara terus menerus akan menekan kenaikan harga BBM domestik dalam negeri setiap saat.
Persoalan politik-ekonomi menjadi sangat penting. Apa untungnya kenaikan harga BBM tahun ini bagi rakyat dibandingkan dengan kenaikan pada tahun-tahun berikutnya? Pemerintah sudah mengumumkan bahwa BBM akan dinaikkan segera dan rakyat miskin akan menerima kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta paket bantuan pangan murah. Dengan kenaikan harga BBM, APBN akan dihemat sekitar Rp25 triliun. Dari jumlah tersebut akan dialokasikan sekitar Rp14 triliun untuk BLT dan bantuan pangan murah untuk rakyat miskin, serta sekitar Rp11 triliun sisanya untuk berbagai program pemerintah lainnya.
Persoalannya adalah BLT hanya diberikan maksimum satu tahun setelah kenaikan harga BBM, dan tidak sama besarnya dengan kenaikan harga barang maupun transportasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan membantu daya beli rakyat miskin dalam jangka panjang karena hanya bersifat sementara. Di samping itu, data penduduk miskin yang digunakan hanyalah data Sensus Kemiskinan 2005 yang akan dicoba diperbarui secepatnya, sehingga ketidaktepatan pembagian BLT akan cukup besar.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memiliki data akurat tentang penduduk miskin tahun 2008 atau paling tidak tahun 2007? Jelas pula bahwa berbagai program subsidi atas nama penduduk miskin saat ini lebih dinikmati penduduk tidak miskin karena kelemahan implementasi dari berbagai program tersebut yang tidak menyeluruh. Subsidi pupuk yang tujuannya untuk petani miskin, justru diberikan kepada produsen pupuk, sehingga pupuk murah bersubsidi justru tidak tersedia bagi petani miskin pada saat diperlukan. Subsidi BBM diberikan kepada PLN dan Pertamina yang dampaknya adalah justru bagian terbesar subsidi tersebut dinikmati konsumen kaya. Subsidi pangan berupa raskin maupun minyak goreng murah operasi pasar, keduanya sangat rawan penyimpangan karena tidak dapat lagi membedakan apakah yang menerima orang miskin atau bukan miskin. Ekspor ilegal pupuk dan BBM marak terjadi secara sistematis dan meluas di seluruh daerah. Suatu ironi bagi program subsidi untuk penduduk miskin.

Jalan Keluar

Ada dua kiat utama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu didukung masyarakat luas secara sungguh-sungguh: Pertama, mempercepat program pengalihan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dari subsidi barang (berupa pupuk, BBM, raskin, dsb) menjadi bentuk subsidi bagi penduduk miskin.
Alasan subsidi BBM sebagai subisidi barang "salah sasaran" selalu menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM sejak 2005 yang lalu. Namun faktanya selama tiga tahun terakhir ini tetap saja pemerintah mempertahankan skema subsidi barang melalui program pupuk bersubsidi murah untuk petani, beras untuk rakyat miskin, operasi pasar minyak goreng, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia sekarang maupun yang akan datang perlu segera dengan tegas mencanangkan subsidi langsung bagi rakyat miskin secara menyeluruh dengan mengidentifikasi rakyat miskin melalui sensus dan survei BPS di seluruh daerah secara tahunan, dan memberikan kartu identitas tunggal secara nasional bagi mereka yang tergolong miskin untuk dapat memperoleh jaminan nasional dari pemerintah. Walaupun penduduk miskin tersebut bukan penduduk setempat karena alasan pekerjaan sementara, misalnya, mereka harus tetap dapat memperoleh hak Jaminan Nasional. Sebaliknya tidak boleh seorang penduduk memperoleh lebih dari satu kali jaminan nasional untuk penduduk miskin.
Kedua, agar rakyat segera dapat mengonsumsi energi murah di dalam negeri, pemerintah Indonesia di pusat maupun daerah perlu segera menyukseskan program diversifikasi energi dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu pengalihan dari konsumsi energi BBM ke energi alternatif. Jadi walaupun harga BBM naik, rakyat tidak perlu khawatir harga listrik, transportasi, dan pengolahan makanan juga akan naik karena pemerintah telah mengalihkan ke sumber energi lain.

Program diversifikasi memang telah disebutkan dalam rencana pemerintah sejak sekitar 1990-an, namun dalam pelaksanaannya ternyata "sangat tidak memadai" karena sebagian besar anggaran yang mendanai berbagai program pemerintah justru mendorong penggunaan BBM yang mahal dan justru mengekspor sumber energi kita yang murah (misal gas bumi).
Pemerintah Indonesia sejak saat ini perlu memfokuskan untuk menghemat energi BBM di dalam negeri, yaitu secara tegas dan segera menghentikan rencana pembangunan berbagai pembangkit listrik bertenaga BBM yang biayanya sekitar Rp2.250 per kWwh. Sebaliknya, pemerintah perlu secara bertahap segera memperluas rencana pembangkit listrik bertenaga panas bumi yang biayanya hanya sekitar sepertiganya, yaitu Rp750 per kWh atau bahkan ke pembangkit listrik tenaga gas yang hanya sekitar seperempatnya, yaitu sekitar Rp550 per kWh.
Sungguh sangat tidak logis keadaan Indonesia saat ini yang justru mengonsumsi energi mahal di dalam negeri dan mengekspor energi murah ke luar negeri. Tidak masuk akal pula di mana Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi terbesar dunia justru masih memakai listrik bertenaga BBM, padahal Indonesia sudah menjadi net-importir BBM. Juga sangat tidak logis ketika rakyat Indonesia memerlukan sumber energi murah di dalam negeri seperti gas yang seharusnya dapat dipakai untuk mendukung konsumsi transportasi dan pengolahan makanan rakyat maupun industri di dalam negeri agar biaya produksi murah justru diekspor ke luar negeri dan kita kekurangan bahan bakar gas di dalam negeri.
Saatnya kita menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Era Reformasi dengan niat menjadi tuan di negeri sendiri dan bertekad " Propeningkatan kesejahteraan rakyat: Hemat energi mahal, Pakai energi murah!"

Pemerhati Kebijakan Publik

SOSIALISME PANCASILA

PENDAHULUAN

Sejak reformasi mulai akhir 1997 makin banyak diantara kita enggan menyebut Pancasila meskipun lambang Garuda Bhinneka Tunggal Ika masih terpampang megah di tempat-tempat resmi. Sebelum itu yang lebih dulu kita hindari ”secara diam-diam” adalah kata-kata sosialisme yang meskipun tidak kita tolak secara terang-terangan tetapi ”dirasakan” tidak wajar lagi sejak rontoknya tembok Berlin 1989 dan bubarnya Uni Soviet 1991, yang menunjukkan kemenangan paham kapitalisme atas sosialisme.
Memang dekade delapan puluhan sejak anjlognya harga eskpor minyak tahun 1982, Ekonomi Indonesia yang baru memperoleh bonansa minyak 1973-80 mengalami resesi, dan tanggapan rezim terhadap resesi adalah kebijakan deregulasi 1983 dan liberalisasi perbankan 1988, yang keduanya jelas menggambarkan langkah terang-terangan memilih sistem ekonomi kapitalisme liberal. Meskipun tahun 1994 Mensesneg Moerdiono masih membantah Indonesia menerapkan liberalisme, tokh Radius Prawiro mengakui sistem ekonomi Indonesia sejak 1998 menjadi ”paling liberal di dunia”. 1)
1) Radius Prawiro. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi, Gramedia 1998, hal 409

DARI SOSIALISME PANCASILA KE KAPITALISME LIBERAL

Apakah pemerintah Orde Baru bisa disalahkan telah dengan sadar ”mengubah” arah dan sistem pembangunan Ekonomi dari sosialisme ke kapitalisme? Jika masih ada diantara kita tidak percaya bahwa sistem ekonomi sosialisme telah kita tetapkan sebagai sistem ekonomi nasional kita, kiranya kutipan singkat dari TAP No. XXIII/MPRS/1966 berikut cukup memadai.
Bahwa langkah pertama ke arah perbaikan ekonomi rakyat ialah penilaian kembali daripada semua landasan-landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan, dan pembangunan, dengan maksud memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai, yakni masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.
Pada awal Orde Baru sangat populer pengertian Demokrasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri positif sebagai berikut. 2)
Perekonomian berasas kekeluargaan;
Pengawasan oleh lembaga-lembaga perwakilan;
Cabang-cabang produksi penting dikuasi oleh negara;
Hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak;
Hak milik berfungsi sosial;
Daya kreasi warga negara bebas dikembangkan;
Fakir miskin memperoleh jaminan sosial.
2) Pasal 6 TAP No. XXIII/MPRS.1966
Demikian tentang sistem ekonomi yang sosialistik berdasarkan Pancasila ini cukup sulit dipahami bagaimana proses perubahannya menjadi sistem ekonomi yang kapitalistik. Diduga keras bonanza minyak 1973-80 yang telah ”memanjakan” ekonomi Indonesia dipakai sebagai alasan orang / pengusaha-pengusaha Indonesia untuk tidak mentoleransi penurunan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemakmuran ketika harga ekspor minyak jatuh tahun 1981/82 yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlog dari 11 % (1981) menjadi 2,2% tahun 1982. Dan tanggapan orang Indonesia menghadapi resesi saat itu adalah dengan mengenalkan kebijakan-kebijakan deregulasi ekonomi atau liberalisasi.

PERANAN BUMN
TAP No. XXIII/MPRS/1966 dengan ekstra hati-hati mengatur pembagian peranan pemerintah (bab IV) peranan koperasi (bab V), dan peranan swasta nasional (bab VI), sebagai berikut :
a) Dalam menjalankan peranannya di bidang ekonomi maka pemerintah harus lebih memunculkan pengawasan arah kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan yang sebanyak mungkin dari kegiatan-kegitan ekonomi.
b) Unsur koperasi merupakan aparatur yang penting dan wajar dalam struktur organisasi ekonomi Indonesia berlandaskan asas kekeluargaan, dan adalah wadah untuk memperjuangkan serta melindungi terutama kepentingan rakyat kecil. Tugas koperasi adalah memberikan jasa, bergerak di bidang produksi dan bidang ekonomi lain serta harus dimampukan untuk menjurus ke arah pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 dengan penjelasannya.
c) Perkembangan usaha swasta tidak boleh menyimpang dari azas demokrasi yang merupakan ciri dari sistem ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila.
Kiranya jelas dari kutipan ”GBHN” 1966 tersebut bahwa meskipun sistem ekonomi Indonesia tegas-tegas dinyatakan sistem sosialisme, namun tidak ada ketentuan yang membuka peluang pada aturan-aturan yang bersifat mengekang dan berlebihan dari negara. Itulah sosialisme Pancasila atau ada yang menyebutnya sosialisme religius. Maka tidak sulit memahami mengapa sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu sangat mudah dibawa / diubah ke arah sistem kapitalisme yang liberal dengan membiarkan perkembangan usaha swasta yang serakah dalam bentuk konglomerasi. Pada tahun 1993 laporan Bank dunia perwakilan Jakarta sudah mengingatkan hal ini namun tidak memperoleh perhatian.
A source of increasing concern in recent years has been the relatively high concentration of ownership and market power in the modern business sector in the hands of large business groups or conglomerates. The dominance of conglomerates raises the issues of both equity (equal access to market opportunities) and efficiency (removal of business to competition). Effectively and efficiently dealing with this issue will be an important test of policies to foster broad participation in private sector development. 3)
3) World Bank, Indonesia Sustaining Development, report No. 11737 – Ind, p. x
Laporan dari Jakarta ini ”tenggelam” karena pada saat yang sama terbit laporan ”hasil penelitian” yang lebih ”berwibawa” yaitu ”The East Asian Miracle”, yang secara tidak langsung ”menolak” pernyataan tentang telah terjadinya konglomerasi tersebut. Indonesia ”dipaksakan” masuk dalam keajaiban (miracle) yaitu ”rapid and sustainable growth with highly equal income distribution” seperti 7 negara Asia Timur lain yaitu Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Maka jelaslah disini bahwa proses ”swastanisasi” atau ”privatisasi” terjadi secara diam-diam bersamaan dengan berkembangnya liberalisasi dan globalisasi, dan meningkatnya peran swasta tidak diwaspadai tapi malah ”disyukuri”.

SIKLUS EKONOMI 35 TAHUN
Periode 35 tahun 1966-2001 bagi perekonomian Indonesia patut kita renungkan berbagai pelajarannya. Pertama, periode ini dimulai dengan tekad melaksanakan sistem sosialisme Pancasila tetapi diakhiri dengan ”hukuman Tuhan” karena kebablasan ”bereksperimen” dengan sistem kapitalisme tak bermoral. Kedua, Pancasila dan asas kekeluargaan yang telah kita terima sebagai pegangan dasar dan moral ekonomi Indonesia telah kita jauhi dan ”diselewengkan” oleh pemerintah Orde Baru. Memang dewasa ini kita sudah mulai berani ”menindak” mereka yang bersalah menyelewengkannya termasuk yang terlibat perbuatan korupsi dan membohongi masyarakat. Namun sejauh ini belum nampak keberanian menindak eks-konglomerat yang tindak tanduknya telah memicu krisis keuangan dan krisis perbankan. Ketiga, Indonesia yang gagah perkasa berani melawan kepentingan kapitalisme – liberalisme pada awal kemerdekaan (1945-52), dan pada periode sistem sosialisme (1959-66), setelah dimanja dengan rezeki nomplok bonanza minyak 1973-80 nampak tak berdaya menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi kapitalis global. Bahwa globalisasi telah menunjukkan dampak negatif gombalisasi rupanya masih tidak dilihat oleh sebagian pakar-pakar kita. 4) Privatisasi BUMN nampak kebablasan memenuhi kesepakatan LoI dengan IMF, padahal analisis kritis dan mendalam menunjukkan dampak ketergantungan yang sangat meningkat dari ekonomi Indonesia pada kepentingan-kepentingan ekonomi asing. Pada waktu itu perusahaan-perusahaan ”nasional” Indonesia yang memindahkan modal ke Singapura ”dimaafkan” dengan menamakannya ”nasionalisme baru”. Jika kita percaya pada kekuatan antisipatif pasal 33 UUD 1945 yang demokratis berasas kekeluargaan, maka sekarang ini tidak sepantasnya kita menyerah pada keharusan melaksanakan privatisasi BUMN. Nasionalisme ekonomi yang diamanatkan sila ke 3 Pancasila yaitu Persatuan Indonesia tidak seharusnya kita remehkan. Sistem kapitalisme yang tegas-tegas kita tolak tahun 1945 dan 1966 harus tetap kita anggap bukan sistem yang cocok bagi upaya perwujudan masyarakat Indonesia adil-makmur berdasarkan Pancasila.
4) Sukardi Rinakit & Hadi Soesastro, dalam Charles E. Morrison & Hadi Soesastro (eds), Domestic Adjustment to Globalization, JCIE, Tokyo, 1998, hal 200
PENUTUP
Jika BUMN banyak yang merugi sehingga kita menyetujui peluncuran kebijakan dan program-program privatisasi, kita perlu bersikap kritis pada program-program privatisasi dewasa ini yang lebih ditujukan pada pengumpulan dana untuk sekedar menutup defisit APBN. Defisit APBN yang besar tidak seharusnya kita terima sebagai data. Kita dapat berusaha keras menekan defisit tersebut melalui pembatalan program-program penalangan utang perusahaan eks-konglomerat yang sudah sangat berlebihan. Program rekapitalisasi perbankan harus dianggap sebagai sisa-sisa kebijakan program pemihakan pada konglomerat yang keliru dan yang harus dikoreksi. Dan tidak pada tempatnya, serta sangat tidak adil, rakyat melalui defisit APBN menanggung beban program pemihakan yang keliru tersebut.
BUMN memang tidak mutlak keberadaanya dalam sistem perekonomian Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 tidak memerintahkan pembentukan BUMN. Namun program privatisasi yang kini berjalan juga tidak seharusnya dipaksakan jika jelas-jelas berakibat memperlemah daya tahan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Privatisasi dalam rangka globalisasi adalah berbahaya, penuh resiko, dan mahal, bagi negara berkembang seperti Indonesia. 5)
5) Hadi Soesasro dalam Ross McLeod & Ross Barnaut, East Asia in Crisis form being a miracle to needing one?, hal 135

Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika.
Makalah untuk Lokakarya Strategi Reformasi BUMN, Kerjasama FE-UGM dan SKH Bisnis Indonesia, Jakarta, 27-28 Maret 2002.

Bacaan
Michel Chossudovsky, Globalization of Poverty, TWN, 1997
William Hinton, The Privatization of China, Monthly Review, 1991.
Montserrat Buibernau & Jon Hutchinson (eds) Understanding Nationalism, Polity 2001
John Madeley, Big Business Poor Nations. Zed Books, 1999
Pempel, T. J(eds) The Politics of the Asian Economic Crisis, Cornell UP, 1999
Hutton, Will & Anthony Giddens (eds) Global Capitalism, The New Press, 2000.
Campbell, John L & Ove K. Pederson (eds) The Rise of Neoliberalism and Institutional Analysis, Princeton UP, 2001
James Petras & Henry Veltmeyer, Globalisazation Unmasked , Zed Books, 2001

Senin, 12 Mei 2008

PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: MENCARI FORMAT KEBIJAKAN OPTIMAL


  1. Walaupun telah melewati ratusan seminar dan diskusi, hingga saat ini selisih pendapat mengenai definisi “ekonomi rakyat” masih terus berlangsung. Kondisi tersebut dapat mengisyaratkan bahwa perdebatan mengenai definisi tampaknya tidak akan terlalu produktif lagi untuk dilanjutkan, karena pada dasarnya hampir semua pihak telah sepaham mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” tanpa harus mendefinisikan. Hal tersebut menyangkut pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak”. Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar, MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.

  2. Dengan pemahaman diatas, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia. Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil.

  3. Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini. Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan. Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar. Daya produktif kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji, selama tahun 2000 dan 2001. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, dan sebagainya.

  4. Sama sulitnya dengan mendefinisikannya, evaluasi terhadap kebijakan pembangunan yang diarahkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat sering sampai pada kondisi tanpa kesimpulan. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang dimaksud cenderung untuk dibatasi pada program yang dilakukan ‘khusus’ (bagi usaha kecil), seperti program kemitraan, Keppres 16/1996 (?) tentang pengadaan barang pemerintah yang dapat dipenuhi oleh usaha kecil, kredit program bersubsidi, berbagai subsidi input, dan sebagainya. Padahal dengan fakta pangsa ekonomi rakyat dalam ekonomi nasional, seharusnya seluruh kebijakan ekonomi – terutama kebijakan ekonomi makro – adalah bagian dari kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Hal lain adalah karena kebijakan yang dimaksud hampir selalu berarti program yang dilakukan oleh pemerintah saja. Padahal aspek-aspek legislasi (perundang-undangan dan peraturan), kebijakan umum, serta implementasinya sering kali jauh lebih menentukan. Hal ini ditunjukkan, misalnya, oleh UU Perbankan, yang membatasi kemampuan bank umum melayani ekonomi rakyat yang kondisi objektifnya memang tidak memungkinkan membangun akses pada pelayanan bank; atau UU Bank Indonesia yang membatasi bank sentral itu mengembangkan kegiatan-kegiatan yang memiliki misi pembangunan; atau mandat yang diterima BPPN yang hanya menekankan pada perolehan target penjualan aset dan sangat kurang mempertimbangkan kepentingan kemanfaatan aset tersebut bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Demikian pula dengan berbagai peraturan dan kebijakan ‘mikro’ tingkat lokal, seperti ijin usaha, ijin lokasi, pengaturan distribusi barang, ketentuan dan ijin mengenai mutu produk, dan sebagainya.

  5. Memperhatikan berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi rakyat, dan bercermin pada praktek kebijakan tersebut hingga saat ini, dapat dikemukakan berbagai permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kebijakan bagi ekonomi rakyat, antara lain:
    a. Pertimbangan dalam penetapan kebijakan tersebut seringkali memang tidak atas dasar kepentingan kegiatan ekonomi rakyat. Misalnya, pembentukan tingkat bunga melalui berbagai instrumen moneter lebih didasarkan pada kepentingan ‘balance of payment’ dan penyehatan perbankan; atau dilihat dari pemanfaatan cadangan pemerintah yang sangat besar bagi rekapitalisasi bank, padahal bank tidak (dapat) melayani kegiatan ekonomi rakyat; atau penetapan kebijakan perbankan sendiri yang penuh persyarakatan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif ekonomi rakyat, padahal mereka adalah pemilik-suara (voter) terbanyak yang memilih pada pembuat keputusan. Dalam hal ini, mengingat lamanya pengaruh lembaga internasional (WB, IMF, dll) patut pula diduga bahwa perancangan pola kebijakan tersebut juga membawa kepentingan internasional tersebut. Demikian juga, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah juga telah mengindikasikan pertimbangan yang tidak berorientasi ekonomi rakyat. Otonomi seharusnya juga berarti perubahan
    b. Kebijakan pengembangan yang dilakukan lebih banyak bersifat regulatif dan merupakan bentuk intervensi terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh ekonomi rakyat. Inovasi dan kreativitas ekonomi rakyat, terutama dalam mengatasi berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dihadapi, sangat tinggi. Namun banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan lebih banyak membawa norma dan pemahaman dari “luar” dari pada mengakomodasi apa yang sudah teruji berkembang dalam masyarakat. Posisi lembaga keuangan mikro dalam sistem keuangan nasional merupakan salah satu contoh terdepan dalam permasalahan ini.
    c. Kebijakan pengembangan yang dilakukan cenderung bersifat ‘ad-hoc’ dan parsial. Banyaknya kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak sering kali bersifat kontra produktif. Seorang Camat atau kepala desa atau kelompok masyarakat misalnya, sering kali harus menerima limpahan pelaksanaan ‘tugas’ hingga 10 atau 15 program dalam waktu yang bersamaan, dari berbagai instansi yang berbeda dan dengan metode dan ketentuan yang berbeda. Tumpang tindih tidak dapat dihindari, pengulangan sering terjadi tetapi pada saat yang bersamaan banyak aspek yang dibutuhkan justru tidak dilayani.
    d. Mekanisme penghantaran kebijakan (delevery mechanism) yang tidak apresiatif juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan. Kemelut Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan contoh kongkrit dari masalah mekanisme penghantaran tersebut. Demikian pula sikap birokrasi yang ‘memerintah’, merasa lebih tahu, dan ‘minta dilayani’ merupakan permasalahan lain dalam implementasi kebijakan. Sikap tersebut sering kali jauh lebih menentukan efektivitas kebijakan.
    e. Seperti yang telah dikemukakan diatas, banyak kebijakan yang bersifat ‘mikro’, padahal yang lebih dibutuhkan oleh ekonomi rakyat adalah kebijakan makro yang kondusif. Dalam hal ini, tingkat bunga yang kompetitif, alokasi kebijakan fiskal yang lebih seimbang sesuai dengan porsi pelaku ekonomi, dan kebijakan nilai tukar, disertai berbagai kebijakan pengaturan (regulative policy) tampaknya masih jauh dari harapan pemberdayaan ekonomi rakyat.

  6. Menyusun kebijakan yang optimal dalam pemberdayaan ekonomi rakyat memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Permasalahan seperti mencari keseimbangan antara intervensi dan partisipasi, mengatasi konflik kepentingan, mencari instrumen kebijakan yang paling efektif, membenahi mekanisme penghantaran merupakan tantangan yang tidak kecil. Yang dapat dilakukan adalah mengusahakan mencoba mengusahakan agar kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut dapat mewujudkan suatu ekonomi rakyat yang berkembang – meminjam jargon yang sangat terkenal – dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam semangat demokratisasi yang berkedaulatan rakyat, hal tersebut berarti kebijakan yang dilakukan perlu dapat menjamin agar kegiatan ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip :
    § Dari rakyat; rakyat banyak memiliki kepastian penguasaan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumberdaya produktif, dan rakyat banyak menguasai dan memiliki hak atas pengambilan keputusan produktif serta konsumtif yang menyangkut sumberdaya tersebut. Pemerintah berperan untuk memastikan kedaulatan tersebut dilindungi dan dihormati sekaligus mengembangkan pengetahuan dan kearifan rakyat dalam pengambilan keputusan.
    § Oleh rakyat; proses produksi, distribusi dan konsumsi diputuskan dan dilakukan oleh rakyat. Dalam hal ini sistem produksi, pemanfaatan teknologi, penerapan azas konservasi, dan sebagainya perlu dapat melibatkan sebagian besar rakyat. Pemberian ‘hak khusus’ kepada segelintir orang untuk mengembangkan ‘kue ekonomi’ dan kemudian baru ‘dibagi-bagi’ kepada yang banyak tidak sesuai dengan prinsip ini. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan rakyat harus mendapat apresiasi sepenuhnya.
    § Untuk rakyat; rakyat merupakan ‘beneficiaries’ utama dalam setiap kegiatan ekonomi sekaligus setiap kebijakan yang ditetapkan. Jelas bahwa korupsi, dominasi, dan eksploitasi ekonomi tidak dapat diterima.

  7. Implementasi prinsip diatas membutuhkan pemerintah yang memiliki visi dan strategi pembangunan yang jelas. Memang sistem ekonomi yang demokratis, yang menjadi prasyarat bagi perkembangan ekonomi rakyat, sangat membutuhkan peran pemerintah yang lahir dari sistem politik yang demokratis atas dasar kedaulatan rakyat yang kuat. Mudah-mudahan hal ini tidak menyebabkan kita terjebak dalam ‘debat-kusir’: mana yang lebih dahulu (harus) ada, ‘ayam atau telur’. Atau mungkin justru ketidak-jelasan masa depan percaturan elit saat ini – yang kemudian sering diinterpretasikan sebagai kurang jelasnya arah dan strategi pembangunan – justru dapat menjadi lahan yang subur bagi berkembang ekonomi rakyat.-

    Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, Staf Pengajar/ Peneliti Institut Pertanian Bogor, (IPB)
    Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Strategi Revitalisasi Perekonomian Indonesia. CSIS- Bina Swadaya, Jakarta 21 Februari 2001.

    Pustaka :
    Seldadyo-Gunardi, et al. 1998. Usaha Kecil Indonesia, Tantangan Krisis dan Globalisasi. The Asia Foundation, ISEI dan Perhepi. Jakarta
    Snodgrass, Donald and Tyler Biggs. 1995. Industrialization and The Small Firm. World Bank Working Paper, Washington D.C

Senin, 05 Mei 2008

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL


Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.
Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.
Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.
Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.
Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta

KESWADAYAAN DALAM PERSPEKTIF



Membangun, pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia menghadapi imperatif perubahan. Karena, suka atau tidak suka, dirancang atau tidak dirancang, perubahan akan dihadapi oleh manusia. Perubahan itu terjadi pada diri manusia sendiri, pada lingkungan masyarakat di mana ia berada dan pada tuntutan‑tuntutan agar ia bisa mempertahankan, menjaga dan meningkatkan survivalnya. Proses dan akibat perubahan itu akan dihadapi oleh semua manusia dan seluruh anggota masyarakat. Ada dua pihhan bagi manusia dalam menghadapi imperatif perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan perubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan manusia menerima saja keharusan dan akibat perubahan itu, dan menyerahkan semuanya pada kehendak 'nasib'. Atau, berikhtiar menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.
Kita, bangsa Indonesia, berketetapan untuk menghadapi imperatif perubahan itu dengan ikhtiar, melalui upaya pembangunan. Kita ingin agar arah, dinamika dan gejolak yang inherent dalam setiap proses perubahan dapat sejauh mungkin dikuasai dan dikendalikan. Tergantung dinamika internal dan dinamika external yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat, perubahan bisa berjalan cepat atau lambat, lebih bergejolak atau kurang bergejolak, arahnya menuju ke sasaran yang lebih maju dan moderen, atau bahkan mundur atau makin terbelakang. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola perubahan itu, kita sebagai individu, masyarakat atau negara sebagai pengemban amanat rakyat ?
Ada sementara orang termasuk ahli ilmu sosial dan budayawan yang beranggapan bahwa imperatif perubahan itu demikian kompleks dan normatif sifat penilaian­nya. Sehingga mereka tidak percaya bahwa imperatif perubahan manusia dan masyarakat itu dapat dikendalikan apalagi dikelola oleh lembaga atau orang-orang tujuan di luar individu manusia yang menghadapi perubahan itu sendiri. Arah perubahan yang dihadapi manusia disamping kompleks, berdimensi banyak, juga sangat mungkin bercorak individu. Karenanya tidak layak untuk dicampuri lembaga manapun, termasuk negara, apalagi pemerintah. Karena cara pengelolaan yang demikian akan melahirkan sistem kemasyarakatan yang totaliter dan menindas prakarsa dan kemerdekaan perorangan untuk memilih responsnya sendiri dalam menghadapi perubahan.
Saya bukan tergolong di antara mereka yang melihat bahwa ikhtiar untuk mengelola imperatif perubahan ikhtiar secara bersama, dalam konteks masyarakat atau negara, merupakan sesuatu yang berlebihan. Kebudayaan, ilmu pengetahuan dan agama melembagakan cita-cita serta isyarat tujuan hidup manusia dan masyarakat sebagai acuan tatkala menghadapi perubahan. Bahkan pembakuan bersama nilai-nilai normatif, atau norma-norma praktis dalam ajaran tentang etika, ibadah dan tata hidup bermasyarakat, menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya dilengkapi dengan fitrah dan kesadaran akan keberdayaannya. Karena itu ada ajaran tentang ikhtiar, ada cita-cita mewujudkan rahmat bagi sekalian alam, ada petunjuk etis untuk berbuat kebajikan dan menjauhi serta memerangi kemungkaran.
Sesungguhnyalah hakekat pembangunan nasional kita adalah untuk membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pada gilirannya yang akan menjadi subyek pembangunan, dalam arti menghadapi dan mengelola imperatif perubahan, adalah manusia dan masyarakat Indonesia. Karena itu yang pertama dan utama harus diletakkan landasannya adalah rasa keberdayaan untuk menjaga ditegakkannya tujuan hidup, keberdayaan untuk merumuskan arah ke mana perubahan itu hendak diikhtiarkan (untuk arahkan) dan keberdayaan untuk mengelola dampak, bahkan mungkin juga gejolak yang diakibatkan oleh proses perubahan itu. Tatkala keragaman individu dan pluralitas masyarakat Indonesia itu harus bersama-sama menghadapi perubahan yang akan tetap menjamin terpeliharanya sendi-sendi kehidupan bersama sebagai bangsa, sendi-sendi integritas nasional sebagai negara dan sendisendi yang menjaga keutuhan sebagai satu satuan budaya, maka dibutuhkan institusi yang akan merujukkan kesamaan persepsi tentang berbagai dimensi dari ikhtiar bersama untuk mengelola perubahan, seraya mewadahi keragaman atau pluralitas dari kekhasan individu dan masyarakat setempat tatkala menangkap isyarat perubahan itu.
Saya mengidentifikasikan ada lima faktor penyebut bersama (common denominator) yang bisa dijadikan sebagai acuan persamaan persepsi tentang tujuan hidup bersama kita sebagai bangsa. Karenanya, menurut pendapat saya kelima faktor itu dapat dijadikan kerangka yang selalu dirujuk tatkala kita menjelajahi medan pengelolaan imperatif perubahan itu, termasuk menetapkan arah, dinamika dan mengendalikan gejolak yang ditimbulkan oleh perubahan.
Kelima faktor itu adalah:
Pertama, betapapun dahsyat imperatif perubahan itu menerpa kita sebagai individu atau anggota masyarakat, kiranya kita sepakat bahwa kita tidak hendak kehilangan jatidiri kita sebagai manusia dan masyarakat Indonesia. Betapapun maju kita secara duniawi dan modern dalam simbol dan ekspresi budaya kita, namun kita tetap tidak ingin menjadi Amerika atau Jepang, bahkan juga tidak Eropa. Persepsi kita tentang jati diri Indonesia demikian kuatnya sehingga segala imperatif perubahan yang akan mengurangi atau menawar kadar keindonesiaan, selalu akan dikoreksi oleh naluri respons kita, sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Kita ingin konfigurasi keindonesiaan kita tetap terjaga dalam proses perubahan itu.
Kedua, kita juga menginginkan bahwa perubahan apapun yang akan terjadi, pencapaian material apapun yang berhasil kita wujudkan dan kemajuan sampai sejauh apapun yang berhasil kita raih, tetap juga ingin kita lestarikan nilai-nilai eternal kita tentang Ketuhanan, tentang Kemanusiaan, tentang Persatuan, tentang Kerakyatan dan tentang Keadilan. Dengan perkataan lain, saya berkeyakinan bahwa cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maju dan modern serta setara dengan manusia dan masyarakat maju di mana pun, namun kita tetap inginkan sebuah masyarakat Pancasila. Nilai-nilai eternal itu bukan hanya digunakan sebagai karakter bangsa, tetapi juga secara individu dan dalam kehidupan bermasyarakat hendak terus kita hayati dan kita amalkan : Bahkan lebih dari itu, tatkala kita menarik implikasi dari cita-cita ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keutuhan tumpah darah Indonesia ini ingin kita jaga dengan mengacu pada tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945.
Ketiga, sebaliknya bagaimanapun kukuh pilar-pilar yang menjaga kepribadian Pancasila dan jatidiri Indonesia tadi, kita menghendaki agar perjalanan perubahan ini membawa kita, baik sebagai individu, masyarakat maupun kesatuan bangsa dan negara yang makin maju, makin modern dan makin mampu untuk secara swadaya mengelola tujuan hidup kita. Walaupun makna maju dan modern ini bisa sangat normatif dan karenanya bisa berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, namun premis dasar tentang kemajuan dan modernitas, ini dapat diletakkan bersama dan disepakati. Kita ingin maju dalam arti misalnya kemiskinan absolut bisa kita hilangkan secepatnya. Kita merasa modern kalau anak cucu kita mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dan. pengajaran yang jauh lebih kaya dan bermutu daripada orang tua atau generasi sebelumnya. Kita merasa lebih maju kalau harapan hidup dan derajad kesehatan kita meningkat. Bahkan kita lebih maju kalau penghayatan dan pengamalan agama bisa kita tingkatkan dari tataran amalan syareat semata, ketataran yang lebih berimbang antara syareat, hakekat dan makrifat dari kandungan ajaran akhlak dan moral agama itu.
Keempat, tatkala kita maju dan modern, tatkala kita tetap berjatidiri dan berkepribadian Indonesia, dalam perjalanan kemajuan dan modernitas itu, kita ingin menjaga harmoni dalam perjalanan kita menjelajahi perubahan itu. Adakalanya kita tidak sabar menempuh imperatif perubahan yang bercorak revolusioner dan bertahap serta ingin perombakan dan penjebolan akar-akar masalah yang menjadi sumber keterbelakangan, ketergantungan, dan anomi atau hilangnya orientasi nilai. Tetapi perubahan-perubahan itu tidak ingin kita hadapi sebagai sesuatu proses yang dampak dan gejolak yang diakibatkan tidak terkendali dan berada di luar kapasitas kita sebagai individu maupun masyarakat untuk mengelolanya. Sehingga arah dan tujuan perubahan bisa justru menjadi berada di luar kontrol kita. Kita juga ingin harmoni dalam pengertian keimbangan antara perubahan yang dikelola di bidang ekonomi yang seimbang, dengan perhatian yang diberikan pada bidang selain ekonomi. Kita ingin selaras capaian kemajuan di bidang material dan spiritual, di bidang jasmani dan rohani, di bidang lahiriah dan bidang batiniah. Kita ingin keselarasan antara kemajuan di bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan secara bersama-sama.
Kelima, cara pandang kita terhadap imperatif perubahan itu adalah sebagai proses yang utuh, terpadu dan saling berkaitan aspek-aspeknya. Karena itu respons yang dituntut untuk mengelola perubahan juga harus terpadu dan utuh saling kaitannya. Kita juga memandang manusia dan masyarakat sebagai satuan organik yang utuh konfigurasinya. Karena itu mementingkan satu aspek dengan mengorbankan aspek yang lain bukan merupakan pendekatan yang tepat dalam mendekati kaneah perubahan itu. Tatkala sumber-sumber untuk mengelola imperatif perubahan itu terbatas maka pendekatan pengelolaannya tidak lagi cukup dengan menyederhanakannya dengan menetapkan prioritas, tetapi sudah perlu menengok tatakaitan keutuhan itu dalam sebuah jaringan sistem, systemic dan holistic approach. Dengan pendekatan sistem dan menyeluruh.
Dalam kerangka kelima faktor yang menjadi common denominator bagi acuan pengelolaan perubahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia itulah kita ingin mengembangkan lebih lanjut wawasan, kelembagaan dan sistem pembangunan nasional kita. Salah satu upaya untuk pengembangan itu adalah ikhtiar kita untuk membongkar kembali akar-akar wawasan keswadayaan dalam pembangunan, penyusunan kelembagaan agar dalam pelaksanaan pembangunan itu terjamin ditegakkannya wawasan keswadayaan itu dan membangun sistem pembangunan yang mendorong, memperkukuh dan melestarikan kemampuan untuk membangun atas prakarsa, daya dan ikhtiar sendiri, memperkukuh tegaknya dan pendayagunaan potensi keswadayaan, yang merupakan wahana bagi lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan badan internasional untuk mengembangkan wawasan keswadayaan dalam pembangunan itu. Keswadayaan sebagai suatu konsep, baru berkembang belakangan ini saja di Indonesia. Lebih baru lagi adalah konsep keswadayaan yang diusahakan atas kerjasama berbagai pihak yang selama ini seolah berjalan sendiri-sendiri yaitu pemerintah, swasta, lembaga profesional nirlaba, LSM dan masyarakat sendiri. Selama ini peran LSM-lah yang tampak menonjol sebagai pihak yang memikirkan bagaimana masyarakat bawah menjadi lebih aktif dan mandiri.
Tentu dalam hal ini tidak berlebihan jika gejala tersebut diletakkan pada hampir semua common denominator yang telah disebutkan di atas, yaitu faktor-faktor 2, 3, 4, dan 5. Dalam pembicaraan kita tentang keswadayaan harus diakui bahwa posisi para pengelola pembangunan - yang bersepakat untuk menangani masalah keswadayaan masyarakat akar rumput - lebih menonjol dari masyarakat akar rumput sendiri. Dengan demikian, bisa dinilai seberapa jauhkah kesadaran tentang keswadayaan didasari pada keinginan akan gambaran kemajuan yang jelas pada masyarakat akarrumput, nilai keadilan, dan nilai kebersamaan.
Di pihak lain, yaitu masyarakat akar rumput sendiri, terdapat persoalan jati diri macam apakah yang sebenarnya ada dan diinginkan ada. Sebab, pembangunan mungkin akan menuntut suatu perubahan diri. Sudahkah para pengelola pembangunan memperhitungkan masalah jati diri masyarakat akar rumput? Bahkan, sudahkah kita mempunyai gambaran tentang "jati diri Indonesia" di tengah keragaman sosial yang ada? Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukkan bahwa persoalan jatidiri tidak hanya persoalan dengan bangsa lain, tetapi juga dalam. masyarakat Indonesia sendiri.
Bagaimana kalau keswadayasn dicoba ditempatkan pada kelima denominator di atas sehingga memberi gambaran yang jelas tentang kadar keswadayaan yang diinginkan?
Pertama, jati diri: keswadayaan yang menjaga identitas dan norma-norma bangsa; Kedua, ke arah kemajuan yang jelas: peningkatan pendapatan golongan ekonomi lemah, membesarnya akses permodalan, akses pendidikan bagi anak‑anak mereka, dan sebagainya; Ketiga, nilai-nilai Pancasila: terkandung nilai-nilai Pancasila dalam proses pembentukanya maupun dalam mekanismenya sendiri; Keempat, keseimbangan/perubahan terkendali: sedapat mungkin program-program pengembangan keswadayaan tidak tambal sulam, diperhitungkan. dan melalui proses diskursus yang demokratis; Kelima, keterkaitan: keikutsertaan semua pihak, masing-masing siap berubah posisi ekonominya.
Demikianlah, dengan menggunakan kelima denominator dalam pembicaraan tentang keswadayaan, terlihat posisi nilai, gagasan tentang perabahan, dan gagasan tentang peranserta dari masing-masing pihak.***

Soetjipto Wirosardjono, MSc – Mantan Wakil Kepala BPS

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...