Kamis, 23 Juni 2011

Pengawasan Internal MA: Efek Jera

Ketika seorang oknum hakim menjalani proses hukum terkait kasus suap dengan aktor utama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, Mahkamah Agung (MA) berharap kasus itu menjadi peristiwa terakhir yang mencoreng semangat reformasi birokrasi yang tengah gencar dilakukan MA beserta empat lembaga peradilan di bawahnya.

Apa hendak dikata, dua minggu lalu peristiwa yang sama terjadi lagi.Hakim Syarifuddin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kediamannya, setelah dituduh menerima suap dari seorang kurator sebesar Rp250 juta. Setelah peristiwa itu terjadi banyak pihak berbicara seolah berlomba menghakimi MA sebagai lembaga yang tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Bahkan, tertangkapnya hakim Syarifuddin digunakan sebagai latar belakang penarikan kesimpulan bahwa MA gagal membina aparatnya. MA dituduh dengan sengaja menutup mata program kegiatan yang telah dikerjakan lembaga ini.

Padahal secara statistik jumlah maupun persentase pelanggaran selama kurun waktu dua tahun terakhir ini menurun secara signifikan. Ini tentunya menjadi ukuran valid bahwa upaya perbaikan yang dimotori MA itu mulai terlihat hasilnya.

Pengawasan

Pengawasan internal dalam lingkungan peradilan dikenal dalam dua bentuk. Pertama, pengawasan melekat yang merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus.

Kedua, pengawasan fungsional yang merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang khusus ditunjuk untuk melakukan tugas tersebut dalam satuan kerja tersendiri, yaitu Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.

MA juga melakukan pengawasan reguler yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat pertama secara rutin terhadap penyelenggaraan peradilan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ada pengawasan dalam bentuk penerimaan pengaduan.

Penanganan pengaduan ini merupakan bentuk pengawasan terhadap tingkah laku aparat lembaga peradilan, manajemen dan kepemimpinan lembaga peradilan, kinerja lembaga peradilan, dan kualitas pelayanan publik lembaga peradilan. Untuk itu, MA membuka kesempatan seluas-luasnya agar mekanisme pengaduan dari masyarakat ini benarbenar dimanfaatkan dengan baik.

Tujuannya untuk memberikan kritik dan saran agar lembaga peradilan dapat menjadi tempat mencari keadilan yang sesuai dengan harapan. Bukan hanya digunakan pihak yang kalah dalam beperkara untuk melampiaskan ketidakpuasannya belaka.

MA menyediakan meja informasi di seluruh badan peradilan di bawah MA, yang selain bertugas melayani masyarakat dalam menerima pengaduan dan memberikan respons terhadap status pengaduan, juga memberikan informasi tata cara pengaduan. Jika hakim terbukti bersalah, hukuman disiplin dapat dijatuhkan kepada yang bersangkutan dengan mempertimbangkan ketentuan yang berlaku.

Hukuman dijatuhkan berdasarkan kadar kesalahan yang dilakukan, yang ditetapkan oleh ketua MA dalam jangka waktu paling lama dua puluh hari kerja sejak menerima pendapat dari ketua muda pengawasan.

Kode Etik dan Perilaku Hakim

Sebagai lembaga peradilan, MA menyadari bahwa posisi hakim menjadi sangat rentan kritik dan saran.Meskipun kurang tepat, namun sebagian pihak menilai bahwa di tangan para hakim, seolah kinerja dan kredibilitas institusi MA dan lembaga peradilan di bawahnya benar-benar dipertaruhkan.

Akibat pola pikir ini,tidak mengherankan bila setiap kesalahan atau perilaku tercela yang dilakukan oleh oknum secara individu diterjemahkan sebagai kegagalan seluruh lembaga peradilan secara institusional. MA juga menyadari bahwa pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel, dan berwibawa adalah yang mampu menegakkan wibawa hukum,pengayoman hukum, kepastian hukum, dan keadilan.

Hal itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara hukum. Dalam hal ini, pengadilan menjadi pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan sedangkan hakim menjadi figur sentral dalam proses peradilan. Tentu hakim senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas dan kecerdasan moral, serta meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Mempertimbangkan pentingnya kinerja hakim dalam upaya memperbaiki sistem yang sudah dan akan senantiasa berjalan, Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial menerbitkan Surat Keputusan Bersama Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/ 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Prinsip - prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam sepuluh aturan yang mencakup: (1) berperilaku adil,(2) berperilaku jujur, (3) berperilaku arif dan bijaksana,(4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional.

Prinsip-prinsip dasar inilah yang kemudian digunakan sebagai variabel oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial untuk menindaklanjuti setiap terjadinya dugaan perbuatan tercela yang dilakukan oleh hakim,namun bukan merupakan hal-hal yang terkait dengan faktor teknis dalam persidangan.

Majelis Kehormatan Hakim

Dalam hal adanya perbuatan tercela yang dilakukan oleh oknum aparat lembaga peradilan, MA sekali lagi ingin memastikan bahwa MA tidak pernah melindungi siapa pun, termasuk hakim.

Bersama dengan Komisi Yudisial, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 129/ KMA /SKB /IX/2009 dan 04/SKB/P.KY/IX/2009 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang akan diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan sementara, yang dibentuk setiap keperluan pembelaan hakim, baik hakim agung, hakim tingkat banding, maupun hakim tingkat pertama.

Berkedudukan di Mahkamah Agung, MKH dibentuk oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, selambat- lambatnya empat belas hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian. MKH terdiri dari tiga orang hakim agung dan empat orang anggota Komisi Yudisial.

MKH diketuai oleh salah satu dari tiga orang hakim agung yang ditunjuk, apabila MKH dibentuk atas usul Mahkamah Agung. Sebaliknya, KomisiYudisial menunjuk satu dari empat anggota yang dipilih sebagai ketua, apabila MKH dibentuk atas usul Komisi Yudisial.

Dalam hal pembelaan diri ditolak,MKH menyampaikan keputusan usul pemberhentian kepada Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial paling lama tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai.

Ketua Mahkamah Agung kemudian menyampaikan usul pemberhentian tersebut kepada presiden paling lama empat belas hari kerja sejak tanggal diterimanya keputusan usul pemberhentian dari Majelis Kehormatan Hakim.

Rekapitulasi Hukuman Disiplin

Dengan mengacu pada paparan di atas, terlihat bahwa MA tidak pernah melindungi oknum yang tidak bertanggung jawab. MA juga tidak segan memberhentikan tidak dengan hormat para oknum yang terbukti melakukan pelanggaran berat. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memberikan efek jera sehingga perbuatan sejenis tidak terulang di kemudian hari.

Dampak dari kebijakan itu mulai dirasakan dengan menurunnya hukuman disiplin yang dijatuhkan, baik jumlah maupun persentase melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim. MA berharap agar masyarakat terus melakukan kontrol terhadap kinerja lembaga peradilan termasuk aparatnya.

Hal ini karena MA menyadari bahwa sebagai lembaga peradilan, MA dan lembaga peradilan di bawahnya wajib memberikan kepastian hukum yang berkeadilan sosial bagi segenap bangsa Indonesia seperti yang dicita-citakan

. NURHADI Kepala Biro hukum dan Humas Mahkamah Agung RI

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407879/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...