Selasa, 07 Juni 2011

Pancasila dan 'Nalar' Keagamaan Kita

Oleh: KH Said Aqiel Siradj

Berdirinya NKRI bukanlah sesuatu yang tercerabut dari sejarah. Jauh sebelumnya, sejak kehadiran kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kemudian diteruskan kerajaan-kerajaan Islam sekitar abad ke-13-16 M, sejarah bangsa dan negara kita sudah terukir selama berabad-abad. Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara merupakan penjasadan nilai-nilai yang digali dari pengalaman sejarah tersebut. Demikian pula, semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas banyak unsur etnik beserta adatnya, bermacam agama dan aliran kepercayaan dan lingkungan yang berbeda, maka kesatuan merupakan nilai dan pagar yang sangat penting. Proses integrasi untuk mewujudkan kesatuan ini memegang peranan yang sangat fundamental. Proses integrasi pada hakikatnya perlu dibidikkan agar memberi makna kepada hidup manusia Indonesia.

Sementara itu, kebudayaan nasional mengandung makna totalitas, karena di dalamnya terdapat banyak unsur sehingga mengandung banyak persoalan. Setiap kebudayaan mencakup tiga lingkup persoalan hidup, yaitu menghadapi diri sendiri, sesama dan bangsanya, alam sekitar, dan Tuhan.

Titik kompromi
Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Terlebih maraknya kembali radikalisme keagamaan, seperti terorisme dan NII, sontak hendak memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama. Diakui atau tidak, hingga kini sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, serta menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.

Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan tersebut dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencarian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara-bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.

Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni di atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama, yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme sekuler.

Dari naskah sidang-sidang BPUPKI, kelihatan perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Dan, akhirnya sejarah mencatat, perdebatan itu berakhir pada satu titik "kompromi". Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.

Begitulah, Pancasila merupakan konsensus pada saat terjadi perdebatan yang sangat alot mengenai dasar negara; antara yang menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler dan agama. Para tokoh umat Islam dengan berbesar hati menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menganut satu agama atau kepercayaan. Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya\' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk ke dalam Pancasila.

Dalam Muktamar Situbondo 1984, NU telah menegaskan Negara RI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final dari perjuangan umat Islam, dan tidak bisa diganti dengan Negara Islam. Karena itu, NU menetapkan Pancasila sebagai asas organisasinya. Begitu pula, ketika negara otoriter Orde Baru berusaha memecah-belah kekuatan rakyat, serta membatasi berbagai kelompok agama, etnis, dan ras tertentu, NU tampil sebagai pembela rakyat tertindas dan kelompok-kelompok minoritas.

Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai "daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim). Daniel Dhakidae pada pertengahan 1990-an bahkan penah menyebut NU sebagai "tha last bastion of civil society", benteng terakhir masyarakat sipil menghadapi negara.

Kita paham bahwa pada masa Orde Baru, Pancasila hanya menjadi milik pemerintah. Rakyat tidak diperkenankan memberikan interpretasi terhadap Pancasila. Dan, celakanya lagi, Pancasila menjadi alat untuk membungkam orang-orang yang kritis, dengan vonis yang berbeda dengan pemerintah dianggap tidak Pancasilais. Kini, Pancasila telah dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Inilah momen bagi rakyat untuk mengambil kembali miliknya, dan kemudian menempatkan Pancasila sebagai "tenaga dalam" demi membangunkan kembali bangsa Indonesia dari masa krisis.

Pancasila adalah landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multietnik, multiagama, ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam. Ia merupakan titik pertemuan (nuqthotul liqo') yang lahir dari suatu kesadaran bersama pada saat krisis. Dan, kesadaran ini muncul dari kesediaan berkorban demi kepentingan yang besar membentuk negara besar.

Dinamika perubahan zaman telah memberi pengaruh yang luar biasa bagi perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat. Globalisasi, kapitalisme, dan liberalisme telah menciptakan "budaya" baru yang kerap justru mengurangi dan merengsek nilai-nilai adiluhung bangsa. Bangsa kita yang tampak mudah terpengaruh, mudah menyerap gaya hidup budaya lain khususnya yang datang dari Barat, membuat gonjang-ganjing resistensi budaya bangsa.

Stabilisasi dan produktivitas memang dua hal yang perlu diwujudkan di negeri kita. Pada masa Orba, stabilisasi menjadi fokus utama sehingga cenderung mengorbankan demokrasi. Pada masa reformasi, stabilisasi tergoyang oleh luapan demokratisasi di segala bidang. Yang terpenting sesungguhnya, di samping stabilitas negara, juga pemekaran produktivitas anak bangsa.

Dengan demokrasi, sebetulnya justru membuat masyarakat terpacu untuk meningkatkan kreativitas. Di sini, negara perlu mendorong dan memberikan fasilitasi yang lebih intensif dan ekstensif, sehingga rakyat menjadi bebas berekspresi secara positif-konstruktif. Bangsa tanpa kreativitas hanya akan membawa kemunduran.

Inilah tugas dan cita ke depan bagi bangsa kita. Pancasila akan tetap merupakan serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia bisa membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Dari sinilah, Pancasila sebagai pedoman bangsa akan menemukan efektivitasnya bagi penguatan jati diri, karakter bangsa, dan peningkatan produktivitas bangsa. Dengan begitu, pendaman khazanah budaya dan keragaman agama dapat menjadi "sumber mata air" bagi pembangunan peradaban bangsa.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/135880/Pancasila_dan_Nalar_Keagamaan_

KH Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...