Rabu, 22 Juni 2011

Apa Maunya Australia?

Hubungan Indonesia- Australia kembali tegang. Kali ini hal itu dipicu oleh kebijakan pengusaha dan Pemerintah Australia yang menghentikan ekspor sapi ke Indonesia.

Keputusan itu diambil menyusul tayangan video pada program Four Corners di jaringan televisi ABC Australia beberapa waktu lalu yang menggambarkan kekerasan pada sapi potong sebelum disembelih di beberapa tempat pemotongan hewan di Indonesia. Namun, belakangan diketahui bahwa video itu merupakan rekayasa pihak Australia.

Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Sumatera Utara mengungkapkan bahwa mereka berhasil menemukan seorang penjagal di rumah potong hewan Binjai, Sumatera utara, yang mengaku telah menerima bayaran sebesar Rp50.000 untuk melakukan adegan proses pemotongan sapi yang ditudingkan pihak Australia tidak sesuai dengan kesejahteraan hewan (animal welfare).

(Medan Bisnis,6/6) Kuat dugaan bahwa kebijakan penghentian ekspor sapi ke Indonesia dengan menggunakan isu penyiksaan hewan sebagai dalih tidak lebih dari sekadar taktik dagang Australia semata.Australia ingin mengubah mekanisme dan proses ekspor-impor sapi agar sesuai kepentingan mereka.

Apalagi, Indonesia menerapkan ketentuan khusus terkait impor sapi dari Australia. Pemerintah Indonesia dituntut untuk bersikap taktis dalam merespons taktik licik Australia tersebut. Tepat bila kemudian tim ekonomi kabinet bertekad untuk menjadikan hal ini sebagai momentum untuk melakukan swasembada daging.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan Indonesia- Australia sering mengalami pasang surut dan diwarnai berbagai gejolak diplomatik akibat ulah provokatif sejumlah elite politik pemerintahan Australia. Sebelumnya bulan Maret lalu hubungan Indonesia-Australia sempat memanas akibat headline pemberitaan dua surat kabar Australia, The Age dan Sydney Morning Herald.

Letak geografis yang jauh dari Inggris selaku tanah leluhur dan luas wilayah yang tidak berimbang dengan jumlah penduduk telah membuat Australia cenderung terisolasi dari dinamika regional. Faktor budaya dan tradisi Australia yang lebih dekat dengan Eropa secara tidak langsung telah menciptakan hambatan bagi Australia untuk menjalin komunikasi intensif dengan negara-negara Asia,terutama di kawasan Asia Tenggara.

Jalinan relasi diplomatik antara Australia dengan negara- negara tetangga—terutama Indonesia—selama ini tidak jarang diwarnai dengan berbagai ketegangan. Dukungan Australia terhadap kelompok prokemerdekaan pada referendum Timor Timur tahun 1999 dan pemberian visa sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 warga Papua lima tahun lalu merupakan contoh konkret dari hal itu.

Pasang Surut

Secara historis Australia merupakan negara persemakmuran yang paling lama bergantung pada Inggris. Ketika negara- negara persemakmuran lain telah melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris, Australia belum juga dapat melepaskan diri dari pengaruh Inggris, terutama terkait kebijakan politik luar negeri.

Sebagai contoh, pada Perang Dunia (PD) I Australia terjun ke medan perang membantu kepentingan Inggris. Baru kemudian setelah AS muncul sebagai kekuatan baru, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Curtin (1941–1945) Australia menjadikan AS sebagai “negara pelindung”baru.Australia pun kemudian “mengabdi” pada Negeri Paman Sam.

Keterlibatan Australia dalam Perang Vietnam menjadi awal dari “pengabdian”tersebut. Memasuki tahun 1980-an, Australia mulai menyadari pentingnya menjalin hubungan lebih intensif dengan negaranegara Asia dengan alasan keamanan. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Bob Hawke (1983–1991) dan Paul Keating (1991–1996) dari Partai Buruh, Australia kian menampilkan wajah ramah dengan negaranegara Asia, terutama Indonesia.

Tidak berlebihan jika era itu kemudian dianggap sebagai masa keemasan relasi Indonesia- Australia. Pada era kepemimpinan Howard (1996–2007) hubungan Indonesia-Australia lebih didominasi oleh berbagai ketegangan politik. Berbagai kebijakan pemerintahan Howard cenderung kurang simpatik terhadap Indonesia.

Sedari awal menjabat sebagai perdana menteri, Howard langsung mengubah haluan politik luar negeri Australia yang selama era kepemimpinan Paul Keating dinilai terlalu condong ke Asia sehingga menomorduakan hubungan kultural dengan negara-negara Barat. Meski Asia tetap ditempatkan sebagai bagian terpenting dalam kebijakan politik luar negeri Australia, tetapi prioritas utama dari kebijakan politik luar negeri John Howard adalah “melayani” kepentingan AS.

Hal itu sekaligus menjadi pertanda menguatnya kelompok status quo di langgam politik Australia. Kemenangan Partai Buruh pada dua pemilu terakhir Australia memunculkan harapan Indonesia bagi awal era baru hubungan Indonesia-Australia. Namun,agaknya harapan tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan.

Setelah selama tiga tahun terakhir hubungan Indonesia- Australia berada pada kondisi kondusif, kini hubungan kedua negara itu kembali tegang akibat pemberitaan ceroboh dua surat kabar Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, dan rekayasa video penyiksaan sapi di rumah potong hewan Binjai,Sumatera Utara.

Kedua kasus itu harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Australia dalam hal menjaga keharmonisan hubungan negara-negara tetangga. Di masa mendatang, Indonesia dan Australia perlu kian masif mempromosikan pendekatan sosial budaya dalam hal relasi kedua negara,seperti program pertukaran pelajar.

Dengan demikian, diharapkan semakin banyak muncul ahliahli mengenai Australia dan Indonesia yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan frekuensi pertukaran informasi antarkedua negara.

● BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407593/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...