Selasa, 05 April 2011

Mencegah Pembobolan Bank

Oleh: Sutan Remy Sjahdeini

Belum selesai kasus Bank Century yang dibobol pemiliknya sendiri, kini masyarakat dikejutkan oleh pembobolan Citibank oleh MD.

Pembobolan bank tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pernah terjadi di banyak negara. Bank besar seperti Bank of America pernah dibobol pada 2008 oleh direktur utamanya, yaitu Kenneth D Lewis. Pembobolan Citibank juga pernah terjadi di India pada 2010 dan dilakukan oleh Shivraj Puri, relationship manager. Tahun 2011 European Bank for Reconstruction and Development yang berkedudukan di London juga mengalami kesialan, dibobol oleh mafia Rusia.

Menghadapi berbagai pembobolan bank di Indonesia, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas perbankan, pemerintah, dan kepolisian sebagai penegak hukum harus menyikapinya secara serius. Apabila masyarakat tidak memperoleh kesan bahwa instansi tersebut bersikap serius, kepercayaan masyarakat kepada perbankan akan tererosi.

Sebagian besar bank bekerja dengan dana masyarakat (deposito, giro, tabungan, atau bentuk lain). Sekali terjadi keruntuhan suatu bank karena sebab apa pun, keruntuhan tersebut akan menular ke bank-bank lain. Nasabah dari bank-bank lain akan ramai-ramai menarik dana simpanannya. Karena perbankan merupakan bagian dari sistem moneter, kehancuran suatu bank yang menular ke bank-bank lain (berdampak domino) pada gilirannya akan menghancurkan sistem moneter negara.

Setiap bank pasti memiliki sistem pengamanan. Namun, secanggih dan seketat apa pun sistem pengamanan, tetap saja bank rentan terhadap pembobolan karena bank yang secara teknologi telah menggunakan sistem komputer mungkin saja masih bisa dibobol oleh para peretas (hacker). Pembobolan bank sudah terjadi sejak dunia mengenal bank. Kasus pembobolan bank mungkin saja dapat ditekan, tetapi tidak mungkin dapat dihilangkan. Sekalipun banyak manusia yang baik, selalu saja ada yang memiliki kecenderungan berbuat jahat dan tergoda membobol bank.

Para pembobol tersebut dapat terdiri atas orang dalam saja (tanpa melibatkan orang luar), orang luar saja (tanpa melibatkan orang dalam), orang luar bekerja sama dengan orang dalam, atau sebaliknya. Pembobolan bank di Indonesia yang dilakukan oleh satu saja orang dalam biasanya tidak bernilai besar. Contohnya adalah pembobolan rekening tabungan.

Pembobolan oleh orang luar sejauh ini belum kedapatan dilakukan oleh orang-orang yang tergabung dalam organisasi kejahatan canggih seperti di luar negeri (mafia Amerika, Triad, Yakuza, mafia Rusia). Meski demikian, biasanya pembobolan tersebut tidak dilakukan oleh satu orang saja dan biasanya juga melibatkan orang dalam.


Kelemahan UU

Undang-Undang Perbankan telah memuat berbagai ketentuan pidana yang mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bank. Namun, masih banyak perilaku pidana oleh orang dalam yang belum diatur. UU Perbankan juga belum banyak mengkriminalisasi kejahatan terhadap bank yang dilakukan oleh orang luar. Seyogianya kejahatan terhadap bank, baik yang dilakukan oleh orang dalam maupun orang luar, dapat diatur pula dalam UU Perbankan. Di Amerika Serikat, misalnya, hal tersebut diatur secara khusus dalam Bank Fraud Statute di Title 18 of The US Code.

Disarankan agar ketentuan pidana dalam UU Perbankan baru, yang saat ini sedang disusun oleh BI, diatur lebih luas ketimbang UU Perbankan yang sekarang berlaku. Berbagai perilaku pidana, baik oleh orang dalam maupun orang luar, dapat pula dipertimbangkan untuk dikenai pidana berdasarkan UU Tipikor No 31/1999 juncto UU 20/2001 atau UU Pencucian Uang No 8/2010.

Sistem pencegahan

Ada beberapa cara untuk memperkecil terjadinya pembobolan bank di Indonesia. Pertama, BI menetapkan secara seragam sistem pengamanan yang harus dimiliki dan diaplikasikan setiap bank. BI hendaknya menyewa konsultan teknologi pengamanan bank dan konsultan tersebut mampu menciptakan serta menerapkan teknologi itu. Setiap tahun setiap bank menyisihkan dana dengan persentase tertentu, misalnya 5 persen dari keuntungannya, untuk membiayai penciptaan dan penerapan sistem pengamanan tersebut.

Kedua, BI setiap tahun harus melaksanakan pemeriksaan (audit) secara intensif terhadap setiap kantor cabang bank. Mengingat dalam pelaksanaannya BI mungkin tidak memiliki auditor yang cukup, hendaknya BI segera menggunakan kewenangannya yang ditentukan dalam Pasal 31A UU Perbankan No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 (UUPB). Ketentuan serupa juga disebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) UU BI No 23/1999. Ketentuan tersebut menentukan bahwa BI dapat menugasi akuntan publik untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan terhadap bank.

Ketiga, setiap bank wajib secara intensif melakukan audit intern yang dilakukan oleh satuan pemeriksa intern (SPI) bank tersebut. Hasil pemeriksaan SPI wajib disampaikan kepada BI di samping kepada dewan komisaris bank masing-masing. Pelaksanaan audit oleh SPI wajib dipastikan oleh BI dengan audit oleh BI. Keempat, semua calon karyawan bank wajib menjalani tes psikologis untuk memastikan bahwa calon pegawai tidak memiliki watak yang cenderung jahat.

Terhadap karyawan lama, setiap lima tahun sekali harus pula dilakukan tes psikologis untuk memastikan apakah setelah bekerja beberapa tahun kepribadiannya berubah sebagai akibat lingkungan. Contohnya adalah MD yang membobol Citibank Jakarta setelah bekerja di bank tersebut selama 17 tahun. Di samping itu, bank yang belum pernah melaksanakan tes psikologis harus melaksanakan tes tersebut terhadap semua pegawainya. Untuk keseragaman, BI bisa menetapkan psychogram lengkap dengan map dari tes psikologis tersebut.

Sutan Remy Sjahdeini Mantan Direktur Bank BNI; Mantan Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia; Komisasris Utama PT Danareksa (Persero); Guru Besar Hukum Perbankan; dan Pendiri & Chairman Law Offices of Remy & Partners


Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/05/05294718/mencegah.pembobolan.bank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...