Senin, 11 April 2011

Demokrasi Reflektif

Oleh: Airlangga Pribadi

Arena bagi aktualisasi para elite untuk mendapatkan posisi politik maupun keuntungan ekonomi melalui gertakan dan transaksi politik, bukan yang lainnya. Sepertinya inilah makna yang dapat kita tarik ketika kita memaknai bagaimana demokrasi dijalankan di republik kita saat ini.

Kita menyaksikan bagaimana arena politik sunyi ketika pelanggaran hak warga terjadi dan kebaikan bersama diinvasi oleh kepentingan privat, kemudian mendadak gaduh ketika kepentingan elite terusik dan dugaan korupsi politik mulai tercium. Sementara rakyat jadi penonton yang resah ketika negara kerap diam terhadap aspirasi mereka.

Perkembangan politik beberapa waktu belakangan ini memperlihatkan bagaimana ruang politik menjadi hiruk-pikuk ketika isu-isu elitis terkait bongkar pasang koalisi muncul ke permukaan, indikasi praktik ilegal dalam kasus perpajakan tampil dan akan diangkat dalam hak angket, pemimpin berteriak lantang ketika posisinya terancam, sementara para elite politik tidak bersuara pada isu-isu kesetaraan dan kesejahteraan.

Ancaman terhadap hak-hak minoritas, terbukanya keran bagi serbuan sandang dan pangan impor saat banyak wilayah di republik ini mengalami swasembada pangan, terpuruknya kualitas hidup para pekerja di bawah sistem neoliberal yang impersonal, dan akuisisi kepentingan privat terhadap institusi publik di wilayah pendidikan, kesehatan, dan industri strategis semuanya menjadi sepi dipersoalkan dalam aktivitas berdemokrasi.

Miskin imajinasi

Apabila kita menarik gambaran reflektif terhadap perkembangan demokrasi kekinian, sepertinya bangsa ini telah kehilangan imajinasinya dalam memaknai bagaimana memanfaatkan jembatan emas demokrasi bagi kesejahteraan warganya. Ruang politik kita menghadirkan tanda saat sebagian besar elite politik mengalami problem tuna sejarah tentang bagaimana para pendiri republik ini selalu mengucapkan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat dalam satu tarikan napas yang tak terpisahkan.

Seperti diutarakan Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam manifesto gubahannya untuk landasan negara kita, Lahirnja Pantjasila . Soekarno sambil mengutip aktivis politik Perancis, Jean Jaures, menguraikan, memang dalam pengalaman demokrasi liberal di Eropa, rakyat jelata memiliki hak untuk memilih dan dipilih, memiliki wakil di gedung parlemen, namun rakyat yang memiliki hak politik tersebut dapat dengan mudah disingkirkan dari tempat kerjanya. Dengan demikian, bagi Soekarno, landasan demokrasi di Indonesia bukan hanya berbasis pada demokrasi elektoral namun menyatu di dalamnya, demokrasi sebagai perjuangan politik untuk memajukan kesejahteraan sosial. Demikianlah, kesejahteraan rakyat tidak pernah absen dan selalu terintegrasi dalam refleksi para pendiri republik ketika berbicara tentang demokrasi.

Tanpa kita sadari pembangunan demokrasi kita telah berjalan sedemikian maju ketika berurusan dengan aspirasi dan hajat hidup kepentingan para elite politik. Pelembagaan demokrasi elektoral terbangun dengan canggih terkait dengan mekanisme bagaimana memilih pemimpin di tingkat nasional maupun lokal, bagaimana membentuk, melembagakan, dan menyeleksi partai politik dan segenap elite politiknya. Namun, gagasan, mimpi, dan imajinasi kita begitu miskin ketika dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana instrumen demokrasi mendesain kesetaraan warga, menata keadilan sosial, mempertahankan kepentingan publik, dan memajukan kualitas hidup rakyatnya.

Berangkat dari keresahan akan miskinnya imajinasi demokrasi ketika berbicara soal tujuan kita bernegara, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, inilah saya berusaha untuk mengaktualisasikan kembali wasiat berharga tentang ide demokrasi dan kesejahteraan dengan wawasan yang lebih aktual.

Meminjam gagasan Kevin Olson (2006) dalam karyanya, Reflexive Democracy: Political Equality and the Welfare State , pemikiran politik kontemporer mengalami krisis ketika dimensi kesejahteraan absen dalam pembicaraan demokrasi. Ia menguraikan, untuk mengintegrasikan kesejahteraan dalam pembicaraan demokrasi, maka pertama-tama penting kiranya menggeser cara pandang kita tentang kesejahteraan. Kesejahteraan rakyat bukanlah istilah yang secara sempit dimaknai dalam konteks sosial-ekonomi, melainkan lebih luas lagi di dalam dimensi politiknya pula.

Politik kesejahteraan

Ketika demokrasi dalam makna autentiknya dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, di mana rakyat berdaya, berkuasa, dan berpartisipasi untuk menentukan arah republik, maka demokrasi secara reflektif akan bekerja untuk memikirkan mekanisme agar rakyat memiliki hasrat politik untuk berpartisipasi dalam ruang politik secara lebih mendalam dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Sementara negara dalam konteks kesejahteraan adalah instrumen politik yang menjamin agar kondisi demokrasi reflektif terkelola dan kesempatan yang setara dalam ruang partisipasi politik dapat terjamin.

Ketika di awal-awal berdirinya Indonesia memiliki warisan berharga tentang ide demokrasi yang menyatu dengan kesejahteraan, ironis ketika kita melihat dalam Indeks Pembangunan Manusia 2010, tingkat kesejahteraan warga Indonesia berada pada peringkat 108, jauh di bawah negara-negara otoritarian seperti Singapura (tertinggi di Asia Tenggara) dan Malaysia (57) maupun negara Filipina (97) dan di atas negara baru seperti Timor Leste (120) maupun negara tertutup seperti Myanmar (132).

Hanya ketika kita memanfaatkan kembali pikiran-pikiran berharga tentang menyatunya demokrasi dan kesejahteraan, dan menyelesaikan aktivitas demokrasi semata-mata sebagai aktualisasi para elite politik untuk mengambil keuntungan darinya, maka kita dapat mengejar ketertinggalan ini. Memaknai kesejahteraan dalam makna demokrasinya bukanlah menempatkan negara semata-mata sebagai institusi yang memberikan segalanya kepada rakyat yang pasif dan tak berinisiatif. Negara berperan sebagai instrumen politik untuk membuka keran politik bagi pemberdayaan lapisan rakyat paling rentan dan terpinggirkan agar mereka dapat bersuara dan menentukan kepentingannya.

Untuk memulai desain demokrasi reflektif ini, perjuangan politik ke sana harus dimulai. Mekanisme dan jalan untuk membangun basis material bagi demokrasi reflektif ini dapat dilakukan mulai dari penguatan komunitas warga sampai ke ranah politik formal. Strategi affirmative action yang telah dipikirkan oleh aktivis perempuan dapat diperluas pada kelompok yang rentan seperti petani, pekerja, dan masyarakat adat. Partai politik harus mulai melakukan program dan aksi konkret yang secara organik mengadvokasi kepentingan lapisan rakyat yang terpinggir, mulai melibatkan mereka sebagai bagian dari elite strategis partai. Pada akhirnya pemimpin jangan hanya sensitif dan bersuara ketika kepentingan personalnya tersentuh, namun juga bertindak responsif terhadap aspirasi dan kehendak rakyatnya karena untuk itulah ia dipilih oleh segenap rakyat.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/04/11/04370358/demokrasi.reflektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...