Jumat, 04 September 2009

Merawat Swasembada Pangan: Perlu Regionalisasi Pengadaan dan Diversifikasi Pangan

leh: Mustafa Abubakar (Direktur Utama Perum Bulog)
Bisnis Indonesia, 08-05-09

Selama 30 tahun terakhir, dunia menyaksikan bahan pangan tersedia dengan harga stabil dan terjangkau. Namun, nasib mayoritas petani di negeri berkembang seperti Indonesia justru makin terpuruk ke jurang kemiskinan.

Ibarat ayam sekarat di lumbung padi, para petani tak hanya makin miskin. Lahan mereka menyusut. Harga pupuk dan peralatan pertanian kian tak terjangkau. Pertanian pun akhirnya menjadi jenis usaha penuh kutukan. Tanah pertanian lalu ditinggalkan lewat urbanisasi besar-besaran yang bermuara pada rendahnya produksi pangan pada kemudian hari.

Banyak pemerintahan negeri agraris kini ibarat berjalan di atas seutas tali akrobat untuk menjaga keseimbangan antara memelihara swasembada pangan yang terjangkau harganya dan meningkatkan kesejahteraan petaninya.

Tantangan seperti itu menjadi salah satu topik paling hangat dalam pertemuan ke-32 International Food for Agricultural Development (IFAD) di Roma, Italia, Februari 2009. Sebagai Direktur Utama Perum Bulog, saya diundang menjadi salah satu pembicara dalam panel diskusi ahli pertemuan lembaga keuangan internasional di bawah payung PBB itu.Saya diminta memaparkan sukses Indonesia memelihara stabilitas pangan dalam diskusi bertopik Gejolak Harga Pangan: Bagaimana membantu petani kecil mengelola risiko dan ketidakpastian usaha tani.

Dalam forum itu, banyak negara dan badan dunia sangat mengapresiasi kemampuan Indonesia memelihara stabilitas harga beras pada 2008, ketika harga beras di pasar dunia justru meroket 2-3 kali lipat. Apresiasi lebih tinggi lagi mengingat semua itu dilakukan tanpa mengorbankan kesejahteraan para petani.

Para peserta diskusi umumnya sepakat bahwa kemiskinan di sektor pertanian telah memicu bencana yang tidak disadari: yakni merosotnya produksi di tengah kebutuhan pangan yang meningkat. Akibatnya, harga pangan meroket tak terkendali seperti terjadi pada paroh pertama 2008 lalu yang kemudian memicu gejolak politik dan sosial.

Sejumlah protes marak di berbagai belahan dunia, sebagian bahkan berubah menjadi kerusuhan berdarah akibat kenaikan drastis harga beras di pasar internasional.

Bersyukur hal itu tidak terjadi di Indonesia. Lewat Bulog, pemerintah berhasil menyerap beras petani secara signifikan sehingga membuat harga stabil dan sekaligus menghilangkan kebutuhan impor untuk pertama kalinya selama belasan tahun terakhir.Dengan itu pula Bulog menghemat devisa negara sebesar US$550 juta yang potensial mengalir ke Thailand dan Vietnam.

Bagi banyak pihak, keberhasilan itu mungkin agak mengejutkan. Semula banyak pengamat internasional memperkirakan Indonesia masih harus mengimpor 1,1 juta ton beras pada 2008 kemarin. Prediksi itu wajar karena pada 2007 Indonesia masih mengimpor 1,3 juta ton beras.
Namun, berbeda jauh dari ramalan buruk tadi, pada 2008 Bulog berhasil membeli 3,2 juta ton beras petani, atau naik 80% dari tahun sebelumnya, dan membukukan rekor penyerapan tertinggi dalam 40 tahun usia Bulog.

Perusahaan negara ini mengeluarkan dana sebesar Rp13,2 triliun (Rp 4.300 per kg). Dengan kata lain, Bulog menyuntikkan dana sebesar itu ke wilayah pedesaan dan kalangan petani. Efek berantai dari pengadaan beras itu bisa mencapai Rp19,4 triliun.Tahun 2009 ini, Bulog berharap bisa membeli beras 3,4 juta ton dengan harga lebih tinggi lagi, yakni Rp 4.900 per kg, yang diharapkan bisa memberikan keuntungan 30% kepada setiap petani.

Paradigma baru
Langkah Bulog ini dilandasi paradigma baru dalam mencapai dan memelihara swasembada pangan. Di masa lalu, Revolusi Hijau yang diperkenalkan sejak 1960-an memang telah berhasil meningkatkan produksi pertanian pangan yang membuat baik pasokan maupun harga pangan dunia stabil. Namun, Revolusi Hijau melupakan aspek terpenting dalam sektor ini: yakni kesejahteraan petani. Inilah yang harus dikoreksi.

Kami berpandangan, swasembada pangan tak mungkin lestari tanpa peningkatan pendapatan petani. Swasembada harus berjalan seiring dengan pengurangan kemiskinan di kalangan petani dan warga perdesaan pada umumnya.

Tentu saja, paradigma itu membawa tuntutan baru pula bagi Perum Bulog. Pada satu sisi, perusahaan ini dituntut bisa membeli bahan pangan lebih mahal dari sebelumnya. Untuk menjamin kepastian usaha tani mereka, Bulog membeli beras dengan harga 30% lebih tinggi dari biaya produksi bahkan pada musim panen raya ketika harga umumnya merosot.

Namun, pada sisi lain, Bulog juga dituntut untuk bisa membeli dalam jumlah lebih banyak agar mampu menjamin pasokan dan distribusi pangan lancar sehingga harganya stabil dan terjangkau oleh konsumen.

Agar bisa berperan mengendalikan pasar dan menepis spekulan, pada 2008 Bulog melipat-duakan pangsa penyerapan beras menjadi sekitar 8,4% dari total produksi beras nasional. Tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar 4-6%.

Hal seperti itu hanya mungkin dilakukan jika Bulog bisa melakukan efisiensi dalam biaya operasinya. Itulah sebabnya, perlahan tetapi pasti, dalam beberapa tahun terakhir Bulog melakukan berbagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya karyawan dan menghapus budaya korupsi yang sebelumnya sangat kental mewarnai citra perusahaan ini.

Namun, itu saja tak cukup. Bulog juga dituntut untuk lebih inovatif dalam manejemen stok, pergudangan dan distribusi pangan. Dalam kaitan ini, bekerja sama dengan Departemen Pertanian, Bulog mendorong regionalisasi pengadaan pangan dan diversifikasi pangan.

Gagasan regionalisasi sangat sederhana: bahan pangan idealnya dikonsumsi tidak jauh dari tempatnya diproduksi. Hanya dengan begitu ongkos angkut bisa ditekan sehingga petani bisa menikmati harga lebih tinggi tanpa membebani konsumen. Regionalisasi ini dimungkinkan mengingat Bulog memiliki 1.600 gudang yang tersebar di berbagai daerah.

Konsep diversifikasi pangan erat berkaitan dengan regionalisasi tadi. Penyeragaman beras sebagai makanan pokok telah terbukti membawa bencana di daerah tertentu.Masyarakat daerah bukan produsen beras, seperti Papua, misalnya, tidak semestinya tergantung pada beras yang harganya amat mahal karena harus didatangkan dari Jawa dan Sumatra. Gejolak harga beras di Papua akan memperburuk tingkat kemiskinan di sana.

Sementara itu, di tingkat nasional, diversifikasi pangan harus perlu digalakkan untuk mengurangi ketergantungan rakyat Indonesia yang makin besar kepada gandum. Indonesia perlu menengok bahan pangan lain, seperti tepung kasava (singkong), untuk menggantikan terigu yang seluruhnya diimpor dari negeri lain.

Jika bisa digalakkan, pertanian kasava tidak hanya memperkuat ketahanan pangan dalam negeri, tetapi juga bisa mendorong perkembangan industri pengolahan pangan di perdesaan.
Petani kasava umumnya petani miskin berlahan sempit, sehingga program ini juga bisa diharapkan mengurangi kemiskinan di perdesaan, sekaligus mengurangi risiko usaha tani yang hanya mengandalkan satu komoditas saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...