Jumat, 04 September 2009

Kualitas Hidup Petani Menurun: Liberalisasi Pertanian Sengsarakan Petani

Kualitas hidup petani padi berlahan sempit semakin menurun sebagai dampak liberalisasi pertanian. Akibatnya, migrasi tenaga kerja usia produktif sektor pertanian tidak terhindarkan. Sekarang tidak ada lagi tanggung jawab dari pemerintah untuk memenuhi hak atas pangan petani.

Di sisi lain, ketergantungan petani terhadap sarana produksi, seperti benih, pupuk, dan obat- obatan, juga semakin kuat.

Demikian hasil studi dampak liberalisasi pertanian terhadap nasib petani padi, khususnya terkait hilangnya hak petani atas beras yang mereka produksi.

Studi dilakukan Ecumenical Advocacy Alliance (EAA) dan Bina Desa, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus menangani pengembangan sumber daya manusia pedesaan.

Menurut Kepala Bidang Pengembangan Usaha Kecil Bina Desa Nanang Hari, Rabu (17/12) di Jakarta, kurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak atas pangan petani padi dianggap suatu hal yang biasa. Petani pun hanya bisa bersikap pasrah.

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk menghormati usaha tani padi, melindungi, dan apabila petani tidak mampu lagi mengusahakan lahan mereka, negara wajib memenuhi kebutuhan pangan.

”Negara Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005,” katanya.

Bentuk kewajiban pemerintah adalah melindungi petani dengan tetap memberikan akses memadai terhadap lahan, permodalan, informasi, sarana produksi, dan meningkatkan pendapatan dengan menaikkan harga jual.

Namun, sejak krisis moneter 1997 sampai sekarang, kecenderungan pemerintah dalam menangani masalah perberasan adalah mengurangi atau mencabut subsidi pertanian, menurunkan bea masuk impor beras, dan melakukan privatisasi Perum Bulog sebagai lembaga penyangga harga beras.

Athena, konsultan EAA, menyatakan, studi EAA yang dilakukan di tiga negara penghasil beras, yakni Indonesia, Honduras, dan Ghana, menunjukkan bahwa impor beras berdampak sangat buruk terhadap kehidupan petani kecil. Akses mereka terhadap pangan berkurang.

Di Honduras, liberalisasi pertanian dimulai pada tahun 1990-an karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Setelah itu petani kesulitan mengakses beras yang mereka produksi.

Adapun di Ghana, liberalisasi dimulai pada tahun 1980-an karena tekanan IMF. Di negara tersebut, beras bukan komoditas strategis, melainkan konsumsi masyarakat kota atas beras terus naik.

Sejak liberalisasi dan politik dumping Amerika Serikat tahun 2000, permintaan terhadap beras lokal turun sekitar 75 persen.

Derita petani bertubi-tubi

Di tempat terpisah, guru besar sosial ekonomi dan industri pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum menyatakan, bertubi- tubi penderitaan dibebankan kepada petani di Indonesia.

Hal itu mulai dari kebijakan tata niaga beras yang tidak berpihak kepada petani; hak ekonomi yang sering dicederai, seperti hilangnya pupuk bersubsidi dari pasaran; hingga pemalsuan benih unggul.

Kedaulatan petani atas sumber daya air, lahan, dan teknologi yang diambil alih sampai hak-hak sosial petani terus dipertanyakan, misalnya kualitas beras untuk rakyat miskin yang buruk serta tidak jelasnya pendidikan dan kesehatan gratis.

Oleh karena itu, Nanang mengingatkan perlunya pengorganisasian petani kecil untuk memperjuangkan kepentingan mereka, termasuk meningkatkan nilai tawar. Selain itu, juga perlunya jaringan berbagai pihak di semua level untuk membela petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...