Jumat, 04 September 2009

Kedaulatan Masyarakat Desa Atas Pangan

oleh: Witoro

Pangan merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup manusia, oleh karenanya pangan diakui sebagai hak asasi manusia. Pemenuhan hak asasi atas pangan dan gizi amat utama karena hak-hak asasi yang lain tidak mungkin bisa terjamin tanpa lebih dulu menjamin hak atas pangan dan gizi. Sejalan dengan itu, Undang-Undang (UU) No 7 tahun 1996 tentang Pangan dengan tegas menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi "hak asasi" setiap rakyat Indonesia dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.

Meskipun telah ada komitmen dan program untuk mengurangi angka kelaparan, namun persoalam kelaparan masih merupakan tantangan besar. Laporan FAO memperkirakan adanya 852 juta penduduk dunia kekurangan pangan selama tahun 2000 - 2002. Sebagian besar penduduk kelaparan itu tinggal di negara-negara sedang berkembang, yakni 815 juta orang. Sekitar 75 persen dari mereka yang lapar adalah penduduk pedesaan. Laporan FAO tahun 2005 bahkan mengungkap fakta tragis tentang kelaparan dan kurang gizi yang membunuh hampir 6 juta anak-anak setiap tahunnya. Peta Kerawanan Pangan Indonesia tahun 2005 menunjukkan adanya 100 kabupaten rawan pangan dari 265 kabupaten di Indonesia. SUSENAS 2003 mencatat adanya sekitar 5,1 juta (27,5%) anak balita yang kekurangan gizi. Departemen Kesehatan mencatat adanya 2,5 juta (40,1%) ibu hamil dan 4 juta (26,4%) perempuan usia subur yang menderita anemia.

Kenyataan yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelaparan justru dari tahun ke tahun, menuntut terobosan untuk mengatasai akar persoalan kelaparan. Pemerintah (PP) No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan telah menyatakan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal dan menghindarkan ketergantungan pada pangan impor. Undang-Undang No.7, tahun 1996 tentang Pangan juga menyatakan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah provinsi, kabupaten, kota, dan desa mempunyai otonomi untuk melaksanakan kebijakan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing.

Kejayaan dan Kehancuran Sistem Pangan Rakyat

Sejak berabad-abad lalu masyarakat Nusantara telah membangun sistem pertanian-pangan yakni sistem perladangan dan persawahan. Sistem perladangan merupakan evolusi dari berburu dan meramu ke bercocok tanam menetap dengan merubah hutan alam menjadi miniatur hutan tropis yang di dalamnya terdapat berbagai tanaman penghasil bahan makanan dan bahan yang bermanfaat lainnya. Sementara sistem persawahan padi dikembangkan di lembah-lembah sungai di pulau Jawa. Para petani telah menorehkan tinta emas sejarah pertanian Nusantara. Kerja gotongroyong yang ulet dan keras para petani menghasilkan kemakmuran di berbagai wilayah pedesaan. Kemakmuran inilah yang memungkinkan bekembangnya kerajaan dan kemaharajaan di berbagai wilayah Nusantara. Kerajaan Majapahit saat itu bahkan tercatat mengekspor limpahan hasil padinya ke negara lain.

Sistem pertanian di Nusantara telah relatif terbentuk saat kedatangan orang-orang Portugis dan kemudian Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan eksploitasi sumberdaya pertanian secara besar-besaran melalui sistem perkebunan negara atau sistem tanam paksa. Petani diharuskan menanam aneka tanaman ekspor yang membawa keuntungan besar bagi Belanda namun menyebabkan kemelaratan dan kelaparan bagi petani di Jawa. Penduduk desa yang semakin bertambah berusaha untuk tetap bertahan hidup dengan cara meningkatkan produksi tanaman subsisten di tanah yang semakin terbatas.
Masyarakat desa sejak lama bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan pangan warganya. Soetardjo Kartohadikoesoemo menjelaskan :
“Desa itu memikul tanggung-djawab atas persediaan makan rakjat. Didesa-desa communaal maka tiap habis panen setahun sekali diadakan rapat-desa. Dalam rapat seringkali djuga dimusjawaratkan tentang pembagian air, tentang memperbaiki saluran air dan jajasan pengairan, tentang mengadakan perwinihan bersama, tentang pemberantasan hama, tentang pembelian rabuk bersama, tentang pembikinan rabuk kompos bersama, tentang mulainja menggarap tanah untuk tanaman padi, tentang penggarapnja tanah jang kosong, tentang pembukaan lumbung desa dan pembajaran pindjaman kepada lumbung desa, tetang penanaman tanggul dan waderan dipinggir djalan desa, tentang tanaman ditegal dan pekarangan, tentang pembelian bibit bersama, tetang tanaman dipagar-desa dan lain-lain sebagainja. (Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Jogjakarta, 1953)

Upaya radikal untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber-sumber agraria dilakukan oleh para Pendiri Bangsa melalui UUPA tahun 1960. Namun dengan tumbangnya Orde Lama menjadi titik balik yang semakin meminggirkan usaha tani rakyat. Pemerintah 0rde Baru kemudian menetapkan Revolusi Hijau sebagai strategi pembangunan pertanian. Modernisasi pertanian ini difokuskan pada peningkatan produksi padi serta distribusinya. Penggunaan benih padi baru yang membutuhkan banyak air mendorong pemerintah memperbaiki dan memperluas infrastruktur irigasi yang telah ada. Pengembangan infrastruktur irigasi ini dilakukan dengan sentralistik tanpa melibatkan petani dan masyarakat setempat juga mengabaikan pengetahuan dan prinsip-prinsip pengelolaan irigasi masyarakat lokal. Model ini menghancurkan keaswadayaan dan otonomi kelembagaan petani dan meningkatkan ketergantungan kepada pemerintah.

Revolusi hijau ini semakin meningkatkan pemusatan penguasaan lahan pertanian, ketergantungan petani terhadap input pertanian pabrikan, kerusakan lingkungan pertanian, konsumerisme, terpinggirkannya peran petani perempuan, dan hilangnya kemandirian petani. Sistem pertanian rakyat yang telah berkembang sebelumnya yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani justru diabaikan. Akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, pengetahuan dan teknologi lokal, sistem kelembagaan pangan, pengelolaan irigasi, sistem perdagangan lokal, juga sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung pangan. Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat bukanya semakin kuat tetapi justru semakin terpinggirkan.
Liberalisasi Perdagangan Pangan

Komunitas lokal yang ada di berbagai negara sedang berkembang semakin miskin dan terancam kelaparan sebagai akibat liberalisasi perdagangan. Kebijakan internasional untuk mengatasi persoalan pangan yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional pada umumnya didominasi oleh Negara-negara Utara. Asumsi yang digunakan untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal. Kebijakan ini meletakkan “kekuatan pasar”, “pasar bebas” dan “privatisasi” sebagai panglima dalam pembangunan, termasuk dalam membangun sistem pangan pada tingkat nasional dan internasional.

Liberalisasi perdagangan telah mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini memaksa rakyat untuk memenuhi pangan melalui mekanisme pasar. Perusahaan multi nasional pertanian, lembaga internasional dan negara-negara maju dengan gencar menyatakan bahwa metode bercocok tanam tradisional dengan menggunakan benih lokal tidak efisien dan tidak akan cukup untuk memberi makan penduduk dunia. Perusahaan-perusahaan agribisnis mempromosikan padi hibrida dan transgenik sebagai jawaban terhadap persoalan kelaparan dunia.

Perjanjian tentang Pertanian WTO ini memungkinkan perusahaan trans nasional pangan dan pertanian memperluas investasi, produksi dan pemasaran produk pangan ke negara-negara sedang berkembang. Proses konsolidasi produksi dan perdagangan pertanian-pangan menyebabkan monopoli oleh segelintir perusahaan pertanian-pangan raksasa. Mereka memperoleh keuntungan dari monopoli sumberdaya genetik dan pertanian, subsidi ekspor untuk pangan dan produk dan input pertanian, termasuk pangan transgenik, pestisida dan pupuk kimia. Liberalisasi perdagangan ini kemudian menyebabkan import pangan ke negara-negara berkembang semakin meningkat, sementara ekspor mereka tidak bertambah. Jumlah ekspor pangan negara-negara maju semakin meningkat dan sebaliknya ekspor negara-negara miskin tetap bahkan cenderung menurun
Kekuasaan yang semakin besar perusahaan pertanian-pangan trans nasional memungkinkan mereka menguasai pangan dunia dan menggusur peran jutaan petani kecil yang sebelumnya menjadi pelaku mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun nasional. Sistem pangan global yang dipaksakan kepada negara-negara sedang berkembang kemudian menggusur dan menggantikan sistem pangan lokal dan nasional yang sebelumnya menjadi basis pemenuhan kebutuhan pangan rakyat di tingkat lokal hingga nasional.
Kedaulatan Pangan Masyarakat Desa

Menanggapi persoalan kelaparan ratusan juta penduduk dunia dan gagalnya pendekatan ketahanan pangan, organisasi petani internasional Via Campesina menawarkan pendekatan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan merupakan konsep tandingan terhadap kebijakan pangan neoliberal yang digunakan oleh sebagian besar negara di dunia. Kedaulatan pangan dapat diartikan sebagai hak setiap orang, kelompok masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumberdaya produktif serta dalam menentukan sendiri kebijakan produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya khas masing-masing.

Konsep kedaulatan pangan berbeda ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak rakyat atas sumberdaya produktif. Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat tidak terbatas pada akses untuk memperoleh pangan tetapi juga hak untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan. Kedaulatan pangan mencakup : pengutamaan produksi pertanian dalam rangka untuk menyediakan pangan bagi rakyat, akses petani kecil dan petani tanpa tanah terhadap tanah, air, benih, dan kredit. Oleh karenanya dibutuhkan reforma agraria, perlawanan terhadap tanaman transgenik, akses terhadap benih, dan usaha untuk melindungi air sebagai barang publik agar dapat didistribusikan secara berkelanjutan.

Upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan antara lain dengan memperbarui sistem pangan komunitas yang merupakan alternatif dan perlawanan terhadap menguatnya sistem pangan global. Pangan sebagai HAM berarti harus berada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya dapat terjamin dan berkelanjutan. Mengembalikan pangan sebagai hak rakyat dapat dilakukan dengan me-lokalisasi-kan pangan. Lokalisasi pangan berarti:

Mengupayakan sebisa mungkin agar semua kebutuhan pangan dapat diproduksi sendiri pada tingkat lokal dan nasional. Dengan mengutamakan produksi dan distribusi pangan lokal dan nasional, kita dapat berswasembada pangan, memberikan kesempatan pasar kita berkembang sehingga dapat melindungi usaha para petani kecil dari kemungkinan krisis, kita bebaskan usaha tani dari kepentingan yang berorientasi ekspor perdagangan, memangkas biaya transportasi dan lingkungan yang tidak perlu, dan kita dapat mengembangkan perekonomian pedesaan yang berkelanjutan.

Sistem pangan komunitas terdapat atau berkembang dalam suatu wilayah yang relatif kecil seperti kampung, desa, masyarakat adat, beberapa desa, kecamatan, kabupaten atau dalam suatu bio region. Pengambilan keputusan secara demokratis adalah kata kunci dalam gerakan kedaulatan pangan. Seluruh pihak yang menjadi bagian dari sistem pangan komunitas memiliki hak dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan, biaya, harga, kualitas, dansifat pangan mereka.
Ada empat pilar yang diperjuangkan oleh pembaruan sistem pangan masyarakat desa, yakni pembaruan agraria atau penataan ulang sumber-sumber produksi pangan, pertanian berkelanjutan, perdagangan lokal yang adil, dan pola konsumsi pangan lokal yang beragam. Empat pilar kedaulatan pangan tersebut adalah:

  • Menata ulang sumber-sumber produksi pangan. Tanah, hutan, air, benih, kredit, teknologi dan sebagainya perlu ditata ulang pengelolaannya agar keluarga miskin dan kurang pangan dapat mengelolanya secara lebih produktif dan berkelanjutan
  • Mengembangan pertanian berkelanjutan. Sumber produksi pangan dikelola untuk budidaya aneka tanaman pangan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan serta mengutamakan penggunaan input lokal baik benih, pupuk maupuan bahan pengendali hama dan penyakit tanaman serta dilakukan dengan padat karya;
  • Pengembangan perdagangan lokal yang adil. Produksi aneka tanaman pangan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri dan komunitas desanya serta sisanya dijual kepada warga desa lain atau warga di sekitar desa dengan cara lebih langsung dan adil antara petani dengan konsumen;
  • Penguatan pola konsumsi aneka pangan lokal. Kesadaran warga komunitas dan konsumen terhadap produksi aneka pangan lokal selain akan menjamin terpenuhinya kebutuhan makanan sehat dan begizi juga membantu petani untuk mengembangkan usaha taninya dan kesejahteraannya.

Upaya memperjuangkan pembaruan empat pilar itu akan dapat terlaksana jika warga komunitas desa memiliki organisasi yang kuat, yang melibatkan seluruh elemen desa : para petani, kaum perempuan, pedagang, perangkat desa dan lainnya. Melalui organisasi yang kuat ini mereka bersama bersama mengembangkan kebijakan dan program pertanian lokal yang demokratis.

sumber:http://krkp.org/index.php?option=com_content&view=article&id=18:kedaulatan-masyarakat-desa-atas-pangan&catid=19:kebijakan-pangan&Itemid=43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...