Kamis, 23 Juli 2009

Kalahkan Krisis dengan Survival Management

Dalam kondisi belum sepenuhnya pulih dari krisis yang melanda, perusahaan-perusahaan Indonesia mengalami banyak hambatan untuk melanjutkan pergerakannya, terutama dalam kondisi di mana sistem kompetisi lebih mengarah pada kompetisi global dengan fokus pada kualitas, bukan lagi kuantitas. Meskipun tidak semua perusahaan terkena dampak negatif krisis secara signifikan, akan tetapi kita perlu menyadari bahwa banyak perusahaan tidak mampu lagi melanjutkan aktivitasnya, terpaksa menghentikan segala kegiatan operasinya dan memPHK karyawan-karyawannya. Disamping itu, banyak pula yang meskipun masih dapat survive dalam kondisi sekarang, masih meragukan masa depannya. Sebelum menghadapi krisis-pun sebenarnya kita sudah menghadapi ketajaman situasi persaingan yang menyebabkan intensitas external war meningkat dalam dekade terakhir ini, terutama dalam konteks globalisasi saat sekarang dan tuntutannya di masa-masa mendatang. Terpuruk dalam krisis moneter, ekonomi, sosial dan politik saat kita berada di posisi yang tengah berbenah untuk memasuki arena global, atau yang oleh banyak orang dikatakan sebagai “kondisi di persimpangan jalan” menyebabkan perusahaan-perusahaan Indonesia menghadapi tantangan yang amat berat.

Berbagai kesulitan karena adanya krisis ini mungkin masih akan berlangsung dalam waktu yang relatif lebih panjang lagi. Oleh karenanya, setiap perusahaan memerlukan persiapan yang cukup memadai untuk dapat “survive” dalam kondisi krisis sambil mempersiapkan diri untuk meraih peluang masa mendatang. Diperlukan adanya kecerdikan dan kecepatan untuk dapat menyusun sistem pengelolaan krisis yang selaras dengan kebutuhan jangka pendek, menengah dan orientasi jangka panjang perusahaan, serta terintegrasi dalam setiap aktivitas operasionalnya. Dengan kata lain, dalam kondisi krisis, perusahaan sebaiknya memiliki dua klasifikasi strategi, yang pertama adalah “mission impossible” yaitu strategi yang dilandasi oleh misi untuk “survive” melalui pola-pola survival management, dan “back to the future” yaitu strategi yang lebih bersifat visioner untuk mencapai “long-term success”. Perlu diingat bahwa survival management yang diperlukan untuk dapat terus “hidup” meskipun mengalami tekanan krisis, perlu disusun dengan tidak melupakan visi jangka panjang yang telah disesuaikan.

Dalam kesempatan kali ini akan ditelaah mengenai “survival management”, suatu pedoman manajemen untuk dapat mengatasi masa krisis. Eksistensi dan sukses berkesinambungan yang menjadi impian semua perusahaan di masa sekarang ini kelihatannya amat sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu, diperlukan adanya alternatif strategi yang dapat dimanfaatkan agar saat krisis sekarang dapat dijadikan titik tolak pergerakan di masa mendatang, yang antara lain dapat dicapai melalui networking, dengan harapan dapat menggalang kekuatan dan memperoleh sinergi dari sisi sumber daya secara cepat.

Sebelum memasuki bahasan-bahasan tersebut, terlebih dahulu akan ditelaah mengenai situasi bisnis saat sekarang, sisi “war” dan sisi “peace” yang mewarnai setiap aktivitas perusahaan hingga saat krisis terjadi, serta dampaknya bagi upaya melanjutkan kiprah perusahaan di era global dan superhighway ini.

War & Peace in Business World

Dunia bisnis merupakan gabungan dari dua dunia yang sebenarnya saling bertentangan, yaitu dunia kompetisi atau peperangan (war) dan dunia kooperasi atau perdamaian (peace). Kedua dunia ini senantiasa hadir dan saling melengkapi. War atau kompetisi biasanya hanya difokuskan pada kompetisi dengan pihak di luar perusahaan untuk memenangkan persaingan. Akan tetapi, sebenarnya “war” yang dihadapi oleh perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu “internal war” dan “external war”. Demikian juga dengan “peace”, yang dapat diklasifikasikan menjadi “internal peace” dan “external peace”.

Internal War & External War – in Crisis Situation

Dalam masa krisis, perusahaan mengalami himpitan karena pengaruh-pengaruh dari luar perusahaan yang sebagian besar tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, perusahaan yang dapat melakukan adaptasi secara cepatlah yang memiliki peluang lebih besar untuk dapat tetap eksis dalam kancah bisnis. Perusahaan menghadapi peperangan eksternal yang lebih “sengit” daripada sekedar upaya untuk dapat memenangkan kompetisi, mempertahankan reputasi atau memperluas kemantapan posisi saja, tetapi juga peperangan yang diartikan sebagai perang untuk mempertahankan hidup-mati perusahaan. Dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, mayoritas perusahaan harus kembali ke “basic” lagi, perlu mengkaji kembali fokus “war” yang diprioritaskan, membuka mata dan kemauan untuk mengevaluasi daya tahan perusahaan terhadap gempuran krisis saat sekarang. Dengan kata lain, krisis memaksa hampir semua perusahaan, baik yang memiliki skala besar, menengah maupun kecil dari berbagai industri untuk kembali ke pembahasan awal saat perusahaan meniti masa hidupnya. Jelaslah bahwa “external war” yang dihadapi oleh perusahaan dalam krisis tidak hanya perang antar perusahaan saja, tetapi juga perang antara perusahaan dengan daya tahannya sendiri. Bagi perusahaan, external war semacam ini sebenarnya juga merupakan suatu sarana belajar meskipun dalam artian “learn the hardway”, arena belajar dalam kondisi dan lingkungan yang sesungguhnya, dan melalui pengalaman yang mungkin pahit akibatnya.

Krisis juga menyebabkan perusahaan mengalami “internal war” yang lebih tajam. Perang internal ini antara lain mencakup perang terhadap segala bentuk ketidakefisienan di semua level organisasi. Hal ini berkaitan dengan biaya di berbagai bidang, yang tidak boleh diartikan sebagai “cutting cost” semata-mata, tetapi sebagai tindakan perbaikan tingkat efisiensi yang tidak melupakan sisi kualitas. Peningkatan derajat efisiensi hingga mencapai optimal perlu diwujudknya tanpa melupakan pentingnya efektivitas. Oleh karena itu, orientasi pada sisi biaya saja tidak dapat dibenarkan.

Selain perang terhadap pemborosan, perusahaan juga mengalami perang internal yang disebabkan oleh adanya konflik karena keresahan karyawan. Krisis menyebabkan perusahaan harus melakukan reorientasi dan prioritisasi agar dapat terus eksis. Tidak dapat dihindari, krisis merupakan salah satu peluang untuk memicu tumbuhnya ketidakmapanan di benak karyawan, dan kebingungan terhadap arah kebijakan perusahaan. Kenyataan ini akan membuka peluang konflik lebih lebar, demikian juga dengan adanya kemungkinan penurunan koordinasi. Hal ini akan menjadi semakin parah jika perusahaan tidak bersifat terbuka, menyembunyikan informasi penting dan bahkan memberikan janji-janji yang tidak dapat ditepati. Dalam kondisi krisis, perusahaan justru harus menerapkan sistem komunikasi yang lebih terbuka tetapi tetap selektif sifatnya. Disamping itu, setiap kebijakan yang diambil sebaiknya tidak melupakan kepentingan bagi setiap karyawan dan keluarganya. Jika perusahaan memiliki komitmen untuk menyelesaikan krisis secara “manusiawi” dan memperhatikan kepentingan karyawan, sebaliknya, karyawan sebenarnya juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan dedikasi secara penuh. Internal war dapat dikatakan sebagai perang antara perusahaan dengan “ketidakberesan” dirinya sendiri, atau dengan kata lain, merupakan identifikasi terhadap perlunya pembenahan internal yang mencakup perbaikan dari sisi aktivitas dan dari sisi sudut pandang dan sikap kerja. Oleh karena itu, perusahaan yang sebelumnya telah menciptakan adanya “psychological” & “emotional” bonds dengan karyawannya akan lebih mudah dalam memenangkan perang internal ini.

Internal & External Peace – in Crisis Situation

Internal Peace merupakan suatu landasan agar dalam menghadapi krisis, perusahaan tidak terlalu didominasi oleh kekhawatiran dan kepanikan saja, sehingga tidak dapat menentukan arah pembenahan yang harus dilakukan. Internal peace menyebutkan bahwa perusahaan harus mau “berdamai” dengan krisis, dan oleh karenanya krisis sebaiknya diterima sebagai peluang untuk memperbaiki diri dan juga perlu dianggap sebagai sarana untuk memperoleh peluang baru. Dengan demikian, perusahaan tidak akan terjebak pada pencarian penyelesaian melalui jalan pintas yang hanya mengutamakan kemudahan saja. Dengan demikian, internal peace menuntut adanya perubahan pola pikir dari sumber daya manusia sebagai anggota perusahaan. Dalam hal ini, peran manajemen level atas sebagai penentu langkah perusahaan memainkan peran amat penting.

Disamping perombakan pola pikir, internal peace juga mencerminkan adanya kedamaian internal yang diciptakan oleh adanya kepemimpinan yang mantap. Peran pemimpin dalam masa krisis benar-benar dibutuhkan untuk mengamankan stabilitas internal, agar anggota perusahaan tidak panik secara berlebihan. Dalam hal ini, pemimpin bertanggung jawab untuk terlebih dahulu menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk tetap eksis dan berkarya dengan taraf produktivitas yang relatif tinggi meskipun menghadapi tantangan dan halangan yang relatif berat dalam kondisi krisis seperti sekarang ini.

Jika internal peace lebih bersifat individual dan berkaitan dengan aspek psikologis organisasi, sebaliknya, external peace lebih mengarah pada keputusan-keputusan srategis korporat untuk membentuk kerjasama dengan pihak-pihak di luar perusahaan, yang dianggap tepat untuk mengatasi krisis dan untuk menjawab tantangan-tantangan selanjutnya. External peace dapat dibentuk secara vertikal maupun horisontal tergantung kebutuhan masing-masing perusahaan dan jangkauannya-pun disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing perusahaan. External peace di sini berarti perusahaan memperoleh angin sejuk untuk dapat tetap survive atau untuk menghadapi krisis dengan cara saling membahu dengan partner atau mitra kerjasama, baik supplier atau distributor atau sesama produsen, untuk kepentingan bersama. External peace juga memilik arti berdamai dengan pihak-pihak di luar perusahaan, berusaha membentuk dan atau mempertahankan kepercayaan terhadap perusahaan, yang dapat saja berarti upaya “berdamai” dengan para investor, auditor, lembaga pemerintah, lembaga konsumen, organisasi lingkungan hidup maupun lembaga-lembaga sertifikasi lainnya. Dengan demikian, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk tetap memperhatikan aspek-aspek tersebut, meskipun tengah berjuang menghadapi krisis.

Environmental Scanning & Future Projection

Untuk dapat mendukung keputusan yang berkaitan dengan “war & peace” ini, perusahaan perlu melakukan “environmental scanning” dan “future projection” yang mantap untuk dapat membaca pergerakan lingkungan dan kecenderungan masa dalam bentuk kesatuan frame yang utuh. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu sistematika penyusunan “skenario” yang tidak hanya dikelompokkan berdasarkan “kemungkinan” terjadinya, tetapi yang juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan kebutuhan “in the near future” dan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pencapain tujuan jangka panjang. Sistem ini pada dasar terangkum dalam Sistem “MAP” yaitu sistem “Monitor”, “Analisa” dan “Prediksi” terhadap pergerakan atau kemungkinan pergerakan lingkungan, yang tidak hanya berfungsi di level korporat saja, tetapi yang juga mendapat dukungan di level-level departemental.

New Thinking Patterns

Sumber daya manusia sebagai “brainpower” dalam perusahaan memiliki peran yang amat strategis dalam mewujudkan upaya-upaya untuk mengatasi krisis. Yang terutama perlu dibina adalah pembentukan pola pikir yang baru, yang tidak dikuasai oleh definisi bahwa krisis = destruksi. Dalam bab ini akan ditelaah mengenai persepsi krisis dan bagaimana sebaiknya kita meredefinisi krisis untuk tujuan “penyelamatan” dan untuk tujuan “meraih peluang”, kebutuhan reorientasi dan aspek-aspek pentingnya, serta perhatian khusus yang harus diberikan untuk dapat menyelaraskan efektivitas dan efisiensi kerja disamping menyeimbangkan biaya dengan hasil yang ingin dicapai.

Konotasi krisis lebih banyak dikaitkan dengan kegagalan dan konsekuensi negatifnya. Krisis sebaiknya tidak dianggap sebagai halangan, melainkan sebagai sarana pembaharuan. Memang di dalam krisis akan selalu terdapat adanya ancaman atau “threat” tetapi yang harus digali adalah peluang-peluang (opportunities) yang sebenarnya terbuka justru karena adanya krisis. Saya cenderung untuk menganjurkan setiap eksekutif agar memiliki persepsi mengenai krisis dari sudut pandang positif, yaitu dari sudut pandang seorang optimis, sehingga krisis dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meraih puncak keberhasilan yang lebih tinggi.

“For pessimists, crisis means destruction which might lead to omega.”
“For optimists, crisis means challenge with its risks & opportunities.”

source: http://www.jakartaconsulting.com/art-11-24.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...